- Beranda
- The Lounge
Kumpulan Kisah Nyata Kekuatan Doa
...
TS
newandipurnomo
Kumpulan Kisah Nyata Kekuatan Doa
Daftar Isi
01. Sungguh, Allah Tak Pernah Tidur!
02. Tak Ada Jalan Buntu Selama Yakin Pada Allah
03. Aku Berharap Ada Kavling Surga Di Salah Satu Kaki Ibu Ku
04. Skenario Allah Dibalik Kegagalan Ku
05. Pertolongan Allah Tak Pernah Telat
06. Ketika Allah Telah Berkehendak
07. Dimana Ada Kemauan, Disitu Ada Jalan
08. Kiriman Amplop Itu Datang Bertubi-tubi
09. Durhaka, Berbuah Celaka
10. Allah Tak Pernah Ingkar Janji
Sungguh, Allah Tak Pernah Tidur!
Aku hanya bisa pasrah memandang Saidah, istriku yang berbaring lemah di sebuah Rumah Sakit (RS) di kota Madinah. Namun, keteganganku mendapati istri yang harus menjalani persalinan di tanah rantau dan jauh dari keluarga rupanya belum cukup. Sebab ternyata, istri telah divonis operasi cesar oleh dokter yang menanganinya.
Sekonyong-konyong, seorang petugas langsung menghampiriku dan menyodorkan secarik tagihan berisi beberapa angka.
“Iya, benar! hanya Rp. 17.000.000 dan harus dibayar cash sekarang,” kata petugas itu datar.
Tanpa sadar, bola mataku perlahan mulai mengair. Ya Rabb, darimana uang sebanyak itu? Jangankan tabungan atau celengan, handphone pun adalah barang yang sangat mewah bagiku yang masih berstatus mahasiswa Universitas Islam Madinah (UIM).
“Kami baru bisa bertindak jika biaya administrasi itu sudah lunas,” kata- petugas rumah sakit itu terngiang kembali, layaknya palu godam yang menghantam kepalaku.
“Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” [QS: Al Baqarah: 153]
Penggalan surat yang sudah lama kuhafalkan itu tiba-tiba berkelebat dalam fikiranku. Seolah ada yang menggerakkan, tanpa fikir panjang aku langsung melangkah mengambil air wudhu dan bersimpuh di hadapan-Nya.
Seolah tanpa jarak, saat itu aku benar-benar menumpahkan segala curhatku kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Shalat dan berdoa, itu saja yang kuulang-ulang terus. Entahlah, rupanya beberapa dokter iba melihat perbuatanku. Mereka lalu bersedia membantu proses operasi tanpa perlu dibayar.
“Alhamdulillah, pertolongan Allah mulai terbuka,” demikian batinku dalam diam.
Ibarat pepatah, “Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih.” Saat menghadap direktur rumah sakit, para dokter spesialis itu malah langsung kena semprot oleh sang direktur.
“Memangnya ini rumah sakit punya bapak kalian. Semua peralatan dan obat-obat itu harus dibayar? Kalian di sini hanya bekerja menjalankan tugas saja, tidak punya hak untuk membebaskan biaya pasien cecar, “ demikian direktur yang emosi.
Aku hanya diam membisu di belakang. Dalam hati, aku kasihan juga melihat para dokter itu. Mereka kena marah hanya karena ingin membantu urusanku saja.
Entah mengapa, lagi-lagi aku ingin shalat dan mengadu kepada-Nya lagi. Entah mengapa, tiba-tiba hati ini terasa sejuk dalam lautan doa yang terus kupanjatkan kepada Allah Subhanahu Wata’ala.
Akhirnya, tiba-tiba Allah Subhanahu Wata’ala mempertemukanku dengan salah seorang pengurus rumah sakit.
Uniknya, orang yang baru kukenal itu kaget dan sontak merangkul badanku dengan akrab. Usut punya usut, ternyata ia membaca nama yang tertera di kartu lembaran identitasku, Nashirul Haq al-Bilawi. Rupanya orang itu mengira diriku berasal dari suatu daerah dan semarga dengannya dari dataran Arab, yaitu Alwi atau Alawi. Entah apa karena saya dianggap garis keturunan Alawi dari Hadramaut. Padahal “Bilawi” itu adalah Bilawa, nama sebuah kampung di pelosok Sulawesi Selatan.
Singkat kata, semua biaya operasi ditanggung olehnya. Subhanallah Wallhamdulillah.
Qaddarallahu, ternyata kisah ketegangan di Rumah Sakit Madinah itu rupanya belum tuntas. Pasca operasi cesar dilakukan, sontak sesaat rumah sakit itu langsung heboh. Ternyata ada inspeksi mendadak (sidak) alias razia bagi penduduk kota Madinah yang tak memiliki identitas lengkap.
Ya Rabb, sekali lagi aku hanya bisa berharap dan meminta kepada-Mu. Sebab wanita yang baru saja melahirkan anak pertamaku itu tak punya identitas sama sekali, kecuali ia adalah istriku yang sah.
Sudah maklum bagi pendatang, pasien gelap atau siapa saja yang ketahuan tak punya identitas terancam dipulangkan dengan paksa. Meski bersama bayi merahnya sekalipun.
Subhanallah. Allah Subhanahu Wata’ala tak pernah tidur dan membiarkan hamba-Nya dirundung kesusahan. Allah berkuasa atas segala tipu daya yang ada.
Saat petugas pemeriksa itu datang, mereka hanya melewati istriku yang masih terbaring lemah. Rupanya petugas itu mengira diriku adalah seorang Tenaga Kerja Indonesia (TKI) alias pembantu dan istriku disangkanya seorang majikan orang Arab yang sedang kujaga. Allahu Akbar!
*/Roidatun Nahdhah, pengajar Sekolah Tinggi Ilmu Syariah (STIS) Hidayatullah Putri. Kisah nyata ini disampaikan oleh Nashirul Haq dalam sebuah kesempatan majelis taklim, di Gunung Tembak, Balikpapan
01. Sungguh, Allah Tak Pernah Tidur!
02. Tak Ada Jalan Buntu Selama Yakin Pada Allah
03. Aku Berharap Ada Kavling Surga Di Salah Satu Kaki Ibu Ku
04. Skenario Allah Dibalik Kegagalan Ku
05. Pertolongan Allah Tak Pernah Telat
06. Ketika Allah Telah Berkehendak
07. Dimana Ada Kemauan, Disitu Ada Jalan
08. Kiriman Amplop Itu Datang Bertubi-tubi
09. Durhaka, Berbuah Celaka
10. Allah Tak Pernah Ingkar Janji
Sungguh, Allah Tak Pernah Tidur!
Aku hanya bisa pasrah memandang Saidah, istriku yang berbaring lemah di sebuah Rumah Sakit (RS) di kota Madinah. Namun, keteganganku mendapati istri yang harus menjalani persalinan di tanah rantau dan jauh dari keluarga rupanya belum cukup. Sebab ternyata, istri telah divonis operasi cesar oleh dokter yang menanganinya.
Sekonyong-konyong, seorang petugas langsung menghampiriku dan menyodorkan secarik tagihan berisi beberapa angka.
“Iya, benar! hanya Rp. 17.000.000 dan harus dibayar cash sekarang,” kata petugas itu datar.
Tanpa sadar, bola mataku perlahan mulai mengair. Ya Rabb, darimana uang sebanyak itu? Jangankan tabungan atau celengan, handphone pun adalah barang yang sangat mewah bagiku yang masih berstatus mahasiswa Universitas Islam Madinah (UIM).
“Kami baru bisa bertindak jika biaya administrasi itu sudah lunas,” kata- petugas rumah sakit itu terngiang kembali, layaknya palu godam yang menghantam kepalaku.
“Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” [QS: Al Baqarah: 153]
Penggalan surat yang sudah lama kuhafalkan itu tiba-tiba berkelebat dalam fikiranku. Seolah ada yang menggerakkan, tanpa fikir panjang aku langsung melangkah mengambil air wudhu dan bersimpuh di hadapan-Nya.
Seolah tanpa jarak, saat itu aku benar-benar menumpahkan segala curhatku kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Shalat dan berdoa, itu saja yang kuulang-ulang terus. Entahlah, rupanya beberapa dokter iba melihat perbuatanku. Mereka lalu bersedia membantu proses operasi tanpa perlu dibayar.
“Alhamdulillah, pertolongan Allah mulai terbuka,” demikian batinku dalam diam.
Ibarat pepatah, “Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih.” Saat menghadap direktur rumah sakit, para dokter spesialis itu malah langsung kena semprot oleh sang direktur.
“Memangnya ini rumah sakit punya bapak kalian. Semua peralatan dan obat-obat itu harus dibayar? Kalian di sini hanya bekerja menjalankan tugas saja, tidak punya hak untuk membebaskan biaya pasien cecar, “ demikian direktur yang emosi.
Aku hanya diam membisu di belakang. Dalam hati, aku kasihan juga melihat para dokter itu. Mereka kena marah hanya karena ingin membantu urusanku saja.
Entah mengapa, lagi-lagi aku ingin shalat dan mengadu kepada-Nya lagi. Entah mengapa, tiba-tiba hati ini terasa sejuk dalam lautan doa yang terus kupanjatkan kepada Allah Subhanahu Wata’ala.
Akhirnya, tiba-tiba Allah Subhanahu Wata’ala mempertemukanku dengan salah seorang pengurus rumah sakit.
Uniknya, orang yang baru kukenal itu kaget dan sontak merangkul badanku dengan akrab. Usut punya usut, ternyata ia membaca nama yang tertera di kartu lembaran identitasku, Nashirul Haq al-Bilawi. Rupanya orang itu mengira diriku berasal dari suatu daerah dan semarga dengannya dari dataran Arab, yaitu Alwi atau Alawi. Entah apa karena saya dianggap garis keturunan Alawi dari Hadramaut. Padahal “Bilawi” itu adalah Bilawa, nama sebuah kampung di pelosok Sulawesi Selatan.
Singkat kata, semua biaya operasi ditanggung olehnya. Subhanallah Wallhamdulillah.
Qaddarallahu, ternyata kisah ketegangan di Rumah Sakit Madinah itu rupanya belum tuntas. Pasca operasi cesar dilakukan, sontak sesaat rumah sakit itu langsung heboh. Ternyata ada inspeksi mendadak (sidak) alias razia bagi penduduk kota Madinah yang tak memiliki identitas lengkap.
Ya Rabb, sekali lagi aku hanya bisa berharap dan meminta kepada-Mu. Sebab wanita yang baru saja melahirkan anak pertamaku itu tak punya identitas sama sekali, kecuali ia adalah istriku yang sah.
Sudah maklum bagi pendatang, pasien gelap atau siapa saja yang ketahuan tak punya identitas terancam dipulangkan dengan paksa. Meski bersama bayi merahnya sekalipun.
Subhanallah. Allah Subhanahu Wata’ala tak pernah tidur dan membiarkan hamba-Nya dirundung kesusahan. Allah berkuasa atas segala tipu daya yang ada.
Saat petugas pemeriksa itu datang, mereka hanya melewati istriku yang masih terbaring lemah. Rupanya petugas itu mengira diriku adalah seorang Tenaga Kerja Indonesia (TKI) alias pembantu dan istriku disangkanya seorang majikan orang Arab yang sedang kujaga. Allahu Akbar!
*/Roidatun Nahdhah, pengajar Sekolah Tinggi Ilmu Syariah (STIS) Hidayatullah Putri. Kisah nyata ini disampaikan oleh Nashirul Haq dalam sebuah kesempatan majelis taklim, di Gunung Tembak, Balikpapan
Diubah oleh newandipurnomo 01-03-2023 21:53
0
2.3K
10
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
1.3MThread•104.1KAnggota
Tampilkan semua post
TS
newandipurnomo
#9
“Allah Tak Pernah Ingkar Janji”
TERKEJUT Hamdi mendengar tempat tugas dakwah yang cukup jauh dari tempat asalnya, Bengkulu. Belum pernah terpikir dalam hidupnya kota itu. Belum juga sirna, tiba-tiba, ia kembali dikagetkan, dengan informasi bahwa ia tidak akan dibekali sepeser uang saku pun untuk menuju ke sana.
Dan yang cukup membuat dag-dig-dug, ia harus sudah sampai ke tempat tugas paling lambat empat hari ke depan.
Terang saja mendengar demikian, pemuda asal Lampung itu sempat linglung, setengah tidak percaya dengan apa yang didengar. Permasalahannya, bukan terletak pada jauhnya tempat tugas, atau besarnya biaya yang harus ia keluarkan untuk biaya transportasi. Namun pada saat itu, laki-laki berkulit cerah dan berkumis timis ini, memang benar-benar tidak memiliki uang sepeser pun. Sekiranya ada uang, tentu ceritanya tidak akan demikian.
Mengandalkan orangtua, sangat tidak mungkin. Mereka saja dalam kesusahan, bekerja sebagai buruh hutan. Karenanya, dia sempat protes sama sang-pimpinan, “Ustadz, bagaimana saya bisa ke Bengkulu dalam waktu 3-4 hari ke depan tanpa dibekali uang sedikitpun. Saya tidak punya uang sama sekali saat ini, ustadz” keluhnya saat itu.
“Pokoknya, yang penting, kamu sudah sampai di sana, tepat pada waktunya, tidak boleh terlambat”, ujar Hamdi, menirukan jawaban sang-ustadz.
Mendapat tanggapan demikian, Hamdi pun tidak berkutik. Di tempat kediamannya, dia mulai memutar otak, bagaimana mendapatkan uang untuk biaya keberangkatannya. Tak lama berselang, secercah peluang pun hinggap di benaknya. Dia teringat pamannya yang termasuk orang berada. Mobil pribadinya saja ada enam. “Pasti paman bisa membantu,” ucapnya membatin penuh keoptimisan.
Ketika ia penuh harap, ternyata pamannya tidak memberi sepeser uang pun untuknya. Sempat ingin mengadu ke bibi (istri pamannya) prihal permasalahannya, tapi dia urungkan niatnya, karena merasa malu.
Pertolongan Allah
Di tengah kegalauannya itu, Hamdi mencoba menerka-nerka, apa kira-kira hikmah di balik keputusan pimpinannya, yang mengutus tugas dakwah, nun jauh di sana, tanpa dibekali sepeser uang pun?.
Saat itu lah terlintas di benaknya firman Allah yang menerangkan, bahwa siapa saja yang bersusah payah menolong agama Allah, maka Allah pun akan menolongnya, “In tanshurullah yan syurkum” (Apa bila engkau membantu agama Allah, maka Allah pun akan membantu engkau).” Hamdi mengingat salah satu firman Allah dalam al-Quran itu dengan perasan yakin.
Sedari itu, memuncaklah kembali rasa optimisnya, bahwa Allah tidak mungkin melantarkan dirinya yang berusaha memperjuangkan agama-Nya. Ia yakin, Allah tidak akan tidur, sebagaimana sejarah yang pernah terjadi pada Siti Hajar, istri Nabiullah Ibrahim.
“Sebagaimana Dia (Allah) telah menyelamatkan Hajar dan Ismail di tengah-tengah padang sahara, dengan memuncratkan air Zam-Zam dari bawah kaki Ismail”, terangnya.
Entah kenapa, setelah mengingat dan menghayati kandungan ayat tersebut, hati dan pikiran Hamdi terasa plong. Sepertinya, Allah telah membentangkan sederet jalan keluar, yang begitu jelas dihadapannya. Padahal, realitasnya, belum ada sama sekali ide cemerlang untuk mengetaskan permasalahannya tersebut.
Hari Jum’at, adalah batas akhir Hamdi mempersiapkan diri. Dia harus berangkat keesokkan harinya, karena hari Senin, ia harus menapakkan kaki di tempat tugas. Kira-kirajarak tempuh darat antara kota Lampung-Bengkulu, ± memakan waktu satu hari-satu malam.
Na’asnya, tepat pada hari yang telah ditentukan itu (Sabtu pagi), Hamdi belum juga mendapatkan uang serupiah pun. Meski demikian, ia sudah mempersiapkan keberangkatannya. Baju-baju, buku-buku, segala sesuatu yang dirasa dibutuhkan, semuanya sudah dikemas. Dia sendiri sudah berpakaian rapi, layaknya seorang perantau, yang siap melakukan perjalanan jauh.
Allah Maha Melihat Hamba-Hamba-Nya yang memang tulus berjuang di jalan-Nya. Dan sesungguhnya Allah tidak pernah mengingkari janji-janji-Nya. Dia tunjukkan kekuasaan-Nya pada pemuda yang saat ini tengah kuliah di salah satu Perguruan Tinggi Islam, Surabaya ini.
Ceritanya, sebelum berangkat, Hamdi menyempatkan diri berpamitan ke pada sanak saudara, dan tetangga-tetangga dekatnya. Untung tidak bisa diraih, malang tak dapat ditolak. Banyak dari mereka yang memberinya uang saku. Padahal, sedikitpun Hamdi tidak pernah mengungkapkan atau bercerita permasalahan finansialnya pada mereka.
“Mereka bilang sih, uang sekedar untuk beli es dan jajan di jalan, ” terangnya.
Yang mencengangkan, setelah dihitung totalitasnya, jumlah nominal yang diperoleh, cukup membuat mata Hamdi meloto. Kira-kira mencapai ± Rp. 500.000. Dahinya mengkerut, seolah tidak percaya dengan apa yang sedang ia saksikan.
“Mata saya sempat lembab, dan bibir tak henti-henti mengucapkan kalimat takbir, tahmid, dan tahlil, menyaksikan Kemahabesaran Allah ini,” ujarnya.
“Ini satu bukti, bahwa Allah tidak pernah mengingkari janji-janji-Nya, yang telah termaktub dalam al-Quran,” tambahnya dengan mata berkaca-kaca.
Dengan uang itulah, kemudian Hamdi mampu menjalankan amanah pimpinannya, tepat pada waktunya.
Bercita-Cita Menjadi Da’i
Hamdi adalah salah satu peserta yang mengikuti Kuliah Da’I Mandiri (KDM), yang dimobilisasi oleh Hidayatullah, di Palembang. Seusai mengikuti program tersebut, ia ditugaskan untuk berdakwah di Bengkulu. Ia sendiri berasal dari Lampung. Ia mengikuti pelatihan itu, atas rekomendasi dari salah satu ustadznya di Lampung.
Sejatinya, sudah lama ia merindukan untuk terjun langsung di dunia dakwah. Namun, niatnya tersebut sempat tersendat lantaran ada beberapa hal yang menghalanginya, untuk melaksanakan tugas para anbia’ ini, hingga tibalah tawaran menghampirinya guna ikutserta dalam program KDM.
Untuk menambah wawasan keislamannya, kini ia tengah serius menuntut ilmu di salah satu Perguruan Tinggi Islam, yang ada di Surabaya.
“Latar belakang saya sebagai siswa sekolah umum, yang jarang mendapat pengetahuan tentang keislamanlah, yang mengarahkanku untuk serius, menekuni ajaran Islam saat ini,” terangnya.
“Mudah-mudahan, kelak akan bermanfaat bagi diriku sendiri, keluarga, dan kaum muslimin pada umumnya,” harapnya. */Robinsah. Kisah ini diceritakan langsung oleh yang bersangkutan
Dan yang cukup membuat dag-dig-dug, ia harus sudah sampai ke tempat tugas paling lambat empat hari ke depan.
Terang saja mendengar demikian, pemuda asal Lampung itu sempat linglung, setengah tidak percaya dengan apa yang didengar. Permasalahannya, bukan terletak pada jauhnya tempat tugas, atau besarnya biaya yang harus ia keluarkan untuk biaya transportasi. Namun pada saat itu, laki-laki berkulit cerah dan berkumis timis ini, memang benar-benar tidak memiliki uang sepeser pun. Sekiranya ada uang, tentu ceritanya tidak akan demikian.
Mengandalkan orangtua, sangat tidak mungkin. Mereka saja dalam kesusahan, bekerja sebagai buruh hutan. Karenanya, dia sempat protes sama sang-pimpinan, “Ustadz, bagaimana saya bisa ke Bengkulu dalam waktu 3-4 hari ke depan tanpa dibekali uang sedikitpun. Saya tidak punya uang sama sekali saat ini, ustadz” keluhnya saat itu.
“Pokoknya, yang penting, kamu sudah sampai di sana, tepat pada waktunya, tidak boleh terlambat”, ujar Hamdi, menirukan jawaban sang-ustadz.
Mendapat tanggapan demikian, Hamdi pun tidak berkutik. Di tempat kediamannya, dia mulai memutar otak, bagaimana mendapatkan uang untuk biaya keberangkatannya. Tak lama berselang, secercah peluang pun hinggap di benaknya. Dia teringat pamannya yang termasuk orang berada. Mobil pribadinya saja ada enam. “Pasti paman bisa membantu,” ucapnya membatin penuh keoptimisan.
Ketika ia penuh harap, ternyata pamannya tidak memberi sepeser uang pun untuknya. Sempat ingin mengadu ke bibi (istri pamannya) prihal permasalahannya, tapi dia urungkan niatnya, karena merasa malu.
Pertolongan Allah
Di tengah kegalauannya itu, Hamdi mencoba menerka-nerka, apa kira-kira hikmah di balik keputusan pimpinannya, yang mengutus tugas dakwah, nun jauh di sana, tanpa dibekali sepeser uang pun?.
Saat itu lah terlintas di benaknya firman Allah yang menerangkan, bahwa siapa saja yang bersusah payah menolong agama Allah, maka Allah pun akan menolongnya, “In tanshurullah yan syurkum” (Apa bila engkau membantu agama Allah, maka Allah pun akan membantu engkau).” Hamdi mengingat salah satu firman Allah dalam al-Quran itu dengan perasan yakin.
Sedari itu, memuncaklah kembali rasa optimisnya, bahwa Allah tidak mungkin melantarkan dirinya yang berusaha memperjuangkan agama-Nya. Ia yakin, Allah tidak akan tidur, sebagaimana sejarah yang pernah terjadi pada Siti Hajar, istri Nabiullah Ibrahim.
“Sebagaimana Dia (Allah) telah menyelamatkan Hajar dan Ismail di tengah-tengah padang sahara, dengan memuncratkan air Zam-Zam dari bawah kaki Ismail”, terangnya.
Entah kenapa, setelah mengingat dan menghayati kandungan ayat tersebut, hati dan pikiran Hamdi terasa plong. Sepertinya, Allah telah membentangkan sederet jalan keluar, yang begitu jelas dihadapannya. Padahal, realitasnya, belum ada sama sekali ide cemerlang untuk mengetaskan permasalahannya tersebut.
Hari Jum’at, adalah batas akhir Hamdi mempersiapkan diri. Dia harus berangkat keesokkan harinya, karena hari Senin, ia harus menapakkan kaki di tempat tugas. Kira-kirajarak tempuh darat antara kota Lampung-Bengkulu, ± memakan waktu satu hari-satu malam.
Na’asnya, tepat pada hari yang telah ditentukan itu (Sabtu pagi), Hamdi belum juga mendapatkan uang serupiah pun. Meski demikian, ia sudah mempersiapkan keberangkatannya. Baju-baju, buku-buku, segala sesuatu yang dirasa dibutuhkan, semuanya sudah dikemas. Dia sendiri sudah berpakaian rapi, layaknya seorang perantau, yang siap melakukan perjalanan jauh.
Allah Maha Melihat Hamba-Hamba-Nya yang memang tulus berjuang di jalan-Nya. Dan sesungguhnya Allah tidak pernah mengingkari janji-janji-Nya. Dia tunjukkan kekuasaan-Nya pada pemuda yang saat ini tengah kuliah di salah satu Perguruan Tinggi Islam, Surabaya ini.
Ceritanya, sebelum berangkat, Hamdi menyempatkan diri berpamitan ke pada sanak saudara, dan tetangga-tetangga dekatnya. Untung tidak bisa diraih, malang tak dapat ditolak. Banyak dari mereka yang memberinya uang saku. Padahal, sedikitpun Hamdi tidak pernah mengungkapkan atau bercerita permasalahan finansialnya pada mereka.
“Mereka bilang sih, uang sekedar untuk beli es dan jajan di jalan, ” terangnya.
Yang mencengangkan, setelah dihitung totalitasnya, jumlah nominal yang diperoleh, cukup membuat mata Hamdi meloto. Kira-kira mencapai ± Rp. 500.000. Dahinya mengkerut, seolah tidak percaya dengan apa yang sedang ia saksikan.
“Mata saya sempat lembab, dan bibir tak henti-henti mengucapkan kalimat takbir, tahmid, dan tahlil, menyaksikan Kemahabesaran Allah ini,” ujarnya.
“Ini satu bukti, bahwa Allah tidak pernah mengingkari janji-janji-Nya, yang telah termaktub dalam al-Quran,” tambahnya dengan mata berkaca-kaca.
Dengan uang itulah, kemudian Hamdi mampu menjalankan amanah pimpinannya, tepat pada waktunya.
Bercita-Cita Menjadi Da’i
Hamdi adalah salah satu peserta yang mengikuti Kuliah Da’I Mandiri (KDM), yang dimobilisasi oleh Hidayatullah, di Palembang. Seusai mengikuti program tersebut, ia ditugaskan untuk berdakwah di Bengkulu. Ia sendiri berasal dari Lampung. Ia mengikuti pelatihan itu, atas rekomendasi dari salah satu ustadznya di Lampung.
Sejatinya, sudah lama ia merindukan untuk terjun langsung di dunia dakwah. Namun, niatnya tersebut sempat tersendat lantaran ada beberapa hal yang menghalanginya, untuk melaksanakan tugas para anbia’ ini, hingga tibalah tawaran menghampirinya guna ikutserta dalam program KDM.
Untuk menambah wawasan keislamannya, kini ia tengah serius menuntut ilmu di salah satu Perguruan Tinggi Islam, yang ada di Surabaya.
“Latar belakang saya sebagai siswa sekolah umum, yang jarang mendapat pengetahuan tentang keislamanlah, yang mengarahkanku untuk serius, menekuni ajaran Islam saat ini,” terangnya.
“Mudah-mudahan, kelak akan bermanfaat bagi diriku sendiri, keluarga, dan kaum muslimin pada umumnya,” harapnya. */Robinsah. Kisah ini diceritakan langsung oleh yang bersangkutan
0