- Beranda
- The Lounge
Kumpulan Kisah Nyata Kekuatan Doa
...
TS
newandipurnomo
Kumpulan Kisah Nyata Kekuatan Doa
Daftar Isi
01. Sungguh, Allah Tak Pernah Tidur!
02. Tak Ada Jalan Buntu Selama Yakin Pada Allah
03. Aku Berharap Ada Kavling Surga Di Salah Satu Kaki Ibu Ku
04. Skenario Allah Dibalik Kegagalan Ku
05. Pertolongan Allah Tak Pernah Telat
06. Ketika Allah Telah Berkehendak
07. Dimana Ada Kemauan, Disitu Ada Jalan
08. Kiriman Amplop Itu Datang Bertubi-tubi
09. Durhaka, Berbuah Celaka
10. Allah Tak Pernah Ingkar Janji
Sungguh, Allah Tak Pernah Tidur!
Aku hanya bisa pasrah memandang Saidah, istriku yang berbaring lemah di sebuah Rumah Sakit (RS) di kota Madinah. Namun, keteganganku mendapati istri yang harus menjalani persalinan di tanah rantau dan jauh dari keluarga rupanya belum cukup. Sebab ternyata, istri telah divonis operasi cesar oleh dokter yang menanganinya.
Sekonyong-konyong, seorang petugas langsung menghampiriku dan menyodorkan secarik tagihan berisi beberapa angka.
“Iya, benar! hanya Rp. 17.000.000 dan harus dibayar cash sekarang,” kata petugas itu datar.
Tanpa sadar, bola mataku perlahan mulai mengair. Ya Rabb, darimana uang sebanyak itu? Jangankan tabungan atau celengan, handphone pun adalah barang yang sangat mewah bagiku yang masih berstatus mahasiswa Universitas Islam Madinah (UIM).
“Kami baru bisa bertindak jika biaya administrasi itu sudah lunas,” kata- petugas rumah sakit itu terngiang kembali, layaknya palu godam yang menghantam kepalaku.
“Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” [QS: Al Baqarah: 153]
Penggalan surat yang sudah lama kuhafalkan itu tiba-tiba berkelebat dalam fikiranku. Seolah ada yang menggerakkan, tanpa fikir panjang aku langsung melangkah mengambil air wudhu dan bersimpuh di hadapan-Nya.
Seolah tanpa jarak, saat itu aku benar-benar menumpahkan segala curhatku kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Shalat dan berdoa, itu saja yang kuulang-ulang terus. Entahlah, rupanya beberapa dokter iba melihat perbuatanku. Mereka lalu bersedia membantu proses operasi tanpa perlu dibayar.
“Alhamdulillah, pertolongan Allah mulai terbuka,” demikian batinku dalam diam.
Ibarat pepatah, “Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih.” Saat menghadap direktur rumah sakit, para dokter spesialis itu malah langsung kena semprot oleh sang direktur.
“Memangnya ini rumah sakit punya bapak kalian. Semua peralatan dan obat-obat itu harus dibayar? Kalian di sini hanya bekerja menjalankan tugas saja, tidak punya hak untuk membebaskan biaya pasien cecar, “ demikian direktur yang emosi.
Aku hanya diam membisu di belakang. Dalam hati, aku kasihan juga melihat para dokter itu. Mereka kena marah hanya karena ingin membantu urusanku saja.
Entah mengapa, lagi-lagi aku ingin shalat dan mengadu kepada-Nya lagi. Entah mengapa, tiba-tiba hati ini terasa sejuk dalam lautan doa yang terus kupanjatkan kepada Allah Subhanahu Wata’ala.
Akhirnya, tiba-tiba Allah Subhanahu Wata’ala mempertemukanku dengan salah seorang pengurus rumah sakit.
Uniknya, orang yang baru kukenal itu kaget dan sontak merangkul badanku dengan akrab. Usut punya usut, ternyata ia membaca nama yang tertera di kartu lembaran identitasku, Nashirul Haq al-Bilawi. Rupanya orang itu mengira diriku berasal dari suatu daerah dan semarga dengannya dari dataran Arab, yaitu Alwi atau Alawi. Entah apa karena saya dianggap garis keturunan Alawi dari Hadramaut. Padahal “Bilawi” itu adalah Bilawa, nama sebuah kampung di pelosok Sulawesi Selatan.
Singkat kata, semua biaya operasi ditanggung olehnya. Subhanallah Wallhamdulillah.
Qaddarallahu, ternyata kisah ketegangan di Rumah Sakit Madinah itu rupanya belum tuntas. Pasca operasi cesar dilakukan, sontak sesaat rumah sakit itu langsung heboh. Ternyata ada inspeksi mendadak (sidak) alias razia bagi penduduk kota Madinah yang tak memiliki identitas lengkap.
Ya Rabb, sekali lagi aku hanya bisa berharap dan meminta kepada-Mu. Sebab wanita yang baru saja melahirkan anak pertamaku itu tak punya identitas sama sekali, kecuali ia adalah istriku yang sah.
Sudah maklum bagi pendatang, pasien gelap atau siapa saja yang ketahuan tak punya identitas terancam dipulangkan dengan paksa. Meski bersama bayi merahnya sekalipun.
Subhanallah. Allah Subhanahu Wata’ala tak pernah tidur dan membiarkan hamba-Nya dirundung kesusahan. Allah berkuasa atas segala tipu daya yang ada.
Saat petugas pemeriksa itu datang, mereka hanya melewati istriku yang masih terbaring lemah. Rupanya petugas itu mengira diriku adalah seorang Tenaga Kerja Indonesia (TKI) alias pembantu dan istriku disangkanya seorang majikan orang Arab yang sedang kujaga. Allahu Akbar!
*/Roidatun Nahdhah, pengajar Sekolah Tinggi Ilmu Syariah (STIS) Hidayatullah Putri. Kisah nyata ini disampaikan oleh Nashirul Haq dalam sebuah kesempatan majelis taklim, di Gunung Tembak, Balikpapan
01. Sungguh, Allah Tak Pernah Tidur!
02. Tak Ada Jalan Buntu Selama Yakin Pada Allah
03. Aku Berharap Ada Kavling Surga Di Salah Satu Kaki Ibu Ku
04. Skenario Allah Dibalik Kegagalan Ku
05. Pertolongan Allah Tak Pernah Telat
06. Ketika Allah Telah Berkehendak
07. Dimana Ada Kemauan, Disitu Ada Jalan
08. Kiriman Amplop Itu Datang Bertubi-tubi
09. Durhaka, Berbuah Celaka
10. Allah Tak Pernah Ingkar Janji
Sungguh, Allah Tak Pernah Tidur!
Aku hanya bisa pasrah memandang Saidah, istriku yang berbaring lemah di sebuah Rumah Sakit (RS) di kota Madinah. Namun, keteganganku mendapati istri yang harus menjalani persalinan di tanah rantau dan jauh dari keluarga rupanya belum cukup. Sebab ternyata, istri telah divonis operasi cesar oleh dokter yang menanganinya.
Sekonyong-konyong, seorang petugas langsung menghampiriku dan menyodorkan secarik tagihan berisi beberapa angka.
“Iya, benar! hanya Rp. 17.000.000 dan harus dibayar cash sekarang,” kata petugas itu datar.
Tanpa sadar, bola mataku perlahan mulai mengair. Ya Rabb, darimana uang sebanyak itu? Jangankan tabungan atau celengan, handphone pun adalah barang yang sangat mewah bagiku yang masih berstatus mahasiswa Universitas Islam Madinah (UIM).
“Kami baru bisa bertindak jika biaya administrasi itu sudah lunas,” kata- petugas rumah sakit itu terngiang kembali, layaknya palu godam yang menghantam kepalaku.
“Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” [QS: Al Baqarah: 153]
Penggalan surat yang sudah lama kuhafalkan itu tiba-tiba berkelebat dalam fikiranku. Seolah ada yang menggerakkan, tanpa fikir panjang aku langsung melangkah mengambil air wudhu dan bersimpuh di hadapan-Nya.
Seolah tanpa jarak, saat itu aku benar-benar menumpahkan segala curhatku kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Shalat dan berdoa, itu saja yang kuulang-ulang terus. Entahlah, rupanya beberapa dokter iba melihat perbuatanku. Mereka lalu bersedia membantu proses operasi tanpa perlu dibayar.
“Alhamdulillah, pertolongan Allah mulai terbuka,” demikian batinku dalam diam.
Ibarat pepatah, “Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih.” Saat menghadap direktur rumah sakit, para dokter spesialis itu malah langsung kena semprot oleh sang direktur.
“Memangnya ini rumah sakit punya bapak kalian. Semua peralatan dan obat-obat itu harus dibayar? Kalian di sini hanya bekerja menjalankan tugas saja, tidak punya hak untuk membebaskan biaya pasien cecar, “ demikian direktur yang emosi.
Aku hanya diam membisu di belakang. Dalam hati, aku kasihan juga melihat para dokter itu. Mereka kena marah hanya karena ingin membantu urusanku saja.
Entah mengapa, lagi-lagi aku ingin shalat dan mengadu kepada-Nya lagi. Entah mengapa, tiba-tiba hati ini terasa sejuk dalam lautan doa yang terus kupanjatkan kepada Allah Subhanahu Wata’ala.
Akhirnya, tiba-tiba Allah Subhanahu Wata’ala mempertemukanku dengan salah seorang pengurus rumah sakit.
Uniknya, orang yang baru kukenal itu kaget dan sontak merangkul badanku dengan akrab. Usut punya usut, ternyata ia membaca nama yang tertera di kartu lembaran identitasku, Nashirul Haq al-Bilawi. Rupanya orang itu mengira diriku berasal dari suatu daerah dan semarga dengannya dari dataran Arab, yaitu Alwi atau Alawi. Entah apa karena saya dianggap garis keturunan Alawi dari Hadramaut. Padahal “Bilawi” itu adalah Bilawa, nama sebuah kampung di pelosok Sulawesi Selatan.
Singkat kata, semua biaya operasi ditanggung olehnya. Subhanallah Wallhamdulillah.
Qaddarallahu, ternyata kisah ketegangan di Rumah Sakit Madinah itu rupanya belum tuntas. Pasca operasi cesar dilakukan, sontak sesaat rumah sakit itu langsung heboh. Ternyata ada inspeksi mendadak (sidak) alias razia bagi penduduk kota Madinah yang tak memiliki identitas lengkap.
Ya Rabb, sekali lagi aku hanya bisa berharap dan meminta kepada-Mu. Sebab wanita yang baru saja melahirkan anak pertamaku itu tak punya identitas sama sekali, kecuali ia adalah istriku yang sah.
Sudah maklum bagi pendatang, pasien gelap atau siapa saja yang ketahuan tak punya identitas terancam dipulangkan dengan paksa. Meski bersama bayi merahnya sekalipun.
Subhanallah. Allah Subhanahu Wata’ala tak pernah tidur dan membiarkan hamba-Nya dirundung kesusahan. Allah berkuasa atas segala tipu daya yang ada.
Saat petugas pemeriksa itu datang, mereka hanya melewati istriku yang masih terbaring lemah. Rupanya petugas itu mengira diriku adalah seorang Tenaga Kerja Indonesia (TKI) alias pembantu dan istriku disangkanya seorang majikan orang Arab yang sedang kujaga. Allahu Akbar!
*/Roidatun Nahdhah, pengajar Sekolah Tinggi Ilmu Syariah (STIS) Hidayatullah Putri. Kisah nyata ini disampaikan oleh Nashirul Haq dalam sebuah kesempatan majelis taklim, di Gunung Tembak, Balikpapan
Diubah oleh newandipurnomo 01-03-2023 21:53
0
2.3K
10
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
1.3MThread•104.1KAnggota
Tampilkan semua post
TS
newandipurnomo
#7
Kiriman Amplop Itu Datang Bertubi-tubi
Di TENGAH teriknya matahari siang, seorang laki-laki terus saja melangkahkan kakinya, setapak demi setapak, menelusuri jalan perkampungan. Di atas pundak kanannya, bergelayutan barang-barang jualannya, yang berupa mainan anak-anak, yang terdiri dari berbagai jenis, mulai dari mobil-mobilan hingga pistol-pistolan. Dari boneka, hingga jepit rambut.
Dia lalui gang demi gang, tanpa mempedulikan pengatnya sinar sang surya, yang memang bertepatan saat itu, seolah-olah tengah menunjukkan kemahadahsyiatan sinarnya. Setetes demi setetes, keringat bercucuran dari sekujur tubuhnya. Sesekali, ia mengusap dahi dan wajahnya yang berlumuran peluh, dengan handuk kecil yang tidak lepas dari pundaknya.
”Sayang anak……..sayang anak….. yang sayang anak….ini ada berbagai macam mainan.” teriaknya menjajakan mainan, barang kali ada yang minat untuk membeli untuk si-buah hati.
Merasa letih, kemudian dia memilih untuk singgah di sebuah masjid, sekedar untuk mengendurkan urat-urat yang memang –mungkin- terasa tegang, karena jauhnya jarak yang telah ditempuh.
Dia letakkan barang dagangannya di halaman masjid, sedangkan dia sendiri beranjak ke beranda bagian belakang. Sambil mengamati dagangannya, ia sandarkan punggungnya di salah satu tiang, kemudian membujurkan kedua kakinya.
Tangan kirinya, ia jadikan penyanggah badannya. Sedangkan kanan kananya, asyik mengibas-ngibaskan handuk kecilnya, di antara kepala dan dadanya. Nampak jelas dari ekspresinya itu, rasa letih dan haus tengah melilit dirinya.
Tak lama kemudian, dia berujar padaku, yang memang dari tadi mengamati dirinya.
”Mas bisa minta air. Saya tengah haus sekali,” ujarnya lirih.
”Saya cek dulu yah di kamar takmir (pengelola masjid),” timpalku kemudian.
Sayangnya, ketika ditengok rungan yang luasnya tidak lebih dari 2×3 M² itu, tak ada setetespun air. Mau beli, bertepatan aku tidak bawa uang sama sekali. Tak ingin mengecewakannya, aku pun bergegas menuju kantin yang memang tidak jauh dari masjid, untuk mengutang sebotol teh dingin. Karena sudah saling kenal, pihak kantinpun tidak menyoalkan permohonanku.
Ketika disodorkan minuman tersebut, awalnya dia menolak. Dia merasa tidak enak, karena telah merepoti. Namun, karena terus kupaksa untuk meminumnya, dia pun akhirnya luluh, dan meminumnya.
Ketika cairan dingin itu telah melewati tenggorokkannya, tersirat dari rona wajahnya rasa kepuasaan. Senyumnya memerkah indah, bak bunga mawar yang tengah mekar, ”Terima kasih ya, mas. Maaf telah merepotkan”, ujarnya.
Setelah beberapa lama mengobrol, si-penjual mainan itu pun akhirnya berpaminatan, minta undur diri, untuk melanjutkan perjalanannya. Akupun melepaskan kepergiannya dengan senyum dan hati berbunga-bunga, karena sedikit telah mampu membantu orang yang memang dalam kesukaran.
Berlipat Ganda
Entahlah, aku tidak sama sekali pria itu. Ia bukan saudara, teman, tetangga. Namun ada satu hal yang sangat mendasariku untuk menolong laki-laki tersebut, sekalipun harus dengan jalur berhutang. Saya teringat firman Allah yang menjelaskan, bahwa barang siapa yang menginfakkan hartanya, maka dia akan menuai balasan sepuluh, hingga tujuh ratus kali lipat.
Keterangan ini pula, lah, yang kuutarakan pada laki-laki yang sebelumnya tidak pernah kukenal itu, ketika bertanya, kenapa saya dengan mudahnya menolong dia, tanpa rasa curiga sedikitpun, padahal sebelumnya kami tidak saling kenal.
Hari-hari perkenalanku dengan pria tak dikenal sudah lewat. Suatu hari, saya berkunung ke kantor seorang teman. Tanpa diduga, dia menyodoriku sebuah amplop, yang katanya sebagai tanpa ucap terima kasih atasannya, karena sudah berulang kali membantu urusannya. Saya bingung, urusan apa yang pernah saya tolong padanya?
Sesampainya di kediaman, kubuka amplop itu, dan di dalamnya terdapat uang sangat banyak dan sangat berarti bagiku. Puji syukur, kupanjatkan ke pada Allah.
Tambah bingung lagi, selang beberapa menit setelah itu, datang salah satu temanku, memberikan satu amplop lain, yang katanya dari sahabatku yang lain. Agar tidak lama-lama diselimuti rasa penasaran prihal isi amplop, langsung saja kumembukanya. Dan, Subhanallah, ternyata di dalamnya juga terdapat uang, yang ini nominalnya lebih kecil.
Jadi, kalau dikalkulasi, jumlah uang tersebut sangat luar biasa bagi orang seperti saya. Dari sini, aku jadi tambah yakin, bahwa memang sedekah tidak akan pernah menjadikan kita miskin. Yang ada, justru ia akan menambah pundi-pundi harta kita. Kalau tidak di dunia, ya di akhirat nanti. Dengan catatan, tentu kita harus ikhlas.
Dalam kasus ini, saya jadi teringat firman Allah dalam surat Ibrohim ayat tujuh, yang berbunyi, ”…..Dan apabila kalian bersyukur atas nikmat-nikmat-Ku, maka akan kutambah nikmat-nikmat-Ku pada kalian. Tapi, kalau kalian mengkufurinya, sesungguhnya, azab-Ku amatlah pedih.” (Ibrohim 7).
Semoga kita termasuk orang-orang yang ringan tangan dalam menginfakkan/mensedekahkan harta-harta kita di jalan Allah. Karena sesungguhnya berinfaq itu tidak membuat kita miskin. Bahkan sebaliknya, ibarat mengumpulkan tabungan, yang kelak akan diganti oleh Allah baik di dunia maupun di akherat. Tentu saja infaq yang disertai keikhlasan tanpa berharap imbalan.
Katakanlah: “Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan menyempitkan bagi (si- apa yang dikehendaki-Nya)”. Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan (infakkan), maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah Pemberi rezki yang sebaik- baiknya.”
(QS. Saba’: 39 ).
Semoga secuil kisah ini menjadi pelajaran bagi kita. Amin….amin…yaa rabbal ’aalamin.
Dia lalui gang demi gang, tanpa mempedulikan pengatnya sinar sang surya, yang memang bertepatan saat itu, seolah-olah tengah menunjukkan kemahadahsyiatan sinarnya. Setetes demi setetes, keringat bercucuran dari sekujur tubuhnya. Sesekali, ia mengusap dahi dan wajahnya yang berlumuran peluh, dengan handuk kecil yang tidak lepas dari pundaknya.
”Sayang anak……..sayang anak….. yang sayang anak….ini ada berbagai macam mainan.” teriaknya menjajakan mainan, barang kali ada yang minat untuk membeli untuk si-buah hati.
Merasa letih, kemudian dia memilih untuk singgah di sebuah masjid, sekedar untuk mengendurkan urat-urat yang memang –mungkin- terasa tegang, karena jauhnya jarak yang telah ditempuh.
Dia letakkan barang dagangannya di halaman masjid, sedangkan dia sendiri beranjak ke beranda bagian belakang. Sambil mengamati dagangannya, ia sandarkan punggungnya di salah satu tiang, kemudian membujurkan kedua kakinya.
Tangan kirinya, ia jadikan penyanggah badannya. Sedangkan kanan kananya, asyik mengibas-ngibaskan handuk kecilnya, di antara kepala dan dadanya. Nampak jelas dari ekspresinya itu, rasa letih dan haus tengah melilit dirinya.
Tak lama kemudian, dia berujar padaku, yang memang dari tadi mengamati dirinya.
”Mas bisa minta air. Saya tengah haus sekali,” ujarnya lirih.
”Saya cek dulu yah di kamar takmir (pengelola masjid),” timpalku kemudian.
Sayangnya, ketika ditengok rungan yang luasnya tidak lebih dari 2×3 M² itu, tak ada setetespun air. Mau beli, bertepatan aku tidak bawa uang sama sekali. Tak ingin mengecewakannya, aku pun bergegas menuju kantin yang memang tidak jauh dari masjid, untuk mengutang sebotol teh dingin. Karena sudah saling kenal, pihak kantinpun tidak menyoalkan permohonanku.
Ketika disodorkan minuman tersebut, awalnya dia menolak. Dia merasa tidak enak, karena telah merepoti. Namun, karena terus kupaksa untuk meminumnya, dia pun akhirnya luluh, dan meminumnya.
Ketika cairan dingin itu telah melewati tenggorokkannya, tersirat dari rona wajahnya rasa kepuasaan. Senyumnya memerkah indah, bak bunga mawar yang tengah mekar, ”Terima kasih ya, mas. Maaf telah merepotkan”, ujarnya.
Setelah beberapa lama mengobrol, si-penjual mainan itu pun akhirnya berpaminatan, minta undur diri, untuk melanjutkan perjalanannya. Akupun melepaskan kepergiannya dengan senyum dan hati berbunga-bunga, karena sedikit telah mampu membantu orang yang memang dalam kesukaran.
Berlipat Ganda
Entahlah, aku tidak sama sekali pria itu. Ia bukan saudara, teman, tetangga. Namun ada satu hal yang sangat mendasariku untuk menolong laki-laki tersebut, sekalipun harus dengan jalur berhutang. Saya teringat firman Allah yang menjelaskan, bahwa barang siapa yang menginfakkan hartanya, maka dia akan menuai balasan sepuluh, hingga tujuh ratus kali lipat.
Keterangan ini pula, lah, yang kuutarakan pada laki-laki yang sebelumnya tidak pernah kukenal itu, ketika bertanya, kenapa saya dengan mudahnya menolong dia, tanpa rasa curiga sedikitpun, padahal sebelumnya kami tidak saling kenal.
Hari-hari perkenalanku dengan pria tak dikenal sudah lewat. Suatu hari, saya berkunung ke kantor seorang teman. Tanpa diduga, dia menyodoriku sebuah amplop, yang katanya sebagai tanpa ucap terima kasih atasannya, karena sudah berulang kali membantu urusannya. Saya bingung, urusan apa yang pernah saya tolong padanya?
Sesampainya di kediaman, kubuka amplop itu, dan di dalamnya terdapat uang sangat banyak dan sangat berarti bagiku. Puji syukur, kupanjatkan ke pada Allah.
Tambah bingung lagi, selang beberapa menit setelah itu, datang salah satu temanku, memberikan satu amplop lain, yang katanya dari sahabatku yang lain. Agar tidak lama-lama diselimuti rasa penasaran prihal isi amplop, langsung saja kumembukanya. Dan, Subhanallah, ternyata di dalamnya juga terdapat uang, yang ini nominalnya lebih kecil.
Jadi, kalau dikalkulasi, jumlah uang tersebut sangat luar biasa bagi orang seperti saya. Dari sini, aku jadi tambah yakin, bahwa memang sedekah tidak akan pernah menjadikan kita miskin. Yang ada, justru ia akan menambah pundi-pundi harta kita. Kalau tidak di dunia, ya di akhirat nanti. Dengan catatan, tentu kita harus ikhlas.
Dalam kasus ini, saya jadi teringat firman Allah dalam surat Ibrohim ayat tujuh, yang berbunyi, ”…..Dan apabila kalian bersyukur atas nikmat-nikmat-Ku, maka akan kutambah nikmat-nikmat-Ku pada kalian. Tapi, kalau kalian mengkufurinya, sesungguhnya, azab-Ku amatlah pedih.” (Ibrohim 7).
Semoga kita termasuk orang-orang yang ringan tangan dalam menginfakkan/mensedekahkan harta-harta kita di jalan Allah. Karena sesungguhnya berinfaq itu tidak membuat kita miskin. Bahkan sebaliknya, ibarat mengumpulkan tabungan, yang kelak akan diganti oleh Allah baik di dunia maupun di akherat. Tentu saja infaq yang disertai keikhlasan tanpa berharap imbalan.
Katakanlah: “Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezki bagi siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan menyempitkan bagi (si- apa yang dikehendaki-Nya)”. Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan (infakkan), maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah Pemberi rezki yang sebaik- baiknya.”
(QS. Saba’: 39 ).
Semoga secuil kisah ini menjadi pelajaran bagi kita. Amin….amin…yaa rabbal ’aalamin.
Diubah oleh newandipurnomo 01-03-2023 21:41
0