- Beranda
- Stories from the Heart
Teman Sejati
...
TS
aranea
Teman Sejati
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Selamat datang di thread sederhana ini. Apakabar kalian semua? Semoga temen-temen semua dalam keadaan baik baik saja, sehat, dan teman-teman semua dalam keadaan bahagia dimanapun teman-teman berada.
Oke mang.
Oke mang.
Disini saya mencoba menuliskan sebuah cerita yang terjadi beberapa tahun lalu yang sebelumnya sudah saya tulis, namun tidak pernah saya publikasikan. Tapi semoga dengan menulis disini bisa membantu saya juga dalam mengembangkan potensi saya dalam menulis.
Cerita ini akan memiliki dua POV, yang dimana, update keduanya insyaAllah akan selalu berbarengan sedikit demi sedikit. Saya berharap selain bisa mengembangkan potensi menulis saya, apapun yang saya tulis bisa dipetik hal baiknya dan dibuang hal buruknya. Dan semoga bisa menghibur para reader budiman disini.
- Selamat Membaca -
INDEX
- Selamat Membaca -
INDEX
Fajar Adi Prabowo
Part 1
Part 2
Part 3
Part 4
Part 5
Part 6
Part 7
Part 8
Part 9
Part 10
Part 11
Part 12
Part 13
Part 14
Part 15
Azzahra Nafeeza Fatharani
Part 1
Part 2
Part 3
Part 4
Part 5
Part 6
Part 7
Part 8
Part 9
Part 10
Part 11
Part 12
Part 13
Part 14
Part 15
Part 1
Part 2
Part 3
Part 4
Part 5
Part 6
Part 7
Part 8
Part 9
Part 10
Part 11
Part 12
Part 13
Part 14
Part 15
Part 17
Part 18
Part 19
Part 20
Diubah oleh aranea 04-06-2023 12:26
percyjackson321 dan 7 lainnya memberi reputasi
8
4.2K
65
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
aranea
#11
Part 5
Fajar Adi Prabowo
Setelah mengecek handphone, aku masuk dan langsung ke kamarku tanpa mempedulikan Zahra yang sedang mengobrol dengan Fitri. Setibanya di kamar, aku langsung menjatuhkan badanku di kasur, karena mataku terasa berat dan perih.
Aku terbangun karena adzan magrib. Bapak mengajakku untuk shalat di masjid, tapi karena aku ga enak badan, aku akan shalat dirumah saja. Selepas shalat, ibu mengajakku makan malam, tapi lagi-lagi aku tolak karena aku sedang kurang berselera. Aku memutuskan untuk menyiapkan keperluan untuk bekerja besok. Ga lama setelah itu, seseorang mengetuk pintu kamarku dan aku mempersilahkannya masuk, ternyata itu adalah Zahra
“Mas, makan dulu” katanya sambil membawa piring
“Ah, iya, kamu aja, saya ga lapar” ucapku
“Ish jangan gitu, kata ibu makan dulu. Apalagi cuaca dingin tadi mas ga pake jaket” katanya
“Pa. . pake kok” ucapku terbata-bata “Sadar ya” ucapku dalam hati
“Bohong, udah makan dulu. Apa perlu aku suapin?” tanyanya
“Ga usah, simpen aja, nanti saya makan” kataku
“Ga, aku pengen pastiin mas makan” katanya
“Ribet banget sih” kataku kesal
“Bodo, makan dulu cepet” katanya
“Yaudah mana sini” ucapku sambil merebut piring itu”
Aku lihat disitu ada nasi dan lauknya adalah telur rebus, dan sayur sop. Sebelumnya ibu jarang sekali masak seperti ini. Apa ibu ingin improvisasi. Aku memakan makanan itu dan rasanya ternyata sangat enak.
“Emang masakan ibu the best lah” ucapku dalam hati
Setelah habis, aku kembali ke ruang tengah bersama Zahra.
“Bu, tumben ibu masaknya kaya barusan, tapi enak loh” kataku
“Oh hehe, iya nak, itu Zahra yang masak hehe” ucap ibu
Waduh, malu maluin dah. Tapi ga nyangka Zahra bisa masak seenak ini. Bahkan bisa menyaingi masakan ibu.
“Oh gitu” ucapku gugup
“Gimana? Enak kan? Hehehe” goda Fitri
“Iya, enak kok” ucapku datar
Singkat cerita setelah shalat isya, aku berniat untuk tidur di kamarku. Saat aku hendak ke kamar, ibu memanggilku
“Kenapa bu?” tanyaku
“Temani istri kamu dong, masa kamu tinggal lagi” kataku
“Kan ada Fitri bu” ucapku
“Yaa temani aja, di kamar juga gapapa” kata ibu
“Yaudah kalau mau ke kamar, ke kamar aja” ucapku
“Nak, dia itu istri kamu, apa pantas kamu perlakukan dia kaya gitu?” ucap bapak
Aku hanya terdiam. Kalau bapak sudah berbicara, aku lebih baik menurut saja. Akupun mengajak Zahra untuk ke kamarku dan membawakan tasnya. Sementara mang Ujang berpamitan untuk kembali ke Bekasi.
“Kalau kamu nanti mau tidur, di kasur saja, biar saya gelar tikar disini” ucapku
“Jangan ish, nanti ibu sama bapak mikir macem-macem” katanya
“Engga, pintu nanti saya kunci, mereka ga akan tau” ucapku
“Aku aja yang di tikar” katanya
“Eh, apaan sih, engga engga, kamu nurut apa kata saya” kataku dengan nada sedikit meninggi
Saat itu ia terpaku diam tak bicara. Beberapa saat aku memperhatikannya masih terdiam tertunduk. Saat aku memanggilnya, ia tak menoleh, dan merasa diabaikan, aku mulai sedikit kesal lalu mendekatinya. Saat aku ada di hadapannya, ia langsung memalingkan pandangannya. Aku hendak membuatnya melihat kearahku, tapi dia memberontak seolah tak ingin disentuh. Matanya seperti yang sedang ketakutan.
“Zahra?” panggilku melemah
Ia tak menjawab. Aku mencoba memanggilnya lagi, tapi tetap tidak ada jawaban. Ia hanya duduk terdiam sambil meremas tangannya.
“Duh dia kenapa lagi” ucapku dalam hati
Saat itu ibu masuk ke kamarku dan melihat kondisi Zahra, ibu langsung bertanya-tanya padaku. Aku menjelaskan situasi yang terjadi, dan mengetahui hal itu, ibu langsung marah padaku
“Dia itu istri nak, kamu kenapa berbicara seperti itu?” kata ibu
“Bu, dari awal Fajar juga masih belum bisa nerima keadaan ini” jawabku
“Setidaknya kamu hargai dia, jangan kamu bentak dia. Wanita itu pada dasarnya rapuh dan mudah tersentuh” kata bapak
“Fajar cape pak ! ! !” kataku
*Plakk . . Satu tamparan bapak mendarat di pipiku
“Cukup, pak” ucap ibu yang sedang memeluk Zahra
Aku pergi keluar kamar dan memutuskan untuk menenangkan diri diluar. Beberapa saat aku berfikir memang salah aku berbicara seperti itu. Justru saat seperti ini aku malah mengingat wanita lain, Risma. Tak lama ibu datang dan duduk disampingku
“Kamu gapapa?” tanya ibu
“Gapapa” jawabku
“Kamu kenapa tiba-tiba kaya gini” kata ibu
“Gini gimana?” ucapku
“Ibu kenal kamu sebagai anak yang santun, tapi kenapa sekarang ucapan kamu meninggi” kata ibu
“Gapapa bu” kataku bohong
“Cerita aja sama ibu, siapa tau ibu bisa bantu” kata ibu
“Kalau Fajar cerita, ibu pasti ga suka” kataku
“Cerita aja” kata ibu
Aku menceritakan tentang Risma pada ibu, bagaimana aku menyukainya dulu, hingga aku merasa sakit karena akhirnya dia bukan jodohku.
“Kamu ga pernah bicara ini sama ibu” kata ibu
“Fajar mau kasih tau setelah ketemu keluarganya dan ngasih tau niat Fajar, tapi . . “ ucapku terhenti
“Tapi ternyata dia bukan jodoh kamu, dan Allah udah menggantinya dengan yang insyaAllah lebih baik untuk kamu” kata ibu
“Gatau kenapa Fajar belum bisa terima Zahra” kataku
“Pelan-pelan nak, ibu yakin kamu bisa lupain Risma itu dan mulai mencintai Zahra, seperti kamu menyukai Risma, mungkin lebih pada Zahra” kata ibu
“Terus Fajar harus gimana sekarang?” tanyaku
“Kamu sudah besar, kamu sudah dewasa, kamu tau harus apa” kata ibu “Ibu masuk dulu ya” lanjutnya
“Zahra gimana?” tanyaku spontan
Ibu menceritakan tentang Zahra, dan sontak aku kaget ketika ibu menceritakan tentang trauma yang Zahra miliki diwaktu kecil. Aku baru tahu kalau Zahra pernah mengalami kekerasan verbal yang membuatnya harus berkonsultasi dengan ahlinya. Ibu masuk kedalam dan menyuruhku untuk menemui Zahra
Mendengar itu, aku merasa sangat bersalah. Pada dasarnya, rasa trauma kebanyakan sulit terobati, memang bisa tapi ada yang butuh waktu lama. Entah berapa lama aku diluar, tapi saat itu waktu sudah menunjukkan jam sepuluh malam. Ga lama bapak keluar dan duduk disampingku
“Ibu udah cerita” kata bapak
“Ya, mau tampar lagi?” ucapku
“Engga. Maaf bapak seperti itu, tapi bapak ga mau sampai kamu berbuat gitu, karena itu dosa nak” kata bapak
“Iya, maaf” ucapku
“Yasudah, sekarang kamu masuk, udah malam. Minta maaf juga sama Zahra” kata bapak
“Iya pak” ucapku
Aku beranjak dan masuk ke dalam. Saat aku hendak membuka pintu kamarku, aku sedikit ragu, tapi kemudian aku beranikan diri dan membukanya. Aku melihat Zahra yang sedang terbaring disana. Aku duduk di kasur tepat disampingnya. Mungkin udah tidur.Aku menggerakan tanganku ke kepalanya dan ingin mengusap kepalanya, tapi akhirnya ga sampai ku sentuh
“Maaf” ucapku pelan
Setelah beberapa saat aku menggelar tikar dan duduk sejenak disitu.
“Mas” ucap Zahra tiba-tiba terbangun
“Eh, kebangun ya” kataku
“Engga, Zahra belum tidur ko” katanya
“Saya mau minta maaf soal tadi, saya ga tau kalau kamu punya trauma dimasa kecil, dan seharusnya saya ga seperti itu” kataku
“Gapapa kok mas, mungkin barusan masnya lagi cape banget” kata Zahra
“Engga, saya bener-bener minta maaf” ucapku
“Mas mau cerita?” tanyanya
“Cerita apa?” tanyaku
“Tentang wanita yang mas suka itu” katanya
Aku sedikit terperanjak ketika ia mendengar itu.
“Ga sengaja denger mas” katanya
“Yasudah, nanti aja saya ceritakan, sekarang kamu tidur aja, biar saya tidur disini” kataku
“Mas, aku ga mau debat lagi, tapi mas tidur disini aja” katanya
“Saya malu, atas sikap saya tadi” ucapku
“Aku bilang aku gamau debat mas” katanya
Aku terdiam sejenak kemudian mengikuti keinginannya. Aku menatap matanya, cukup lama aku menatapnya. Ini pertama kalinya aku melihatnya sedalam ini. Aku dapat melihat matanya yang sedikit memerah mungkin karena tadi menangis. Dan, ya, dia masih mengenakan cadarnya. Jujur saja, aku sedikit penassran dengan wajahnya, tapi gengsiku bilang untuk jangan memintanya membuka cadar. Biar dia saja yang inisiatif. Dan akhirnya, gengsiku memenangkan permainan. Seperti ini rasanya tidur dengan seorang istri? Karena ini pertama kalinya aku dan Zahra satu kamar, bahkan satu ranjang
“Yaudah kamu tidur” kataku
“Iya mas” katanya “Emm mas” panggilnya
“Kenapa?” jawabku
“Ngobrolnya jangan terlalu formal, pake ‘saya’ gitu. Mau ga kalau manggilnya aku/kamu?” katanya
“Em iya maaf, boleh kok” jawabku “Tapi maaf ya, kalau aku belum bisa memberikan yang terbaik, sekalipun itu sebuah rasa” kataku
“Semua butuh proses mas, aku ga akan memaksakan, biar waktu yang bicara” katanya
“Iya, jadi tidur?” ucapku
“Hehe, iya” katanya sambil mengangguk gemas
Iapun membaringkan lagi dan kali ini posisinya tidur miring menghadap kearahku.
“Mas, ngadep sini” katanya
“Em, iya” ucapku
Ketika aku menghadapnya, ia malah membalikkan badannya sambil tertawa
“Hehe, malu ah. Mimpi indah” katanya
“Dih” ucapku sambil terkekeh
Keesokan pagi, aku terbangun jam 4 pagi. Aku membangunkan Zahra dan bersiap untuk shalat subuh. Setelah adzan berkumandang, aku pamit untuk ke masjid. Selesai shalat, aku kembali dan seperti sebelumnya, Zahra sudah menunggu diteras depan.
“Kok disini?” tanyaku
“Emm, gapapa, yuk masuk” katanya
“Lah, kenapa ga dari tadi?” ucapku
“Kan nunggu mas pulang” katanya
“Ya maksudnya kenapa ga didalem nunggunya, kan bisa sambil ngelakuin hal lain” ucapku
“Yaa gapapa mas” katanya
Setelah kedalam, aku ke kamar untuk menyiapkan pakaian untuk bekerja hari ini. Betapa terkejutnya aku melihat baju yang sudah tergantung rapi didepan lemari.
“Aku yang siapin, mas. Tadi nanya ibu baju apa yang biasa mas pakai, katanya kalau senin kemeja oranye” kata Zahra
“Oh, iya makasih” kataku
“Masih jutek aja” katanya
“Jutek gini juga ganteng kan, kamu bilang sendiri” godaku
“Iiish . . . “ katanya sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
Iapun pergi keluar kamar. Disana aku melihatnya sedang bersama ibu yang sedang membuat sarapan. Aku menghampiri ibu sambil membawa dasi
“Bu, tolong pakein dasi dong” kataku
“Ah, kamu ini umur udah 21 masih aja ga bisa pake dasi” kata ibu sambil memukulku dengan dasi itu
“Sini, biar Zahra aja” kata Zahra
Dengan lihai ia memakaikan dasi padaku, seperti yang sudah terbiasa
“Aku biasanya pakein dasi kak Zidan, diajarin ummi waktu ngiketin dasi ke alhmarhum abi dulu” kata Zahra
“Oh gitu” ucapku singkat
Setelah selesai, kami semua sarapan bersama. Setelah sarapan, Zahra memberikanku kotak makan, katanya untuk makan siang biar aku ga jajan tempat kerja. Aku pami pada ibu dan bapak. Zahra dan Fitripun salim padaku.
Setibanya aku disekolah, aku disambut oleh penjaga sekolah yang sudah tiba disana.
“Weh, pak Fajar. Kemaren-kemaren kemana pak? Liburan?” Tanya beliau
“Engga pak, emm itu, emm saya nikah” kataku
“Hah? Serius pak?” katanya tak percaya
“Serius pak, tapi ya cuma keluarga dekat aja sih” ucapku
“Oalah gitu, tau gitu bapak dateng. Sama orang mana nih?” katanya
“Hehe, jauh pak, Bekasi” kataku “Saya buka ruangan dulu pak” ucapku
“Iya monggo” katanya
Singkat cerita, beberapa rekanku yang lain sudah berdatangan dan pekerjaankupun dimulai. Selama bekerja, mereka juga menanyakan hal yang sama yang ditanyakan oleh penjaga sekolah tadi. Aku menjelaskan kalau aku menikah.
“Eh bentar deh, dulu bu Risma nikah kan bilangnya. Terus ni Fajar tau-tau udah nikah aja. Jangan jangan . . . “ ucap bu Lina
“Engga bu, saya nikah sama orang Bekasi” ucapku
“Oalah, kirain hehe. Soalnya tiap kerja kalian kayanya deket gitu” katanya
“Ya namanya juga rekan kerja bu” ucapku
Diubah oleh aranea 03-03-2023 10:37
oktavp dan 3 lainnya memberi reputasi
4
Tutup