- Beranda
- Stories from the Heart
Bukan Rama Shinta
...
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.8KAnggota
Tampilkan semua post
TS
chrishana
#17
Chapter 11 - Bertemu Kembali
Angkutan umum berukuran besar yang memiliki panjang kurang lebih delapan belas meter dengan tinggi empat meter yang mempunyai mesin dengan isi silinder 11.000 cc turbocharging dengan segera bergerak menuju ke tempat pemberhentian berikutnya. Hanya ada beberapa penumpang saja di dalamnya, termasuk Rama dan Shinta. Walaupun mereka adalah teman satu kelas dan satu meja, mereka duduk di area yang berbeda di dalam bus. Sesekali mereka saling mencuri pandangan mereka untuk melihat satu sama lain.
Tepat lima menit kemudian, bus tersebut telah sampai di tempat pemberhentian berikutnya. Tempat yang berfungsi untuk menaikkan dan menurunkan penumpang yang terbuat dari bahan alumunium, baja, dan kaca. Di sana sudah berdiri salah satu murid SMA Bumi Yadhika dengan tinggi 160 sentimeter yang memakai jaket sweater berwarna biru muda. Dia dengan segera masuk ke dalam bus seraya pintunya terbuka.
Rama yang sedang menatap keluar jendela mengalihkan pandangannya ke arah suara yang baru saja dia dengar dari seorang perempuan berwajah cantik dengan aroma parfum yang lembut. Dia berdiri di samping bangku barisan yang diduduki Rama yang tersisa satu bangku di sebelahnya.
Tidak hanya Rama, murid perempuan berwajah manis yang masih berumur enam belas tahun bernama Shinta juga memandanginya sekilas. Terlihat Rama berdiri untuk memberinya tempat duduk di pinggir jendela. Tak lupa, perempuan yang memakai sweater biru muda itu mengucapkan terima kasih kepada Rama.
Beberapa detik kemudian, bus dengan mesin 445 tenaga kuda tersebut pergi meninggalkan halte dengan pelan untuk menuju ke tempat pemberhentian selanjutnya. Murid dari SMA Bumi Yadhika yang duduk di samping Rama terus memandangi pemandangan jalanan ibukota di pagi hari walaupun tertutup titik embun yang bersemat di kaca jendela.
Kedua mata Rama yang tadinya ikut melihat keluar jendela, kini berpaling untuk melihat perempuan yang duduk di barisan bangku sebelah kiri bus. Shinta nampak sedang menggosok-gosokan telapak tangannya dan meniupnya pelan seraya pandangannya terus melihat keluar jendela. Tubuhnya juga nampak bergetar karena menahan dinginnya suhu di dalam bus yang masih dalam keadaan sepi.
Rama yang tak tega melihat Shinta menggigil, langsung membuka sweaterhitam bermotif Razer. Dia lantas beranjak dari kursinya dan duduk tepat di samping Shinta. Murid perempuan berwajah cantik dan berambut hitam hingga menyentuh bahu itu pun lantas memalingkan pandangan. Kedua mata Shinta dan Rama kini saling bertatapan seraya Rama mendekapkan sweater miliknya untuk menghangatkan tubuh Shinta. Setelah itu, dia kembali ke tempat duduknya semula.
Perbincangan yang sangat singkat. Setelah berkenalan, Vina kembali memandangi pemandangan jalan ibukota di pagi hari dari balik jendela. Sementara itu, Shinta terus mencium sweaterhitam yang didekapkan ke tubuhnya oleh Rama. Aroma maskulin yang menempel pada sweater tersebut membuat Shinta merasa lebih nyaman dan sesekali dia tersenyum. Rama yang melihat Shinta tersenyum dari pantulan kaca jendela juga ikut tersenyum.
Gawai buatan Amerika Serikat berlogo buah apel berdering. Terlihat nama Jonathan pada layar tersebut. Pemilik dari telepon genggam itu pun langsung menjawab teleponnya.
Mahendra Setiawan dan Jonathan Adi Prasetyo adalah sepasang sahabat yang berteman semenjak mereka duduk di Sekolah Menengah Pertama. Kedua orang tua mereka sama-sama memiliki pasar swalayan. Walaupun kedua orang tua mereka mempunyai rivalitas yang tinggi, tetapi itu tidak merubah hubungan Mahendra dan Jonathan. Setelah bisnis kedua orang tua mereka diwariskan, mereka justru saling melengkapi. Jika Mahendra kehabisan stok produk penjualan, Jonathan yang akan mengisi kekosongan, dan begitu juga sebaliknya. Maka dari itu, toko mereka tidak pernah sepi pengunjung dan barangnya selalu siap.
Setelah mengambil stok beras di gudang penyimpanan dan di masukan ke dalam mobil peti kemas berukuran kecil, Mahendra berangkat menuju ke toko milik Jonathan dengan supirnya menyusuri padatnya lalu lintas ibukota di waktu matahari sedang berdiri di atas cakrawala, bercengkrama dengan awan dan langit. Sekitar satu jam kemudian, Mahendra pun tiba. Salah satu pegawai toko tersebut mengantarkan Mahendra ke kantor Jonathan.
Mahendra langsung merubah posisi duduknya. Ini adalah kebiasaan Mahendra jika sedang berpikir akan sesuatu, dia langsung merubah posisi duduknya dengan menyelonjorkan kaki, bersandar, dan menatap langit-langit.
Mahendra dan Jonathan saling menertawai candaan mereka. Walaupun terkadang candaan yang mereka lemparkan ada yang berlebihan, tetapi mereka tidak pernah sampai bertengkar. Justru mereka saling menertawai apa yang mereka lakukan. Bahkan, para pesaing mereka yang lain pun tidak percaya bahwa mereka bisa saling bekerja sama saling melengkapi tanpa ada perjanjian kontrak di antara kedua perusahaan mereka.
Aktivitas Mahendra di tokonya berjalan seperti biasa. Tidak ada kendala sama sekali. Walaupun tokonya tutup di pukul sepuluh malam, Mahendra lebih memilih untuk pulang lebih awal demi menghindari lalu lintas ibukota yang mengganas jika warna langit sudah berubah menjadi lembayung senja. Dia masih setia menggunakan jasa antar jemput dari Pak Karmin, lelaki paruh baya yang masih mencari nafkah untuk istrinya tanpa mengandalkan keuangan anak-anaknya yang kini sudah mandiri dan berumah tangga.
Mereka berdua berjalan perlahan menuju lobi kampus. Menunggu kedatangan dari Rendy Adrian Mahardika, suami dari Devianna Azzahra, teman yang juga berprofesi sebagai dosen di salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta. Walaupun usia mereka berbeda delapan tahun, tidak menjadi penghalang untuk pertemanan mereka. Bahkan, Mitha telah menganggap Anna sebagai adiknya dan menjadi tempat curahan hati Anna yang kadang cemburu melihat suaminya bermesraan dengan istri keduanya. Mitha juga mengetahui kondisi Anna saat ini yang butuh perhatian lebih dibanding temannya yang lain.
Beberapa menit kemudian, sebuah mobil buatan Jerman dengan kode mesin N20B20 yang mempunyai empat silinder datang menghampiri Mitha dan Anna. Ada seorang pria yang sangat tampan mengendarai mobil F30 tersebut. Membuka jendela dan menyapa keduanya.
Hanya butuh waktu tiga puluh menit untuk sampai di restoran yang dituju. Setelah memarkirkan kendaraan, mereka bertiga masuk ke area restoran dan memesan makanan. Sambil menunggu makanan yang dipesan datang, mereka bertiga sedikit berbincang.
Setelah selesai makan malam, Rendy dan Anna mengantar Mitha sampai di rumahnya yang terletak di bagian selatan ibukota setelah terjebak selama dua jam dari ganasnya para pengendara kendaraan di jalanan kota Jakarta. Rendy dan Anna lebih memilih untuk langsung pulang ke rumah mereka setelah menurunkan Mitha di depan rumahnya. Di dalam rumah, sudah ada Mahendra yang menunggu.
Mahendra yang sedang asyik menonton pertandingan gulat yang dibintangi oleh Asuka tiba-tiba saja merintih kesakitan seraya telinganya ditarik oleh istrinya yang cemburu karena suaminya menonton video dengan wanita berpakaian terbuka.
Hanya membutuhkan waktu selang beberapa menit, kehadiran yang diharapkan muncul dari balik pintu rumah mereka. Rama telah kembali ke rumah dengan selamat tanpa ada luka sedikit pun.
Tepat lima menit kemudian, bus tersebut telah sampai di tempat pemberhentian berikutnya. Tempat yang berfungsi untuk menaikkan dan menurunkan penumpang yang terbuat dari bahan alumunium, baja, dan kaca. Di sana sudah berdiri salah satu murid SMA Bumi Yadhika dengan tinggi 160 sentimeter yang memakai jaket sweater berwarna biru muda. Dia dengan segera masuk ke dalam bus seraya pintunya terbuka.
“Gue boleh duduk di sini?”
Rama yang sedang menatap keluar jendela mengalihkan pandangannya ke arah suara yang baru saja dia dengar dari seorang perempuan berwajah cantik dengan aroma parfum yang lembut. Dia berdiri di samping bangku barisan yang diduduki Rama yang tersisa satu bangku di sebelahnya.
“Gue mau di pinggir jendela boleh?” tanya gadis itu.
Tidak hanya Rama, murid perempuan berwajah manis yang masih berumur enam belas tahun bernama Shinta juga memandanginya sekilas. Terlihat Rama berdiri untuk memberinya tempat duduk di pinggir jendela. Tak lupa, perempuan yang memakai sweater biru muda itu mengucapkan terima kasih kepada Rama.
Beberapa detik kemudian, bus dengan mesin 445 tenaga kuda tersebut pergi meninggalkan halte dengan pelan untuk menuju ke tempat pemberhentian selanjutnya. Murid dari SMA Bumi Yadhika yang duduk di samping Rama terus memandangi pemandangan jalanan ibukota di pagi hari walaupun tertutup titik embun yang bersemat di kaca jendela.
Kedua mata Rama yang tadinya ikut melihat keluar jendela, kini berpaling untuk melihat perempuan yang duduk di barisan bangku sebelah kiri bus. Shinta nampak sedang menggosok-gosokan telapak tangannya dan meniupnya pelan seraya pandangannya terus melihat keluar jendela. Tubuhnya juga nampak bergetar karena menahan dinginnya suhu di dalam bus yang masih dalam keadaan sepi.
Rama yang tak tega melihat Shinta menggigil, langsung membuka sweaterhitam bermotif Razer. Dia lantas beranjak dari kursinya dan duduk tepat di samping Shinta. Murid perempuan berwajah cantik dan berambut hitam hingga menyentuh bahu itu pun lantas memalingkan pandangan. Kedua mata Shinta dan Rama kini saling bertatapan seraya Rama mendekapkan sweater miliknya untuk menghangatkan tubuh Shinta. Setelah itu, dia kembali ke tempat duduknya semula.
“Manis banget sih lo,” ujar perempuan yang duduk di samping Rama.
“Pacar lo? Lagi marahan?” tanya perempuan itu.
“Bukan, dia satu kelas sama gue,” jawab Rama singkat.
“Gue Vina, kelas sebelas IPS,” Vina mengajak Rama berkenalan.
“Rama,” balas Rama.
“Gue baru liat lo kayaknya. Lo anak baru?” tanya Vina.
“Iya, gue baru masuk,” jawab Rama.
“Ooh, pantesan. Lo emang selalu berangkat pagi-pagi?”
“Gak juga sih. Kebetulan, sepeda gue rusak. Jadi mau gak mau mesti berangkat pagi naik Transjakarta,” ujar Rama.
“Pacar lo? Lagi marahan?” tanya perempuan itu.
“Bukan, dia satu kelas sama gue,” jawab Rama singkat.
“Gue Vina, kelas sebelas IPS,” Vina mengajak Rama berkenalan.
“Rama,” balas Rama.
“Gue baru liat lo kayaknya. Lo anak baru?” tanya Vina.
“Iya, gue baru masuk,” jawab Rama.
“Ooh, pantesan. Lo emang selalu berangkat pagi-pagi?”
“Gak juga sih. Kebetulan, sepeda gue rusak. Jadi mau gak mau mesti berangkat pagi naik Transjakarta,” ujar Rama.
Perbincangan yang sangat singkat. Setelah berkenalan, Vina kembali memandangi pemandangan jalan ibukota di pagi hari dari balik jendela. Sementara itu, Shinta terus mencium sweaterhitam yang didekapkan ke tubuhnya oleh Rama. Aroma maskulin yang menempel pada sweater tersebut membuat Shinta merasa lebih nyaman dan sesekali dia tersenyum. Rama yang melihat Shinta tersenyum dari pantulan kaca jendela juga ikut tersenyum.
“Gue baru inget, Shin. Gue pernah liat lo, dan selalu liat lo.”
****
****
Gawai buatan Amerika Serikat berlogo buah apel berdering. Terlihat nama Jonathan pada layar tersebut. Pemilik dari telepon genggam itu pun langsung menjawab teleponnya.
“Halo. Kenapa, Jon?”
“Hen, lu masih ada stok beras 25 kilo gak?”tanya Jonathan dari balik telepon.
“Bentar,” Mahendra membuka file stok gudang yang tersimpan di laptopnya.
“Ad gocap, Jon,” jawab Mahendra.
“Gue minta jigo deh, Hen. Stok gue abis,”
“Ya udah, nanti dianter. Tunggu ya,”
“Thank you, brother!”
“Hen, lu masih ada stok beras 25 kilo gak?”tanya Jonathan dari balik telepon.
“Bentar,” Mahendra membuka file stok gudang yang tersimpan di laptopnya.
“Ad gocap, Jon,” jawab Mahendra.
“Gue minta jigo deh, Hen. Stok gue abis,”
“Ya udah, nanti dianter. Tunggu ya,”
“Thank you, brother!”
Mahendra Setiawan dan Jonathan Adi Prasetyo adalah sepasang sahabat yang berteman semenjak mereka duduk di Sekolah Menengah Pertama. Kedua orang tua mereka sama-sama memiliki pasar swalayan. Walaupun kedua orang tua mereka mempunyai rivalitas yang tinggi, tetapi itu tidak merubah hubungan Mahendra dan Jonathan. Setelah bisnis kedua orang tua mereka diwariskan, mereka justru saling melengkapi. Jika Mahendra kehabisan stok produk penjualan, Jonathan yang akan mengisi kekosongan, dan begitu juga sebaliknya. Maka dari itu, toko mereka tidak pernah sepi pengunjung dan barangnya selalu siap.
Setelah mengambil stok beras di gudang penyimpanan dan di masukan ke dalam mobil peti kemas berukuran kecil, Mahendra berangkat menuju ke toko milik Jonathan dengan supirnya menyusuri padatnya lalu lintas ibukota di waktu matahari sedang berdiri di atas cakrawala, bercengkrama dengan awan dan langit. Sekitar satu jam kemudian, Mahendra pun tiba. Salah satu pegawai toko tersebut mengantarkan Mahendra ke kantor Jonathan.
“Jon!” panggil Mahendra dari balik pintu.
“Wih, bos besar.” sambut Jonathan seraya membuka pintu kantornya.
“Permintaan lo udah gue penuhin tuh,” ujar Mahendra.
“Wih, thank you, Hen. Emang lo the bestbanget dah,”
“Gimana, lo udah bilang ke anak lo?” tanya Mahendra.
“Udah,” jawab Jonathan singkat.
“Terus?”
“Dia langsung mau,”
“Kok bisa?”
“Ya pakai cara yang gue bilang kemarin,”
“Dia percaya?”
“Yoi!”
“Wih, bos besar.” sambut Jonathan seraya membuka pintu kantornya.
“Permintaan lo udah gue penuhin tuh,” ujar Mahendra.
“Wih, thank you, Hen. Emang lo the bestbanget dah,”
“Gimana, lo udah bilang ke anak lo?” tanya Mahendra.
“Udah,” jawab Jonathan singkat.
“Terus?”
“Dia langsung mau,”
“Kok bisa?”
“Ya pakai cara yang gue bilang kemarin,”
“Dia percaya?”
“Yoi!”
Mahendra langsung merubah posisi duduknya. Ini adalah kebiasaan Mahendra jika sedang berpikir akan sesuatu, dia langsung merubah posisi duduknya dengan menyelonjorkan kaki, bersandar, dan menatap langit-langit.
“Mikirin apaan lagi sih lo, Hen?” tanya Jonathan yang sudah tahu kebiasaan sahabatnya.
“Gue lagi mikir. Cara lo yang bagus, atau emang anak lo yang bego, Jon. Kok bisa ya dikibulin begitu,” ujar Mahendra meledek.
“Yee, ngehe lo!” Jonathan melempar kertas ke atas wajah Mahendra yang sedang menatap langit-langit.
“Hahahahaha! Lagian percaya aja sama cerita karangan begitu,”
“Lo coba juga ngomong ke anak lo Hen. Kalau dia percaya juga, berarti anak kita sama-sama bego. Gampang dikibulin orang tuanya. Hahahahaha!” ujar Jonathan.
“Kasian banget si Shinta. Punya bapak kayak gini,”
“Gue kalau jadi Rama juga nyesel, Hen. Punya bapak kayak lo. Hahahahaha!”
“Gue cabut dulu, Jon. Sopir gue nungguin,” Mahendra beranjak dari duduknya.
“Naik apaan lo, Hen?”
“Kendaraan dinas, lah. Mobil box.”
“Gue lagi mikir. Cara lo yang bagus, atau emang anak lo yang bego, Jon. Kok bisa ya dikibulin begitu,” ujar Mahendra meledek.
“Yee, ngehe lo!” Jonathan melempar kertas ke atas wajah Mahendra yang sedang menatap langit-langit.
“Hahahahaha! Lagian percaya aja sama cerita karangan begitu,”
“Lo coba juga ngomong ke anak lo Hen. Kalau dia percaya juga, berarti anak kita sama-sama bego. Gampang dikibulin orang tuanya. Hahahahaha!” ujar Jonathan.
“Kasian banget si Shinta. Punya bapak kayak gini,”
“Gue kalau jadi Rama juga nyesel, Hen. Punya bapak kayak lo. Hahahahaha!”
“Gue cabut dulu, Jon. Sopir gue nungguin,” Mahendra beranjak dari duduknya.
“Naik apaan lo, Hen?”
“Kendaraan dinas, lah. Mobil box.”
Mahendra dan Jonathan saling menertawai candaan mereka. Walaupun terkadang candaan yang mereka lemparkan ada yang berlebihan, tetapi mereka tidak pernah sampai bertengkar. Justru mereka saling menertawai apa yang mereka lakukan. Bahkan, para pesaing mereka yang lain pun tidak percaya bahwa mereka bisa saling bekerja sama saling melengkapi tanpa ada perjanjian kontrak di antara kedua perusahaan mereka.
Aktivitas Mahendra di tokonya berjalan seperti biasa. Tidak ada kendala sama sekali. Walaupun tokonya tutup di pukul sepuluh malam, Mahendra lebih memilih untuk pulang lebih awal demi menghindari lalu lintas ibukota yang mengganas jika warna langit sudah berubah menjadi lembayung senja. Dia masih setia menggunakan jasa antar jemput dari Pak Karmin, lelaki paruh baya yang masih mencari nafkah untuk istrinya tanpa mengandalkan keuangan anak-anaknya yang kini sudah mandiri dan berumah tangga.
****
“Mitha, mau langsung pulang?” tanya temannya yang juga seorang Dosen di salah satu perguruan tinggi di Jakarta.
“Oh, iya Nu. Aku langsung pulang,” jawab wanita yang bernama lengkap Paramitha Setyodewi seraya membereskan mejanya.
“Kamu buru-buru, nggak? Kita, makan dulu, yuk!”
“Terima kasih, Nu. Aku mau langsung pulang bareng sama Anna,” jawab Mitha.
“Kita duluan ya, Pak Wisnu!” ujar Anna seraya menghampiri Mitha lalu pergi meninggalkan area ruang dosen.
“Dia masih usaha deketin kamu, Mbak?” tanya Anna.
“Ya, begitu deh,” jawab Mitha.
“Padahal kamu masih bersuami ya. Tapi kayak gak ada berhentinya deketin kamu.”
“Aku juga risih sebenarnya, tapi gak enak bilang ke dia. Takut suasananya berubah di sini.”
“Oh iya, Mbak. Kebetulan aku dijemput Rendy. Gak bawa mobil sendiri. Nanti aku kenalin ke suamiku.”
“Boleh-boleh! Penasaran aku sama suamimu. Cuma bisa lihat di foto doang,”
“Mitha, mau langsung pulang?” tanya temannya yang juga seorang Dosen di salah satu perguruan tinggi di Jakarta.
“Oh, iya Nu. Aku langsung pulang,” jawab wanita yang bernama lengkap Paramitha Setyodewi seraya membereskan mejanya.
“Kamu buru-buru, nggak? Kita, makan dulu, yuk!”
“Terima kasih, Nu. Aku mau langsung pulang bareng sama Anna,” jawab Mitha.
“Kita duluan ya, Pak Wisnu!” ujar Anna seraya menghampiri Mitha lalu pergi meninggalkan area ruang dosen.
“Dia masih usaha deketin kamu, Mbak?” tanya Anna.
“Ya, begitu deh,” jawab Mitha.
“Padahal kamu masih bersuami ya. Tapi kayak gak ada berhentinya deketin kamu.”
“Aku juga risih sebenarnya, tapi gak enak bilang ke dia. Takut suasananya berubah di sini.”
“Oh iya, Mbak. Kebetulan aku dijemput Rendy. Gak bawa mobil sendiri. Nanti aku kenalin ke suamiku.”
“Boleh-boleh! Penasaran aku sama suamimu. Cuma bisa lihat di foto doang,”
Mereka berdua berjalan perlahan menuju lobi kampus. Menunggu kedatangan dari Rendy Adrian Mahardika, suami dari Devianna Azzahra, teman yang juga berprofesi sebagai dosen di salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta. Walaupun usia mereka berbeda delapan tahun, tidak menjadi penghalang untuk pertemanan mereka. Bahkan, Mitha telah menganggap Anna sebagai adiknya dan menjadi tempat curahan hati Anna yang kadang cemburu melihat suaminya bermesraan dengan istri keduanya. Mitha juga mengetahui kondisi Anna saat ini yang butuh perhatian lebih dibanding temannya yang lain.
Beberapa menit kemudian, sebuah mobil buatan Jerman dengan kode mesin N20B20 yang mempunyai empat silinder datang menghampiri Mitha dan Anna. Ada seorang pria yang sangat tampan mengendarai mobil F30 tersebut. Membuka jendela dan menyapa keduanya.
“Ini suamiku, Mbak. Namanya Rendy,” ucap Anna dari kursi penumpang di bagian depan.
“Hai, Rendy. Aku Mitha,”
“Rendy, Mbak. Kita mau makan dulu atau mau langsung pulang?” Rendy menawarkan.
“Makan dulu aja, sayang. Aku laper.” ujar Anna.
“Ya udah, Mbak Mitha ikut kita dulu gak apa-apa, kan? Kita gak cuekin kok, tenang aja. Hahahahaha!”
“Boleh, mau makan di mana?” tanya Mitha.
“Aku mau bebek,” ucap Anna.
“Bebek itu gak sehat. Yang lain aja,” ujar Rendy.
“Aah, aku mau bebek, sayang,” ujar Anna sambil bermanja dengan suaminya.
“Heh! Ini gue berasa nonton drama di belakang,” ujar Mitha.
“Hahahaha! Anna emang biasa begini, Mbak. Maklumin aja,”
“Di kampus kok beda. Galak dia kalau ngajar,” ucap Mitha.
“Ya masa aku manja-manjaan juga sama mahasiswa, Mbak,”
“Hai, Rendy. Aku Mitha,”
“Rendy, Mbak. Kita mau makan dulu atau mau langsung pulang?” Rendy menawarkan.
“Makan dulu aja, sayang. Aku laper.” ujar Anna.
“Ya udah, Mbak Mitha ikut kita dulu gak apa-apa, kan? Kita gak cuekin kok, tenang aja. Hahahahaha!”
“Boleh, mau makan di mana?” tanya Mitha.
“Aku mau bebek,” ucap Anna.
“Bebek itu gak sehat. Yang lain aja,” ujar Rendy.
“Aah, aku mau bebek, sayang,” ujar Anna sambil bermanja dengan suaminya.
“Heh! Ini gue berasa nonton drama di belakang,” ujar Mitha.
“Hahahaha! Anna emang biasa begini, Mbak. Maklumin aja,”
“Di kampus kok beda. Galak dia kalau ngajar,” ucap Mitha.
“Ya masa aku manja-manjaan juga sama mahasiswa, Mbak,”
Hanya butuh waktu tiga puluh menit untuk sampai di restoran yang dituju. Setelah memarkirkan kendaraan, mereka bertiga masuk ke area restoran dan memesan makanan. Sambil menunggu makanan yang dipesan datang, mereka bertiga sedikit berbincang.
“Kamu masih dideketin dosen gila itu, Mbak?” tanya Rendy.
“Kamu tau dari mana?” ujar Mitha.
“Anna kalau ada apa-apa kan cerita ke aku,” jawab Rendy.
“Ooh, iya. Masih usaha dia.” jawab Mitha.
“Oh iya, sayang. Kamu bisa bantuin Mbak Mitha nggak?” tanya Anna.
“Bantu apa?”
“Bantu cari tau siapa si Wisnu itu. Dia tuh kayak freakbanget. Kalau belum dapat, belum berhenti kayaknya,” jawab Anna.
“Nama lengkapnya siapa?” tanya Rendy.
“Wisnu Adinugraha,” jawab Mitha.
“Gimana ya?”
“Kamu kan bisa minta bantuan Danu. Bantu cari tau ya, sayang. Demi aku juga loh,” ujar Anna merayu suaminya.
“Ya udah iya, nanti aku coba cari tau,”
“Kamu tau dari mana?” ujar Mitha.
“Anna kalau ada apa-apa kan cerita ke aku,” jawab Rendy.
“Ooh, iya. Masih usaha dia.” jawab Mitha.
“Oh iya, sayang. Kamu bisa bantuin Mbak Mitha nggak?” tanya Anna.
“Bantu apa?”
“Bantu cari tau siapa si Wisnu itu. Dia tuh kayak freakbanget. Kalau belum dapat, belum berhenti kayaknya,” jawab Anna.
“Nama lengkapnya siapa?” tanya Rendy.
“Wisnu Adinugraha,” jawab Mitha.
“Gimana ya?”
“Kamu kan bisa minta bantuan Danu. Bantu cari tau ya, sayang. Demi aku juga loh,” ujar Anna merayu suaminya.
“Ya udah iya, nanti aku coba cari tau,”
Setelah selesai makan malam, Rendy dan Anna mengantar Mitha sampai di rumahnya yang terletak di bagian selatan ibukota setelah terjebak selama dua jam dari ganasnya para pengendara kendaraan di jalanan kota Jakarta. Rendy dan Anna lebih memilih untuk langsung pulang ke rumah mereka setelah menurunkan Mitha di depan rumahnya. Di dalam rumah, sudah ada Mahendra yang menunggu.
“Eeh! Ini kerjaan kamu kalau aku gak di rumah!” Mitha menjewer kuping Mahendra.
Mahendra yang sedang asyik menonton pertandingan gulat yang dibintangi oleh Asuka tiba-tiba saja merintih kesakitan seraya telinganya ditarik oleh istrinya yang cemburu karena suaminya menonton video dengan wanita berpakaian terbuka.
“Aduh! Apaan sih!” ucap Mahendra seraya menahan sakitnya.
“Ngeliatin apa kamu tuh!”
“Smackdown. Kayak yang gak tau lakinya aja,”
“Kan nonton yang mainnya cowok bisa. Kenapa mesti cewek sih!” protes Mitha.
“Ya kebetulan aja lewat timelineini,”
“Gimana, kamu udah ngomong sama Rama?” tanya Mitha.
“Anaknya aja belum pulang,” jawab Mahendra.
“Ya ditelpon dong! Udah jam berapa ini! Jangan-jangan dipukulin lagi tuh sama seniornya,” Mitha khawatir.
“Rama itu udah gede, Ma. Nanti juga pulang,”
“Ngeliatin apa kamu tuh!”
“Smackdown. Kayak yang gak tau lakinya aja,”
“Kan nonton yang mainnya cowok bisa. Kenapa mesti cewek sih!” protes Mitha.
“Ya kebetulan aja lewat timelineini,”
“Gimana, kamu udah ngomong sama Rama?” tanya Mitha.
“Anaknya aja belum pulang,” jawab Mahendra.
“Ya ditelpon dong! Udah jam berapa ini! Jangan-jangan dipukulin lagi tuh sama seniornya,” Mitha khawatir.
“Rama itu udah gede, Ma. Nanti juga pulang,”
Hanya membutuhkan waktu selang beberapa menit, kehadiran yang diharapkan muncul dari balik pintu rumah mereka. Rama telah kembali ke rumah dengan selamat tanpa ada luka sedikit pun.
“Assalamu ‘alaikum,”
“Wa ‘alaikum salam,”jawab Mahendra dan Mitha.
“Nah, kebetulan. Sini duduk, Ram,” Mahendra menggeser posisi duduknya.
“Ada apa, Pa?”
“Ada yang mau Papa bicarakan,” ucap Mahendra dengan tegas.
“Wa ‘alaikum salam,”jawab Mahendra dan Mitha.
“Nah, kebetulan. Sini duduk, Ram,” Mahendra menggeser posisi duduknya.
“Ada apa, Pa?”
“Ada yang mau Papa bicarakan,” ucap Mahendra dengan tegas.
tariganna dan unhappynes memberi reputasi
2
