Kaskus

Story

chrishanaAvatar border
TS
chrishana
Bukan Rama Shinta
Bukan Rama Shinta

Quote:



Spoiler for Perkenalan:



Quote:


Spoiler for My Other Stories:
Diubah oleh chrishana 30-01-2023 18:29
unhappynesAvatar border
Bgssusanto88Avatar border
fenrirlensAvatar border
fenrirlens dan 5 lainnya memberi reputasi
6
3.3K
30
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread51.8KAnggota
Tampilkan semua post
chrishanaAvatar border
TS
chrishana
#16
Chapter 10 - Hadirnya Menyelamatkan
“Mau gue anterin pulang, Shin?” Dio menawarkan jasanya.

“Gak usah, makasih. Lo udah neraktir gue makan. Masa pulangnya dianterin juga,” ujar Shinta.

“Gak apa-apa, Shin,”

“Gak usah. Gue balik sendiri aja. Dah, Dio!” Shinta melambaikan tangannya dan meninggalkan Dio yang berdiri di samping motornya.

Shinta dan Dio terlalu asyik dengan obrolan mereka sampai mereka lupa akan masa yang terus berjalan hingga pusat tata surya yang berjarak satu juta kilometer dari bumi menenggelamkan diri. Langit yang sedang bertransisi dari siang menuju malam turut menyaksikan padatnya jalan raya di depan sekolah Bumi Yadhika. Tetapi, Shinta tidak akan merasakan ganasnya jalanan ibukota di waktu yang bertepatan dengan orang-orang yang sedang dalam perjalanan dari tempat mereka mencari nafkah. Dia lebih memilih bus yang mempunyai jalur khusus dan steril dari kendaraan lain.
“Saldo anda tidak cukup,”

Mesin tap inyang ada di halte bus tersebut memunculkan untaian kalimat yang membuat Shinta kaget serta kesal. Pasalnya, hari sudah mulai malam, tetapi saldo di kartu uang elektroniknya justru tidak cukup untuk menggunakan bus. Shinta pun berjalan menuju area luar halte dan berdiri mematung dan menyesali tawaran dari Dio untuk mengantarkan dia pulang. Sialnya, telepon genggam pintar miliknya justru kehabisan baterai. Shinta benar-benar panik karena tidak bisa pulang ke rumahnya.

Tak lama kemudian, ada sosok lelaki yang dibenci oleh Shinta. Dia berjalan di depan Shinta seakan-akan Shinta adalah makhluk tak berwujud. Dengan santainya dia mengeluarkan kartu uang elektroniknya untuk ditempelkan di atas mesin tap in. Pegawai bus yang saat itu melihat, langsung menghentikannya.
“Mas, itu temannya kehabisan saldo. Gak punya cukup uang untuk top up. Bisa dipinjamkan dulu? Kasihan dia dari tadi berdiri terus,” ujar pegawai perempuan yang memakai rompi biru tersebut.

Lelaki yang dibenci oleh Shinta langsung menghampirinya. Berdiri di depannya sambil mengeluarkan uang lima puluh ribu berwarna biru. Shinta hanya bisa berdiri diam dan menatap wajahnya yang penuh luka.
“Nih, pakai dulu. Gantinya nanti aja,” ujar Rama.

Shinta yang saat itu membutuhkan uang untuk mengisi ulang saldonya dengan berat hati menerima. Namun, bukannya berjalan menuju tempat pengisian saldo, dia justru masih diam mematung melihat Rama dan memegangi dada bagian kiri. Dia merasakan debar jantung yang kencang. Lebih kencang dari sebelumnya.
“Kenapa rasanya beda?”ujar Shinta dari dalam hati.

“Shinta!” Rama memanggil.

Lamunannya seketika buyar ketika Rama memanggil namanya. Ini adalah kali pertama nama Shinta keluar dari mulut Rama.
“Lo mau jadi pembina upacara berdiri di situ terus?” ujar Rama.

Shinta langsung bergegas mengisi saldo uang elektroniknya. Hingga akhirnya Rama dan Shinta berhasil masuk ke area tunggu bus yang saat itu sedang ramai antrean karena bertepatan dengan jam pulang kantor. Mereka berdua antre di tempat yang sama tetapi tak ada satu patah kata keluar dari mulut mereka untuk membuka obrolan. Shinta hanya bisa mencuri pandang dengan melirik ke wajah Rama yang terluka. Dia penasaran dengan luka yang ada pada wajahnya. Saking penasarannya, dia memberanikan diri untuk bertanya.
“Muka lo kenapa?” tanya Shinta.

“Gak apa-apa,” jawab Rama singkat.

“Ooh,”

“Gue abis dikeroyok anak kelas sebelas,” ujar Rama.

“Kok bisa? Lo ngapain emangnya?”

“Bisa diem nggak? Masih ngebet ini bibir gue,”

Kata-kata terakhir yang diucapkan Rama berhasil membuat Shinta kembali jengkel. Shinta langsung mengalihkan pandangannya ke arah lain. Padahal, Shinta berniat ingin membuka obrolan untuk mencairkan suasana dan mendamaikan keduanya. Tetapi, tanggapan Rama justru berbalik. Hingga akhirnya mereka berpisah karena Rama harus turun dari bus terlebih dahulu dan tidak ada obrolan apapun selama perjalanan.

Selang beberapa menit, Shinta tiba di halte tujuannya. Melangkah menyusuri tempat penyebrangan dan jalan menuju rumahnya. Masih belum terlalu malam, jalan menuju rumahnya masih ramai orang-orang yang berlalu-lalang serta lampu jalan yang masih terang bercahaya. Hanya membutuhkan waktu sekitar sepuluh menit untuk sampai di rumahnya.
“Dari mana aja kamu?”

“Dari sekolah, Ma,” jawab Shinta seraya duduk dan bersandar di atas sofa.

“Jam segini kok baru pulang,”

“Tadi aku makan dulu di sekolah bareng temenku. Keenakan ngobrol, lupa kalau udah mau maghrib. Pas mau pulang, saldo flazz-ku habis. Tapi tadi untungnya ketemu temen sekelasku. Aku pakai uang dia dulu untuk top up,” ujar Shinta.

“Ya udah sana, kamu mandi dulu. Nanti kita makan bareng sama Papa,”

“Nanti dulu, Ma. Badanku pegel ini. Mana busway penuh. Gak bisa duduk aku,”

“Ya udah, jangan lama-lama ya.”

Tak lama kemudian, telepon genggam milik Shinta bergetar. Notifikasi dari sebuah aplikasi obrolan muncul di layar gawainya. Ada nama Dio yang muncul pada notifikasi tersebut. Shinta langsung membuka aplikasi obrolannya dan melihat apa yang dikirimkan oleh Dio.
“Udah di rumah, Shin?”Dio mengirimkan pesan.

“Baru sampai rumah. Makasih ya untuk traktirannya. Nyesel gue nolak lo yang mau anterin gue pulang. Saldo flazz gue abis,” Shinta mengetik pesannya dan dikirimkan.

“Terus lo gimana?”

“Gak gimana-gimana. Untungnya gue ketemu Rama. Tadi gue balik bareng dia jadinya. Dia minjemin uangnya dulu untuk isi flazz gw,”

“Rama? Cowok yang lo bilang ngeselin itu?”

“Iya, ternyata diem-diem dia baik juga. Gue heran aja dia bisa tau gue kehabisan saldo, tau-tau ngeluarin uang dan dikasih ke gue buat top up.”

Pesan terakhir dari Shinta terkirim, namun tak ada jawaban dari Dio. Pesan yang dikirimkan hanya ada notifikasi bahwa pesan telah tersampaikan dan sudah dibuka oleh sang penerima. Shinta pun beranjak dari duduknya dan berjalan menuju kamarnya karena tak kunjung ada balasan dari Dio.

Tiga puluh menit berlalu, Shinta sudah selesai membersihkan diri dan berganti pakaian yang biasa dia pakai untuk sehari-hari di dalam rumah lalu menuruni anak tangga untuk menuju meja makan dan makan malam bersama keluarganya.

Makan malam kali ini terlihat berbeda. Jonathan Wira Utama, selaku ayah kandung dari Shinta hanya diam tanpa kata-kata. Sesekali hanya melirik ke arah Ayu Wardhani, istrinya dan juga ibu dari Shinta.
“Sana bilang!” ujar Ayu kepada suaminya sambil berbisik.

“Kamu aja,” balas Jonathan.

“Kamu yang punya ide loh, mas!”

“Mama sama Papa ada apa sih?” tanya Shinta penasaran seraya melihat orang tuanya berbicara dengan berbisik.

“Jadi, begini Shin,” Jonathan memulai pembicaraan lalu menarik napas panjang.

“Toko Papa terancam bangkrut. Hutang Papa di Bank cukup besar,”

“Terus?” ujar Shinta.

“Jadi, Papa berniat mau jual rumah, mobil, perhiasan, dan toko warisan kakek. Itu pun belum cukup untuk bayar pesangon karyawan dan bayar hutang Papa,” ujar Jonathan.

Shinta yang mendengar itu sontak terkejut dan berhenti menyuap makan malamnya.
“Ada kemungkinan, kamu gak bisa lanjut sekolah lagi, Shin,” lanjut Jonathan.

“Terus, gimana aku mau kejar cita-citaku, Pa?” tanya Shinta dengan suara yang lirih.

“Sebenernya, ada investor yang bersedia investasi untuk nutupin hutang dan kerugian Papa. Tapi, dia ngajuin syarat,”

“Apa syaratnya?” tanya Shinta.

“Syaratnya, kamu harus bersedia dinikahkan dengan anaknya.”

“Aku mau dijodohin?” Shinta kaget.

“Nggak, Shin. Itu cuma syarat dari dia aja. Papa juga gak mau maksain kamu harus nikah sama anaknya. Karena jodoh itu kamu yang menentukan sendiri, kamu yang mengusahakan,”

Shinta menaruh sendok dan garpunya di atas meja. Padahal, makan malamnya belum sepenuhnya habis. Penjelasan dari ayahnya membuat dirinya menjadi hilang nafsu makan walau perut masih belum sepenuhnya terisi. Sesekali, dia menarik napas panjang dan berpikir keras karena harus mengetahui tentang perjodohan di usianya yang masih sangat muda.
“Ya udah, aku mau, Pa,” ujar Shinta pelan.

“Yakin kamu?”

Shinta menganggukkan kepalanya.
“Kalau kamu merasa terpaksa, lebih baik jangan. Papa nggak masalah kok, Shin,” ujar Jonathan.

“Gak kok, Pa. Aku gak apa-apa dijodohin.” Shinta pasrah.

Alhamdulillah, terima kasih, Nak,” ujar Jonathan dengan senyum yang lebar.

“Tapi, aku boleh minta sesuatu gak?”

“Boleh, minta apa aja. Pasti Papa turutin,”

“Aku mau iPhone11 yang Pro Max. Hehehehe,” Shinta tersenyum.

“Gampang itu. Jangankan sebelas, sembilan belas bisa Papa beliin buat kamu,”

Suasana hatinya kini kembali seperti sedia kala walaupun harus menerima perjodohan dari orang tuanya. Shinta kembali melanjutkan makan malamnya dengan keluarga kecilnya. Dia sudah bisa tersenyum lebar karena gawai yang dia inginkan akan segera hadir di genggamannya. Setelah selesai dengan makan malamnya, Shinta menuju kamarnya untuk bersiap menuju alam bawah sadar. Dengan segera, dia mengganti bajunya dengan tanktop berwarna hitam dan hotpants agar nyaman pada saat bersentuhan dengan ranjang miliknya.

Tak ada lagi penampakan dari satelit alami bumi yang memantulkan cahaya untuk menerangi malam. Hanya terlihat langit yang sudah menghitam dan taburan bintang di angkasa lepas dari balik jendela kamar. Gadis berumur enam belas tahun masih terlihat duduk di atas ranjangnya sambil menatap layar gawainya. Mencari informasi dari mesin pencari, berharap hatinya kembali tenang. Di satu sisi, dia sedang membuka hatinya untuk Dio yang ingin kenal lebih dekat dan di sisi lain, dia harus menerima perjodohan yang belum jelas bagaimana prosesnya ke depan.
“Shinta!”

“Lo mau jadi pembina upacara berdiri di situ terus?”

Tiba-tiba saja hati dan pikirannya tertuju pada satu sosok lelaki yang paling menyebalkan. Lelaki yang paling ketus dalam hidupnya. Namun, lelaki yang ada pada saat dibutuhkan. Lelaki yang berhasil membuat detak jantungnya berdebar hebat. Bahkan, pada saat Rama tiba-tiba hadir dalam hati dan pikiran Shinta saat ini dan membuatnya lebih memilih menyembunyikan diri di balik selimutnya karena menahan rasa yang terlalu cepat datang.
unhappynes
tariganna
tariganna dan unhappynes memberi reputasi
2
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.