Kaskus

Story

chrishanaAvatar border
TS
chrishana
Bukan Rama Shinta
Bukan Rama Shinta

Quote:



Spoiler for Perkenalan:



Quote:


Spoiler for My Other Stories:
Diubah oleh chrishana 30-01-2023 18:29
unhappynesAvatar border
Bgssusanto88Avatar border
fenrirlensAvatar border
fenrirlens dan 5 lainnya memberi reputasi
6
3.3K
30
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread51.8KAnggota
Tampilkan semua post
chrishanaAvatar border
TS
chrishana
#6
Chapter 04 - Hari Pertama Shinta di Bumi Yadhika
Suara telepon genggam buatan Korea Selatan bergetar dan berdering untuk membangunkan pemiliknya. Padahal, langit masih tak bercahaya. Hanya ada embun pagi membasahi tanah dan jalan.

Setelah mematikan pengingat waktu yang ada di telepon genggam, pemilik dari telepon genggam itu segera bangkit dari alam bawah sadarnya. Memaksakan dirinya untuk berjalan menuju kamar mandi lalu membersihkan diri. Setelah dua puluh menit berlalu, dia keluar dan berganti pakaian.

Dia melihat ke cermin yang menempel di pintu lemari. Membuatnya dapat menyaksikan bagaimana rupanya dari ujung kepala hingga kaki. Sesekali dia memutar-mutar tubuhnya dan tersenyum.
“Oke, Shinta. Ini adalah hari pertama lo pakai seragam SMA. Semangat!” ujarnya pelan untuk menyemangati dirinya sendiri di depan cermin.

Perempuan berseragam SMA dengan logo Budi Yadhika bernama Shinta Anggraeni. Perempuan berusia 16 tahun ini mempunyai tinggi kurang lebih 165 sentimeter. Perempuan yang akrab disapa Shinta ini juga mempunyai paras yang cantik dan menarik namun tak pandai menahan emosinya.

Matahari masih belum menampakkan diri tetapi langit sudah mulai membiru. Terdengar suara burung yang sedang bernyanyi di atap rumah. Pertanda cahaya akan segera timbul dari arah timur.

Shinta langsung bergegas memakai sepatunya dan keluar dari rumahnya. Dia sengaja tak berpamitan karena kedua orang tuanya masih berpetualang di alam mimpi. Berjalan kaki kurang lebih sepuluh menit menuju halte bus untuk naik bus menuju sekolahnya. Karena masih terlalu pagi, bus yang dinaikinya tak memiliki banyak penumpang. Dia memilih untuk duduk di pojok dekat jendela supaya bisa melihat suasana pagi dari dalam.

Perjalanan membutuhkan waktu sekitar dua puluh menit hingga sampai di halte tepat di depan sekolahnya. Tak lupa dia melakukan tap outmemakai kartu elektronik miliknya untuk keluar dari halte. Berjalan masuk ke area sekolah, tak lupa menyapa penjaga sekolah yang sedang menyeruput secangkir kopi hitam sambil memegang sebatang rokok kretek yang ada di tangan kirinya.

SMA Bumi Yadhika termasuk sekolah yang cukup banyak peminatnya. Tempatnya yang strategis membuat para orang tua cukup nyaman mendaftarkan anak-anaknya di sekolah ini karena bisa mengantar anaknya sejalan dengan mereka berangkat menuju tempat di mana mereka mencari nafkah keluarga. Sekolah ini mempunyai 6 kelas untuk kelas sepuluh yang ada di lantai 3, sedangkan di lantai 2 terdapat ruang guru dan kelas sebelas IPA dan IPS yang masing-masing mempunyai 3 kelas. Di lantai dasar untuk kelas dua belas, dan ruang konseling.

Sebelum menuju ke kantin, Shinta masih punya cukup waktu untuk mencari di mana kelas yang akan ditempati untuk satu tahun ajaran ke depan. Cukup mudah dan tidak memakan waktu yang lama untuknya karena tidak ada satu murid pun yang sudah datang ketika langit masih membiru dan matahari masih malu-malu untuk menunjukkan dirinya.

Satu per satu murid sudah mulai memasuki area sekolah. Shinta sedang asyik sendiri menyantap roti bakar cokelat yang dia beli di salah satu kedai yang ada di kantin sambil membuka media sosialnya melalui telepon genggam. Selesai melahap semua sarapan paginya, dia beranjak dan menuju kedai minuman dan membeli segelas es jeruk untuk menghilangkan dahaganya sambil berjalan menuju kelasnya.
*BRUK!*

Tiba-tiba saja Shinta tak sengaja menabrak seorang laki-laki di sudut sekolah penghubung antara area koperasi dan kantin. Sialnya, minuman yang tadinya ingin digunakan untuk menghilangkan dahaga, justru tumpah mengenai seragam putih laki-laki itu.
“Aduh! Lo tuh kalau jalan lihat-lihat dong!” bentaknya.

“Lo yang gak lihat-lihat! Jelas-jelas lo yang nabrak! Malah nyalahin gue! Situ waras, hah!” balas Shinta dengan kesal.

“Lo yang gila!” serunya seraya menunjuk wajah Shinta, “Baju gue basah semua! Lo harus tanggung jawab!” lanjutnya

Shinta menepis, “Ada juga lo yang tanggung jawab! Gue baru beli air yang mau gue minum! Tumpah semua gara-gara lo!” balas Shinta seraya menunjuk balik ke arah wajah lelaki itu.

“Minggir!” Shinta mendorong lelaki itu dan melangkah pergi.

Shinta menoleh ke belakang usai berjalan beberapa langkah dan melihat lelaki itu berbalik arah menuju toilet untuk membersihkan tumpahan dari minuman yang ditumpahkan oleh Shinta. Setelah itu, Shinta kembali berjalan pelan menuju ruang kelasnya.
*DEG!*

Tangan kanannya terus memegang bagian dada sebelah kiri seraya jantungnya berdebar kencang akibat bentakan yang dilayangkan oleh lelaki yang baru saja ditemui. Ada rasa tidak enak karena sudah tak sengaja menumpahkan minuman ke seragam anak itu, tetapi ada rasa untuk melawan karena tak terima dirinya dimarahi dengan cara itu.

Shinta berhenti sejenak sebelum menaiki anak tangga untuk kembali ke kelasnya. Jantungnya masih berdebar hebat dan memutuskan untuk duduk sebentar di sebuah bangku dekat dengan kolam yang berisi ikan-ikan hias.
“Hai!” sapa seseorang seraya ikut duduk bersama.

Shinta yang terkejut langsung menoleh ke samping dan mendapati ada seorang murid laki-laki sedang duduk di sampingnya.
“Kenalin,” ucap lelaki itu seraya mengajaknya berjabat tangan, “Gue Dio, kelas sepuluh satu.”

“Shinta,” balasnya sambil bersalaman.

“Lo di kelas mana, Sin?” tanya Dio.

“Gue di sepuluh empat,” jawab Shinta singkat.

“Maaf, tadi gue liat lo berantem sama cowok. Lo gak kenapa-napa?” tanya Dio penasaran.

“Oh, tadi gue gak sengaja numpahin es jeruk ke bajunya. Gue gak liat dia lewat,” jawab Shinta seraya menundukkan pandangannya.

“Hmm… Pantesan,” Dio berkata sambil tersenyum tipis.

“Gue gak tau dia tiba-tiba muncul. Soalnya kehalangan tembok kan. Mungkin karena gue juga jalannya terlalu buru-buru,” ujar Shinta dengan rasa bersalah, “Tapi, gue malah marahin dia balik. Abis dia duluan sih yang bentak-bentak gue,” lanjutnya.

“Gak seharusnya juga sih dia kayak gitu ke lo, Sin. Harusnya dia bisa lebih lembut ke lo,” Dio menatap Shinta, “Coba kalau lo jalan jangan nunduk terus. Angkat kepala lo sedikit deh,” ujar Dio.

Shinta mengangkat kepalanya dan menatap Dio, “Kayak gini maksud lo?” tanya Shinta.

Dio tersenyum dan menarik napas panjang, “Kalau gue ada di posisi dia tadi, jangankan marah. Ngomong aja gue gak bakalan berani,” ujarnya.

“Kenapa?”

Dio mengeluarkan telepon genggam dan mengaktifkan kamera depannya, “Nih, coba liat.”

“Gue kenapa?” tanya Shinta.

“Lo cantik, Sin. Lo gak sadar?”

“Dih apaan sih!” Shinta tersenyum seraya memukul bahu Dio pelan.

Dio pun tertawa, “Dih, beneran. Tuh, cantik kan,” ujarnya.

“Naik, yuk! Udah mau jam masuk,” ajak Dio.

Mereka berdua beranjak dari bangku dekat taman dan menaiki anak tangga satu per satu dengan perlahan. Dua orang murid baru tersebut harus berpisah karena salah satu di antara mereka sudah sampai di kelasnya. Shinta masih harus melangkah sedikit lagi untuk sampai di kelasnya.
“Loh! Gue satu kelas sama dia!”jeritnya dalam hati sesudah melihat lelaki yang dia temui tadi pagi dekat kantin sekolah.

Shinta tetap melangkah masuk menuju bangkunya. Menutup pandangannya untuk melihat ke arah lelaki tersebut. Dia masih tidak percaya akan satu kelas dengan lelaki yang menyebalkan untuk satu tahun ke depan.

Suara kendaraan dari depan sekolah terdengar samar karena letak sekolah ini tepat berada di pinggir jalan besar yang selalu dilalui oleh kendaraan pribadi dan kendaraan umum untuk akses menuju pusat perkantoran yang ada di Jakarta Selatan. Tetapi, suara kendaraan yang ada di luar sekolah menjadi tak berarti ketika jam pertanda bahwa waktu belajar dimulai. Suasana kelas yang tadinya riuh seketika menjadi tenang seraya sang pahlawan tanpa tanda jasa memasuki ruangan kelas.

Hari pertama menjadi murid kelas sepuluh adalah hari terburuk bagi Shinta. Sang Wali Kelas meminta seluruh murid untuk bertukar tempat duduk. Murid lelaki harus satu meja dengan murid perempuan. Sialnya, Shinta harus satu meja dengan lelaki yang paling menyebalkan dalam hidupnya. Dia adalah Rama Mahendra, lelaki yang secara tak sengaja seragamnya terkena tumpahan dari minuman yang dibawa oleh Shinta.

Shinta dan Rama saling tak tegur sapa. Tak ada satu patah kata pun terucap dari bibir mereka. Mata mereka pun tak saling pandang. Mereka sama-sama memalingkan pandangan satu sama lain. Keadaan ini terjadi dari mulai titik pusat tata surya merangkak naik. Hanya suara dahan dan ranting yang berdansa tertiup angin dan kendaraan yang berlalu-lalang menghiasi pendengaran mereka. Bahkan, guru yang sedang berbicara di depan kelas pun kehadirannya dianggap tiada karena mereka sibuk dengan pikiran dan khayalan mereka masing-masing. Hingga akhirnya, matahari berhasil menempatkan posisi tepat di atas kepala. Diikuti oleh suara tanda waktu istirahat siang tiba.
“Sin, kantin yuk!” ajak salah satu murid perempuan yang duduk satu meja dengan Shinta sebelumnya.

“Oh, iya ayo!” Shinta sadar dari lamunannya dan menerima ajakan temannya.

“Gue perhatiin, lo dari tadi pagi diem aja, Sin. Emang si Rama gak ngajak lo ngobrol?” tanya temannya.

“Nggak, Peh. Gue juga gak tau harus mulai dari mana. Soalnya kesan pertama dia buat gue udah buruk,” jawab Shinta sambil berjalan pelan menuju kantin dengan Haifa yang akrab dipanggil dengan nama Ifa atau Ipeh.

“Kok bisa? Bukannya lo baru ketemu tadi di kelas?”

“Gue ketemu dia tadi pagi. Abis gue sarapan di kantin, gue gak sengaja tabrakan karena dia muncul aja tiba-tiba dari balik tembok. Udah kayak jin,”

“Terus?”

“Ya udah. Kita tabrakan. Air minum gue tumpah kena bajunya. Terus dia marah-marah, bentak-bentak, udah kayak preman pasar,”

Haifa tertawa, “Pantesan aja lo berdua kayak ayam nelen karet. Diem aja gak bersuara.”

“Ya udahlah ya. Cuma seminggu. Minggu depan gue udah sebangku lagi sama lo,”

“Ya itu pun kalau Bu Ros berkehendak. Kalau nggak, selamanya lo sama Rama. Hahahahaha!”

“Sialan!”

Dia adalah teman satu meja dengan Shinta sebelumnya yang bernama Haifa Nur Aisyah, yang akrab disapa Ifah atau Ipeh. Perempuan berhijab ini mempunyai tinggi sekitar 160 sentimeter, langsing, dan berkulit terang. Kacamata yang dipakainya menimbulkan kesan manis pada wajahnya yang tak bosan dipandang. Tak heran, banyak yang menggodanya dengan sapaan ukhti.
“Eh, Sin. Liat tuh si Rama,” ucap Haifa yang sedang duduk dengan Shinta di area kantin.

Shinta melihat ke arah Rama yang sedang dirangkul oleh perempuan dari kelas mereka, “Kenapa sama Rama?” tanya Shinta.

“Itu tuh. Udah gandengan aja sama Ara. Giliran lo malah didiemin,” ujar Haifa.

“Yah, beda kali, Peh. Dia tuh cantik kemana-mana. Gue? Buluk!”

Tiba-tiba saja Haifa menepuk pipi Shinta dengan kedua tangannya dan menatap wajah Shinta, “Shinta, gak ada yang jelek di dunia ini. Lo juga gak kalah cantik kok,” Haifa mencoba menghibur.

Shinta menepis tangan Haifa pelan, “Peh, mau gue cantik kek, nggak kek, gak akan dipandang sama dia,” Shinta menyeruput es jeruknya sejenak, “Lagian nih, gue sekolah buat belajar. Bukan pacaran. Mending langsung nikah aja daripada pacaran, gak ada untungnya,” lanjutnya.
“Aamiin…”

“Aminin apaan lo?”

“Lo yang mau langsung nikah,” jawab Haifa, “Sama Rama,” lanjutnya dan tertawa.

“Najis!”

Padat dan riuh, suasana yang tepat untuk menggambarkan situasi kantin saat itu. Bau asap rokok yang ditimbulkan oleh murid senior di pojok kantin menghiasi udara di sana. Namun masih tertolong karena sirkulasi udara yang baik. Obrolan tentang gosip sekolah juga terdengar samar, disaingi oleh suara dari segerombolan anak-anak murid yang asyik bermain game online yang sedang naik daun pada saat itu. Hanya bel tanda jam belajar dilanjutkan kembali yang mampu membuat kantin ditinggalkan oleh seluruh murid yang berbondong-bondong masuk ke dalam kelas mereka masing-masing.
Diubah oleh chrishana 24-01-2023 22:14
pulaukapok
unhappynes
tariganna
tariganna dan 3 lainnya memberi reputasi
4
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.