- Beranda
- Stories from the Heart
Bukan Rama Shinta
...
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.8KAnggota
Tampilkan semua post
TS
chrishana
#3
Chapter 02 - MPLS Hari Pertama
Ini adalah hari pertama di mana semua murid tahun ajaran baru harus mengikuti kegiatan ini. Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah adalah kegiatan yang di mana bertujuan untuk memperkenalkan lingkungan sekolah dan juga agar murid baru cepat beradaptasi dengan sekolah. Mereka juga diminta untuk saling mengenal satu sama lain di dalam kelas sebelum mulai berkenalan dengan murid beda kelas.
Ada pandangan yang membuat Rama menjadi sedikit jengkel. Dia melihat seorang perempuan yang baru saja membuat dia kesal duduk di barisan kedua dari depan.
Tiba-tiba saja satu kelas dibuat heboh dengan kedatangan seseorang. Seorang murid perempuan yang juga baru menginjakkan kakinya di kelas sepuluh dan juga menjadi idola baru di sekolah. Semua mata terpesona akan kecantikannya yang natural.
Dia berjalan perlahan memasuki kelas yang saat ini ada Rama dan Endik di dalamnya. Menempati meja yang bersebelahan persisi di samping Rama.
Dia terus menundukkan kepalanya. Pandangannya terus menatap meja yang kosong. Seakan tak berani mengangkat kepalanya dan melihat sekitar. Pipinya mulai memerah dan menghela napas, mencoba untuk tenang. Rama yang melihatnya langsung menegurnya.
Mereka berdua berhasil membuat Ara tertawa dan ceria. Ara tidak peraya diri karena ini adalah kali pertama dia merias diri. Di hari pertamanya, dia berhasil menghipnotis seluruh murid dengan kecantikannya.
Tak lama kemudian, bel tanda dimulainya jam pelajaran berbunyi. Seluruh wali kelas keluar dari kantor mereka dan menuju kelasnya masing-masing. Tak terkecuali kelas sepuluh ruang tiga yang ditempati oleh Rama dan kawan-kawannya.
Pada masa pengenalan sekolah, seluruh murid baru wajib menggunakan tanda pengenal yang dipasangkan di seragam mereka. Tapi, itu tidak berguna untuk Rama, Endik, dan Ara. Karena mereka sudah berkenalan satu sama lain.
Sang guru menuliskan nama lengkapnya di sebuah papan tulis berwarna putih berukuran cukup lebar. Namanya Rossi Dwiyana, bertubuh gemuk dengan tinggi 165 sentimeter. Salah satu guru favorit karena cara membawa dan menyampaikan materinya bisa diterima dengan baik oleh murid-muridnya.
Seluruh murid menahan tertawanya karena ulah Endik di pagi hari. Rama spontan memalingkan wajahnya karena perbuatan temannya yang satu ini.
Endik maju ke depan kelas dengan perasaan takut dan bersalah.
Seluruh murid di kelas itu tak bisa menahan tawanya. Tak terkecuali Ara, murid paling cantik di kelas. Dia tertawa hingga mengeluarkan air mata karena ulah Endik yang tidak bisa diperkirakan.
Sedangkan Rama, dia justru menutup matanya dengan kedua tangannya karena malu mempunyai teman satu meja dengan kelakuan yang tak disangka-sangka. Dia sudah bosan dengan spontanitas yang dimiliki Endik.
Satu per satu nama murid laki-laki dipanggilnya. Teman satu meja Ara terpaksa bertukar tempat dengan murid laki-laki. Hingga akhirnya nama Rama disebut.
Murid perempuan bernama Shinta juga ikut berdiri dan menoleh ke belakang untuk memastikan dengan siapa dia akan ditempatkan. Mereka berdua pun terkejut.
Dengan sangat terpaksa, Shinta pindah tempat dari baris depan menuju meja yang ada di bagian sudut belakang kelas. Dengan sangat terpaksa juga, Rama memberikan singgah sanah yang tadinya dimiliki Endik untuk ditempatkan oleh perempuan yang berhasil membuatnya kesal di pagi hari.
Mereka saling memalingkan wajah. Tak ada satu suku kata pun terucap dari bibir mereka untuk saling berkenalan. Seperti sebuah malapetaka di hari pertama sekolah karena pertemuan pertama mereka berjalan sangat tidak baik.
Ada pandangan yang membuat Rama menjadi sedikit jengkel. Dia melihat seorang perempuan yang baru saja membuat dia kesal duduk di barisan kedua dari depan.
“Sialan! Kenapa gue harus satu kelas sama dia!”keluh Rama dalam pikirannya.
Tiba-tiba saja satu kelas dibuat heboh dengan kedatangan seseorang. Seorang murid perempuan yang juga baru menginjakkan kakinya di kelas sepuluh dan juga menjadi idola baru di sekolah. Semua mata terpesona akan kecantikannya yang natural.
Dia berjalan perlahan memasuki kelas yang saat ini ada Rama dan Endik di dalamnya. Menempati meja yang bersebelahan persisi di samping Rama.
Dia terus menundukkan kepalanya. Pandangannya terus menatap meja yang kosong. Seakan tak berani mengangkat kepalanya dan melihat sekitar. Pipinya mulai memerah dan menghela napas, mencoba untuk tenang. Rama yang melihatnya langsung menegurnya.
“Lo gak apa-apa?” tanya Rama.
“Enggak,” jawabnya singkat.
Rama mengajaknya bersalaman untuk berkenalan, “Gue Rama.”
Perempuan itu membalas, “Ara.”
“Yakin lo gak apa-apa, Ra?” tanya Rama.
“Kenapa semua pada ngeliatin gue?” ujarnya.
Rama bergeser sedikit dan mendekati Ara, “Kayaknya lo mesti ngaca dan lihat sendiri. Ya wajar aja lo diliatin banyak orang.”
“Gue aneh, ya?” tanya Ara untuk meyakinkan.
Rama tertawa kecil, “Nggak kok, Ra.”
“Sejak kapan kau belajar menghibur cewek, Rama?” tanya Endik, “Ya jelas aneh lah ada cewek secantik kau di sekolah ini,” ujarnya kepada Ara.
“Ini Endik, temen gue dari SMP,” Rama memperkenalkan.
“Hai, Ra!” Endik melambaikan tangannya.
“Yang aneh itu lo Dik. Lo liat nggak yang gelap lo doang,” ujar Rama.
“Oh, sudah mulai rasis kau ya, Ram,” Endik berkata seraya memiting leher Rama dari belakang, “Rasakan ini!” Endik menggelitik pinggang Rama.
“Enggak,” jawabnya singkat.
Rama mengajaknya bersalaman untuk berkenalan, “Gue Rama.”
Perempuan itu membalas, “Ara.”
“Yakin lo gak apa-apa, Ra?” tanya Rama.
“Kenapa semua pada ngeliatin gue?” ujarnya.
Rama bergeser sedikit dan mendekati Ara, “Kayaknya lo mesti ngaca dan lihat sendiri. Ya wajar aja lo diliatin banyak orang.”
“Gue aneh, ya?” tanya Ara untuk meyakinkan.
Rama tertawa kecil, “Nggak kok, Ra.”
“Sejak kapan kau belajar menghibur cewek, Rama?” tanya Endik, “Ya jelas aneh lah ada cewek secantik kau di sekolah ini,” ujarnya kepada Ara.
“Ini Endik, temen gue dari SMP,” Rama memperkenalkan.
“Hai, Ra!” Endik melambaikan tangannya.
“Yang aneh itu lo Dik. Lo liat nggak yang gelap lo doang,” ujar Rama.
“Oh, sudah mulai rasis kau ya, Ram,” Endik berkata seraya memiting leher Rama dari belakang, “Rasakan ini!” Endik menggelitik pinggang Rama.
Mereka berdua berhasil membuat Ara tertawa dan ceria. Ara tidak peraya diri karena ini adalah kali pertama dia merias diri. Di hari pertamanya, dia berhasil menghipnotis seluruh murid dengan kecantikannya.
Tak lama kemudian, bel tanda dimulainya jam pelajaran berbunyi. Seluruh wali kelas keluar dari kantor mereka dan menuju kelasnya masing-masing. Tak terkecuali kelas sepuluh ruang tiga yang ditempati oleh Rama dan kawan-kawannya.
Pada masa pengenalan sekolah, seluruh murid baru wajib menggunakan tanda pengenal yang dipasangkan di seragam mereka. Tapi, itu tidak berguna untuk Rama, Endik, dan Ara. Karena mereka sudah berkenalan satu sama lain.
“Selamat pagi, anak-anak!” seorang guru perempuan memberi salam seraya masuk ke dalam kelas.
“Selamat pagi, Bu!” balas seluruh murid.
“Selamat pagi, Bu!” balas seluruh murid.
Sang guru menuliskan nama lengkapnya di sebuah papan tulis berwarna putih berukuran cukup lebar. Namanya Rossi Dwiyana, bertubuh gemuk dengan tinggi 165 sentimeter. Salah satu guru favorit karena cara membawa dan menyampaikan materinya bisa diterima dengan baik oleh murid-muridnya.
“Perkenalkan, saya adalah wali kelas kalian. Nama saya Rossi Dwiyana. Kalian bisa panggil saya Bu Ros, Kak Ros, Mbak Ros, ya suka-suka kalian,” ucap Ros yang sedang berdiri di depan kelas.
Endik mengangkat tangannya, “Kalau saya panggil ‘Bo Ros’, boleh kah Bu?”
Endik mengangkat tangannya, “Kalau saya panggil ‘Bo Ros’, boleh kah Bu?”
Seluruh murid menahan tertawanya karena ulah Endik di pagi hari. Rama spontan memalingkan wajahnya karena perbuatan temannya yang satu ini.
“Ooh, sudah berani meledek kamu rupanya,” ujar Ros, “Sini, maju temani saya di depan,” lanjutnya.
Endik maju ke depan kelas dengan perasaan takut dan bersalah.
“Namamu siapa!” Ros berkata seraya menepuk bahu Endik hingga dia terkejut.
“Endik, kakak. Eh, mbak. Eh, salah Mama. Eh, Ibu.” jawab Endik terbata-bata seraya menutup mulutnya karena salah berkata-kata.
“Endik, kakak. Eh, mbak. Eh, salah Mama. Eh, Ibu.” jawab Endik terbata-bata seraya menutup mulutnya karena salah berkata-kata.
Seluruh murid di kelas itu tak bisa menahan tawanya. Tak terkecuali Ara, murid paling cantik di kelas. Dia tertawa hingga mengeluarkan air mata karena ulah Endik yang tidak bisa diperkirakan.
Sedangkan Rama, dia justru menutup matanya dengan kedua tangannya karena malu mempunyai teman satu meja dengan kelakuan yang tak disangka-sangka. Dia sudah bosan dengan spontanitas yang dimiliki Endik.
“Ya sudah-sudah,” Ros mencoba meredam tawa murid-muridnya, “Sekarang, saya akan mengacak posisi kalian. Saya mau murid laki-laki duduk satu meja dengan yang perempuan supaya bisa kenal dan berteman satu sama lain,” lanjutnya.
Satu per satu nama murid laki-laki dipanggilnya. Teman satu meja Ara terpaksa bertukar tempat dengan murid laki-laki. Hingga akhirnya nama Rama disebut.
“Rama Mahendra,” Ros menyebut nama Rama dan Rama pun berdiri, “Kamu duduk sama Shinta Anggraeni.”
Murid perempuan bernama Shinta juga ikut berdiri dan menoleh ke belakang untuk memastikan dengan siapa dia akan ditempatkan. Mereka berdua pun terkejut.
“Saya gak mau, Bu!” protes Rama.
“Iya, saya juga gak mau!” Shinta mengikuti.
“Cieee... Biasanya yang begini nanti jadi jodoh nih,” Ros meledek.
“Cieee...” seluruh murid ikut meledek mereka.
“Shinta, cepat pindah ke mejanya Rama. Saya sudah atur semua loh. Jangan membantah,” ujar Ros.
“Iya, saya juga gak mau!” Shinta mengikuti.
“Cieee... Biasanya yang begini nanti jadi jodoh nih,” Ros meledek.
“Cieee...” seluruh murid ikut meledek mereka.
“Shinta, cepat pindah ke mejanya Rama. Saya sudah atur semua loh. Jangan membantah,” ujar Ros.
Dengan sangat terpaksa, Shinta pindah tempat dari baris depan menuju meja yang ada di bagian sudut belakang kelas. Dengan sangat terpaksa juga, Rama memberikan singgah sanah yang tadinya dimiliki Endik untuk ditempatkan oleh perempuan yang berhasil membuatnya kesal di pagi hari.
Mereka saling memalingkan wajah. Tak ada satu suku kata pun terucap dari bibir mereka untuk saling berkenalan. Seperti sebuah malapetaka di hari pertama sekolah karena pertemuan pertama mereka berjalan sangat tidak baik.
“Bu,” panggil Endik, “Saya duduk sama siapa?” tanya Endik kepada Ros.
“Kamu duduk sama saya di sini,” jawab Ros.
“Di sini tak ada bangku lagi toh,” ujar Endik.
Ros menunjuk ke lantai kelas, “Di sini. Lesehan.”
“Astaga!”
“Kamu duduk sama saya di sini,” jawab Ros.
“Di sini tak ada bangku lagi toh,” ujar Endik.
Ros menunjuk ke lantai kelas, “Di sini. Lesehan.”
“Astaga!”
pulaukapok dan 2 lainnya memberi reputasi
3
