Setelah beberapa hari aku menghabiskan waktu dengan keluarga dan juga teman-teman seangkatan di kampung halaman, rasanya sedih dan menyesakkan ketika aku harus berpamitan dengan mereka.

Membayangkan Papa sedang sakit namun aku tak bisa merawatnya saja, sudah cukup membuat dadaku sesak, bagaimana jika hal itu benar terjadi nantinya?

“Pa, ada kemungkinan aku ga bisa pulang 1-2 tahun ke depan.”, pamitku berkaca-kaca saat sebelum memasuki mobil ELF hitam bergaris sejengkal yang berwarna merah dan kuning di bagian tengah badan mobilnya yang akan membawaku ke Surabaya.

“Iyaa gapapa! Kamu harus lakukan yang terbaik dan penuh tanggung jawab atas pekerjaan yang kamu pilih! Ya?”, jawab Papa sembari memelukku erat.

Aku mengangguk dalam pelukan Papa.

“Ga usah mikirin Papa disini, Papa disini kan ga sendirian. Jadi ga usah khawatir ya..”, ujarnya lagi.

“Yaudah buruan masuk mobilnya, udah ditungguin daritadi!”, Papa menyudahi pelukan hangatnya yang meski beberapa saat menyelimutiku, namun ketenangan yang ada didalamnya, rupanya sungguh menyemangatiku.

“Doakan aku terus ya Pa..”, mohonku sebelum aku memasuki mobil.

“Iyaa.. selalu Papa doain!”, Papaku tersenyum.

“Hati-hati yaaaa di Jakarta..”, kata Tanteku.

“Jaga kesehatan dan jaga diri yaa kamu!”, lanjut Kakakku.

Sore itu, entah kenapa berat sekali buatku meninggalkan Papa juga keluargaku yang lain.

Ada rasa ‘kira-kira nanti, apa aku bisa melihat pemandangan yang sama seperti hari ini? Ada Papa, ada Tante, ada Kakak, yang menyambut kedatanganku dan yang mengantar kepergianku’.

Tak berhenti disitu, kesedihanku berlanjut disaat aku berpamitan dengan rekan-rekan kerjaku yang selama lima tahun ini telah membersamaiku di Surabaya.

Aku yang dulu ga tau apa-apa tentang call centerdan ticketing, benar-benar diajarin satu per satu tata caranya dengan senior-seniorku dengan penuh kesabaran.

Meski dulu aku hanya lulusan SMA, mereka mau menerimaku dan memperlakukanku dengan baik tanpa memperdulikan ijazah apa yang aku punya.

Disaat dulu aku ga punya cukup uang untuk makan, mereka mengajakku untuk makan bersama di kosannya.

“Nes, ntar malem ke kosanku ya? Aku sama Mba Risma mau masak-masak di kosan.”, ujar Mba Nining kala itu. Seolah dia mengetahui bahwa sedari pagi aku belum makan sesuap nasi pun.
(September 2012, disaat aku masih menjadi anak magang tanpa dibayar)

Disaat dulu aku ga punya cukup uang untuk sekedar membeli galon aqua, mereka diam-diam mengisikan 3 botol aqua 1,5 literku yang sudah kosong dengan air galon di kantorku.

“Nes, di kosan kamu ada galon ga?”, tanya Kak Jo saat kami berdua duty di shift malam.

“Enggak punya Kak Jo. Aku hanya punya botol aqua ukuran 1,5 liter.”

“Yang kosong berapa botol?”

“Ada 3 Kak Jo..”

“Besok kamu bawa botol-botol itu ya. Kita isi dengan air yang ada di kantor.”

“Emang boleh Kak Jo?”

“Boleh! Perusahaan aja ga ngebayar kinerja kamu. Masa kamu minta air aja dilarang?!”
(Oktober 2012, disaat aku masih menjadi anak magang tanpa dibayar)

Disaat dulu aku masih tinggal di kosan yang pengap dan beratap bocor, ada rekan kerjaku yang selalu mengajakku bermalam di kosannya. Dia begitu karena dia mengetahui kondisi kosanku yang sangat tidak layak ditempati.

“Nes, nanti tidur tempatku yuuk. Aku takut nih, ada tetangga depan kosan pagi tadi meninggal.” (Alasan ke-satu)

“Nes, nanti tidur di kosanku yuuk. Aku takut nih, soalnya temen-temen kosan pada ga di kosan.” (Alasan ke-dua. Dan masih banyak lagi alasan-alasan lainnya yang dia buat, agar aku bisa tidur dengan layak di kosannya.)
(September-Desember 2012, disaat aku masih menjadi anak magang tanpa dibayar)


Disaat dulu aku kesulitan menghandle penumpang, mereka yang membantuku dan rela bertanggung jawab atas kesalahanku yang tak sengaja kuperbuat.

Rasanya, mereka bukan sekedar rekan kerja, melainkan keluargaku yang kedua.

Mereka menerimaku sebagai seorang lulusan SMA biasa, dan melepasku sebagai seorang sarjana yang kini sedang mengepakkan sayapnya.

Bisakah kalian membayangkan bagaimana perpisahanku dengan mereka di tanggal 31 Mei 2017, di hari terakhirku bekerja sebagai call center dan ticketing di Surabaya, adalah hal terberat?!

———

Penerbanganku dari Surabaya ke Jakarta di tanggal 1 Juni 2017 pada pukul 16.25.
Saat itu, ada beberapa teman dekatku yang turut mengantarku hingga Bandara.
Mereka adalah Titin, Ody, Novi, Wulan, Ria, Udin, Edo, dan Bela.

Sedang Agis, Dian, dan Keke, mereka memberikan surprise dengan datang ke kosanku, tepat sebelum aku akan ke Juanda.

Mereka ini adalah teman-temanku yang tidak sekantor denganku. Dan mereka juga bukan teman kuliahku. Bisa dibilang, pertemanan kami terjadi begitu saja.

Meski begitu, aku dibuatnya terharu dengan sikap manis mereka hingga detik-detik terakhir aku berada di kota ini, kota yang penuh sejarah.

“Sukses terus, Nes. Sesibuk apapun, jangan tinggalkan shalatnya!”

Pesan sederhana dari mereka yang selalu ku ingat hingga kini dan berjanji selamanya akan ku tepati.