- Beranda
- Stories from the Heart
KIDUNG DI ATAS TANAH JAWI
...
TS
breaking182
KIDUNG DI ATAS TANAH JAWI
Quote:
Menuliskan cerita yang berbau sejarah tidak gampang. Tulisan ini berdasarkan riset kecil dengan metode wawancara dengan orang yang lebih mengerti dan sumber terpercaya sebatas pengetahuan narasumber. Di samping itu kecintaan saya akan film -film kolosal, sandiwara radio era tahun 90-an tentang kerajaan - kerajaan di tanah Jawa mendorong saya untuk menulis. Tentu saja dengan keterbatasan ilmu pengetahuan yang saya miliki. Kidung Di Atas Tanah Jawi bercerita tentang perjalanan seorang pemuda bernama Arya Gading. Berlatar belakang kerajaan Pajang di bawah pemerintahan Sultan Hadiwijoyo. Cerita ini fiktif belaka. Baca dan nikmati. Salam Olahraga.........
Quote:
Quote:
Konten Sensitif
Quote:
EPISODE 1
GEGER DI PUCANG KEMBAR
gatra 1
gatra 2
gatra 3
gatra 4
gatra 5
gatra 6
gatra 7
gatra 8
gatra 9
gatra 10
gatra 11
gatra 12
gatra 13
gatra 14
gatra 15
gatra 16
gatra 17
gatra 18
gatra 19
gatra 20
gatra 21
gatra 22
gatra 23
gatra 24
gatra 25
gatra 26
gatra 27
gatra 28
gatra 29
gatra 30
gatra 31
gatra 32
gatra 33
gatra 34
gatra 35
gatra 36
gatra 37
gatra 38
gatra 39
gatra 40
gatra 41
gatra 42
gatra 43
gatra 44
gatra 45
gatra 46
gatra 47
gatra 48
gatra 49
Quote:
EPISODE 2
BARA API DI KAKI MERAPI
gatra 1
gatra 2
gatra 3
gatra 4
gatra 5
gatra 6
gatra 7
gatra 8
gatra 9
gatra 10
gatra 11
gatra 12
gatra 13
gatra 14
gatra 15
gatra 16
gatra 17
gatra 18
gatra 19
gatra 20
gatra 21
gatra 22
gatra 23
gatra 24
gatra 25
gatra 26
gatra 27
gatra 28
gatra 29
gatra 30
gatra 31
gatra 32
gatra 33
gatra 34
gatra 35
gatra 36
gatra 37
gatra 38
gatra 39
gatra 40
gatra 41
gatra 42
gatra 43
gatra 44
gatra 45
gatra 46
gatra 47
gatra 48
gatra 49
gatra 50
gatra 51
Quote:
Diubah oleh breaking182 30-12-2022 16:12
69banditos dan 66 lainnya memberi reputasi
67
78.6K
Kutip
621
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.5KThread•42.2KAnggota
Tampilkan semua post
TS
breaking182
#400
gatra 14
Quote:
JARAN LAJAR yang memimpin pencegatan itu langsung berlari-lari ke arah Sukmo Aji yang tengah mengamuk bagai banteng ketaton.
Namun Jaran Lajar masih mencoba memaksa lawannya untuk menyerah tanpa perkelahian, katanya, “Lebih baik kau menyerah kisanak. Jumlah kalian tidak memadai sama sekali untuk melawan kami. Apalagi seorang demi seorang, kemampuan kami tidak terkalahkan oleh apa pun juga di dalam lingkungan kalian.”
Tetapi Jaran Lajar tidak sempat melanjutkan. Tiba-tiba saja ia terus meloncat surut ketika Sukmo Aji langsung menyerangnya dengan sebuah sabetan landean tombaknya.
“Gila,” teriak Jaran Lajar.
Sukmo Aji mendesak terus sambil berkata, “Aku adalah pemimpin rombongan ini. Jika kau dapat mengalahkan aku, maka kau akan berhasil merampas harta kekayaan kami semuanya.”
Jaran Lajar mengerutkan keningnya. Ternyata ia berhadapan dengan seorang yang memiliki senjata yang sangat hebat. Ia pernah mendengar tentang keampuhan tombak Kiai Sangga Langit. Namun demikian, ia pun seorang yang merasa dirinya memiliki kemampuan dan ilmu yang dapat dibanggakan, sehingga karena itu ia pun segera mempersiapkan diri menghadapi ujung tombak yang dapat mengelupas kulitnya itu.
Sementara Jaran Lajar menghadapi Sukmo Aji, kedua orang pemuda berbaju merah dan berikat kepala wulung masih saja mengamuk. Para pajurit Pajang dan Pasuruan yang berusaha untuk menahannya keteteran dibuatnya. Pranata yang berhasil melumpuhkan beberapa lawannya. Meloncat surut, tiga orang prajurit Pajang segera mendekat manakala ia melambaikan tangannya.
“ Kalian tahan orang –orang ini, aku harus menahan dua orang yang tengah mengamuk itu”, kata Pranata.
“ Baik kakang”, lanjut prajurit itu.
Tanpa menunggu lama lagi Pranata segera meninggalkan tempat itu. Dilihatnya Simo tengah bertempur menghadapi keroyokan tiga orang lawannya.
“ Simo, tinggakan lawan mu itu. Ada pekerjaan yang lebih menarik daripada menghadapi tikus –tikus itu”
Mendengar Pranata berteriak dari kejauhan Simo segera menyibak rapatnya kepungan penyerangnya itu. Tidak butuh waktu lama. Lelaki itu telah berdiri tidak jauh dari Pranata. Tangan kanannya erat mecengkeram hulu kerisnya yang sudah basah oleh darah.
“ Kau perhatikan orang yang memakai baju serba merah dan seorang diantaranya yang memakai ikat kepala wulung itu? “
Simo mengangguk. Ujarnya, “ Kalau tidak segera dihentikan para prajurit kita akan banyak yang terluka. Bahkan akan ada yang tewas juga”
“ Marilah “
Pemuda berbaju merah dan seorang diantaranya lagi yang berikat kepala wulung itu terkejut ketika ia melihat dua melompat kehadapannya sambil tersenyum. Kemudian terdengar orang itu berkata, “Selamat siang kisanak. Kanuragan mu sangat tinggi. Sungguh tidak berimbang jika kalian berdua menghadapi para prajurit itu “
Pemua berbaju serba merah ang tidak lain adalah Alap- Alap Abang itu mengerutkan keningnya. Jawabnya, “Apa maumu?”
“Aneh” sahut orang itu, yang tidak lain adalah Pranata “Kita berada di dalam pertempuran tentu saja kita akan mengangkat senjata dan mengadu nyawa di tepi hutan ini”
“Bagus” seru Alap- Alap Abang. “Mana pimpinan mu?”
“Aku akan mewakilinya” jawab Pranata.
“Pergilah!” bentak Alap -Alap Abang. “Orang yang pertama-tama akan aku bunuh adalah pimpinan dari rombongan ini. Aku tidak ada waktu berkelahi dengan kelinci-kelinci macam kau”. Sementara itu tangan kiri Alap -Alap Abang itu melambai kecil. Dan meloncatlah seorang anak buahnya kesisinya.
“Selesaikan anak ini” katanya.
Orang itu tak menunggu perintah untuk kedua kalinya. Hiruk pikuk pertempuran di sekitar mereka tak banyak memberi mereka waktu. Karena itu, maka anak buah Alap -Alap Abang itu pun segera menyerang Pranata dengan sebuah tusukan pedang. Tetapi tiba-tiba mata Alap -Alap Abang itu pun terbeliak. Yang dilihatnya, dengan suatu gerakan yang hampir tak tampak oleh mata, Pranata telah memiringkan tubuhnya, dan dengan satu gerakan yang tak terduga-duga tangan kirinya telah berhasil menyobek perut lawannya dengan senjatanya. Terdengar orang itu berteriak nyaring, dan kemudian tubuhnya terbanting di tanah.
“Hadiah yang tidak menyenangkan” desis Pranata.
Wajah Alap -Alap Abang itu pun menjadi merah. Ditatapnya muka Pranata. Tampaklah lelaki dihadapannya itu tersenyum. Sementara itu langit pun telah menjadi semakin cerah. Cahaya matahari siang itu tampak seakan-akan berloncat-loncatan di ujung-ujung senjata. Pranata tidak menunggu lebih lama lagi. Dengan cepatnya ia menyerang dengan senjata yang dahsyat itu. Tetapi yang diserang kini adalah Alap -Alap Abang. Seorang yang masih muda namun sudah menjadi orang kepercayaan dari Kelabang Ijo. Meskipun demikian Alap -Alap Abang itu pun terkejut pula melihat kecepatan gerak lawannya. Tetapi Alap -Alap Abang adalah seorang yang berpengalaman dalam pertempuran bersama dan dalam perkelahian perseorangan. Karena itu serangan Pranata itu sama sekali tidak mencemaskannya.
Sesaat kemudian kedua orang itu telah terlibat dalam suatu pertempuran yang sengit. Pranata benar-benar dapat memanfaatkan tajam senjatanya itu. Pedangnya berputar seperti baling-baling, kemudian mematuk-matuk seperti seekor ular naga yang sedang marah. Sekali-sekali dengan satu ujung, namun tiba-tiba dengan sebuah putaran yang cepat, ujung yang lainnya menusuk pula dengan dahsyatnya. Benar-benar seperti sepasang ular naga yang garang.
Tetapi senjata Alap -Alap Abang tidak kalah mengerikan. Pedang tipis yang gemerlapan dibawah cahaya matahari siang, seakan-akan dari pedang itu berloncatan butiran-butiran mutiara dan menghambur di sekitar tempat perkelahian itu. Dan di ujung cahaya yang putih mengkilap itu tampaklah leretan-leretan kuning seperti seekor lebah raksasa yang berterbangan. Apabila lebah kuning itu berhasil hinggap di tubuh lawannya, maka akibatnya adalah maut.
Alap -Alap Abang dan Pranata adalah dua anak muda yang sebaya. Kedua-duanya mempunyai bekal yang cukup dan mempunyai nafsu yang sama-sama berkobar di dalam dada masing-masing. Di sekitar mereka pun pertempuran menjadi semakin seru. Simo telah terlibat pertempuran sengit dengan orang berikat kepala wulung yang tidak lain adalah Pangestu. Segera peperangan itu meningkat semakin dahsyat. Alap -Alap Abang menggeram penuh dendam dan kemarahan. Pedangnya yang tipis berkilat-kilat menyambar-nyambar dengan dahsyatnya.
Namun Jaran Lajar masih mencoba memaksa lawannya untuk menyerah tanpa perkelahian, katanya, “Lebih baik kau menyerah kisanak. Jumlah kalian tidak memadai sama sekali untuk melawan kami. Apalagi seorang demi seorang, kemampuan kami tidak terkalahkan oleh apa pun juga di dalam lingkungan kalian.”
Tetapi Jaran Lajar tidak sempat melanjutkan. Tiba-tiba saja ia terus meloncat surut ketika Sukmo Aji langsung menyerangnya dengan sebuah sabetan landean tombaknya.
“Gila,” teriak Jaran Lajar.
Sukmo Aji mendesak terus sambil berkata, “Aku adalah pemimpin rombongan ini. Jika kau dapat mengalahkan aku, maka kau akan berhasil merampas harta kekayaan kami semuanya.”
Jaran Lajar mengerutkan keningnya. Ternyata ia berhadapan dengan seorang yang memiliki senjata yang sangat hebat. Ia pernah mendengar tentang keampuhan tombak Kiai Sangga Langit. Namun demikian, ia pun seorang yang merasa dirinya memiliki kemampuan dan ilmu yang dapat dibanggakan, sehingga karena itu ia pun segera mempersiapkan diri menghadapi ujung tombak yang dapat mengelupas kulitnya itu.
Sementara Jaran Lajar menghadapi Sukmo Aji, kedua orang pemuda berbaju merah dan berikat kepala wulung masih saja mengamuk. Para pajurit Pajang dan Pasuruan yang berusaha untuk menahannya keteteran dibuatnya. Pranata yang berhasil melumpuhkan beberapa lawannya. Meloncat surut, tiga orang prajurit Pajang segera mendekat manakala ia melambaikan tangannya.
“ Kalian tahan orang –orang ini, aku harus menahan dua orang yang tengah mengamuk itu”, kata Pranata.
“ Baik kakang”, lanjut prajurit itu.
Tanpa menunggu lama lagi Pranata segera meninggalkan tempat itu. Dilihatnya Simo tengah bertempur menghadapi keroyokan tiga orang lawannya.
“ Simo, tinggakan lawan mu itu. Ada pekerjaan yang lebih menarik daripada menghadapi tikus –tikus itu”
Mendengar Pranata berteriak dari kejauhan Simo segera menyibak rapatnya kepungan penyerangnya itu. Tidak butuh waktu lama. Lelaki itu telah berdiri tidak jauh dari Pranata. Tangan kanannya erat mecengkeram hulu kerisnya yang sudah basah oleh darah.
“ Kau perhatikan orang yang memakai baju serba merah dan seorang diantaranya yang memakai ikat kepala wulung itu? “
Simo mengangguk. Ujarnya, “ Kalau tidak segera dihentikan para prajurit kita akan banyak yang terluka. Bahkan akan ada yang tewas juga”
“ Marilah “
Pemuda berbaju merah dan seorang diantaranya lagi yang berikat kepala wulung itu terkejut ketika ia melihat dua melompat kehadapannya sambil tersenyum. Kemudian terdengar orang itu berkata, “Selamat siang kisanak. Kanuragan mu sangat tinggi. Sungguh tidak berimbang jika kalian berdua menghadapi para prajurit itu “
Pemua berbaju serba merah ang tidak lain adalah Alap- Alap Abang itu mengerutkan keningnya. Jawabnya, “Apa maumu?”
“Aneh” sahut orang itu, yang tidak lain adalah Pranata “Kita berada di dalam pertempuran tentu saja kita akan mengangkat senjata dan mengadu nyawa di tepi hutan ini”
“Bagus” seru Alap- Alap Abang. “Mana pimpinan mu?”
“Aku akan mewakilinya” jawab Pranata.
“Pergilah!” bentak Alap -Alap Abang. “Orang yang pertama-tama akan aku bunuh adalah pimpinan dari rombongan ini. Aku tidak ada waktu berkelahi dengan kelinci-kelinci macam kau”. Sementara itu tangan kiri Alap -Alap Abang itu melambai kecil. Dan meloncatlah seorang anak buahnya kesisinya.
“Selesaikan anak ini” katanya.
Orang itu tak menunggu perintah untuk kedua kalinya. Hiruk pikuk pertempuran di sekitar mereka tak banyak memberi mereka waktu. Karena itu, maka anak buah Alap -Alap Abang itu pun segera menyerang Pranata dengan sebuah tusukan pedang. Tetapi tiba-tiba mata Alap -Alap Abang itu pun terbeliak. Yang dilihatnya, dengan suatu gerakan yang hampir tak tampak oleh mata, Pranata telah memiringkan tubuhnya, dan dengan satu gerakan yang tak terduga-duga tangan kirinya telah berhasil menyobek perut lawannya dengan senjatanya. Terdengar orang itu berteriak nyaring, dan kemudian tubuhnya terbanting di tanah.
“Hadiah yang tidak menyenangkan” desis Pranata.
Wajah Alap -Alap Abang itu pun menjadi merah. Ditatapnya muka Pranata. Tampaklah lelaki dihadapannya itu tersenyum. Sementara itu langit pun telah menjadi semakin cerah. Cahaya matahari siang itu tampak seakan-akan berloncat-loncatan di ujung-ujung senjata. Pranata tidak menunggu lebih lama lagi. Dengan cepatnya ia menyerang dengan senjata yang dahsyat itu. Tetapi yang diserang kini adalah Alap -Alap Abang. Seorang yang masih muda namun sudah menjadi orang kepercayaan dari Kelabang Ijo. Meskipun demikian Alap -Alap Abang itu pun terkejut pula melihat kecepatan gerak lawannya. Tetapi Alap -Alap Abang adalah seorang yang berpengalaman dalam pertempuran bersama dan dalam perkelahian perseorangan. Karena itu serangan Pranata itu sama sekali tidak mencemaskannya.
Sesaat kemudian kedua orang itu telah terlibat dalam suatu pertempuran yang sengit. Pranata benar-benar dapat memanfaatkan tajam senjatanya itu. Pedangnya berputar seperti baling-baling, kemudian mematuk-matuk seperti seekor ular naga yang sedang marah. Sekali-sekali dengan satu ujung, namun tiba-tiba dengan sebuah putaran yang cepat, ujung yang lainnya menusuk pula dengan dahsyatnya. Benar-benar seperti sepasang ular naga yang garang.
Tetapi senjata Alap -Alap Abang tidak kalah mengerikan. Pedang tipis yang gemerlapan dibawah cahaya matahari siang, seakan-akan dari pedang itu berloncatan butiran-butiran mutiara dan menghambur di sekitar tempat perkelahian itu. Dan di ujung cahaya yang putih mengkilap itu tampaklah leretan-leretan kuning seperti seekor lebah raksasa yang berterbangan. Apabila lebah kuning itu berhasil hinggap di tubuh lawannya, maka akibatnya adalah maut.
Alap -Alap Abang dan Pranata adalah dua anak muda yang sebaya. Kedua-duanya mempunyai bekal yang cukup dan mempunyai nafsu yang sama-sama berkobar di dalam dada masing-masing. Di sekitar mereka pun pertempuran menjadi semakin seru. Simo telah terlibat pertempuran sengit dengan orang berikat kepala wulung yang tidak lain adalah Pangestu. Segera peperangan itu meningkat semakin dahsyat. Alap -Alap Abang menggeram penuh dendam dan kemarahan. Pedangnya yang tipis berkilat-kilat menyambar-nyambar dengan dahsyatnya.
Quote:
DISISI LAIN SUKMO AJI masih menghadapi amukan Jaran Lanjar. Namun tiba-tiba Sukmo Aji itu terkejut mendengar sorak orang-orang yang mencegat rombongannya di sebalah kanan. Tetapi ia tidak segera melihat, apakah yang telah terjadi. Yang dilihat sepintas, adalah pergolakan di arena itu. Beberapa lamanya ia melihat orang-orangnya mendesak dalam satu lingkaran dan orang-orangnya yang baru datang, segera masuk ke dalam pertempuran.
Baru kemudian disadarinya bahwa telah terjadi malapetaka di sayap itu. Ternyata ketika Alap- Alap Abang, sedikit keteteran melayani serangan – serangan Pranata yang datang secara bertub-tubi. Bahkan, kini bahunya telah koyak oleh ujung pedang Pranata yang berkelebat sangat cepat.
Alap –alap Abang surut ke belakang. Pakaiannya yang serba merah menjadi semakin merah akibat darah yang mengalir dari bahu nya yang terluka.
“ Gila, kau berani melukai ku ! “
Pranata tersenyum, “ Kalau dilihat dari gerak –gerik mu kau mungkin sangat berpengalaman terlibat dalam pertempuran. Luka yang sedikit itu tidak akan jadi persoalan bagi mu. Mari kita lanjutkan pertarungan ini. Lihat lah sebentar lagi sore. Kami harus segera kembali ke Pajang dan menangkap kalian semua hidup ataupun mati“
“ Jangan jumawa kisanak. Mari kita buktikan siapa yang akan terkapar bersimbah darah di tanah”
Kemarahan Alap –Alap Abang seakan-akan meledak. Itulah sebabnya, maka dari dalam dirinya meledak pulalah kekuatan yang tidak disangka-sangka. Meskipun Pranata masih mampu melawannya seorang diri, namun tiba-tiba ia kehilangan kesempatan untuk menghindari serangan yang datang seperti air bah. Ketika ia menangkis pedang di tangan kanan Alap- Alap Abang itu, tiba-tiba terasa sebuah sengatan di pundak kirinya. Ternyata dua pisau telah menancap cukup dalam di pundaknya. Ternyata Alap- Alap Abang telah melemparkan pisau –pisaunya dengan cepat pada saat Pranata perhatiannya tercurah pada serangan Alap –Alap Abang yang bagai cucuran air hujan itu.
Sesaat Pranata menyeringai, ia masih sempat melihat ujung pisau yang kembali mengarah deras mengarah ke dadanya. Dengan sisa tenaganya yang terakhir ia menghindari pisau terbang itu. Tetapi ia sudah tidak memiliki keseimbangan yang mantap, sehingga meskipun pisau itu mampu dihindari namun Alap –Alap Abang telah menerkam dengan pedang, tak ayal lagi lambungnya tersobek oleh tajam senjata lawannya.
Pranata mengeluh pendek. Matanya menjadi gelap dan ia tidak melihat apa yang terjadi kemudian. Ia tidak melihat ketika Alap- Alap Abang meloncat sambil Cumiik tinggi, untuk sekali lagi menusukkan pedangnya di tubuh Pranata. Tetapi untunglah bahwa dua orang prajurit Pajang melihat semuanya itu. Seperti orang gila dua orang ini menyerbu Alap- Alap Abang yang sedang gila pula. Tanpa memperdulikan lawannya lagi. Ujung keris dan ujung pedang prajurit itu berkelebat dengan cepat. Namun, dua prajurit ini benar-benar tidak menyangka bahwa Alap- Alap Abang dapat melenting secepat belalang, sehingga dengan demikian, serangannya itu dapat dihindarkan.
Meskipun demikian, apa yang dilakukan itu ternyata berguna pula. Dalam pada itu, beberapa orang telah menyadari keadaan. Dengan serta merta beberapa orang bersama-sama menyerbu, seperti apa yang dilakukan oleh kedua prajurit itu. Dengan demikian, maka Alap- Alap Abang sekali lagi berteriak tinggi melontarkan dendam dan kemarahan yang meluap-luap. Namun orang-orang Jaran Lanjar yang sempat menyaksikan Alap- Alap Abang berhasil menjatuhkan lawannya, bersorak dengan kerasnya, meneriakkan kemenangan itu. Mereka pun segera berloncatan mengambil kesempatan, selagi orang-orang Pajang tengah sibuk, melindungi pimpinannya yang terluka parah tanpa menghiraukan keadaan mereka sendiri
Namun beruntunglah. Pada saat yang demikian itulah maka Wirapati dan dua parajurit Pasuruan yang segera terjun, sehingga orang-orang Jaran Lanjar tidak sempat berbuat banyak. Mereka harus segera menghadapi lawan-lawannya yang baru, sementara beberapa orang sempat membawa Pranata mengundurkan diri dari pertempuran.
“Gila!” teriak Alap- Alap Abang membelah hiruk pikuknya dentang senjata. “Ayo siapa menyusul?”
Teriakan Alap- Alap Abang itu bagi anak buahnya seakan-akan merupakan perintah untuk bertempur lebih dahsyat Iagi. Seolah-olah mereka pun ikut serta meneriakkan kata-kata itu. Dan bahkan beberapa orang pun ikut serta menantang dengan kata-kata yang garang.
“Ayo, orang -orang Pajang. Majulah bersama-sama. Kami akan menghantarkan kalian ke akherat.”
Setiap prajurit Pajang yang melihat peristiwa itu, seakan-akan darahnya meluap ke kepala. Kemarahan, kebencian dan dendam membakar dada mereka. Pranata adalah salah seorang pemimpin kelompok yang baik. Seorang yang telah cukup mengendap di dalam pertempuran dan di dalam pergaulan. Karena itu, banyak orang yang senang kepadanya. Sehingga jatuhnya Pranata telah membuat prajurit Pajang terbakar. Demikian mereka melihat Pranata jatuh tersungkur di tanah. Maka kemarahan dan kebencian mereka pun segera tertumpah pula.
Sukmo Aji pun akhirnya mendengar pula bahwa Pranata mengalami cedera. Ia belum menerima berita resmi apakah Pranata terbunuh atau tidak. Namun berita itu telah menggoncangkan hatinya. Demikjan ia mendengar berita itu, demikian giginya gemeretak karena marah.
Apalagi ketika kemudian ia mendengar Alap -Alap Abang tertawa sambil berkata, “Senopati mu telah mati, Sukmo Aji.”
Sukmo Aji terkejut mendengar suara itu. Rasa –rasanya ia sangat mengenali suara itu. Sesaat ia mencoba melihat siapa gerangan yang berteriak itu. Pandangannya tertuju pada sesosok tubuh yang tengah bertarung melawan dua orang prajurit Pajang. Sesekali orang berbaju merah itu melenting dan berteriak –teriak seperti orang gila.
“ Alap –Alap Abang? Orang itu ada di komplotan ini. Apakah benar Pranta terbunuh olehnya? Tidak, tidak mungkin. Aku sangat tahu kemampuan Pranata “
Namun tiba-tiba ia terkejut ketika di sisi yanq lain ia mendengar sebuah teriakan nyaring, “He, apakah Pranata terluka?”
Tak ada jawaban. Namun kembali terdengar suara, “Serahkan pembunuh itu kepadaku.”
Akhirnya Sukmo Aji melihat, seseorang yang mencoba menerobos pertempuran langsung menyeberang ke sayap lang lain.
Orang itu adalah seorang prajurit. Karena itu segera ia berteriak, “Simo. Berhenti !”
“Pranata terbunuh. Akulah gantinya. Siapakah yang telah berani berbuat itu?”
“Simo,” teriak Sukmo Aji, “kembali.”
Simo benar-benar telah menjadi gila. Pranata adalah sahabatnya yang terdekat. Sejak semula mereka telah bersama-sama memasuki lingkungan kaprajuritan. Sejak semula mereka mengalami pahit-getir, asin-manisnya hidup sebagai seorang prajurit. Kini tiba-tiba ia mendengar sahabatnya itu terbunuh. Karena itu, maka perasaannya tidak lagi dapat dikendalikan.
Baru kemudian disadarinya bahwa telah terjadi malapetaka di sayap itu. Ternyata ketika Alap- Alap Abang, sedikit keteteran melayani serangan – serangan Pranata yang datang secara bertub-tubi. Bahkan, kini bahunya telah koyak oleh ujung pedang Pranata yang berkelebat sangat cepat.
Alap –alap Abang surut ke belakang. Pakaiannya yang serba merah menjadi semakin merah akibat darah yang mengalir dari bahu nya yang terluka.
“ Gila, kau berani melukai ku ! “
Pranata tersenyum, “ Kalau dilihat dari gerak –gerik mu kau mungkin sangat berpengalaman terlibat dalam pertempuran. Luka yang sedikit itu tidak akan jadi persoalan bagi mu. Mari kita lanjutkan pertarungan ini. Lihat lah sebentar lagi sore. Kami harus segera kembali ke Pajang dan menangkap kalian semua hidup ataupun mati“
“ Jangan jumawa kisanak. Mari kita buktikan siapa yang akan terkapar bersimbah darah di tanah”
Kemarahan Alap –Alap Abang seakan-akan meledak. Itulah sebabnya, maka dari dalam dirinya meledak pulalah kekuatan yang tidak disangka-sangka. Meskipun Pranata masih mampu melawannya seorang diri, namun tiba-tiba ia kehilangan kesempatan untuk menghindari serangan yang datang seperti air bah. Ketika ia menangkis pedang di tangan kanan Alap- Alap Abang itu, tiba-tiba terasa sebuah sengatan di pundak kirinya. Ternyata dua pisau telah menancap cukup dalam di pundaknya. Ternyata Alap- Alap Abang telah melemparkan pisau –pisaunya dengan cepat pada saat Pranata perhatiannya tercurah pada serangan Alap –Alap Abang yang bagai cucuran air hujan itu.
Sesaat Pranata menyeringai, ia masih sempat melihat ujung pisau yang kembali mengarah deras mengarah ke dadanya. Dengan sisa tenaganya yang terakhir ia menghindari pisau terbang itu. Tetapi ia sudah tidak memiliki keseimbangan yang mantap, sehingga meskipun pisau itu mampu dihindari namun Alap –Alap Abang telah menerkam dengan pedang, tak ayal lagi lambungnya tersobek oleh tajam senjata lawannya.
Pranata mengeluh pendek. Matanya menjadi gelap dan ia tidak melihat apa yang terjadi kemudian. Ia tidak melihat ketika Alap- Alap Abang meloncat sambil Cumiik tinggi, untuk sekali lagi menusukkan pedangnya di tubuh Pranata. Tetapi untunglah bahwa dua orang prajurit Pajang melihat semuanya itu. Seperti orang gila dua orang ini menyerbu Alap- Alap Abang yang sedang gila pula. Tanpa memperdulikan lawannya lagi. Ujung keris dan ujung pedang prajurit itu berkelebat dengan cepat. Namun, dua prajurit ini benar-benar tidak menyangka bahwa Alap- Alap Abang dapat melenting secepat belalang, sehingga dengan demikian, serangannya itu dapat dihindarkan.
Meskipun demikian, apa yang dilakukan itu ternyata berguna pula. Dalam pada itu, beberapa orang telah menyadari keadaan. Dengan serta merta beberapa orang bersama-sama menyerbu, seperti apa yang dilakukan oleh kedua prajurit itu. Dengan demikian, maka Alap- Alap Abang sekali lagi berteriak tinggi melontarkan dendam dan kemarahan yang meluap-luap. Namun orang-orang Jaran Lanjar yang sempat menyaksikan Alap- Alap Abang berhasil menjatuhkan lawannya, bersorak dengan kerasnya, meneriakkan kemenangan itu. Mereka pun segera berloncatan mengambil kesempatan, selagi orang-orang Pajang tengah sibuk, melindungi pimpinannya yang terluka parah tanpa menghiraukan keadaan mereka sendiri
Namun beruntunglah. Pada saat yang demikian itulah maka Wirapati dan dua parajurit Pasuruan yang segera terjun, sehingga orang-orang Jaran Lanjar tidak sempat berbuat banyak. Mereka harus segera menghadapi lawan-lawannya yang baru, sementara beberapa orang sempat membawa Pranata mengundurkan diri dari pertempuran.
“Gila!” teriak Alap- Alap Abang membelah hiruk pikuknya dentang senjata. “Ayo siapa menyusul?”
Teriakan Alap- Alap Abang itu bagi anak buahnya seakan-akan merupakan perintah untuk bertempur lebih dahsyat Iagi. Seolah-olah mereka pun ikut serta meneriakkan kata-kata itu. Dan bahkan beberapa orang pun ikut serta menantang dengan kata-kata yang garang.
“Ayo, orang -orang Pajang. Majulah bersama-sama. Kami akan menghantarkan kalian ke akherat.”
Setiap prajurit Pajang yang melihat peristiwa itu, seakan-akan darahnya meluap ke kepala. Kemarahan, kebencian dan dendam membakar dada mereka. Pranata adalah salah seorang pemimpin kelompok yang baik. Seorang yang telah cukup mengendap di dalam pertempuran dan di dalam pergaulan. Karena itu, banyak orang yang senang kepadanya. Sehingga jatuhnya Pranata telah membuat prajurit Pajang terbakar. Demikian mereka melihat Pranata jatuh tersungkur di tanah. Maka kemarahan dan kebencian mereka pun segera tertumpah pula.
Sukmo Aji pun akhirnya mendengar pula bahwa Pranata mengalami cedera. Ia belum menerima berita resmi apakah Pranata terbunuh atau tidak. Namun berita itu telah menggoncangkan hatinya. Demikjan ia mendengar berita itu, demikian giginya gemeretak karena marah.
Apalagi ketika kemudian ia mendengar Alap -Alap Abang tertawa sambil berkata, “Senopati mu telah mati, Sukmo Aji.”
Sukmo Aji terkejut mendengar suara itu. Rasa –rasanya ia sangat mengenali suara itu. Sesaat ia mencoba melihat siapa gerangan yang berteriak itu. Pandangannya tertuju pada sesosok tubuh yang tengah bertarung melawan dua orang prajurit Pajang. Sesekali orang berbaju merah itu melenting dan berteriak –teriak seperti orang gila.
“ Alap –Alap Abang? Orang itu ada di komplotan ini. Apakah benar Pranta terbunuh olehnya? Tidak, tidak mungkin. Aku sangat tahu kemampuan Pranata “
Namun tiba-tiba ia terkejut ketika di sisi yanq lain ia mendengar sebuah teriakan nyaring, “He, apakah Pranata terluka?”
Tak ada jawaban. Namun kembali terdengar suara, “Serahkan pembunuh itu kepadaku.”
Akhirnya Sukmo Aji melihat, seseorang yang mencoba menerobos pertempuran langsung menyeberang ke sayap lang lain.
Orang itu adalah seorang prajurit. Karena itu segera ia berteriak, “Simo. Berhenti !”
“Pranata terbunuh. Akulah gantinya. Siapakah yang telah berani berbuat itu?”
“Simo,” teriak Sukmo Aji, “kembali.”
Simo benar-benar telah menjadi gila. Pranata adalah sahabatnya yang terdekat. Sejak semula mereka telah bersama-sama memasuki lingkungan kaprajuritan. Sejak semula mereka mengalami pahit-getir, asin-manisnya hidup sebagai seorang prajurit. Kini tiba-tiba ia mendengar sahabatnya itu terbunuh. Karena itu, maka perasaannya tidak lagi dapat dikendalikan.
Quote:
PERTEMPURAN ANTARA Simo dan Pangestu berlangsung dengan sengitnya. keris ditangan keduanya sesekali berbenturan sehingga memercik api. Simo kemudian meloncat selangkah ke belakang dan dalam sekejap ia telah kembali menerkam Simo dengan ujung kerisnya. Simo tidak menunggu lebih lama lagi. Ia meloncat ke depan dengan tangan terjulur lurus. Senjatanya mengarah ke dada lawannya. Pangestu terkejut melihat gerak yang sedemikian cepatnya. Untunglah bahwa ia memiliki pengalaman yang luas. Setapak ia menggeser diri sambil berputar, dengan kerasnya ia memukul keris Simo yang menjulur beberapa jari dari dadanya. Namun Simo lincah pula. Ia berhasil membebaskan senjatanya, untuk kemudian diputarnya cepat dan serangannya telah datang pula. Demikianlah maka segera mereka terlibat dalam pertempuran yang cepat. Simo ternyata cukup mampu mengimbangi kedahsyatan Pangestu yang bertempur membingungkan itu. Pangestu mencoba untuk mengaburkan perlawanan Simo, dengan menyerangnya berputar-putar dari segala arah. Namun Simo menyadarinya, sehingga sekali-kali ia melontarkan diri memotong langkah lawannya dengan keris yang terayun cepat sekali. Dalam keadaan yang demikian terpaksa Pangestu mengumpat di dalam hati. Ia telah berkali -kali terlibat dalam pertempuran hidup dan mati. Namun, lawannya ini ternyata tidak bisa dianggap remeh.
Suara sorak sorai membuat Simo melompat mundur beberapa tombak. Dadanya berdesir, manakala ia mendengar bahwa Pranata terluka. Tanpa memperdulikan Pangestu yang masih berdiri di depannya. Lelaki itu segera menghambur kea rah arena pertempuran Pranata dan lawannya seorang pemuda yang mengenakan pakaian serba merah itu.
Suara sorak sorai membuat Simo melompat mundur beberapa tombak. Dadanya berdesir, manakala ia mendengar bahwa Pranata terluka. Tanpa memperdulikan Pangestu yang masih berdiri di depannya. Lelaki itu segera menghambur kea rah arena pertempuran Pranata dan lawannya seorang pemuda yang mengenakan pakaian serba merah itu.
Diubah oleh breaking182 30-12-2022 16:18
ashrose dan 16 lainnya memberi reputasi
17
Kutip
Balas