Setelah pertanyaanku yang membabi buta terhadap Rey, membuat kami saling terdiam cukup lama.
Saat seharusnya arah jalan pulang adalah berbelok ke kiri setelah lampu merah, Rey malah berjalan lurus.
Aku yang menyadarinya, hanya bisa diam tanpa bertanya.
"Nes.."
"Rey.."
Kami saling memanggil bersamaan!
"Nes sorry, hm kamu lagi
PMSkah?", tanya Rey tiba-tiba. Kemudian kami saling bertatapan. Terlihat raut wajah Rey mulai tenang tanpa menahan amarah seperti sebelumnya.
"Hari ini hari pertama aku haid...", jawabku ragu sembari menunduk.
Malu!
"Oh pantes!", ujar Rey sembari membelokkan setir mobilnya ke kanan.
"Maaf ya Rey, aku ga seharusnya ngeluarin kata-kata yang nyakitin kamu..", ujarku setelahnya. Kini aku tengah menyesal atas segala sesuatu yang telah aku ucapkan pada Rey.
"Iya, Nes. Gapapa. Aku paham kog hehe.", jawabnya singkat, padat, jelas.
Kami kembali terdiam.
Kala itu aku kalut sama apa yang telah ku perbuat. Nyeselnya ga main-main!!
"Nes..", aku yang sedari tadi menunduk menatap kotak cincin yang masih ku genggam di atas pangkuan, menoleh ke Rey yang baru saja memanggilku.
"Turun yuk, kita makan
ice cream dulu!", ujarnya sumringah sembari mengusap-ngusap kepalaku. Lalu, Rey kembali melihat ke kotak cincin yang sedang ku genggam.
"Hm kalau kamu ga mau terima hadiah itu, taruh aja di disana, Nes.", Rey menunjuk ke laci
dashboard. Masih dalam diamku, aku menuruti apa yang diucapkannya.
"Yaudah yuk!", ajak Rey setelah aku benar-benar meletakkan kotak cincin itu di dalam laci
dashboardnya. Lalu kami sama-sama turun dari mobil. Dan Rey, meraih kembali tanganku seperti saat beberapa hari lalu, sebelum kami masuk ke gedung bioskop.
"Aku izin pegang tangan kamu ya..", bisiknya.
Kami pun berjalan memasuki kedai es krim Zangrandi yang terletak tepat di pinggir Jalan Yos Sudarso siang itu. Setelah kami duduk di kursi rotan di pojok kanan paling depan, ada
waitress yang menghampiri kami. Seperti menjadi pelanggan tetap disini,
waitress tersebut seperti mengenali Rey.
"Selamat Siang, Kak. Silahkan ini buku menunya."
"Makasih Mba..", ucapku. Lalu si Mbanya menginformasikan menu mana yang terfavorit.
"Kalau Masnya biasanya pesan
hawaiian freeze!", celetuk si Mbanya pada Rey.
"Hehehe iya betul. Saya pesan itu ya Mba!", jawab Rey. Kemudian Rey membantu menjelaskan padaku es krim mana yang sekiranya bakal cocok di lidah aku.
"Hm kalau gitu saya mau
ice cream noodle manggo-nya ya Mba.. Makasih..", ujarku lagi. Si Mbanya kembali menyebutkan pesanan kami lalu segera pergi meninggalkan kami.
"Kamu sering kesini ya?", tanyaku pada Rey. Sepertinya mood aku mulai kembali baik karena sudah mulai mau mengajak Rey bicara.
"Iya. Dulu kalau aku lagi
stress, aku suka kesini.."
"Oh gitu..", jawabku sambil mengangguk-angguk.
"Nes..", panggil Rey.
"Hmm?"
"Nes, boleh aku jelasin sesuatu?", tanyanya. Aku mengangguk.
"Nes, jujur, aku tuh ga pernah cium perempuan selain mantan pacarku dan kamu.
Dan selama ini, aku ga pernah ngasih hadiah ke dia karena alasan rasa bersalahku sudah cium atau peluk atau pegang tangan dia, apalagi ada pikiran buat '
ngebeli' dia.
Kalau aku kasih hadiah yaa karena itu bentuk aku berterima kasih ke dia karena udah bikin aku nyaman, karena dia udah sabar sama aku, dan karena emang ada momen dimana dia pantes dapetin hadiah. Misal dia lagi ulang tahun atau dia udah berhasil ngeraih sesuatu yang dia mau. Sama halnya dengan kamu kemarin.", Rey menjelaskan dengan nada dan intonasi yang sangat lembut seraya menatapku begitu dalam.
Aku semakin menyesal karena membuatnya harus menjelaskan sesuatu yang seharusnya ga perlu dijelaskan.
"Jadi, jangan salah paham sama hadiah yang aku kasih kemarin ya..", tambahnya.
"Maaf ya Rey. Maaf banget udah marah-marah dan nuduh kamu yang nggak-nggak!"
"Gapapa, aku paham kog. Wajar, Nes, kan kamunya juga lagi haid. Hormonnya ga karuan pasti."
"Permisi, ini pesanannya ya Kak..", es krim pesanan kami datang dan siap untuk dinikmati perlahan.
"Makasih ya Mbaa..", ucap aku dan Rey berbarengan.
Lalu kami membiarkan sejenak es krim yang terlihat cantik itu memamerkan pesonanya beberapa saat di atas meja kecil di hadapan kami.
"Apa aku harus jadi pacar kamu dulu Nes baru kamu mau nerima hadiah dari aku?", tanya Rey tiba-tiba.
"Enggak, Rey. Bukan karena itu. Aku memang tipe orang yang ga mau nerima hadiah. Alasan pertama, aku ga mau berhutang budi. Kedua, aku ga mau merasa terikat terlalu dalam karena suatu hadiah. Ketiga, selagi aku mampu, aku akan berusaha untuk membeli 'hadiah' itu, meski harus dengan cara menabung bertahun-tahun. Karena aku tipe orang yang sangat menghargai proses, Rey. Dan alasan terakhir, aku ga dibiasakan untuk menerima hadiah dari orang lain oleh Papaku. Apalagi dari lawan jenis.", nada dan intonasiku kembali seperti sebelumnya :
default mode.
"Oke aku paham sekarang. Jadi, kamu ga bisa nerima hadiah itu dan juga ga mau jadi pacar aku ya?", tanya Rey sembari menyuap es krim dengan tatapan matanya tetap mengarah padaku.
"Hmm apa? Gimana-gimana?", tanyaku gelagapan. Rey tersedak karena terbahak.
"Ish, kog malah ngetawain aku sih Rey!!", aku menyuap es krimku dengan kesal.
"Jadi beneran ga mau hadiahnya?", tanya Rey lagi.
"Iyaa, maaf yaa. Kalau aku boleh kasih saran, hadiah itu untuk Mama kamu aja, Rey. Pasti seneng deh Mama kamu dikasih kado sama anaknya!"
"Hahaha oke. Nanti aku kasih ke Mami aku!", Rey tersenyum. Aku membalas senyumannya.
"Jadi..", kata Rey terbata.
"Jadi??", tanyaku.
"Aku ga boleh juga jadi pacar kamu?"
"Hmm dengan berat hati, aku jawab nggak boleh..", jawabku tanpa basa-basi.
"Karena aku seorang Hindu?", tanyanya.
"Iyaaa.. Kamu aja ga cinta sama Tuhanku. Mana mungkin kamu akan mencintai aku.. Hehehehe.."
"Tapi aku baru jadi mualaf sekitar dua bulan terakhir.", lanjutnya.
Kemudian Rey menceritakan bagaimana dirinya akhirnya menjadi seorang muslim. Singkat cerita, proses dia untuk menjadi mualaf tidaklah mudah. Dia harus cekcok dengan Papanya. Dia harus ngeliat Papa Mamanya berantem karena Mamanya ngizinin Rey pindah agama, namun tidak dengan Papanya. Ditambah, ujian terberatnya adalah dia ditinggal nikah oleh mantan pacarnya yang semula beragama Islam, namun memilih 'suami' yang beragama Kristen. Dan pada akhirnya, mantannya itu memilih untuk mengikuti keyakinan suaminya.
Poin pentingnya dia memeluk Agama Islam adalah atas kemauannya dan bukan atas dasar paksaan atau semacamnya.
"Jadi, aku boleh jadi pacar kamu, Nes?", tanya Rey dengan pertanyaan yang sama.
"Kita baru kenal dan baru beberapa kali ketemu loh Rey..", aku memberikan alasan lagi dan lagi.
"Kenapa? Kamu ragu karena itu?", tanyanya lagi.
"Hmm gimana yaa.. Baru beberapa hari lalu, kamunya masih teringat dan terbayang-bayang oleh mantan kamu. Bahkan sempat manggil aku dengan namanya. Masa sekarang mau ngajak aku pacaran? Hehe kenapa bisa secepat itu kamu berpaling?"
"Karena aku sudah ada di tahap mengikhlaskan apa saja yang telah aku alami Nes. Dan aku mencoba untuk move on! Kata Ustadz yang mengislamkan aku, Allah itu ga menyukai hambaNya yang berlama-lama larut dalam kesedihan dan mengabaikan kebaikan dan kebahagiaan yang telah Dia berikan. Apa yang terjadi, itulah yang terbaik untuk aku. Dan aku meyakini itu."
Aku hanya bisa diam tanpa berkata-kata lagi.
"Apa lagi yang pengen kamu tanya?"
"Kamu mau sama aku yang terkadang emosinya labil seperti tadi?", tanyaku kemudian.
"Itu bukan masalah besar buat aku, Nes.
InsyaAllah Aku bisa terima apa adanya kamu."
Kami sama-sama saling menatap dalam diam sembari menyeruput es krim yang sudah mulai mencair.
"Aku masih ga boleh jadi pacar kamu?", tanya Rey dengan pertanyaan yang sama untuk ke sekian kalinya.
Aku menanggapi pertanyaan Rey dengan beranjak dari tempat dudukku lalu berbisik di telinganya :
"Boleh kog, Rey!"
###