- Beranda
- Stories from the Heart
KIDUNG DI ATAS TANAH JAWI
...
TS
breaking182
KIDUNG DI ATAS TANAH JAWI
Quote:
Menuliskan cerita yang berbau sejarah tidak gampang. Tulisan ini berdasarkan riset kecil dengan metode wawancara dengan orang yang lebih mengerti dan sumber terpercaya sebatas pengetahuan narasumber. Di samping itu kecintaan saya akan film -film kolosal, sandiwara radio era tahun 90-an tentang kerajaan - kerajaan di tanah Jawa mendorong saya untuk menulis. Tentu saja dengan keterbatasan ilmu pengetahuan yang saya miliki. Kidung Di Atas Tanah Jawi bercerita tentang perjalanan seorang pemuda bernama Arya Gading. Berlatar belakang kerajaan Pajang di bawah pemerintahan Sultan Hadiwijoyo. Cerita ini fiktif belaka. Baca dan nikmati. Salam Olahraga.........
Quote:
Quote:
Konten Sensitif
Quote:
EPISODE 1
GEGER DI PUCANG KEMBAR
gatra 1
gatra 2
gatra 3
gatra 4
gatra 5
gatra 6
gatra 7
gatra 8
gatra 9
gatra 10
gatra 11
gatra 12
gatra 13
gatra 14
gatra 15
gatra 16
gatra 17
gatra 18
gatra 19
gatra 20
gatra 21
gatra 22
gatra 23
gatra 24
gatra 25
gatra 26
gatra 27
gatra 28
gatra 29
gatra 30
gatra 31
gatra 32
gatra 33
gatra 34
gatra 35
gatra 36
gatra 37
gatra 38
gatra 39
gatra 40
gatra 41
gatra 42
gatra 43
gatra 44
gatra 45
gatra 46
gatra 47
gatra 48
gatra 49
Quote:
EPISODE 2
BARA API DI KAKI MERAPI
gatra 1
gatra 2
gatra 3
gatra 4
gatra 5
gatra 6
gatra 7
gatra 8
gatra 9
gatra 10
gatra 11
gatra 12
gatra 13
gatra 14
gatra 15
gatra 16
gatra 17
gatra 18
gatra 19
gatra 20
gatra 21
gatra 22
gatra 23
gatra 24
gatra 25
gatra 26
gatra 27
gatra 28
gatra 29
gatra 30
gatra 31
gatra 32
gatra 33
gatra 34
gatra 35
gatra 36
gatra 37
gatra 38
gatra 39
gatra 40
gatra 41
gatra 42
gatra 43
gatra 44
gatra 45
gatra 46
gatra 47
gatra 48
gatra 49
gatra 50
gatra 51
Quote:
Diubah oleh breaking182 30-12-2022 16:12
69banditos dan 66 lainnya memberi reputasi
67
78.6K
Kutip
621
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.6KThread•42.3KAnggota
Tampilkan semua post
TS
breaking182
#392
gatra 12
Quote:
IRING-IRINGAN YANG tampak di ujung bulak panjang itu rasa-rasanya merayap lambat sekali. Sukmo Aji memang tidak tergesa-gesa. Karena ia berada di ujung, maka yang lain pun mengikutinya pula, meskipun beberapa orang pengiring rasa-rasanya ingin mendahului untuk segera sampai di perbatasan Pajang. Namun dalam pada itu, Sukmo Aji yang berkuda di paling depan, melihat sesuatu yang kurang sewajarnya. Ia melihat sebatang pohon bergetar. Meskipun pohon itu tidak begitu besar, namun getar daunnya yang berbeda dengan pepohonan di sekitarnya membuatnya curiga.
“Tidak pernah seseorang yang mencari kayu memotong dahan-dahan di ujung hutan,” berkata Sukmo Aji di dalam hatinya. Dan hatinya yang sedang ngelangut itu rasa-rasanya terlampau mudah disentuh sesuatu yang nampaknya mencurigakan.
“Apakah yang sebenarnya terjadi?” bisik Sukmo Aji.
Sebenarnya Sukmo Aji pun sama sekali tidak menduga bahwa di hutan kecil itu telah siap enam puluh orang bersenjata yang akan menyerang iring-iringan itu. Jika ia menjadi curiga, justru karena persoalan yang berbeda.
“Jika benar-benar ada seseorang yang memotong dahan kayu di atas jalan itu, aku harus memberitahukan kepadanya, agar mereka menunggu iring-iringan ini lewat,” berkata Sukmo Aji di dalam hatinya.
Karena itulah, maka Sukmo Aji pun agak mempercepat kudanya. Yang terbesit di dalam hatinya adalah jika orang yang tidak nalar menebang pohon tepat pada saat iring-iringan itu lewat. Karena itu maka ia harus mencegah. Jika sekiranya pohon itu memang sudah akan roboh, maka biarlah iring-iringan ini menunggu.
“Tetapi jika pohon itu sudah terlanjur roboh melintang jalan, maka iring-iringan ini akan terhenti untuk beberapa lama karena mereka harus menyingkirkan batang pohon itu lebih dahulu,” berkata Sukmo Aji di dalam hatinya.
Namun ia pun kemudian sambil bersungut-sungut bergumam, “Tentu anak-anak yang sekedar ingin merusak. Sepantasnya mereka mendapat peringatan.”
Sukmo Aji pun kemudian mendahului iring-iringannya. Ketika Wirapati bertanya, maka ia pun menjawab, “Di pinggir hutan itu nampaknya ada seseorang yang menebang pohon kayu. Aku ingin memberitahukan kepada mereka bahwa iring-iringan ini akan lewat. Jika belum terlambat, biarlah mereka menunggu.”
Wirapati mengangguk-angguk. Pranata yang melihat Sukmo Aji mendahului, menyuruh seseorang bertanya kepada kelompok di hadapannya. Namun jawab para pengawal sama sekali tidak menarik perhatiannya, karena Pranata pun mengira bahwa sebenarnyalah seseorang atau sekelompok orang sedang menebang pohon.
“Bodoh sekali,” gumam Pranata, “jika ia ingin menebang kayu, seharusnya ia tidak menebang yang berada tepat di pinggir jalan.”
“Tetapi mungkin kayu yang tidak banyak terdapat disekitar padukuhan mereka,” jawab yang lain, “mungkin kayu berlian atau kayu wregu putih atau kayu apa pun yang tidak ada duanya.”
Demikianlah Sukmo Aji dan seorang prajuritnya menjadi semakin dekat. Tetapi yang membuatnya heran, ternyata batang kayu itu sudah tidak bergetar lagi.
“Mungkin mereka menjadi ketakutan,” desis prajuritnya.
Sukmo Aji tidak menjawab. Tetapi kepalanya terangguk-angguk kecil. Orang yang menebang pohon itu tentu sudah melihatnya mendekat. Beberapa langkah sebelum sampai ke ujung hutan itu Sukmo Aji berhenti. Ia menjadi cemas, jika tiba-tiba saja pohon itu roboh dan kudanya yang ketakutan akan melonjak dan tidak terkendali. Karena itu, maka ia pun segera meloncat turun dan mengikat kudanya pada sebatang pohon yang tumbuh di pinggir jalan diikuti oleh kawannya. Keduanya pun kemudian melangkah mendekati ujung hutan. Namun mereka sudah tidak melihat pohon yang bergerak-gerak itu lagi.
“Gusti Sukmo Aji manakah yang kau lihat bergerak-gerak dan bergetar?” bertanya prajurit itu.
“Aku pasti, bahwa pohon cangkring itulah yang bergetar-getar. Tetapi kini agaknya sudah tidak lagi.”
“Tentu hanya karena angin.”
“Jika karena angin, tentu tidak hanya sebatang. Tetapi beberapa batang dan bahkan semuanya.”
Prajurit itu mengangguk-angguk. Katanya, “Mungkin ada orang yang memerlukan batang cangkring itu.”
Ketika mereka sampai di ujung hutan, maka mereka pun menjadi termangu-mangu. Ternyata mereka tidak melihat seorang pun yang berada di bawah pohon cangkring itu.
“Tidak ada seseorang. Mungkin anak-anak yang bermain-main dan bekejaran di dahan-dahan,” berkata prajurit itu.
“Berbahaya sekali. Apalagi batang dan dahan cangkring ditumbuhi duri yang tajam,” jawab Sukmo Aji.
Namun tiba-tiba Sukmo Aji melangkah mendekat. Dilihatnya pada pangkal batang cangkring itu ada keratan yang dalam sehingga dengan sedikit sentuhan dari keratan pada batang itu, maka pohon cangkring itu pun tentu roboh.
“Benar dugaanmu,” berkata Sukmo Aji, “tentu seseorang memerlukan batang cangkring itu. Tetapi ia menjadi takut dan pergi.”
“Untuk apa. Jarang sekali orang yang memerlukan kayu cangkring yang tidak cukup keras.”
“Tetapi bertuah. Kau tahu,” berkata Sukmo Aji kemudian, “bahwa pusaka Ken Arok menurut ceritera yang aku dengar dari mulut ke mulut, hulunya dibuat dari kayu cangkring? Saat ia mengambil dari Empu Gandring yang membuat keris itu, keris itu belum siap seluruhnya.”
“Nanti menjadi terlampau cepat senja jika gusti Sukmo Aji berceritera,” potong prajuritnya yang tersenyum karenanya.
Untuk beberapa saat, Sukmo Aji berdiri di bawah batang cangkring yang sudah hampir roboh itu.
“Marilah, kita harus memberitahukan kepada iring-iringan itu, bahwa mereka harus berhati-hati. Jika iring-iringan itu lewat, dan batang ini roboh, maka durinya akan dapat melukai banyak orang.”
“Aku akan menungguinya di sini. Jika batang ini bergerak menjelang roboh, aku dapat memberi isyarat yang berada di bawah batang ini supaya segera berlalu, sedang yang belum terlanjur, biarlah berhenti.”
Sukmo Aji menarik nafas. Di luar sadarnya ia menengadahkan wajahnya ketika ia mulai melangkah pergi. Tetapi langkahnya tertegun, ia memandang tajam-tajam ke dahan cangkring yang cukup lebat itu sementara iring-iringannya menjadi semakin dekat. Bahkan ujungnya sudah hampir sampai ke ujung hutan itu.
“He, kau lihat?” bertanya Sukmo Aji.
Prajurit itu menengadahkan kepalanya, lalu, “Tali. Benar-benar sekelompok kecil orang-orang yang ingin menebang pohon itu.”
“Tetapi tidak lazim mereka mengikat dahan-dahannya dengan batang-batang kayu yang lain.”
“Tentu demikian agar batang itu tidak roboh tanpa dapat dikendalikan.”
Sukmo Aji justru melangkah kembali mendekati batang cangkring itu. Dengan saksama ia memandang tali-tali yang merentang ke sebelah-menyebelah.
“Apakah kau pernah melihat orang menebang kayu di hutan dengan cara seperti sekarang ini?” bertanya Sukmo Aji.
“Tentu, aku pernah melihatnya.”
“Dan kau lihat tali yang bersilang seperti itu?”
Prajurit itu termangu-mangu. Namun kemudian ia menggelengkan kepalanya sambil menjawab, “Sepengetahuanku, tali-temali itu tidak sebanyak tali yang mengikat batang cangkring ini.”
“Biasanya diikat pada batang pohon di sebelahnya, atau bahkan tidak sama sekali.”
“Tidak pernah seseorang yang mencari kayu memotong dahan-dahan di ujung hutan,” berkata Sukmo Aji di dalam hatinya. Dan hatinya yang sedang ngelangut itu rasa-rasanya terlampau mudah disentuh sesuatu yang nampaknya mencurigakan.
“Apakah yang sebenarnya terjadi?” bisik Sukmo Aji.
Sebenarnya Sukmo Aji pun sama sekali tidak menduga bahwa di hutan kecil itu telah siap enam puluh orang bersenjata yang akan menyerang iring-iringan itu. Jika ia menjadi curiga, justru karena persoalan yang berbeda.
“Jika benar-benar ada seseorang yang memotong dahan kayu di atas jalan itu, aku harus memberitahukan kepadanya, agar mereka menunggu iring-iringan ini lewat,” berkata Sukmo Aji di dalam hatinya.
Karena itulah, maka Sukmo Aji pun agak mempercepat kudanya. Yang terbesit di dalam hatinya adalah jika orang yang tidak nalar menebang pohon tepat pada saat iring-iringan itu lewat. Karena itu maka ia harus mencegah. Jika sekiranya pohon itu memang sudah akan roboh, maka biarlah iring-iringan ini menunggu.
“Tetapi jika pohon itu sudah terlanjur roboh melintang jalan, maka iring-iringan ini akan terhenti untuk beberapa lama karena mereka harus menyingkirkan batang pohon itu lebih dahulu,” berkata Sukmo Aji di dalam hatinya.
Namun ia pun kemudian sambil bersungut-sungut bergumam, “Tentu anak-anak yang sekedar ingin merusak. Sepantasnya mereka mendapat peringatan.”
Sukmo Aji pun kemudian mendahului iring-iringannya. Ketika Wirapati bertanya, maka ia pun menjawab, “Di pinggir hutan itu nampaknya ada seseorang yang menebang pohon kayu. Aku ingin memberitahukan kepada mereka bahwa iring-iringan ini akan lewat. Jika belum terlambat, biarlah mereka menunggu.”
Wirapati mengangguk-angguk. Pranata yang melihat Sukmo Aji mendahului, menyuruh seseorang bertanya kepada kelompok di hadapannya. Namun jawab para pengawal sama sekali tidak menarik perhatiannya, karena Pranata pun mengira bahwa sebenarnyalah seseorang atau sekelompok orang sedang menebang pohon.
“Bodoh sekali,” gumam Pranata, “jika ia ingin menebang kayu, seharusnya ia tidak menebang yang berada tepat di pinggir jalan.”
“Tetapi mungkin kayu yang tidak banyak terdapat disekitar padukuhan mereka,” jawab yang lain, “mungkin kayu berlian atau kayu wregu putih atau kayu apa pun yang tidak ada duanya.”
Demikianlah Sukmo Aji dan seorang prajuritnya menjadi semakin dekat. Tetapi yang membuatnya heran, ternyata batang kayu itu sudah tidak bergetar lagi.
“Mungkin mereka menjadi ketakutan,” desis prajuritnya.
Sukmo Aji tidak menjawab. Tetapi kepalanya terangguk-angguk kecil. Orang yang menebang pohon itu tentu sudah melihatnya mendekat. Beberapa langkah sebelum sampai ke ujung hutan itu Sukmo Aji berhenti. Ia menjadi cemas, jika tiba-tiba saja pohon itu roboh dan kudanya yang ketakutan akan melonjak dan tidak terkendali. Karena itu, maka ia pun segera meloncat turun dan mengikat kudanya pada sebatang pohon yang tumbuh di pinggir jalan diikuti oleh kawannya. Keduanya pun kemudian melangkah mendekati ujung hutan. Namun mereka sudah tidak melihat pohon yang bergerak-gerak itu lagi.
“Gusti Sukmo Aji manakah yang kau lihat bergerak-gerak dan bergetar?” bertanya prajurit itu.
“Aku pasti, bahwa pohon cangkring itulah yang bergetar-getar. Tetapi kini agaknya sudah tidak lagi.”
“Tentu hanya karena angin.”
“Jika karena angin, tentu tidak hanya sebatang. Tetapi beberapa batang dan bahkan semuanya.”
Prajurit itu mengangguk-angguk. Katanya, “Mungkin ada orang yang memerlukan batang cangkring itu.”
Ketika mereka sampai di ujung hutan, maka mereka pun menjadi termangu-mangu. Ternyata mereka tidak melihat seorang pun yang berada di bawah pohon cangkring itu.
“Tidak ada seseorang. Mungkin anak-anak yang bermain-main dan bekejaran di dahan-dahan,” berkata prajurit itu.
“Berbahaya sekali. Apalagi batang dan dahan cangkring ditumbuhi duri yang tajam,” jawab Sukmo Aji.
Namun tiba-tiba Sukmo Aji melangkah mendekat. Dilihatnya pada pangkal batang cangkring itu ada keratan yang dalam sehingga dengan sedikit sentuhan dari keratan pada batang itu, maka pohon cangkring itu pun tentu roboh.
“Benar dugaanmu,” berkata Sukmo Aji, “tentu seseorang memerlukan batang cangkring itu. Tetapi ia menjadi takut dan pergi.”
“Untuk apa. Jarang sekali orang yang memerlukan kayu cangkring yang tidak cukup keras.”
“Tetapi bertuah. Kau tahu,” berkata Sukmo Aji kemudian, “bahwa pusaka Ken Arok menurut ceritera yang aku dengar dari mulut ke mulut, hulunya dibuat dari kayu cangkring? Saat ia mengambil dari Empu Gandring yang membuat keris itu, keris itu belum siap seluruhnya.”
“Nanti menjadi terlampau cepat senja jika gusti Sukmo Aji berceritera,” potong prajuritnya yang tersenyum karenanya.
Untuk beberapa saat, Sukmo Aji berdiri di bawah batang cangkring yang sudah hampir roboh itu.
“Marilah, kita harus memberitahukan kepada iring-iringan itu, bahwa mereka harus berhati-hati. Jika iring-iringan itu lewat, dan batang ini roboh, maka durinya akan dapat melukai banyak orang.”
“Aku akan menungguinya di sini. Jika batang ini bergerak menjelang roboh, aku dapat memberi isyarat yang berada di bawah batang ini supaya segera berlalu, sedang yang belum terlanjur, biarlah berhenti.”
Sukmo Aji menarik nafas. Di luar sadarnya ia menengadahkan wajahnya ketika ia mulai melangkah pergi. Tetapi langkahnya tertegun, ia memandang tajam-tajam ke dahan cangkring yang cukup lebat itu sementara iring-iringannya menjadi semakin dekat. Bahkan ujungnya sudah hampir sampai ke ujung hutan itu.
“He, kau lihat?” bertanya Sukmo Aji.
Prajurit itu menengadahkan kepalanya, lalu, “Tali. Benar-benar sekelompok kecil orang-orang yang ingin menebang pohon itu.”
“Tetapi tidak lazim mereka mengikat dahan-dahannya dengan batang-batang kayu yang lain.”
“Tentu demikian agar batang itu tidak roboh tanpa dapat dikendalikan.”
Sukmo Aji justru melangkah kembali mendekati batang cangkring itu. Dengan saksama ia memandang tali-tali yang merentang ke sebelah-menyebelah.
“Apakah kau pernah melihat orang menebang kayu di hutan dengan cara seperti sekarang ini?” bertanya Sukmo Aji.
“Tentu, aku pernah melihatnya.”
“Dan kau lihat tali yang bersilang seperti itu?”
Prajurit itu termangu-mangu. Namun kemudian ia menggelengkan kepalanya sambil menjawab, “Sepengetahuanku, tali-temali itu tidak sebanyak tali yang mengikat batang cangkring ini.”
“Biasanya diikat pada batang pohon di sebelahnya, atau bahkan tidak sama sekali.”
Quote:
SEJENAK KEDUANYA termangu-mangu. Namun Sukmo Aji harus mengambil keputusan tentang penglihatannya. Dan Sukmo Aji menganggap bahwa yang dilihatnya itu mencurigakan. Karena ini, pada saat iring-iringan sampai ke ujung hutan, ia meloncat ke tengah jalan sambil mengangkat tangannya, sehingga iring-iringan itu berhenti.
“Ha, itulah Gusti Sukmo Aji,” desis salah seorang prajuritnya.
“ Sukmo Aji kau tinggalkan kudamu di pinggir parit itu. Kami menjadi bertanya-tanya, kenapa kau tidak segera muncul kembali.”
“Jangan maju semuanya siapkan senjata kalian masing –masing lihat keadaan sekeliling mu,” berkata Sukmo Aji, “aku melihat hal yang aneh. Tetapi mungkin hanya karena aku terlampau berhati-hati. Mungkin orang-orang yang tidak berpengalaman ingin menebang pohon cangkring itu.”
“Apa yang terjadi?” bertanya seorang prajuritnya.
Sukmo Aji mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak segera menjawab. Ia menunggu, mudah-mudahan salah seorang dari orang-orang yang berada di iring –iringan itu datang mendekatinya.
Ternyata bahwa bukan hanya salah seorang. Sumo, Pranata dan Ki Panjalu datang mendekati Sukmo Aji sambil bertanya. “Apa yang kakang lihat?”
“Pohon cangkring itu. Ada sesuatu yang tidak dapat aku mengerti. Mudah-mudahan tidak ada apa-apa.”
Ki Panjalu dengan diiringi oleh beberapa orang pengawal segera mengikuti Sukmo Aji mendekati pohon cangkring yang sudah dikerat hampir putus itu. Hanya karena tali-tali yang sangkut-menyangkut pada dahan-dahannya kemudian diikat pada dahan batahg yang lain, di antara rimbunnya dedaunan sajalah maka pohon cangkring itu masih belum roboh melintang jalan.
“Kiai,” desis Sukmo Aji, “apakah Kiai sependapat, bahwa ada usaha untuk melindungi bekas keratan itu?”
Ki Panjalu termangu-mangu sejenak. Dilihatnya beberapa batang perdu yang disandarkan pada batang yang sudah dikerat itu, seolah-olah memang merupakan suatu usaha untuk menutupi keratan itu agar tidak mendapat perhatian dari orang-orang yang lewat.
“Aku kira memang demikian anakmas. Tetapi apakah pamrih mereka yang telah melakukannya?”
Sukmo Aji mengangkat pundaknya. Dengan nada yang datar ia menjawab, “Aku tidak tahu. Tetapi tentu sesuatu yang kurang wajar.”
“Jangan –jangan gerombolan rampok itu hendak mencegat iring –iringan ini lagi,” berkata salah seorang pengawal. “Ia dengan sengaja mengerat pohon itu dan membiarkannya roboh jika rombongan kita lewat tepat di bawahnya.”
Pranata memandang pengawal itu sejenak, lalu katanya, “Memang mungkin sekali. Tetapi bagaimanakah caranya sehingga pohon yang diikat dengan tali temali ini akan roboh tepat pada saat kita akan lewat.”
“Mungkin ada satu dua orang yang seharusnya menunggui pohon ini pada saat iring-iringan itu lewat.”
Sukmo Aji yang mendengar pembicaraan itu pun kemudian memotong, “Mungkin sekali. Nampaknya memang ada seseorang atau lebih yang berada di pohon ini saat aku melihat daun yang bergerak-gerak. Mungkin orang-orang itu baru mempersiapkan tali-tali yang manakah yang harus diputus saat rombongan kita lewat tepat di bawahnya.”
Wirapati mengangguk-angguk. Sambil memandang berkeliling ia bergumam, “Tentu mereka masih berada di hutan ini.”
Namun dalam pada itu, Pranata menggamit Sukmo Aji sambil berkata, “ Kakang aku melihat sesuatu yang bergerak-gerak. Tidak hanya satu atau dua, tetapi beberapa dan bahkan banyak.”
Sukmo Aji mengangguk-angguk. Tetapi ia sama sekali tidak memperlihatkan kesan apa pun juga. Demikian juga Ki Panjalu yang mendengar pembicaraan itu.
“Marilah,” berkata Sukmo Aji kemudian, “kita kembali ke dalam iring-iringan. Mungkin kita sekedar berangan-angan tentang batang cangkring ini. Mungkin benar bahwa seseorang yang belum berpengalaman sedang mencoba menebang pohon ini.”
Beberapa orang masih termangu-mangu. Namun sekali lagi Sukmo Aji memberi isyarat, “Cepatlah. Kita harus segera melanjutkan perjalanan yang tinggal selemparan tombak ini.”
“Ha, itulah Gusti Sukmo Aji,” desis salah seorang prajuritnya.
“ Sukmo Aji kau tinggalkan kudamu di pinggir parit itu. Kami menjadi bertanya-tanya, kenapa kau tidak segera muncul kembali.”
“Jangan maju semuanya siapkan senjata kalian masing –masing lihat keadaan sekeliling mu,” berkata Sukmo Aji, “aku melihat hal yang aneh. Tetapi mungkin hanya karena aku terlampau berhati-hati. Mungkin orang-orang yang tidak berpengalaman ingin menebang pohon cangkring itu.”
“Apa yang terjadi?” bertanya seorang prajuritnya.
Sukmo Aji mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak segera menjawab. Ia menunggu, mudah-mudahan salah seorang dari orang-orang yang berada di iring –iringan itu datang mendekatinya.
Ternyata bahwa bukan hanya salah seorang. Sumo, Pranata dan Ki Panjalu datang mendekati Sukmo Aji sambil bertanya. “Apa yang kakang lihat?”
“Pohon cangkring itu. Ada sesuatu yang tidak dapat aku mengerti. Mudah-mudahan tidak ada apa-apa.”
Ki Panjalu dengan diiringi oleh beberapa orang pengawal segera mengikuti Sukmo Aji mendekati pohon cangkring yang sudah dikerat hampir putus itu. Hanya karena tali-tali yang sangkut-menyangkut pada dahan-dahannya kemudian diikat pada dahan batahg yang lain, di antara rimbunnya dedaunan sajalah maka pohon cangkring itu masih belum roboh melintang jalan.
“Kiai,” desis Sukmo Aji, “apakah Kiai sependapat, bahwa ada usaha untuk melindungi bekas keratan itu?”
Ki Panjalu termangu-mangu sejenak. Dilihatnya beberapa batang perdu yang disandarkan pada batang yang sudah dikerat itu, seolah-olah memang merupakan suatu usaha untuk menutupi keratan itu agar tidak mendapat perhatian dari orang-orang yang lewat.
“Aku kira memang demikian anakmas. Tetapi apakah pamrih mereka yang telah melakukannya?”
Sukmo Aji mengangkat pundaknya. Dengan nada yang datar ia menjawab, “Aku tidak tahu. Tetapi tentu sesuatu yang kurang wajar.”
“Jangan –jangan gerombolan rampok itu hendak mencegat iring –iringan ini lagi,” berkata salah seorang pengawal. “Ia dengan sengaja mengerat pohon itu dan membiarkannya roboh jika rombongan kita lewat tepat di bawahnya.”
Pranata memandang pengawal itu sejenak, lalu katanya, “Memang mungkin sekali. Tetapi bagaimanakah caranya sehingga pohon yang diikat dengan tali temali ini akan roboh tepat pada saat kita akan lewat.”
“Mungkin ada satu dua orang yang seharusnya menunggui pohon ini pada saat iring-iringan itu lewat.”
Sukmo Aji yang mendengar pembicaraan itu pun kemudian memotong, “Mungkin sekali. Nampaknya memang ada seseorang atau lebih yang berada di pohon ini saat aku melihat daun yang bergerak-gerak. Mungkin orang-orang itu baru mempersiapkan tali-tali yang manakah yang harus diputus saat rombongan kita lewat tepat di bawahnya.”
Wirapati mengangguk-angguk. Sambil memandang berkeliling ia bergumam, “Tentu mereka masih berada di hutan ini.”
Namun dalam pada itu, Pranata menggamit Sukmo Aji sambil berkata, “ Kakang aku melihat sesuatu yang bergerak-gerak. Tidak hanya satu atau dua, tetapi beberapa dan bahkan banyak.”
Sukmo Aji mengangguk-angguk. Tetapi ia sama sekali tidak memperlihatkan kesan apa pun juga. Demikian juga Ki Panjalu yang mendengar pembicaraan itu.
“Marilah,” berkata Sukmo Aji kemudian, “kita kembali ke dalam iring-iringan. Mungkin kita sekedar berangan-angan tentang batang cangkring ini. Mungkin benar bahwa seseorang yang belum berpengalaman sedang mencoba menebang pohon ini.”
Beberapa orang masih termangu-mangu. Namun sekali lagi Sukmo Aji memberi isyarat, “Cepatlah. Kita harus segera melanjutkan perjalanan yang tinggal selemparan tombak ini.”
Quote:
PARA PENGAWAL ITU pun kemudian meninggalkan tempat itu menuju ke kuda masing-masing. Tetapi Sukmo Aji, Pranata, Simo, Wirapati dan Ki Panjalu berjalan lebih lambat mengkuti dari belakang.
“Agaknya kita telah lengah. Kita sudah terlanjur berkumpul di ujung hutan. Iring-iringan kita sudah rusak dan tidak seperti yang kita rencanakan,” desis Sukmo Aji.
“Tetapi kita masih utuh. Iring-iringan ini hanya kehilangan jarak. Tetapi nampaknya masih ada kelompok-kelompok yang dapat didorong untuk memencar jika perlu,” jawab Simo dengan wajah yang mulai terlihat ketegangan.
“Aku melihat sesuatu yang mencurigakan.”
“Ya. Ternyata aku pun melihat,” sahut Pranata.
Sedangkan Wirapati pun menyambung, “Aku juga melihat, dan aku memuji kecerdasan mereka, bahwa mereka telah mencegat kita di sini.”
Ketiga orang-orang tua itu mengangguk-angguk. Dengan pandangan mata mereka yang tajam, mereka melihat orang-orang yang berlindung di balik gerumbul perdu dan pepohonan sedang merayap semakin mendekat. Sebenarnyalah bahwa Jaran Lajar menjadi marah bukan buatan ketika ia melihat rencananya tidak dapat dilaksanakan seperti yang dikehendakinya. Iring-iringan itu telah berhenti, karena ketajaman mata seseorang dari antara para pengawal dari Pajang itu.
Namun demikian, rencananya belum gagal sama sekali. Iring-iringan itu berhenti di ujung hutan, sehingga orang-orangnya akan dapat mencapainya dengan cepat. Karena itulah maka ia pun segera berbicara sejenak dengan para pemimpin dari ketiga kelompok yang dibawanya. Kemudian diperintahkannya untuk membawa orang-orang mereka masing-masing, mendekati iring-iringan yang berhenti itu.
“Jika aku membunyikan isyarat, kalian harus menyerang dengan tiba-tiba. Langsung ke jantung iring-iringan yang sudah tidak teratur lagi. Mereka tentu sudah lengah dan tidak menduga sama sekali, kecuali beberapa orang yang mencurigai batang cangkring itu.”
“Tetapi kecurigaan itu akan segera tersebar,” jawab yang lain.
“Mereka masih ragu-ragu. Mungkin mereka mempunyai dugaan lain.”
Karena itulah ketika mereka melihat dari celah-celah dedaunan yang rimbun, para pengawal kembali ke kuda masing-masing dengan langkah yang seolah-olah tidak terpengaruh sama sekali oleh keadaan yang tersembunyi di hutan itu, Jaran Lajar berkata, “Mereka tidak mengira bahwa sebentar lagi mereka akan disergap. Karena itu kita berhati-hati. Kita harus berusaha berlindung di balik gerumbul dan pohon-pohon besar di hutan ini.”
“Agaknya kita telah lengah. Kita sudah terlanjur berkumpul di ujung hutan. Iring-iringan kita sudah rusak dan tidak seperti yang kita rencanakan,” desis Sukmo Aji.
“Tetapi kita masih utuh. Iring-iringan ini hanya kehilangan jarak. Tetapi nampaknya masih ada kelompok-kelompok yang dapat didorong untuk memencar jika perlu,” jawab Simo dengan wajah yang mulai terlihat ketegangan.
“Aku melihat sesuatu yang mencurigakan.”
“Ya. Ternyata aku pun melihat,” sahut Pranata.
Sedangkan Wirapati pun menyambung, “Aku juga melihat, dan aku memuji kecerdasan mereka, bahwa mereka telah mencegat kita di sini.”
Ketiga orang-orang tua itu mengangguk-angguk. Dengan pandangan mata mereka yang tajam, mereka melihat orang-orang yang berlindung di balik gerumbul perdu dan pepohonan sedang merayap semakin mendekat. Sebenarnyalah bahwa Jaran Lajar menjadi marah bukan buatan ketika ia melihat rencananya tidak dapat dilaksanakan seperti yang dikehendakinya. Iring-iringan itu telah berhenti, karena ketajaman mata seseorang dari antara para pengawal dari Pajang itu.
Namun demikian, rencananya belum gagal sama sekali. Iring-iringan itu berhenti di ujung hutan, sehingga orang-orangnya akan dapat mencapainya dengan cepat. Karena itulah maka ia pun segera berbicara sejenak dengan para pemimpin dari ketiga kelompok yang dibawanya. Kemudian diperintahkannya untuk membawa orang-orang mereka masing-masing, mendekati iring-iringan yang berhenti itu.
“Jika aku membunyikan isyarat, kalian harus menyerang dengan tiba-tiba. Langsung ke jantung iring-iringan yang sudah tidak teratur lagi. Mereka tentu sudah lengah dan tidak menduga sama sekali, kecuali beberapa orang yang mencurigai batang cangkring itu.”
“Tetapi kecurigaan itu akan segera tersebar,” jawab yang lain.
“Mereka masih ragu-ragu. Mungkin mereka mempunyai dugaan lain.”
Karena itulah ketika mereka melihat dari celah-celah dedaunan yang rimbun, para pengawal kembali ke kuda masing-masing dengan langkah yang seolah-olah tidak terpengaruh sama sekali oleh keadaan yang tersembunyi di hutan itu, Jaran Lajar berkata, “Mereka tidak mengira bahwa sebentar lagi mereka akan disergap. Karena itu kita berhati-hati. Kita harus berusaha berlindung di balik gerumbul dan pohon-pohon besar di hutan ini.”
Quote:
PADA SAAT JARAN LANJAR dan para pengikutnya merayap semakin dekat, maka seolah-olah tidak ada sesuatu yang terjadi. Sukmo Aji, Pranata, Simo, Wirapati dan Ki Panjalu melangkah kembali ke kelompoknya. Dengan demikian, maka sikapnya sama sekali tidak mempengaruhi usaha lawannya untuk merayap ke tepi hutan sebelum menyerang dengan tiba-tiba.
Namun ketika Wirapati berjalan di samping Sukmo Aji, ia berbisik, “Bersiaplah. Hati-hati dengan hutan itu. Setiap gerak adalah bahaya yang dapat menerkam kalian. Apalagi kalian berada di daerah yang paling dekat dengan hutan itu.”
Sukmo Aji menarik nafas. Tetapi ketenangannya sama sekali tidak memberikan kesan apa pun juga. Dengan demikian maka orang-orang yang bersembunyi di dalam hutan yang berhasil mencapai pohon yang paling tepi tanpa diketahui oleh para pengawal sempat melihat, seolah-olah Sukmo Aji masih belum mengetahuinya.
Dalam pada itu Sukmo Aji pun berbisik kepada kawan-kawannya, “Bersiaplah. Tetapi jangan membuat kesan yang dapat mempercepat serangan orang-orang yang bersembunyi di dalam hutan itu, agar kawan-kawan kita yang lain sempat bersiap.”
“Apakah mereka sudah bersiap untuk menyerang?”
“Agaknya demikian .”
Belum lagi kata-kata Sukmo Aji lenyap dihembus angin yang lamban, matanya sudah mulai menangkap gerak-gerak yang mencurigakan di pinggiran hutan yang ditumbuhi oleh batang-batang perdu.
“Mereka sudah bersiap. Kita berada di paling ujung sehingga kita akan mengalaminya yang pertama. Tetapi jangan tunjukkan sikap bahwa kalian sedang bersiap.”
“Jadi bagaimana.”
“Bersiap sajalah.”
“Tetapi jangan berubah sikap. Bersiaga sajalah kita tunggu apa yang sebenarnya akan terjadi.”
Pranata termenung sejenak. Namun ia pun berkata kepada para pengawal yang dibawanya dari Pajang, “Bersiagalah. Ternyata perjalanan kita bukan perjalanan tanpa rintangan. Orang-orang jahat itu memilih tempat yang sama sekali tidak kita duga.”
Para pengawal pun telah bersiaga. Jika seorang saja nampak meloncat dari dalam hutan, maka pedang mereka sudah berada di genggaman.
Ketika Sukmo Aji berdiri didekat Wirapati dan Ki Panjalu, ia pun berkata, “Ternyata kita akan menjumpai kesulitan di sini kakang. Justru di ujung perbatasan Pajang”
“ Ternyata di hutan perbatasan Pajang ini telah penuh dengan orang-orang yang akan merampok kita,” jawab Sukmo Aji.
Sementara Ki Panjalu berkata, “Aku berada di sini. Tetapi sebaiknya kalian tetap berhati-hati. Kita tidak tahu, berapa orang yang berada di hutan itu. Mereka sekarang baru berkumpul menepi sebelum mereka akan meloncat ke luar dan menyerang kita dengan tiba-tiba.”
Wirapati menarik nafas dalam-dalam. Katanya dengan nada penyesalan, “Kita sudah lengah. Ketika kita merasa bahwa perjalanan selanjutnya sudah aman, ternyata kita sudah dihadapkan pada suatu cobaan justru di serambi rumah sendiri.”
“Bersiaplah. Aku sudah melihat mereka berada ditepi hutan itu.”
Sukmo Aji dan orang-orang di dalam iring-iringan itu pun kemudian telah melihat pula dedaunan yang bergerak-gerak. Namun dalam pada itu, Pranata yang telah sampai ke kudanya, segera meloncat naik dan bergerak dengan cepat ke kelompok berikutnya sambil berteriak, “Berpencarlah. Bersiaplah. Kita akan bertempur. Cepat, jangan menjadi bingung.”
Para pengawal mula-mula menjadi bingung. Terlabih lagi pengawal dari Pasuruan. Namun sejenak kemudian mereka telah dapat menguasai perasaannya dengan mapan. Tetapi dengan demikian, teriakan Pranata bagaikan perintah kepada Jaran Lajar untuk menggerakkan pasukannya. Karena dengan demikian orang-orang yang bersembunyi itu sadar, bahwa iring-iringan itu sudah dapat melihat mereka, betapapun mereka berusaha bersembunyi.
Karena itulah maka sejenak kemudian terdengar pula teriakan di pinggir hutan itu. Ternyata Jaran Lajar pun telah menjatuhkan perintah untuk menyerang orang-orang yang termangu-mangu di pinggir hutan itu.
Sementara orang-orang dari dalam hutan itu berloncatan ke luar tanpa kuda masing-masing, maka Sukmo Aji pun meneriakkan aba-aba pula, “Berpencarlah. Jangan korbankan kuda-kuda kalian.”
Para pengawal menyadari. Kuda-kuda mereka akan dapat menjadi korban ujung tombak orang-orang yang berlari-larian dari dalam hutan itu. Karena itulah maka mereka pun segera berloncatan turun dan berlari-larian, menyongsong lawan mereka di tengah-tengah padang perdu di tepi hutan itu. Mereka dengan sengaja melepaskan kuda-kuda mereka begitu saja, karena mereka yakin, bahwa kuda-kuda mereka akan tidak akan pergi terlalu jauh.
Namun ketika Wirapati berjalan di samping Sukmo Aji, ia berbisik, “Bersiaplah. Hati-hati dengan hutan itu. Setiap gerak adalah bahaya yang dapat menerkam kalian. Apalagi kalian berada di daerah yang paling dekat dengan hutan itu.”
Sukmo Aji menarik nafas. Tetapi ketenangannya sama sekali tidak memberikan kesan apa pun juga. Dengan demikian maka orang-orang yang bersembunyi di dalam hutan yang berhasil mencapai pohon yang paling tepi tanpa diketahui oleh para pengawal sempat melihat, seolah-olah Sukmo Aji masih belum mengetahuinya.
Dalam pada itu Sukmo Aji pun berbisik kepada kawan-kawannya, “Bersiaplah. Tetapi jangan membuat kesan yang dapat mempercepat serangan orang-orang yang bersembunyi di dalam hutan itu, agar kawan-kawan kita yang lain sempat bersiap.”
“Apakah mereka sudah bersiap untuk menyerang?”
“Agaknya demikian .”
Belum lagi kata-kata Sukmo Aji lenyap dihembus angin yang lamban, matanya sudah mulai menangkap gerak-gerak yang mencurigakan di pinggiran hutan yang ditumbuhi oleh batang-batang perdu.
“Mereka sudah bersiap. Kita berada di paling ujung sehingga kita akan mengalaminya yang pertama. Tetapi jangan tunjukkan sikap bahwa kalian sedang bersiap.”
“Jadi bagaimana.”
“Bersiap sajalah.”
“Tetapi jangan berubah sikap. Bersiaga sajalah kita tunggu apa yang sebenarnya akan terjadi.”
Pranata termenung sejenak. Namun ia pun berkata kepada para pengawal yang dibawanya dari Pajang, “Bersiagalah. Ternyata perjalanan kita bukan perjalanan tanpa rintangan. Orang-orang jahat itu memilih tempat yang sama sekali tidak kita duga.”
Para pengawal pun telah bersiaga. Jika seorang saja nampak meloncat dari dalam hutan, maka pedang mereka sudah berada di genggaman.
Ketika Sukmo Aji berdiri didekat Wirapati dan Ki Panjalu, ia pun berkata, “Ternyata kita akan menjumpai kesulitan di sini kakang. Justru di ujung perbatasan Pajang”
“ Ternyata di hutan perbatasan Pajang ini telah penuh dengan orang-orang yang akan merampok kita,” jawab Sukmo Aji.
Sementara Ki Panjalu berkata, “Aku berada di sini. Tetapi sebaiknya kalian tetap berhati-hati. Kita tidak tahu, berapa orang yang berada di hutan itu. Mereka sekarang baru berkumpul menepi sebelum mereka akan meloncat ke luar dan menyerang kita dengan tiba-tiba.”
Wirapati menarik nafas dalam-dalam. Katanya dengan nada penyesalan, “Kita sudah lengah. Ketika kita merasa bahwa perjalanan selanjutnya sudah aman, ternyata kita sudah dihadapkan pada suatu cobaan justru di serambi rumah sendiri.”
“Bersiaplah. Aku sudah melihat mereka berada ditepi hutan itu.”
Sukmo Aji dan orang-orang di dalam iring-iringan itu pun kemudian telah melihat pula dedaunan yang bergerak-gerak. Namun dalam pada itu, Pranata yang telah sampai ke kudanya, segera meloncat naik dan bergerak dengan cepat ke kelompok berikutnya sambil berteriak, “Berpencarlah. Bersiaplah. Kita akan bertempur. Cepat, jangan menjadi bingung.”
Para pengawal mula-mula menjadi bingung. Terlabih lagi pengawal dari Pasuruan. Namun sejenak kemudian mereka telah dapat menguasai perasaannya dengan mapan. Tetapi dengan demikian, teriakan Pranata bagaikan perintah kepada Jaran Lajar untuk menggerakkan pasukannya. Karena dengan demikian orang-orang yang bersembunyi itu sadar, bahwa iring-iringan itu sudah dapat melihat mereka, betapapun mereka berusaha bersembunyi.
Karena itulah maka sejenak kemudian terdengar pula teriakan di pinggir hutan itu. Ternyata Jaran Lajar pun telah menjatuhkan perintah untuk menyerang orang-orang yang termangu-mangu di pinggir hutan itu.
Sementara orang-orang dari dalam hutan itu berloncatan ke luar tanpa kuda masing-masing, maka Sukmo Aji pun meneriakkan aba-aba pula, “Berpencarlah. Jangan korbankan kuda-kuda kalian.”
Para pengawal menyadari. Kuda-kuda mereka akan dapat menjadi korban ujung tombak orang-orang yang berlari-larian dari dalam hutan itu. Karena itulah maka mereka pun segera berloncatan turun dan berlari-larian, menyongsong lawan mereka di tengah-tengah padang perdu di tepi hutan itu. Mereka dengan sengaja melepaskan kuda-kuda mereka begitu saja, karena mereka yakin, bahwa kuda-kuda mereka akan tidak akan pergi terlalu jauh.
Diubah oleh breaking182 15-11-2022 02:20
ashrose dan 16 lainnya memberi reputasi
17
Kutip
Balas