- Beranda
- Stories from the Heart
KIDUNG DI ATAS TANAH JAWI
...
TS
breaking182
KIDUNG DI ATAS TANAH JAWI
Quote:
Menuliskan cerita yang berbau sejarah tidak gampang. Tulisan ini berdasarkan riset kecil dengan metode wawancara dengan orang yang lebih mengerti dan sumber terpercaya sebatas pengetahuan narasumber. Di samping itu kecintaan saya akan film -film kolosal, sandiwara radio era tahun 90-an tentang kerajaan - kerajaan di tanah Jawa mendorong saya untuk menulis. Tentu saja dengan keterbatasan ilmu pengetahuan yang saya miliki. Kidung Di Atas Tanah Jawi bercerita tentang perjalanan seorang pemuda bernama Arya Gading. Berlatar belakang kerajaan Pajang di bawah pemerintahan Sultan Hadiwijoyo. Cerita ini fiktif belaka. Baca dan nikmati. Salam Olahraga.........
Quote:

Quote:
Konten Sensitif
Quote:
EPISODE 1
GEGER DI PUCANG KEMBAR
gatra 1
gatra 2
gatra 3
gatra 4
gatra 5
gatra 6
gatra 7
gatra 8
gatra 9
gatra 10
gatra 11
gatra 12
gatra 13
gatra 14
gatra 15
gatra 16
gatra 17
gatra 18
gatra 19
gatra 20
gatra 21
gatra 22
gatra 23
gatra 24
gatra 25
gatra 26
gatra 27
gatra 28
gatra 29
gatra 30
gatra 31
gatra 32
gatra 33
gatra 34
gatra 35
gatra 36
gatra 37
gatra 38
gatra 39
gatra 40
gatra 41
gatra 42
gatra 43
gatra 44
gatra 45
gatra 46
gatra 47
gatra 48
gatra 49
Quote:
EPISODE 2
BARA API DI KAKI MERAPI
gatra 1
gatra 2
gatra 3
gatra 4
gatra 5
gatra 6
gatra 7
gatra 8
gatra 9
gatra 10
gatra 11
gatra 12
gatra 13
gatra 14
gatra 15
gatra 16
gatra 17
gatra 18
gatra 19
gatra 20
gatra 21
gatra 22
gatra 23
gatra 24
gatra 25
gatra 26
gatra 27
gatra 28
gatra 29
gatra 30
gatra 31
gatra 32
gatra 33
gatra 34
gatra 35
gatra 36
gatra 37
gatra 38
gatra 39
gatra 40
gatra 41
gatra 42
gatra 43
gatra 44
gatra 45
gatra 46
gatra 47
gatra 48
gatra 49
gatra 50
gatra 51
Quote:
Diubah oleh breaking182 30-12-2022 23:12
jundi666 dan 70 lainnya memberi reputasi
71
81.7K
Kutip
622
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
breaking182
#391
gatra 11
Quote:
BERBAGAI DUGAAN telah timbul di antara mereka yang berpapasan dengan iring-iringan orang –orang berkuda itu. Ada di antara orang-orang yang melihat iring-iringan itu menduga, bahwa yang lewat adalah sekelompok prajurit dalam tugas sandi, karena pakaian mereka sama sekali tidak menunjukkan ciri seorang prajurit. Namun ada juga yang menaruh curiga, bahwa yang lewat adalah sekelompok begal yang sedang berpindah dari satu sarang ke sarang yang lain.
Demikianlah iring-iringan itu berjalan terus meskipun tidak terlalu cepat karena kini Wirapati yang di paling depan memang tidak ingin memacu kudanya. Apalagi ia sadar, bahwa perjalanan itu bukan perjalanan yang tergesa-gesa. Karena itulah, maka perjalanan itu nampaknya tidak dikekang oleh ikatan yang terlalu rapat dari kelompok yang satu dengan kelompok yang lainnya. Sementara itu disamping Wirapati seorang pemuda memakai ikat kepala berwarna coklat tua duduk dengan tenangnya di atas punggung kuda berwarna hitam legam.
Pemuda yang berada di depan ternyata berhasil memusatkan perhatiannya kepada jalan yang dilaluinya ketika ia mulai merasakan lembabnya udara hutan. Angin terasa bertiup perlahan-lahan. Debu yang terlempar dari kaki-kaki kuda, nampaknya bagaikan melayang perlahan-lahan menyingkir dari iring-iringan yang maju tidak terlampau cepat itu.
Wirapati melirik pada pemuda yang berkuda di sampingnya. Ujarnya, “ Sukmo Aji sebentar lagi kita akan memasuki hutan Jati Jajar. Tempo hari aku dan rombongan di rampok disini. Berhati –hatilah “
Sukmo Aji mengangguk perlahan. Tumenggung anom dari Pajang itu menambah kewaspadaannya karena di hadapan mereka masih terdapat Jati Jajar. Jika terjadi kerusuhan di hutan itu, maka para penjahat akan dengan mudah melenyapkan dirinya di antara pepohonan hutan yang lebat. Mereka seolah-olah sudah terbiasa dengan jalan-jalan sempit dan tempat-tempat persembunyian yang lain jika mereka merasa terdesak, atau jika mereka sudah menguasai sebagian besar dari milik orang-orang yang telah mereka rampok itu. Dan Sukmo Aji teringat akan perintah Sultan Hadiwijoyo manakala ia diperintahkan mengawal utusan dari Pasuruan sampai perbatasan Pajang.
“ Sukmo Aji kawal utusan Pasuruan ini. Jika nanti ada serangan pada saat melewati hutan Jati Jajar lumpuhkan gerombolan begal itu. Da yang lebih penting lagi tangkap mereka bawa ke Pajang hidup atau pun mati “
Sukmo Aji memandang pohon-pohon besar di sebelah-menyebelah jalan dengan sadar. Tetapi sebagai seorang bekas perantau, rasa-rasaya ia mempunyai firasat terhadap jalan yang akan dilaluinya. Karena itu, ketika ia melihat kera-kera yang berloncatan di dahan-dahan, burung-burung yang bersiul, serta binatang-bmateng kecil yang kadang-kadang berlari silang-menyilang menyeberangi jalan, maka Sukmo Aji mempunyai perhitungan yang meskipun belum meyakinkan, tetapi mempunyai kemungkinan terbesar, bahwa jalan yang dilaluinya di tengah-tengah Jati Jajar itu pun tidak akan terganggu sama sekali.
Meskipun demikian perjalanan itu rasa-rasanya menjadi tegang juga. Hampir setiap orang tidak lagi sempat berbicara. Apalagi mereka para utusan pengantar upeti dar Pasuruan yang memang memiliki pengalaman buruk manakala melintasi hutan itu beberapa hari yang lalu. Namun demikian, mereka pun melihat, bahwa jalan itu tidak terlalu sepi. Sekali-sekali mereka berpapasan dengan sekelompok kecil para pedagang yang membawa barang-barangnya dengan beberapa ekor kuda. Tetapi mereka pun berjumpa pula dengan dua atau tiga orang saja yang bepergian melintasi hutan itu.
“Hutan ini sudah tidak menakutkan lagi,” berkata Kayun kepada Samba yang berkuda di sampingnya. Samba tersenyum, “ Iya tidak menakutkan lagi karena kita dikawal oleh dua puluh prajurit pilihan Pajang.
Kayun tersenyum sambil mengangguk-angguk. Salah seorang dari mereka berkata, “Tetapi bekas-bekasnya pertempuran kemarin masih nampak.”
Dua senopati dari Pajang yang bernama Simo dan Pranata yang berada di antara para pengiring dari Pasuruan justru menjadi sangat berhati-hati. Hutan itu nampaknya masih terlalu berbahaya meskipun ia pernah mendengar pula bahwa jalan sudah menjadi aman. Namun setiap saat, apalagi dalam keadaan seperti itu, maka penjahat-penjahat dapat saja memilih tempat yang justru tidak lagi dianggap gawat.
Demikianlah iring-iringan itu berjalan terus meskipun tidak terlalu cepat karena kini Wirapati yang di paling depan memang tidak ingin memacu kudanya. Apalagi ia sadar, bahwa perjalanan itu bukan perjalanan yang tergesa-gesa. Karena itulah, maka perjalanan itu nampaknya tidak dikekang oleh ikatan yang terlalu rapat dari kelompok yang satu dengan kelompok yang lainnya. Sementara itu disamping Wirapati seorang pemuda memakai ikat kepala berwarna coklat tua duduk dengan tenangnya di atas punggung kuda berwarna hitam legam.
Pemuda yang berada di depan ternyata berhasil memusatkan perhatiannya kepada jalan yang dilaluinya ketika ia mulai merasakan lembabnya udara hutan. Angin terasa bertiup perlahan-lahan. Debu yang terlempar dari kaki-kaki kuda, nampaknya bagaikan melayang perlahan-lahan menyingkir dari iring-iringan yang maju tidak terlampau cepat itu.
Wirapati melirik pada pemuda yang berkuda di sampingnya. Ujarnya, “ Sukmo Aji sebentar lagi kita akan memasuki hutan Jati Jajar. Tempo hari aku dan rombongan di rampok disini. Berhati –hatilah “
Sukmo Aji mengangguk perlahan. Tumenggung anom dari Pajang itu menambah kewaspadaannya karena di hadapan mereka masih terdapat Jati Jajar. Jika terjadi kerusuhan di hutan itu, maka para penjahat akan dengan mudah melenyapkan dirinya di antara pepohonan hutan yang lebat. Mereka seolah-olah sudah terbiasa dengan jalan-jalan sempit dan tempat-tempat persembunyian yang lain jika mereka merasa terdesak, atau jika mereka sudah menguasai sebagian besar dari milik orang-orang yang telah mereka rampok itu. Dan Sukmo Aji teringat akan perintah Sultan Hadiwijoyo manakala ia diperintahkan mengawal utusan dari Pasuruan sampai perbatasan Pajang.
“ Sukmo Aji kawal utusan Pasuruan ini. Jika nanti ada serangan pada saat melewati hutan Jati Jajar lumpuhkan gerombolan begal itu. Da yang lebih penting lagi tangkap mereka bawa ke Pajang hidup atau pun mati “
Sukmo Aji memandang pohon-pohon besar di sebelah-menyebelah jalan dengan sadar. Tetapi sebagai seorang bekas perantau, rasa-rasaya ia mempunyai firasat terhadap jalan yang akan dilaluinya. Karena itu, ketika ia melihat kera-kera yang berloncatan di dahan-dahan, burung-burung yang bersiul, serta binatang-bmateng kecil yang kadang-kadang berlari silang-menyilang menyeberangi jalan, maka Sukmo Aji mempunyai perhitungan yang meskipun belum meyakinkan, tetapi mempunyai kemungkinan terbesar, bahwa jalan yang dilaluinya di tengah-tengah Jati Jajar itu pun tidak akan terganggu sama sekali.
Meskipun demikian perjalanan itu rasa-rasanya menjadi tegang juga. Hampir setiap orang tidak lagi sempat berbicara. Apalagi mereka para utusan pengantar upeti dar Pasuruan yang memang memiliki pengalaman buruk manakala melintasi hutan itu beberapa hari yang lalu. Namun demikian, mereka pun melihat, bahwa jalan itu tidak terlalu sepi. Sekali-sekali mereka berpapasan dengan sekelompok kecil para pedagang yang membawa barang-barangnya dengan beberapa ekor kuda. Tetapi mereka pun berjumpa pula dengan dua atau tiga orang saja yang bepergian melintasi hutan itu.
“Hutan ini sudah tidak menakutkan lagi,” berkata Kayun kepada Samba yang berkuda di sampingnya. Samba tersenyum, “ Iya tidak menakutkan lagi karena kita dikawal oleh dua puluh prajurit pilihan Pajang.
Kayun tersenyum sambil mengangguk-angguk. Salah seorang dari mereka berkata, “Tetapi bekas-bekasnya pertempuran kemarin masih nampak.”
Dua senopati dari Pajang yang bernama Simo dan Pranata yang berada di antara para pengiring dari Pasuruan justru menjadi sangat berhati-hati. Hutan itu nampaknya masih terlalu berbahaya meskipun ia pernah mendengar pula bahwa jalan sudah menjadi aman. Namun setiap saat, apalagi dalam keadaan seperti itu, maka penjahat-penjahat dapat saja memilih tempat yang justru tidak lagi dianggap gawat.
Quote:
NAMUN PERJALANAN mereka sama sekali tidak terganggu. Beberapa saat lagi mereka akan sampai di ujung jalan yang membelah hutan Jati Jajar itu. Sudah barang tentu semakin dekat mereka dengan daerah terbuka, maka perjalanan mereka akan menjadi semakin aman. Di seberang Jati Jajar terbentang daerah yang subur dan tenang seperti daerah-daerah lain yang jauh dari hutan.
Para pengiring utuan dari Pasuruan itu menarik nafas dalam-dalam, ketika mereka kemudian muncul dari jalan yang menyusup di antara pepohonan hutan di Jati Jajar itu. Rasa-rasanya bagaikan terlepas dari kepepatan yang menghimpit dada mereka, karena ketegangan. Sambil menengadahkan wajah mereka, maka mereka pun tersenyum melihat bentangan langit yang luas karena tatapan mata mereka tidak terhalang lagi oleh dedaunan yang rimbunnya hutan.
Sukmo Aji pun menarik nafas dalam-dalam pula. Dengan wajah yang tenang ditatapnya daerah yang terbuka, terbentang di hadapannya. Ia merasa seperti yang dirasakan oleh kebanyakan orang di dalam iring-iringan itu. Karena itulah maka keterbukaan langit yang luas itu bagaikan keterbukaan hatinya yang tegang selama perjalanan di dalam hutan itu.
“Tugas kita sudah selesai,” desis salah seorang pengawal dari Pajang.
Sukmo Aji mengangguk kecil. Tetapi ia kemudian menyahut, “Belum seluruhnya. Masih ada jarak yang harus kita lampaui sekarang ini.”
“Tetapi daerah-daerah yang paling berbahaya sudah lampau. Dan kita sekarang adalah sekelompok orang yang sedang pulang tamasya.”
Sukmo Aji mengangguk. Ketika ia berpaling dilihatnya di sebuah warung beberapa orang sedang berhenti. Agaknya mereka sedang menunggu beberapa orang kawan lagi untuk menyeberang meskipun sebenarnya jalan telah aman. Orang-orang di dalam warung itu menjadi heran melihat iring-iringan orang berkuda itu. Di belakang rombongan itu, Pranata pun menganggap bahwa tugas sebenarnya telah selesai. Tidak ada lagi persoalan di sisa perjalanan mereka, karena mereka akan melalui jalan-jalan yang tidak pernah disentuh oleh kerusuhan.
“Dari mana kau mengetahuinya, Pranata?” bertanya Simo.
“ Didepan sudah tidak ada lagi hutan yang lebat. Mustahil, orang –orang itu akan berani mencegat kita di ruang terbuka “
Simo dan kawan-kawannya mengangguk-angguk. Dan mereka pun percaya pula seperti yang dikatakan oleh Pranata.
Wirapati pun merasa lega setelah Jati Jajar dilalui dengan selamat. Bahkan kemudian ia berbisik kepada Ki Panjalu yang berkuda di belakangnya, “Kecemasan orang-orang tua ternyata sama sekali tidak beralasan. Sebenarnya aku menolak dikawal sekian banyak orang. Tetapi Kanjeng Sultan memaksa ”
“Kanjeng Sultan mencoba untuk bertindak dengan hati-hati,” sahut Ki Panjalu.
Wirapati tidak menyahut. Hanya kepalanya sajalah yang terangguk-angguk kecil. Demikianlah maka iring-iringan itu pun maju terus. Namun dalam pada itu, dua orang berkuda yang mengikuti iring-iringan itu dari kejauhan tersenyum di dalam hati. Dengan tegang mereka mengikuti perkembangan sikap orang-orang Pajang dan para utusan dari Pasuruan itu.
“Jaran Lanjar memang pandai memilih tempat,” desis salah seorang dari keduanya, “nampaknya orang-orang Pajang dan orang-orang Pasuruan itu tidak menyangka sama sekali, bahwa sekelompok begal yang kuat akan menghancurkan mereka di tempat yang tidak mereka sangka sama sekali.”
“Jika kau yang melakukan, tentu kau akan mengambil sikap lain. Kau tentu memilih tempat yang kau anggap baik, tetapi yang sudah diperhitungkan oleh iring-iringan itu. Tentu Sultan Hadiwijoyo tidak mau kehilangan muka di depan orang –orang bang wetan. Peristiwa perampokan kemarin tentu membuatnya tidak enak untuk memejamkan mata. Buktinya, hari ini rombongan dari Pasuruan itu dikawal oleh prajurit khusus di bawah pimpinan tumenggung anom Sukmo Aji “
Kawannya tersenyum sambil mengangguk.
“Nah, itulah kelebihan Jaran Lajar. Ia melakukannya di tempat yang tidak terduga sama sekali. Di hutan kecil yang jarang, dan justru di ujung perbatasan Pajang. Tetapi hutan yang kecil itu cukup memberikan perlindungan selagi mereka menunggu iring-iringan itu lewat, karena setiap orang akan berdiri di balik sebatang pohon dan berpencar dari ujung sampai ujung sepanjang iring-iringan itu.”
“Itulah kelebihannya. Dan aku kagum akan kemampuan otaknya. Meskipun ia nampaknya seorang yang pendek saja, namun ia memiliki kelebihan dari kawan-kawannya.”
Keduanya mengangguk-angguk. Pada saat terakhir mereka melihat, bahwa nampaknya Jaran Lajar mempunyai kesempatan yang luas. Dua puluh orang dari setiap kelompok itu akan merupakan kekuatan yang meyakinkan menghadapi iring-iringan yang sudah menjadi lengah.
Sebenarnya bahwa iring-iringan itu benar-benar sudah merasa aman. Jika mereka melintasi padukuhan-padukuhan di sepanjang perjalanan, mereka sesekali melambaikan tangan mereka terhadap orang-orang yang berdiri berjajar di sepanjang jalan.
Para pengiring utuan dari Pasuruan itu menarik nafas dalam-dalam, ketika mereka kemudian muncul dari jalan yang menyusup di antara pepohonan hutan di Jati Jajar itu. Rasa-rasanya bagaikan terlepas dari kepepatan yang menghimpit dada mereka, karena ketegangan. Sambil menengadahkan wajah mereka, maka mereka pun tersenyum melihat bentangan langit yang luas karena tatapan mata mereka tidak terhalang lagi oleh dedaunan yang rimbunnya hutan.
Sukmo Aji pun menarik nafas dalam-dalam pula. Dengan wajah yang tenang ditatapnya daerah yang terbuka, terbentang di hadapannya. Ia merasa seperti yang dirasakan oleh kebanyakan orang di dalam iring-iringan itu. Karena itulah maka keterbukaan langit yang luas itu bagaikan keterbukaan hatinya yang tegang selama perjalanan di dalam hutan itu.
“Tugas kita sudah selesai,” desis salah seorang pengawal dari Pajang.
Sukmo Aji mengangguk kecil. Tetapi ia kemudian menyahut, “Belum seluruhnya. Masih ada jarak yang harus kita lampaui sekarang ini.”
“Tetapi daerah-daerah yang paling berbahaya sudah lampau. Dan kita sekarang adalah sekelompok orang yang sedang pulang tamasya.”
Sukmo Aji mengangguk. Ketika ia berpaling dilihatnya di sebuah warung beberapa orang sedang berhenti. Agaknya mereka sedang menunggu beberapa orang kawan lagi untuk menyeberang meskipun sebenarnya jalan telah aman. Orang-orang di dalam warung itu menjadi heran melihat iring-iringan orang berkuda itu. Di belakang rombongan itu, Pranata pun menganggap bahwa tugas sebenarnya telah selesai. Tidak ada lagi persoalan di sisa perjalanan mereka, karena mereka akan melalui jalan-jalan yang tidak pernah disentuh oleh kerusuhan.
“Dari mana kau mengetahuinya, Pranata?” bertanya Simo.
“ Didepan sudah tidak ada lagi hutan yang lebat. Mustahil, orang –orang itu akan berani mencegat kita di ruang terbuka “
Simo dan kawan-kawannya mengangguk-angguk. Dan mereka pun percaya pula seperti yang dikatakan oleh Pranata.
Wirapati pun merasa lega setelah Jati Jajar dilalui dengan selamat. Bahkan kemudian ia berbisik kepada Ki Panjalu yang berkuda di belakangnya, “Kecemasan orang-orang tua ternyata sama sekali tidak beralasan. Sebenarnya aku menolak dikawal sekian banyak orang. Tetapi Kanjeng Sultan memaksa ”
“Kanjeng Sultan mencoba untuk bertindak dengan hati-hati,” sahut Ki Panjalu.
Wirapati tidak menyahut. Hanya kepalanya sajalah yang terangguk-angguk kecil. Demikianlah maka iring-iringan itu pun maju terus. Namun dalam pada itu, dua orang berkuda yang mengikuti iring-iringan itu dari kejauhan tersenyum di dalam hati. Dengan tegang mereka mengikuti perkembangan sikap orang-orang Pajang dan para utusan dari Pasuruan itu.
“Jaran Lanjar memang pandai memilih tempat,” desis salah seorang dari keduanya, “nampaknya orang-orang Pajang dan orang-orang Pasuruan itu tidak menyangka sama sekali, bahwa sekelompok begal yang kuat akan menghancurkan mereka di tempat yang tidak mereka sangka sama sekali.”
“Jika kau yang melakukan, tentu kau akan mengambil sikap lain. Kau tentu memilih tempat yang kau anggap baik, tetapi yang sudah diperhitungkan oleh iring-iringan itu. Tentu Sultan Hadiwijoyo tidak mau kehilangan muka di depan orang –orang bang wetan. Peristiwa perampokan kemarin tentu membuatnya tidak enak untuk memejamkan mata. Buktinya, hari ini rombongan dari Pasuruan itu dikawal oleh prajurit khusus di bawah pimpinan tumenggung anom Sukmo Aji “
Kawannya tersenyum sambil mengangguk.
“Nah, itulah kelebihan Jaran Lajar. Ia melakukannya di tempat yang tidak terduga sama sekali. Di hutan kecil yang jarang, dan justru di ujung perbatasan Pajang. Tetapi hutan yang kecil itu cukup memberikan perlindungan selagi mereka menunggu iring-iringan itu lewat, karena setiap orang akan berdiri di balik sebatang pohon dan berpencar dari ujung sampai ujung sepanjang iring-iringan itu.”
“Itulah kelebihannya. Dan aku kagum akan kemampuan otaknya. Meskipun ia nampaknya seorang yang pendek saja, namun ia memiliki kelebihan dari kawan-kawannya.”
Keduanya mengangguk-angguk. Pada saat terakhir mereka melihat, bahwa nampaknya Jaran Lajar mempunyai kesempatan yang luas. Dua puluh orang dari setiap kelompok itu akan merupakan kekuatan yang meyakinkan menghadapi iring-iringan yang sudah menjadi lengah.
Sebenarnya bahwa iring-iringan itu benar-benar sudah merasa aman. Jika mereka melintasi padukuhan-padukuhan di sepanjang perjalanan, mereka sesekali melambaikan tangan mereka terhadap orang-orang yang berdiri berjajar di sepanjang jalan.
Quote:
DALAM PADA ITU, di ujung sebuah hutan yang sudah semakin tipis dan jarang di ujung perbatasan Pajang, Jaran Lajar menunggu dengan tegang. Menurut perhitungan dan pendengaran mereka dari orang-orang Pajang di saat-saat satu dua orang dengan sandi pergi ke pasar, rombongan dari Pasuruan itu akan datang pada hari itu.
“Mereka berangkat dari Pajang pagi ini,” desis Jaran Lajar.
“Mereka tentu merayap seperti siput”, kata seorang pemuda tinggi kurus dengan pakaian serba berwarna merah.
“Kita harus telaten menunggu. Jika tidak, maka kita akan gagal. Setiap orang harus tetap berada di tempat masing-masing. Mereka harus mencari perlindungan sebaik-baiknya di dalam hutan yang sama sekali tidak lebat ini.”
Orang-orang yang menunggu itu hampir menjadi jemu. Mereka harus berdiri atau duduk di balik sebatang kayu. Bahkan ada di antara mereka yang tertidur sambil bersandar.
Tetapi di ujung hutan itu, dua orang yang bertugas mengawasi bulak panjang di hadapan mereka tidak boleh lengah sama sekali. Jika mereka melihat iring-iringan yang muncul di bulak panjang itu, mereka harus memberikan isyarat. Isyarat yang cepat menjalar, tetapi tidak menimbulkan bunyi yang keras, yang dapat didengar oleh iring-iringan yang bakal datang itu.
Salah seorang dari kedua pengawas itu memegang dua batang kayu di tangan. Jika mereka melihat debu mengepul, maka ia harus membenturkan kedua potong kayu itu berulang kali.
Orang yang berdiri di paling dekat akan mendengarnya. Dan mereka harus melakukan hal yang sama. Mungkin memukul tangkai tombaknya berkali-kali dalam irama yang telah mereka sepakati, atau mungkin memukul perisai dengan punggung pedang. Bunyi itu akan menjalar dan tidak terlalu keras dari ujung hutan sampai ke ujung lainnya, karena orang-orang yang berjumlah enam puluh itu pun memencar dari ujung sampai ke ujung hutan kecil di pinggir jalan itu. Hutan yang biasanya dipergunakan oleh anak-anak muda untuk berlatih ketrampilan berburu, karena di hutan kecil itu masih ada beberapa jenis binatang kecil. Bahkan dalam jumlah yang tidak banyak, kadang-kadang dapat dijumpai harimau harimau dari jenis yang kecil.
“Mereka berangkat dari Pajang pagi ini,” desis Jaran Lajar.
“Mereka tentu merayap seperti siput”, kata seorang pemuda tinggi kurus dengan pakaian serba berwarna merah.
“Kita harus telaten menunggu. Jika tidak, maka kita akan gagal. Setiap orang harus tetap berada di tempat masing-masing. Mereka harus mencari perlindungan sebaik-baiknya di dalam hutan yang sama sekali tidak lebat ini.”
Orang-orang yang menunggu itu hampir menjadi jemu. Mereka harus berdiri atau duduk di balik sebatang kayu. Bahkan ada di antara mereka yang tertidur sambil bersandar.
Tetapi di ujung hutan itu, dua orang yang bertugas mengawasi bulak panjang di hadapan mereka tidak boleh lengah sama sekali. Jika mereka melihat iring-iringan yang muncul di bulak panjang itu, mereka harus memberikan isyarat. Isyarat yang cepat menjalar, tetapi tidak menimbulkan bunyi yang keras, yang dapat didengar oleh iring-iringan yang bakal datang itu.
Salah seorang dari kedua pengawas itu memegang dua batang kayu di tangan. Jika mereka melihat debu mengepul, maka ia harus membenturkan kedua potong kayu itu berulang kali.
Orang yang berdiri di paling dekat akan mendengarnya. Dan mereka harus melakukan hal yang sama. Mungkin memukul tangkai tombaknya berkali-kali dalam irama yang telah mereka sepakati, atau mungkin memukul perisai dengan punggung pedang. Bunyi itu akan menjalar dan tidak terlalu keras dari ujung hutan sampai ke ujung lainnya, karena orang-orang yang berjumlah enam puluh itu pun memencar dari ujung sampai ke ujung hutan kecil di pinggir jalan itu. Hutan yang biasanya dipergunakan oleh anak-anak muda untuk berlatih ketrampilan berburu, karena di hutan kecil itu masih ada beberapa jenis binatang kecil. Bahkan dalam jumlah yang tidak banyak, kadang-kadang dapat dijumpai harimau harimau dari jenis yang kecil.
Quote:
KETIKA MATAHARI memanjat semakin tinggi, kejemuan telah mencengkam setiap orang yang berada di hutan itu. Rasa-rasanya mereka sudah menunggu terlalu lama. Setelah mereka bermalam di hutan itu mereka harus duduk diam bagaikan membeku.
“Jaran Lajar memang gila,” desis salah seorang anak buahnya, “kita telah dibiarkan membeku di sini. Mungkin orang-orang Pasuruan itu tidak akan kembali hari ini. Dan kita akan duduk di sini tanpa melakukan sesuatu.”
“Aku lebih senang di rumah bermain-main dengan istri muda ku,” sahut yang lain. “Di sini dibiarkan aku membeku. Namun tiba-tiba saja leherku telah disentuh pedang jika aku lengah.”
“Uh, sejak kapan kau menjadi seorang pengecut.”
“Bukan pengecut. Tetapi aku benar jemu. Apalagi aku kurang yakin akan keterangan yang didengar oleh Jaran Lajar bahwa hari ini orang –orang Pasuruan itu akan lewat.”
Kejemuan telah mencengkam lebih dalam lagi ketika Matahari telah mendekati puncak langit dan perlahan-lahan bergeser ke Barat.
“Apakah mereka berangkat tengah hari?” geram seorang yang bertubuh kasar dan berwajah keras.
“Mungkin. Tetapi mungkin juga rombongan itu berhenti dan tidur di pinggir jalan, karena mereka tidak sempat tidur semalam.”
Kawannya tersenyum pahit. Tetapi ia tidak menjawab. Ternyata bahwa kejemuan benar-benar telah merayapi hati. Bahkan orang-orang yang bertebaran di hutan itu mulai ragu-ragu, apakah yang akan mereka dapatkan dari iring-iringan itu memadai. Mereka menyadari bahwa jumlah mereka adalah terlalu besar. Enam puluh orang.
“Yang kita dapatkan dari pekerjaan ini sangat besar. Meski resikonya juga sangat tinggi,” desis seseorang.
Namun agaknya kawannya masih sempat membuat perhitungan, “Tentu sangat setimpal dengan bayarannya. Meski tugas ini juga sangat berbahaya. Salah –salah kita akan jadi buronan prajurit –prajurit Pajang. Tapi jangan terlalu berpikir berlebihan. Kau tahu, bahwa harga pekerjaan ini sama dengan penghasilan kita merampok dua atau tiga bulan"
Kawannya terdiam. Tetapi wajahnya benar-benar menunjukkan kejemuan. Ketika matahari bergeser makin ke barat, kedua orang yang bertugas mengawasi di ujung hutan menjadi semakin jemu.
Salah seorang dari mereka bangkit dan menggeliat. Dengan suara yang datar ia berkata, “Aku akan pergi sebentar.”
“Kemana?”
“Ke parit itu untuk mencuci muka. Aku ngantuk sekali.”
“Jangan. Kehadiranmu dapat menimbulkan kecurigaan jika ada satu dua orang di sawah yang melihatmu.”
“Aku tidak dapat bertahan lagi. Jika aku tidak mencuci muka, barangkali aku akan segera tertidur. Silirnya angin membuat badanku seperti dibuai.”
“Tetapi itu berbahaya sekali.”
Orang yang berdiri itu mengerutkan keningnya. Di luar sadarnya ia memandang ujung jalan di seberang bulak.
Namun tiba-tiba saja wajahnya menjadi tegang. Ia melihat debu yang mengepul. Kemudian lamat-lamat ia melihat sesuatu yang bergerak.
“Mereka datang,” tiba tiba saja suaranya tersentak.
“He,” kawannya meloncat berdiri. Katanya kemudian, “Ya. Mereka telah datang. Itu adalah iring-iringan orang berkuda.”
“Mereka akan segera melintasi bulak panjang ini.”
“Berilah tanda.”
Salah seorang dari mereka pun segera mengambil dua potong kayu dan dengan irama yang sudah disepakati, ia pun kemudian memukul kayunya untuk memberikan isyarat bahwa yang mereka tunggu telah datang.Suara isyarat itu tidak terlalu keras. Tetapi cukup didengar oleh kawannya yang tidak terlalu jauh daripadanya. Sejenak kemudian isyarat itu pun segera menjalar dari seorang yang lain, sehingga dalam waktu yang dekat, setiap orang yang ada di hutan itu pun telah mendengarnya.
“Bersiaplah di tempat masing-masing,” desis Jaran Lajar.
Para pemimpin kelompok yang ada di hutan itu segera menempatkan diri di antara anak buahnya. Di ujung sebelah-menyebelah telah disiapkan batang-batang pohon yang sudah dikerat. Jika pasukan yang mengiringi utusan dari Pasuruan itu telah memasuki jalan di pinggir hutan itu, maka beberapa orang bertugas untuk dengan segera merobohkan batang-batang yang sudah dikerat dan diikat dengan tambang-tambang yang besar, agar mereka tidak sempat melarikan diri di atas punggung kuda, sementara yang lain harus langsung menyerang setiap orang dalam iring-iringan itu. Beberapa orang yang bertugas merobohkan batang-batang pohon itu pun segera bersiap pula. Beberapa orang telah memanjat, sedang yang lain siap dengan kapak-kapak yang besar. Batang-batang yang sudah dikerat itu hanya memerlukan waktu yang singkat untuk merobohkannya.
“Jaran Lajar memang gila,” desis salah seorang anak buahnya, “kita telah dibiarkan membeku di sini. Mungkin orang-orang Pasuruan itu tidak akan kembali hari ini. Dan kita akan duduk di sini tanpa melakukan sesuatu.”
“Aku lebih senang di rumah bermain-main dengan istri muda ku,” sahut yang lain. “Di sini dibiarkan aku membeku. Namun tiba-tiba saja leherku telah disentuh pedang jika aku lengah.”
“Uh, sejak kapan kau menjadi seorang pengecut.”
“Bukan pengecut. Tetapi aku benar jemu. Apalagi aku kurang yakin akan keterangan yang didengar oleh Jaran Lajar bahwa hari ini orang –orang Pasuruan itu akan lewat.”
Kejemuan telah mencengkam lebih dalam lagi ketika Matahari telah mendekati puncak langit dan perlahan-lahan bergeser ke Barat.
“Apakah mereka berangkat tengah hari?” geram seorang yang bertubuh kasar dan berwajah keras.
“Mungkin. Tetapi mungkin juga rombongan itu berhenti dan tidur di pinggir jalan, karena mereka tidak sempat tidur semalam.”
Kawannya tersenyum pahit. Tetapi ia tidak menjawab. Ternyata bahwa kejemuan benar-benar telah merayapi hati. Bahkan orang-orang yang bertebaran di hutan itu mulai ragu-ragu, apakah yang akan mereka dapatkan dari iring-iringan itu memadai. Mereka menyadari bahwa jumlah mereka adalah terlalu besar. Enam puluh orang.
“Yang kita dapatkan dari pekerjaan ini sangat besar. Meski resikonya juga sangat tinggi,” desis seseorang.
Namun agaknya kawannya masih sempat membuat perhitungan, “Tentu sangat setimpal dengan bayarannya. Meski tugas ini juga sangat berbahaya. Salah –salah kita akan jadi buronan prajurit –prajurit Pajang. Tapi jangan terlalu berpikir berlebihan. Kau tahu, bahwa harga pekerjaan ini sama dengan penghasilan kita merampok dua atau tiga bulan"
Kawannya terdiam. Tetapi wajahnya benar-benar menunjukkan kejemuan. Ketika matahari bergeser makin ke barat, kedua orang yang bertugas mengawasi di ujung hutan menjadi semakin jemu.
Salah seorang dari mereka bangkit dan menggeliat. Dengan suara yang datar ia berkata, “Aku akan pergi sebentar.”
“Kemana?”
“Ke parit itu untuk mencuci muka. Aku ngantuk sekali.”
“Jangan. Kehadiranmu dapat menimbulkan kecurigaan jika ada satu dua orang di sawah yang melihatmu.”
“Aku tidak dapat bertahan lagi. Jika aku tidak mencuci muka, barangkali aku akan segera tertidur. Silirnya angin membuat badanku seperti dibuai.”
“Tetapi itu berbahaya sekali.”
Orang yang berdiri itu mengerutkan keningnya. Di luar sadarnya ia memandang ujung jalan di seberang bulak.
Namun tiba-tiba saja wajahnya menjadi tegang. Ia melihat debu yang mengepul. Kemudian lamat-lamat ia melihat sesuatu yang bergerak.
“Mereka datang,” tiba tiba saja suaranya tersentak.
“He,” kawannya meloncat berdiri. Katanya kemudian, “Ya. Mereka telah datang. Itu adalah iring-iringan orang berkuda.”
“Mereka akan segera melintasi bulak panjang ini.”
“Berilah tanda.”
Salah seorang dari mereka pun segera mengambil dua potong kayu dan dengan irama yang sudah disepakati, ia pun kemudian memukul kayunya untuk memberikan isyarat bahwa yang mereka tunggu telah datang.Suara isyarat itu tidak terlalu keras. Tetapi cukup didengar oleh kawannya yang tidak terlalu jauh daripadanya. Sejenak kemudian isyarat itu pun segera menjalar dari seorang yang lain, sehingga dalam waktu yang dekat, setiap orang yang ada di hutan itu pun telah mendengarnya.
“Bersiaplah di tempat masing-masing,” desis Jaran Lajar.
Para pemimpin kelompok yang ada di hutan itu segera menempatkan diri di antara anak buahnya. Di ujung sebelah-menyebelah telah disiapkan batang-batang pohon yang sudah dikerat. Jika pasukan yang mengiringi utusan dari Pasuruan itu telah memasuki jalan di pinggir hutan itu, maka beberapa orang bertugas untuk dengan segera merobohkan batang-batang yang sudah dikerat dan diikat dengan tambang-tambang yang besar, agar mereka tidak sempat melarikan diri di atas punggung kuda, sementara yang lain harus langsung menyerang setiap orang dalam iring-iringan itu. Beberapa orang yang bertugas merobohkan batang-batang pohon itu pun segera bersiap pula. Beberapa orang telah memanjat, sedang yang lain siap dengan kapak-kapak yang besar. Batang-batang yang sudah dikerat itu hanya memerlukan waktu yang singkat untuk merobohkannya.
Diubah oleh breaking182 06-11-2022 22:25
ashrose dan 12 lainnya memberi reputasi
13
Kutip
Balas