- Beranda
- Stories from the Heart
KIDUNG DI ATAS TANAH JAWI
...
TS
breaking182
KIDUNG DI ATAS TANAH JAWI
Quote:
Menuliskan cerita yang berbau sejarah tidak gampang. Tulisan ini berdasarkan riset kecil dengan metode wawancara dengan orang yang lebih mengerti dan sumber terpercaya sebatas pengetahuan narasumber. Di samping itu kecintaan saya akan film -film kolosal, sandiwara radio era tahun 90-an tentang kerajaan - kerajaan di tanah Jawa mendorong saya untuk menulis. Tentu saja dengan keterbatasan ilmu pengetahuan yang saya miliki. Kidung Di Atas Tanah Jawi bercerita tentang perjalanan seorang pemuda bernama Arya Gading. Berlatar belakang kerajaan Pajang di bawah pemerintahan Sultan Hadiwijoyo. Cerita ini fiktif belaka. Baca dan nikmati. Salam Olahraga.........
Quote:
Quote:
Konten Sensitif
Quote:
EPISODE 1
GEGER DI PUCANG KEMBAR
gatra 1
gatra 2
gatra 3
gatra 4
gatra 5
gatra 6
gatra 7
gatra 8
gatra 9
gatra 10
gatra 11
gatra 12
gatra 13
gatra 14
gatra 15
gatra 16
gatra 17
gatra 18
gatra 19
gatra 20
gatra 21
gatra 22
gatra 23
gatra 24
gatra 25
gatra 26
gatra 27
gatra 28
gatra 29
gatra 30
gatra 31
gatra 32
gatra 33
gatra 34
gatra 35
gatra 36
gatra 37
gatra 38
gatra 39
gatra 40
gatra 41
gatra 42
gatra 43
gatra 44
gatra 45
gatra 46
gatra 47
gatra 48
gatra 49
Quote:
EPISODE 2
BARA API DI KAKI MERAPI
gatra 1
gatra 2
gatra 3
gatra 4
gatra 5
gatra 6
gatra 7
gatra 8
gatra 9
gatra 10
gatra 11
gatra 12
gatra 13
gatra 14
gatra 15
gatra 16
gatra 17
gatra 18
gatra 19
gatra 20
gatra 21
gatra 22
gatra 23
gatra 24
gatra 25
gatra 26
gatra 27
gatra 28
gatra 29
gatra 30
gatra 31
gatra 32
gatra 33
gatra 34
gatra 35
gatra 36
gatra 37
gatra 38
gatra 39
gatra 40
gatra 41
gatra 42
gatra 43
gatra 44
gatra 45
gatra 46
gatra 47
gatra 48
gatra 49
gatra 50
gatra 51
Quote:
Diubah oleh breaking182 30-12-2022 16:12
69banditos dan 66 lainnya memberi reputasi
67
78.6K
Kutip
621
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.5KThread•42.2KAnggota
Tampilkan semua post
TS
breaking182
#390
gatra 10
Quote:
MALAM ITU ADALAH malam sepasaran. Besok pagi-pagi utusan dari Pasuruan akan meninggalkan kotaraja Pajang. Wirapati dan Ki Panjalu duduk di pringgitan kediaman Sukmo Aji. Malam itu, Sukmo Aji telah mempersiapkan segala-galanya. Di pendapa, tumenggung anom Pajang itu tampak berbicara dengan beberapa prajurit pilihan. Salah satunya adalah Pranata dan Simo. Dua orang itulah yang selalu menjadi kepercayaan Sukmo Aji. Disamping itu Simo dan Pranata juga memiliki kanuragan yang lebih dibandingkan dengan prajurit kebanyakan. Mereka tampak membicarakan segala sesuatu tentang keberangkatan para utusan Pasuruan besok pagi.
“Maaf, kakang,” berkata Pranata, “apakah sudah pasti para rampok itu akan kembali mencegat rombongan dari Pasuruan?”
Sukmo Aji tersenyum. Katanya, “Aku pun tidak tahu pasti Pranata. Hanya saja kanjeng sultan telah memerintahkan kepadaku untuk mengawal rombongan itu. Dan sudah menjadi kewajiban kita untuk melakukan perintah itu. Ada atau tidak adanya gangguan itu persoalan belakangan “
“ Pertanyaan mu sungguh aneh Pranata “, kali ini Simo yang menyahut.
“ Kita ini prajurit, apapun yang diperintahkan oleh pimpinan harus kita lakukan tanpa banyak bertanya. Apakah kau mulai malas untuk menganggkat keris mu itu? “
Sukmo Aji pun tersenyum. Katanya, “Aku mengerti apa yang kau risaukan Pranata. Memang terkadang aku pun enggan untuk selalu bergelut dengan dentingan pedang. Hanya saja sebagai senopati kita tidak bisa menghindar dari hal itu “
Pranata mengangguk-angguk. Terasa sesuatu berdesir di hatinya. Rasa-rasanya ia mulai segan untuk bertarung dan mencabut keris nya. Namun, bahwa hal itu harus terjadi, ternyata tidak akan dapat diingkarinya karena ia seorang prajurit.
“Kita akan berjumlah tiga puluh orang,” berkata Sukmo Aji.
“Dengan demikian jumlah iring-iringan ini akan menjadi semakin besar,” desis Simo.
“Tiga puluh orang. Suatu iring-iringan yang lengkap sepasukan kecil yang menuju ke medan perang,” desis Pranata sambil tertawa.
Yang lain pun tertawa pula.
“Kita tidak boleh lengah,” berkata Sukmo Aji. “Memang selama ini tidak lagi terjadi sesuatu di Pajang yang dapat menggoncangkan ketenangan kita. Meskipun, ada desas – desus yang terus liar berkembang dengan adanya latihan –latihan perang yang dilakukan oleh prajurit –prajurit Jipang. Namun yang sebenarnya terjadi memang ada pihak –pihak tertentu yang ingin suasana ini tambah memanas sehingga orang –orang ini akan mendapat keuntungan dari perang antara Pajang dan Jipang”
“Ya. Karena itulah, maka dapat diperhitungkan, bahwa kemungkinan besar ada hubungannya kejadian utusan dari Pasuruan itu telah dirampok di tengah jalan “
Pranata dan Simo mengangguk-angguk. Dipandanginya wajah Sukmo Aji yang menjadi tegang. Tetapi Sukmo Aji itu pun segera berhasil menguasai dirinya. Bahkan kemudian katanya, “Itulah sebabnya, kita berada dalam iring-iringan yang barangkali akan pecah pertempuran di tengah jalan. Perintah Kanjeng Sultan Hadiwijoyo adalah jangan membunuh jika tidak terpaksa. Kanjeng Sultan menginginkan kita menangkap rampok –rampok itu dan kemudian membawanya ke Pajang”
Para prajurit yang hadir di pendapa itu mengangguk-angguk. Sukmo Aji lantas berkata, “Kita harus berhati-hati.” Ia berhenti sejenak, lalu, “Persiapkan diri kalian baik -baik.”
Dengan demikian pertemuan itu pun segera diakhiri. Semua persoalan agaknya telah selesai dan matang dibicarakan. Bahkan sampai persoalan yang sekecil-kecilnya telah ikut dibicarakan pula. Tetapi sepeninggal para prajuritnya di pendapa, maka Sukmo Aji tidak segera pergi ke biliknya. Ia masih berkesempatan memanggil Wirapati dan Ki Panjalu yang masih berbincang di pringgitan.
“Kakang Wirapati dan Ki Panjalu. Saya telah mempersiapkan segala sesuatunya untuk keberangkatan besok. Ada baiknya sekarang kita beristirahat dulu. Perjalanan besok kita tidak tahu apa yang akan terjadi di jalan. Kita harus dapat mempersiapkan tenaga untuk besok pagi”
“ Terimakasih anakmas. Kami orang –orang Pasuruan sangat terkesan dan merasa sangat dihargai di Pajang. Kanjeng Sultan memang seorang yang bijaksana dan sangat menghormati tamunya. Meski kami ini hanya orang –orang dari Negara bawahan,” berkata Ki Panjalu kemudian.
“Tentu, Ki Panjalu ini sudah kewajiban kami untuk menyambut tamu layaknya seorang raja. Apalagi tempo hari ada kejadian yang tidak mengenakkan telah dialami oleh utusan dari Pasuruan “
Wirapati dan Ki Panjalu mengangguk kecil.
Dalam pada itu, maka di rumah Sukmo Aji yang telah disediakan bagi para utusan dari Pasuruan, mereka sibuk mengemasi barang-barangnya. Demikian juga para pengiring, telah menyiapkan segala sesuatunya. Apabila saat mereka berangkat, semuanya sudah siap dan tidak akan ada yang ketinggalan lagi.
Demikianlah, maka pada malam itu, kesibukan di rumah Sukmo Aji semakin ramai. Beberapa orang tampak hilir mudik mengemasi barang –barang yang diletakkan di dalam kereta kuda. Namun sejenak kemudian rumah itu pun telah menjadi sepi. Semua orang telah mulai beristirahat. Mereka melepaskan lelah di ruang belakang, di gandok, dan di dapur. Bahkan beberapa prajurit telah tertidur kelelahan di serambi bersandar tiang. Seorang prajurit yang melihatnya, dengan hati-hati membangunkannya dengan menyentuh pundaknya.
“Jangan tidur di situ,” berkata prajurit yang membangunkannya, “kau nanti masuk angin.”
Prajurit yang tertidur itu pun terbangun. Sambil mengusap matanya ia bertanya, “Apakah aku tertidur?”
“Ya. Marilah. Semuanya sudah pergi beristirahat. Besok kita akan bangun menjelang dini hari untuk mengawal mereka yang akan berangkat ke Pasuruan.”
“Apakah pendapa sudah sepi?”
“Semuanya sudah beristirahat. Dan mereka yang akan pergi besok pun sudah beristirahat. Kita pun mendapat kesempatan beristirahat meskipun hanya sebentar. Dua tiga orang masih tetap berada di dapur merebus air.”
“Untuk apa lagi?"
“Para peronda di gardu depan, dan mungkin beberapa orang yang masih tetap berjaga-jaga di pringgitan.”
Prajurit itu pun kemudian bangkit berdiri dan pergi tertatih-tatih ke dapur. Rasa-rasanya matanya tidak mau dibuka lagi. Sehingga karena itu, maka ketika ia sampai di pendapa, ia pun langsung menjatuhkan dirinya di atas tikar pandan.
Meskipun demikian, masih ada satu dua orang di dapur yang harus menahan diri untuk mempersiapkan minum dan makan mereka yang bertugas meronda dan berjaga-jaga di gardu di depan regol halaman. Tetapi ternyata yang berjaga-jaga bukan saja para peronda di regol halaman rumah Sukmo Aji. Hampir di setiap padukuan yang tersebar di penjuru Pajang beberapa orang pengawal dan anak-anak muda tidak meninggalkan kesiagaan. Mereka berada di dalam gardu-gardu yang terpencar. Namun di antara mereka ada juga yang meronda berkeliling di sekitar padukuhan.
Ternyata bahwa malam itu rasa-rasanya tidak ada sesuatu yang mencurigakan. Jalan-jalan yang sepi, dan padukuhan yang lengang, tidak menunjukkan gejala yang berbahaya bagi ketenangan kotaraja Pajang. Demikianlah, malam itu terasa menjadi sepi setelah malam-malam yang ramai karena ada pesta rakyat di alun –alun Pajang. Beberapa orang yang meskipun berada di rumah masing-masing nampak lelah dan tertidur dengan nyenyaknya, karena mereka pun berturut-turut untuk beberapa malam telah menyaksikan berbagai macam pertunjukan yang meriah.
“Maaf, kakang,” berkata Pranata, “apakah sudah pasti para rampok itu akan kembali mencegat rombongan dari Pasuruan?”
Sukmo Aji tersenyum. Katanya, “Aku pun tidak tahu pasti Pranata. Hanya saja kanjeng sultan telah memerintahkan kepadaku untuk mengawal rombongan itu. Dan sudah menjadi kewajiban kita untuk melakukan perintah itu. Ada atau tidak adanya gangguan itu persoalan belakangan “
“ Pertanyaan mu sungguh aneh Pranata “, kali ini Simo yang menyahut.
“ Kita ini prajurit, apapun yang diperintahkan oleh pimpinan harus kita lakukan tanpa banyak bertanya. Apakah kau mulai malas untuk menganggkat keris mu itu? “
Sukmo Aji pun tersenyum. Katanya, “Aku mengerti apa yang kau risaukan Pranata. Memang terkadang aku pun enggan untuk selalu bergelut dengan dentingan pedang. Hanya saja sebagai senopati kita tidak bisa menghindar dari hal itu “
Pranata mengangguk-angguk. Terasa sesuatu berdesir di hatinya. Rasa-rasanya ia mulai segan untuk bertarung dan mencabut keris nya. Namun, bahwa hal itu harus terjadi, ternyata tidak akan dapat diingkarinya karena ia seorang prajurit.
“Kita akan berjumlah tiga puluh orang,” berkata Sukmo Aji.
“Dengan demikian jumlah iring-iringan ini akan menjadi semakin besar,” desis Simo.
“Tiga puluh orang. Suatu iring-iringan yang lengkap sepasukan kecil yang menuju ke medan perang,” desis Pranata sambil tertawa.
Yang lain pun tertawa pula.
“Kita tidak boleh lengah,” berkata Sukmo Aji. “Memang selama ini tidak lagi terjadi sesuatu di Pajang yang dapat menggoncangkan ketenangan kita. Meskipun, ada desas – desus yang terus liar berkembang dengan adanya latihan –latihan perang yang dilakukan oleh prajurit –prajurit Jipang. Namun yang sebenarnya terjadi memang ada pihak –pihak tertentu yang ingin suasana ini tambah memanas sehingga orang –orang ini akan mendapat keuntungan dari perang antara Pajang dan Jipang”
“Ya. Karena itulah, maka dapat diperhitungkan, bahwa kemungkinan besar ada hubungannya kejadian utusan dari Pasuruan itu telah dirampok di tengah jalan “
Pranata dan Simo mengangguk-angguk. Dipandanginya wajah Sukmo Aji yang menjadi tegang. Tetapi Sukmo Aji itu pun segera berhasil menguasai dirinya. Bahkan kemudian katanya, “Itulah sebabnya, kita berada dalam iring-iringan yang barangkali akan pecah pertempuran di tengah jalan. Perintah Kanjeng Sultan Hadiwijoyo adalah jangan membunuh jika tidak terpaksa. Kanjeng Sultan menginginkan kita menangkap rampok –rampok itu dan kemudian membawanya ke Pajang”
Para prajurit yang hadir di pendapa itu mengangguk-angguk. Sukmo Aji lantas berkata, “Kita harus berhati-hati.” Ia berhenti sejenak, lalu, “Persiapkan diri kalian baik -baik.”
Dengan demikian pertemuan itu pun segera diakhiri. Semua persoalan agaknya telah selesai dan matang dibicarakan. Bahkan sampai persoalan yang sekecil-kecilnya telah ikut dibicarakan pula. Tetapi sepeninggal para prajuritnya di pendapa, maka Sukmo Aji tidak segera pergi ke biliknya. Ia masih berkesempatan memanggil Wirapati dan Ki Panjalu yang masih berbincang di pringgitan.
“Kakang Wirapati dan Ki Panjalu. Saya telah mempersiapkan segala sesuatunya untuk keberangkatan besok. Ada baiknya sekarang kita beristirahat dulu. Perjalanan besok kita tidak tahu apa yang akan terjadi di jalan. Kita harus dapat mempersiapkan tenaga untuk besok pagi”
“ Terimakasih anakmas. Kami orang –orang Pasuruan sangat terkesan dan merasa sangat dihargai di Pajang. Kanjeng Sultan memang seorang yang bijaksana dan sangat menghormati tamunya. Meski kami ini hanya orang –orang dari Negara bawahan,” berkata Ki Panjalu kemudian.
“Tentu, Ki Panjalu ini sudah kewajiban kami untuk menyambut tamu layaknya seorang raja. Apalagi tempo hari ada kejadian yang tidak mengenakkan telah dialami oleh utusan dari Pasuruan “
Wirapati dan Ki Panjalu mengangguk kecil.
Dalam pada itu, maka di rumah Sukmo Aji yang telah disediakan bagi para utusan dari Pasuruan, mereka sibuk mengemasi barang-barangnya. Demikian juga para pengiring, telah menyiapkan segala sesuatunya. Apabila saat mereka berangkat, semuanya sudah siap dan tidak akan ada yang ketinggalan lagi.
Demikianlah, maka pada malam itu, kesibukan di rumah Sukmo Aji semakin ramai. Beberapa orang tampak hilir mudik mengemasi barang –barang yang diletakkan di dalam kereta kuda. Namun sejenak kemudian rumah itu pun telah menjadi sepi. Semua orang telah mulai beristirahat. Mereka melepaskan lelah di ruang belakang, di gandok, dan di dapur. Bahkan beberapa prajurit telah tertidur kelelahan di serambi bersandar tiang. Seorang prajurit yang melihatnya, dengan hati-hati membangunkannya dengan menyentuh pundaknya.
“Jangan tidur di situ,” berkata prajurit yang membangunkannya, “kau nanti masuk angin.”
Prajurit yang tertidur itu pun terbangun. Sambil mengusap matanya ia bertanya, “Apakah aku tertidur?”
“Ya. Marilah. Semuanya sudah pergi beristirahat. Besok kita akan bangun menjelang dini hari untuk mengawal mereka yang akan berangkat ke Pasuruan.”
“Apakah pendapa sudah sepi?”
“Semuanya sudah beristirahat. Dan mereka yang akan pergi besok pun sudah beristirahat. Kita pun mendapat kesempatan beristirahat meskipun hanya sebentar. Dua tiga orang masih tetap berada di dapur merebus air.”
“Untuk apa lagi?"
“Para peronda di gardu depan, dan mungkin beberapa orang yang masih tetap berjaga-jaga di pringgitan.”
Prajurit itu pun kemudian bangkit berdiri dan pergi tertatih-tatih ke dapur. Rasa-rasanya matanya tidak mau dibuka lagi. Sehingga karena itu, maka ketika ia sampai di pendapa, ia pun langsung menjatuhkan dirinya di atas tikar pandan.
Meskipun demikian, masih ada satu dua orang di dapur yang harus menahan diri untuk mempersiapkan minum dan makan mereka yang bertugas meronda dan berjaga-jaga di gardu di depan regol halaman. Tetapi ternyata yang berjaga-jaga bukan saja para peronda di regol halaman rumah Sukmo Aji. Hampir di setiap padukuan yang tersebar di penjuru Pajang beberapa orang pengawal dan anak-anak muda tidak meninggalkan kesiagaan. Mereka berada di dalam gardu-gardu yang terpencar. Namun di antara mereka ada juga yang meronda berkeliling di sekitar padukuhan.
Ternyata bahwa malam itu rasa-rasanya tidak ada sesuatu yang mencurigakan. Jalan-jalan yang sepi, dan padukuhan yang lengang, tidak menunjukkan gejala yang berbahaya bagi ketenangan kotaraja Pajang. Demikianlah, malam itu terasa menjadi sepi setelah malam-malam yang ramai karena ada pesta rakyat di alun –alun Pajang. Beberapa orang yang meskipun berada di rumah masing-masing nampak lelah dan tertidur dengan nyenyaknya, karena mereka pun berturut-turut untuk beberapa malam telah menyaksikan berbagai macam pertunjukan yang meriah.
Quote:
MENJELANG DINI HARI, rumah Sukmo Aji telah menjadi sibuk lagi. Beberapa orang perempuan yang sempat tidur untuk beberapa saat telah terbangun dan mulai menanak nasi. Sebelum para prajurit dan utusan dari Pasuruan berangkat untuk kembali ke Pasuruan, mereka tentu akan dijamu untuk yang terakhir kalinya selama mereka berada di Pajang.Rumah Sukmo Aji yang biasanya selalu sepi kini menjadi ramai ketika beberapa orang mulai terbangun pula. Wirapati, Ki Panjalu dan para pengawal dari Pasuruan pun telah bersiap pula, sementara para prajurit dari Pajang yang bertugas untuk mengawal sampai di perbatasan, telah berada di pendapa pula ketika matahari mulai melontarkan cahaya yang kemerah-merahan. Tetapi iring-iringan itu tidak akan berangkat pagi-pagi benar. Mereka masih akan makan pagi, minta diri kepada Sultan Hadiwijoyo dan baru kemudian mereka akan dilepas dari alun-alun Pajang.
Demikianlah pada saatnya, maka iring-iringan yang akan mengantar utusan dari Pasuruan itu pun telah bersiap. Baik para pengawal dari Pajang, maupun para utusan itu sendiri. Sejenak kemudian, maka iring-iringan itu pun telah siap. Ketika semuanya telah selesai, maka iring-iringan itu mulai bergerak menuju ke alun –alun Pajang. Sejenak kemudian, maka para utusan dari Pasuruan yang berada di pendapa dan para prajurit pengiring, telah menghadapi hidangan makan pagi. Sejenak mereka menyempatkan diri untuk makan dan minum, dan sekedar membicarakan tugas yang akan dipikul oleh mereka yang akan mengantarkan utusan dari Pasuruan sampai ke perbatasan Pajang.
Perlahan-lahan iring-iringan itu pun mulai bergerak. Yang di ujung adalah sekelompok pengawal dari Pajang yang dipimpin langsung oleh Sukmo Aji. Di belakangnya sekelompok pengawal yang dipimpin oleh Pranata. Baru di belakangnya, iring –iringan dari Pasuruan. Baru di belakang mereka adalah para pengawal yang dipimpin oleh Simo. Iring-iringan itu benar-benar menjadi sebuah iring-iringan yang panjang. Selagi mereka masih ada di jalan-jalan di Pajang, maka kelompok-kelompok itu tidak terpisah jauh.
Bahkan seolah-olah iring-iringan itu adalah iring-iringan yang utuh, karena mereka merasa bahwa pengawasan di sepanjang jalan cukup ketat oleh petugas-petugas sandi yang berada di sawah-sawah dan di gardu-gardu. Sesampainya di alun –alun mereka langsung menuju ke paseban. Di paseban Sultan Hadiwijoyo telah duduk menunggu mereka. Orang nomor satu di Pajang itu mengucapkan sepatah dua patah kata untuk para utusan dari Pasuruan dan Prajurit dari Pajang yang akan mengawalnya. Setelah dirasa semua cukup Sultan Hadiwijoyo menyudahi pertemuan singkat itu.
Ternyata bahwa perjalanan mereka di sepanjang jalan di Pajang tidak mengalami gangguan apa pun juga. Jalan nampaknya lapang dan tenang. Apalagi ketika mereka melihat orang-orang yang berada di sawah dan di gubug-gubug. Rasa-rasanya mereka berjalan di dalam daerah yang diberi pagar dinding yang tinggi. Ketika iring-iringan itu mendekati hutan Jati Jajar, maka kesiagaan pun mulai ditingkatkan. Dengan hati-hati, iring-iringan itu mengurangi kecepatan laju kaki – kaki kuda mereka.
Namun dalam pada itu, dua orang berkuda yang dengan tidak menimbulkan kecurigaan mengikuti iring-iringan itu begitu keluar dari alun –alun Pajang, sedang berhenti di pinggir sebuah pategalan yang sepi. Sambil menggerutu salah seorang berkata, “Kita menjadi makanan nyamuk kebon di sini. Gila! Iring-iringan itu mendapat kehormatan di Pajang, sementara kita kepanasan di sini. Itu tadi, mereka tentu sedang dijamu makan dan minum.”
“Aku juga lapar,” berkata yang seorang, “marilah, kita tinggalkan kuda kita di sini, kita mencari tempat yang baik untuk membeli makan dan minum.”
“Berbahaya,” sahut kawannya, “jika kuda kami hilang, maka kita akan gagal. Kau tahu akibatnya jika kita benar-benar gagal. Apalagi jika nanti Jaran Lanjar benar-benar tertangkap, dan kita kehilangan jejak, maka kita tentu akan digantung oleh Empu Jala Waja atau pemimpin-pemimpin yang lain.”
“Jadi kita akan tetap menahan lapar?”
“Bukankah di pelana kudamu masih tersimpan beberapa potong jadah yang kau beli di pasar tadi?”
Kawannya menelan ludahnya. Katanya, “Kau ternyata telah membuat aku menderita karena kau membayangkan bahwa orang-orang yang berada di Pajang tadi telah menikmati hidangan yang nikmat.”
Kawannya tidak menyahut. Namun ia pun kemudian justru membaringkan dirinya di atas rerumputan kering.
Demikianlah pada saatnya, maka iring-iringan yang akan mengantar utusan dari Pasuruan itu pun telah bersiap. Baik para pengawal dari Pajang, maupun para utusan itu sendiri. Sejenak kemudian, maka iring-iringan itu pun telah siap. Ketika semuanya telah selesai, maka iring-iringan itu mulai bergerak menuju ke alun –alun Pajang. Sejenak kemudian, maka para utusan dari Pasuruan yang berada di pendapa dan para prajurit pengiring, telah menghadapi hidangan makan pagi. Sejenak mereka menyempatkan diri untuk makan dan minum, dan sekedar membicarakan tugas yang akan dipikul oleh mereka yang akan mengantarkan utusan dari Pasuruan sampai ke perbatasan Pajang.
Perlahan-lahan iring-iringan itu pun mulai bergerak. Yang di ujung adalah sekelompok pengawal dari Pajang yang dipimpin langsung oleh Sukmo Aji. Di belakangnya sekelompok pengawal yang dipimpin oleh Pranata. Baru di belakangnya, iring –iringan dari Pasuruan. Baru di belakang mereka adalah para pengawal yang dipimpin oleh Simo. Iring-iringan itu benar-benar menjadi sebuah iring-iringan yang panjang. Selagi mereka masih ada di jalan-jalan di Pajang, maka kelompok-kelompok itu tidak terpisah jauh.
Bahkan seolah-olah iring-iringan itu adalah iring-iringan yang utuh, karena mereka merasa bahwa pengawasan di sepanjang jalan cukup ketat oleh petugas-petugas sandi yang berada di sawah-sawah dan di gardu-gardu. Sesampainya di alun –alun mereka langsung menuju ke paseban. Di paseban Sultan Hadiwijoyo telah duduk menunggu mereka. Orang nomor satu di Pajang itu mengucapkan sepatah dua patah kata untuk para utusan dari Pasuruan dan Prajurit dari Pajang yang akan mengawalnya. Setelah dirasa semua cukup Sultan Hadiwijoyo menyudahi pertemuan singkat itu.
Ternyata bahwa perjalanan mereka di sepanjang jalan di Pajang tidak mengalami gangguan apa pun juga. Jalan nampaknya lapang dan tenang. Apalagi ketika mereka melihat orang-orang yang berada di sawah dan di gubug-gubug. Rasa-rasanya mereka berjalan di dalam daerah yang diberi pagar dinding yang tinggi. Ketika iring-iringan itu mendekati hutan Jati Jajar, maka kesiagaan pun mulai ditingkatkan. Dengan hati-hati, iring-iringan itu mengurangi kecepatan laju kaki – kaki kuda mereka.
Namun dalam pada itu, dua orang berkuda yang dengan tidak menimbulkan kecurigaan mengikuti iring-iringan itu begitu keluar dari alun –alun Pajang, sedang berhenti di pinggir sebuah pategalan yang sepi. Sambil menggerutu salah seorang berkata, “Kita menjadi makanan nyamuk kebon di sini. Gila! Iring-iringan itu mendapat kehormatan di Pajang, sementara kita kepanasan di sini. Itu tadi, mereka tentu sedang dijamu makan dan minum.”
“Aku juga lapar,” berkata yang seorang, “marilah, kita tinggalkan kuda kita di sini, kita mencari tempat yang baik untuk membeli makan dan minum.”
“Berbahaya,” sahut kawannya, “jika kuda kami hilang, maka kita akan gagal. Kau tahu akibatnya jika kita benar-benar gagal. Apalagi jika nanti Jaran Lanjar benar-benar tertangkap, dan kita kehilangan jejak, maka kita tentu akan digantung oleh Empu Jala Waja atau pemimpin-pemimpin yang lain.”
“Jadi kita akan tetap menahan lapar?”
“Bukankah di pelana kudamu masih tersimpan beberapa potong jadah yang kau beli di pasar tadi?”
Kawannya menelan ludahnya. Katanya, “Kau ternyata telah membuat aku menderita karena kau membayangkan bahwa orang-orang yang berada di Pajang tadi telah menikmati hidangan yang nikmat.”
Kawannya tidak menyahut. Namun ia pun kemudian justru membaringkan dirinya di atas rerumputan kering.
Diubah oleh breaking182 23-11-2022 21:46
ashrose dan 15 lainnya memberi reputasi
16
Kutip
Balas
Tutup