- Beranda
- Stories from the Heart
KIDUNG DI ATAS TANAH JAWI
...
TS
breaking182
KIDUNG DI ATAS TANAH JAWI
Quote:
Menuliskan cerita yang berbau sejarah tidak gampang. Tulisan ini berdasarkan riset kecil dengan metode wawancara dengan orang yang lebih mengerti dan sumber terpercaya sebatas pengetahuan narasumber. Di samping itu kecintaan saya akan film -film kolosal, sandiwara radio era tahun 90-an tentang kerajaan - kerajaan di tanah Jawa mendorong saya untuk menulis. Tentu saja dengan keterbatasan ilmu pengetahuan yang saya miliki. Kidung Di Atas Tanah Jawi bercerita tentang perjalanan seorang pemuda bernama Arya Gading. Berlatar belakang kerajaan Pajang di bawah pemerintahan Sultan Hadiwijoyo. Cerita ini fiktif belaka. Baca dan nikmati. Salam Olahraga.........
Quote:
Quote:
Konten Sensitif
Quote:
EPISODE 1
GEGER DI PUCANG KEMBAR
gatra 1
gatra 2
gatra 3
gatra 4
gatra 5
gatra 6
gatra 7
gatra 8
gatra 9
gatra 10
gatra 11
gatra 12
gatra 13
gatra 14
gatra 15
gatra 16
gatra 17
gatra 18
gatra 19
gatra 20
gatra 21
gatra 22
gatra 23
gatra 24
gatra 25
gatra 26
gatra 27
gatra 28
gatra 29
gatra 30
gatra 31
gatra 32
gatra 33
gatra 34
gatra 35
gatra 36
gatra 37
gatra 38
gatra 39
gatra 40
gatra 41
gatra 42
gatra 43
gatra 44
gatra 45
gatra 46
gatra 47
gatra 48
gatra 49
Quote:
EPISODE 2
BARA API DI KAKI MERAPI
gatra 1
gatra 2
gatra 3
gatra 4
gatra 5
gatra 6
gatra 7
gatra 8
gatra 9
gatra 10
gatra 11
gatra 12
gatra 13
gatra 14
gatra 15
gatra 16
gatra 17
gatra 18
gatra 19
gatra 20
gatra 21
gatra 22
gatra 23
gatra 24
gatra 25
gatra 26
gatra 27
gatra 28
gatra 29
gatra 30
gatra 31
gatra 32
gatra 33
gatra 34
gatra 35
gatra 36
gatra 37
gatra 38
gatra 39
gatra 40
gatra 41
gatra 42
gatra 43
gatra 44
gatra 45
gatra 46
gatra 47
gatra 48
gatra 49
gatra 50
gatra 51
Quote:
Diubah oleh breaking182 30-12-2022 16:12
69banditos dan 66 lainnya memberi reputasi
67
78.6K
Kutip
621
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.5KThread•42.2KAnggota
Tampilkan semua post
TS
breaking182
#388
gatra 9
Quote:
NAMUN DALAM PADA itu, sebenarnyalah para pemimpin kelompok yang berada di kaki Gunung Tidar itu sedang membuat pertimbangan-pertimbangan tertentu menghadapi perkembangan keadaan. Jipang Panolan telah rutin melakukan gladi kanuragan. Bahkan, beberapa padukuhan di sekitar kotaraja kadipaten Jipang mengirimkan pemuda –pemuda terbaik untuk diperbantukan menjadi prajurit Jipang. Namun, Pajang seolah –olah tidak bergeming menangggapi keadaan seperti itu. Sultan Hadiwijoyo bahkan cenderung mengabaikan apa saja yang dilakukan oleh Jipang.
Di kaki Gunung Tidar disebuah pondokan dari kayu dan beratapkan daun rumbia. Disitulah Raden Panji sedang berbincang dengan mendalam mengenai rencana untuk menyulut api peperangan antara Jipang dan Pajang.
“ Pajang seolah –olah mengabaikan yang terjadi pada Jipang. Karebet malah bersantai dengan menggelar pesta di alun –alun. Rencana ku untuk mencegat para utusan dari bang wetan tidak sepernuhnya berhasil. Jika keadaan seperti ini terus kita hanya akan membuang –buang waktu. Pajang tidak akan segera menggebuk Jipang Panolan. Aku telah berhasil meniup uap panas ke muka Haryo Penangsang. Orang itu bagai memiliki darah minyak jarak. Wataknya mudah terbakar amarah"
"Apalagi ayahnya Pangeran Sekar Sedo Lepen telah terbunuh oleh orang Pajang. Meskipun ia telah membalas dendam kepada Ratu Kalinyamat. Akan tetapi, dendam itu belum terbalas bahkan berlebih –lebihan karena Karebet naik tahta. Siapa Karebet? Hanya seorang pekatik kuda yang naik derajat menjadi seorang lurah prajurit. Dan karena kelicikannya mampu menundukkan hati putri Sultan Trenggono ,” berkata Raden Panji dalam ruangan tertutup yang hanya dihadiri oleh empat orang kepercayaannya termasuk Empu Jala Waja.
“Tetapi hamba yakin bahwa Sultan Pajang sedikit banyak merasa terganggu dengan adanya perampasan upeti oleh orang –orang kita Raden. Hanya saja mungkin Sultan Pajang itu tidak memperlihatkan reaksi yang berlebihan. Disekitar Sultan Pajang itu banyak orang –orang dari Selo yang pandai menyusun taktik. Ada Ki Ageng Pemanahan, Ki Penjawi dan Juru Mertani"
"Ketiga orang itu terkenal dengan siasat –siasat cerdiknya bagaikan kancil yang selalu menipu harimau. Pengaruh tiga orang itu cukup besar bagi para pemimpin yang ada di dalam lingkungan pemerintah dan keprajuritan di Pajang. Suaranya banyak didengar dan rencananya hampir seluruhnya disetujui,” desis seorang yang bertubuh besar, berkumis lebat, dan bermata tajam. Orang ini mengenakan pakaian serba hijau. Dengan timang bergambar dua kelabang yang saling berkait di ekornya.
“Kau benar paman Kelabang Ijo,” jawab Raden Panji, “tetapi itu adalah karena pengaruh hadirnya kekuatan orang –orang Selo itu. Apalagi Karebet adalah salah satu murid kesayangan Ki Ageng Selo. Sudah tentu ia akan mendengarkan perkataan saudara –saudara seperguruannya ”
Empu Jala Waja mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, “Apakah Raden Panji sudah sudi menerima beberapa kelompok yang telah kita tugaskan untuk mengacau di Pajang untuk menghadap dan menceritakan secara langsung perkerjaan mereka?”
Namun dalam pada itu sejenak kemudian Raden Panji itu pun berkata, “ Sepertinya aku belum mau untuk menerima meraka Empu. Urusan remeh temeh seperti itu Empu saja yang mengurusnya. Tapi baiklah, ceritakan apa saja yang telah diperoleh oleh kelompok –kelompok itu Empu “
Lantas Empu Jala Waja menceritakan seperti yang telah dibicarakan oleh Jalan Lanjar. Perihal rencana Jaran Lanjar untuk mencegat lagi iring –iringan utusan Pasuruan itu.
“Mungkin itu sangat bagus dan menguntungkan di pihak kita sekarang,” berkata Empu Jala Waja, “tetapi tidak mustahil bahwa yang terjadi adalah sebaliknya. Jika pencegatan iring –iringan itu gagal. Maka, rencana kita akan berantakan Raden. Oleh sebab itu kelompok Jaran Lanjar meminta bala bantuan dari Raden yang dapat dipilih dari kelompok –kelompok lain “
Raden Panji terdiam. Keningnya tampak berkerut –kerut. Lalu katanya, “Karena itu kita tidak boleh lengah. Baiklah, aku akan mengirimkan beberapa orang dari tiap kelompok untuk membantu Jaran Lanjar. Paman Kelabang Ijo. Aku sangat tertarik dengan dua orang anak buah mu. Pemuda dengan pandangan mata berkilat –kilat dan berbaju merah itu tampaknya cocok untuk memimpin laskar ini. Dan satu lagi siapa namanya? Aku sangat terkesan dengan ketenangan sikap dan gerak –geriknya sangat licin seperti belut. Anak itu cocok untuk mengawani si merah itu paman “
Kelabang Ijo tersenyum, “ Suatu kehormatan yang sangat besar jika Raden Panji percaya kepada anak buah hamba. Pemuda yang berpakaian serba merah itu bernama Alap –Alap Abang. Dan satunya bernama Pangestu. Raden jangan khawatir mereka berdua dapat diandalkan. Terutama dalam ilmu kanuragannya. Hamba akan memerintahkan mereka berdua untuk memilih para anggota yang terlatih untuk ikut dalam tugas ini. Mungkin sebagian besar orang –orang ku akan bergabung dengan kekuatan Jaran Lanjar itu.”
“ Kelabang Ijo, besok pagi –pagi benar kumpulkan orang –orang mu di belakang bukit ini. Tidak jauh dari tempat itu sebuah pedataran yang landai. Keadan disana sangat bagus untuk menyusun siasat dan sedikit berkenalan dengan anggota kelompok Jaran Lanjar. Dan setelah itu dapat langsung berangkat ke Pajang“
Di kaki Gunung Tidar disebuah pondokan dari kayu dan beratapkan daun rumbia. Disitulah Raden Panji sedang berbincang dengan mendalam mengenai rencana untuk menyulut api peperangan antara Jipang dan Pajang.
“ Pajang seolah –olah mengabaikan yang terjadi pada Jipang. Karebet malah bersantai dengan menggelar pesta di alun –alun. Rencana ku untuk mencegat para utusan dari bang wetan tidak sepernuhnya berhasil. Jika keadaan seperti ini terus kita hanya akan membuang –buang waktu. Pajang tidak akan segera menggebuk Jipang Panolan. Aku telah berhasil meniup uap panas ke muka Haryo Penangsang. Orang itu bagai memiliki darah minyak jarak. Wataknya mudah terbakar amarah"
"Apalagi ayahnya Pangeran Sekar Sedo Lepen telah terbunuh oleh orang Pajang. Meskipun ia telah membalas dendam kepada Ratu Kalinyamat. Akan tetapi, dendam itu belum terbalas bahkan berlebih –lebihan karena Karebet naik tahta. Siapa Karebet? Hanya seorang pekatik kuda yang naik derajat menjadi seorang lurah prajurit. Dan karena kelicikannya mampu menundukkan hati putri Sultan Trenggono ,” berkata Raden Panji dalam ruangan tertutup yang hanya dihadiri oleh empat orang kepercayaannya termasuk Empu Jala Waja.
“Tetapi hamba yakin bahwa Sultan Pajang sedikit banyak merasa terganggu dengan adanya perampasan upeti oleh orang –orang kita Raden. Hanya saja mungkin Sultan Pajang itu tidak memperlihatkan reaksi yang berlebihan. Disekitar Sultan Pajang itu banyak orang –orang dari Selo yang pandai menyusun taktik. Ada Ki Ageng Pemanahan, Ki Penjawi dan Juru Mertani"
"Ketiga orang itu terkenal dengan siasat –siasat cerdiknya bagaikan kancil yang selalu menipu harimau. Pengaruh tiga orang itu cukup besar bagi para pemimpin yang ada di dalam lingkungan pemerintah dan keprajuritan di Pajang. Suaranya banyak didengar dan rencananya hampir seluruhnya disetujui,” desis seorang yang bertubuh besar, berkumis lebat, dan bermata tajam. Orang ini mengenakan pakaian serba hijau. Dengan timang bergambar dua kelabang yang saling berkait di ekornya.
“Kau benar paman Kelabang Ijo,” jawab Raden Panji, “tetapi itu adalah karena pengaruh hadirnya kekuatan orang –orang Selo itu. Apalagi Karebet adalah salah satu murid kesayangan Ki Ageng Selo. Sudah tentu ia akan mendengarkan perkataan saudara –saudara seperguruannya ”
Empu Jala Waja mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, “Apakah Raden Panji sudah sudi menerima beberapa kelompok yang telah kita tugaskan untuk mengacau di Pajang untuk menghadap dan menceritakan secara langsung perkerjaan mereka?”
Namun dalam pada itu sejenak kemudian Raden Panji itu pun berkata, “ Sepertinya aku belum mau untuk menerima meraka Empu. Urusan remeh temeh seperti itu Empu saja yang mengurusnya. Tapi baiklah, ceritakan apa saja yang telah diperoleh oleh kelompok –kelompok itu Empu “
Lantas Empu Jala Waja menceritakan seperti yang telah dibicarakan oleh Jalan Lanjar. Perihal rencana Jaran Lanjar untuk mencegat lagi iring –iringan utusan Pasuruan itu.
“Mungkin itu sangat bagus dan menguntungkan di pihak kita sekarang,” berkata Empu Jala Waja, “tetapi tidak mustahil bahwa yang terjadi adalah sebaliknya. Jika pencegatan iring –iringan itu gagal. Maka, rencana kita akan berantakan Raden. Oleh sebab itu kelompok Jaran Lanjar meminta bala bantuan dari Raden yang dapat dipilih dari kelompok –kelompok lain “
Raden Panji terdiam. Keningnya tampak berkerut –kerut. Lalu katanya, “Karena itu kita tidak boleh lengah. Baiklah, aku akan mengirimkan beberapa orang dari tiap kelompok untuk membantu Jaran Lanjar. Paman Kelabang Ijo. Aku sangat tertarik dengan dua orang anak buah mu. Pemuda dengan pandangan mata berkilat –kilat dan berbaju merah itu tampaknya cocok untuk memimpin laskar ini. Dan satu lagi siapa namanya? Aku sangat terkesan dengan ketenangan sikap dan gerak –geriknya sangat licin seperti belut. Anak itu cocok untuk mengawani si merah itu paman “
Kelabang Ijo tersenyum, “ Suatu kehormatan yang sangat besar jika Raden Panji percaya kepada anak buah hamba. Pemuda yang berpakaian serba merah itu bernama Alap –Alap Abang. Dan satunya bernama Pangestu. Raden jangan khawatir mereka berdua dapat diandalkan. Terutama dalam ilmu kanuragannya. Hamba akan memerintahkan mereka berdua untuk memilih para anggota yang terlatih untuk ikut dalam tugas ini. Mungkin sebagian besar orang –orang ku akan bergabung dengan kekuatan Jaran Lanjar itu.”
“ Kelabang Ijo, besok pagi –pagi benar kumpulkan orang –orang mu di belakang bukit ini. Tidak jauh dari tempat itu sebuah pedataran yang landai. Keadan disana sangat bagus untuk menyusun siasat dan sedikit berkenalan dengan anggota kelompok Jaran Lanjar. Dan setelah itu dapat langsung berangkat ke Pajang“
Quote:
DIKEESOKAN HARINYA, Jaran Lanjar bersama anak buahnya telah berkumpul di sebuah pedataran di belakang bukit Tidar.
“ Kakang mungkin kau belum mengenal beberapa orang yang kini justru menjadi kekuatan kelompok kita,” berkata Sugatra salah seorang anak buah Jaran Lanjar.
Jaran Lanjar mengangguk-angguk. Ia memang melihat beberapa orang baru di dalam lingkungannya.
“Mereka telah dipanggil untuk kami perkenalkan dengan kau,” berkata Sugatra.
Jaran Lanjar menarik nafas dalam-dalam. Ternyata Raden Panji telah memenuhi permintaan bala bantuan dari kelompok Kelabang Ijo.
Jaran Lanjar mengangguk-angguk. Katanya, “Ternyata susunan kelompok ini justru menjadi semakin baik dan rapi. Jumlahnya juga berlipat ganda.”
Beberapa orang yang ada di tempat itu untuk diperkenalkan dengan Jaran Lanjar mengangguk-angguk. Namun ternyata seorang pemuda yang bertubuh tinggi kecil namun memiliki tubuh tegap mengenakan pakaian serba merah. Termasuk ikat kepalanya tertawa pendek sambil berkata, “Mungkin suatu kesempatan yang baik sajalah yang telah memperkenalkan kau dengan Empu Jala Waja kisanak.”
Jaran Lanjar mengerutkan keningnya. Sekilas dipandanginya wajah Sugatra yang menjadi tegang pula.
“Maaf Jaran Lanjar. Aku memang orang baru di sini. Diperbantukan untuk menolong kelompok mu. Tetapi jangan dikira bahwa aku adalah orang yang dapat seenaknya kau suruh suruh. Orang di dalam kelompok ini tentu sudah mengenal siapakah aku. Para anak buah mu itu pun mengenal aku pula. Bertanyalah kepadanya, siapakah sebenarnya orang terkuat di kelompok ini.”
Jaran Lanjar termangu-mangu. Sekilas dipandanginya orang –orang yang berdiri berjajar di depannya berganti-ganti. Dari yang paling depan yang dihuni oleh para nak buahnya, sampai yang deretan tengah dan belakang yang rata –rata ia tidka mengenal satupun orang –orang itu.
Sugatra pun kemudian bertanya kepada pemuda yang berpakaian serba merah itu, “Apa sebenarnya maksudmu anak muda?”
“Tidak apa-apa. Aku hanya ingin mengatakan, bahwa pimpinan mu itu jangan menganggap kami, orang-orang yang belum dikenalnya, sebagai orang yang hanya disuruh –suruh di sini. Jika aku di sini, bukan menjadi pimpinan, karena sejak aku datang, sudah ada seorang yang disegani. Tetapi bahwa pimpinan tertinggi di kelompok ini bukanlah orang terkuat tentu sudah diketahui.”
Tiba-tiba Sugatra meloncat berdiri sambil membelalakkan matanya. Katanya, “Aku tidak mengira bahwa kau bersikap seperti itu. Tetapi kau harus menyadari, tidak seorang pun yang mengetahui dengan pasti, bahwa kau adalah orang terkuat di sini, karena kita belum pernah menentukan ukuran yang dapat kita terima bersama-sama. Apalagi jika yang kau anggap pimpinan tertinggi adalah kakang Jaran Lanjar.”
Pemuda itu masih tertawa. Katanya, “Kadang-kadang kita memang perlu meyakinkan, siapakah yang memegang peran tertinggi di dalam suatu kelompok tertentu. Mungkin seseorang dianggap sebagai pemimpin tertinggi karena pengaruhnya, karena kecakapannya memimpin dan membuat rencana yang masak, tetapi mungkin juga karena memang tidak ada orang lain di dalam kelompok itu yang dapat mengalahkannya.”
Sugatra yang merupakan anak buah Jaran Lanjar mengangguk-angguk. Katanya, “Baik. Baik. Justru pada saat semua ada di sini kau ingin menunjukkan bahwa kau adalah orang yang tidak terkalahkan di sini. Marilah. Aku akan mewakili kakang Jaran Lanjar yang tidak akan mempedulikan kau dengan kesombonganmu, meskipun aku belum dapat menyamai kemampuan kakang Jaran Lanjar.”
Pemuda berpakaian merah itu masih tertawa. Katanya, “Jangan mencari kesulitan. Sebenarnya kata-kataku sama sekali tidak aku tujukan kepadamu, karena selama ini pimpinan mu telah berhasil memimpin kelompok ini dengan baik. Aku hanya ingin menunjukkan kepada dia bahwa ia tidak boleh bersikap seperti pemegang kekuasaan tertinggi selama aku dan orang –orang ku, karena ia sama sekali bukan pemimpin di sini. Lebih-lebih lagi, jika ia menganggap bahwa orang-orang yang ada di sini sekarang ini, adalah orang-orang yang harus selalu tunduk pada perintah mu !”
“Itu pikiran gila,” bentak Sugatra.
Namun dalam pada itu, Jaran Lanjar pun tersenyum sambil berkata, “Baiklah. Aku mengerti. Tentu yang dimaksud adalah apakah aku pantas menyebut diriku jadi pemimpin kelompok ini. Baiklah. Jika itu yang kau kehendaki, maka aku pun akan menerima dengan senang hati. Bukankah jelasnya kau menantang aku untuk berkelahi sehingga dengan demikian kau akan mendapat ukuran mengenai diriku di antara orang-orangnya di sini.”
Pemuda itu menjadi tegang, justru karena ia tidak menyangka bahwa Jaran Lanjar akan mempergunakan istilah yang terus-terang.
Namun kemudian ia berkata, “Ternyata kau cukup jantan, sehingga pantas kau berada di lingkungan kelompok Empu Jala Waja.”
Jaran Lanjar mengangguk-angguk. Sejenak dipandanginya pemuda berbaju merah dihadapannya itu. Ujudnya memang meyakinkan. Badannya yang tinggi tegap besar dan dua bilah pedang yang terselip di kedua pinggangnya.
Dalam pada itu, Jaran Lanjar pun kemudian berkata kepada Sugatra, “Biarlah aku memenuhi keinginannya.”
“ Kakang Jaran Lanjar. Akulah anak buah yang paling tertua di sini. Karena itu biarlah aku menertibkan orang itu. Jika kau memang ingin mengukur kekuatannya, lakukanlah. Tetapi kau harus mendapat kepastian, bahwa aku akan dapat mengalahkannya. Jika tidak, maka kewibawaan kakang sebagai pemimpin di sini akan selalu direndahkannya. Karena itu biarlah ia yakin, bahwa kakang adalah pemimpinnya di sini.”
Tetapi Jaran Lanjar menggelengkan kepalanya. Katanya, “Sugatra, aku wajib menerima tantangannya agar aku dapat membuktikan bahwa orang itu bagiku tidak berarti apa-apa.”
“Ayolah, berapa lama lagi aku harus menunggu” geram pemuda itu, “ayo, cepat. Lakukanlah. Tetapi jika kau hanya dapat bersembunyi di punggung para anak buah mu, apa boleh buat.”
“Nah, kau dengar,Sugatra? Akulah yang memang ditantangnya. Dan aku sama sekali tidak berkeberatan. Aku adalah salah seorang pemimpin yang dipercaya di dalam lingkungan kelompok ini. Jika pemuda sombong itu dapat mengalahkan aku, maka ia adalah orang yang pantas duduk di sebelah Raden Panji. Bahkan mungkin melampauinya.”
Sugatra menggeretakkan giginya. Lalu kata-nya, “Baiklah. Lakukanlah kakang. Sebenarnya tidak perlu kau sendiri yang melawannya. Semua orang –orang kita akan mampu mengalahkannya. Bahkan kalau perlu mematahkan lehernya.”
Pemuda berpakaian serba merah itu tertawa. Katanya, “Memang sulit untuk mendapatkan gambaran kekuatan seseorang. Di dalam tugas kita masing-masing, kita tidak akan dapat langsung saling mengukur. Jumlah orang yang sudah dibunuh bukan ukuran kemampuan seseorang.”
Pemuda itu berhenti sejenak, lalu, “Jika kau dapat mengalahkan aku, Jaran Lanjar, maka baru kau pantas memimpin kami melakukan perampokan atas utusan dari Pasuruan.”
Jaran Lanjar tidak berbicara lagi. Ia pun kemudian berdiri dan membenahi pakaiannya, menyingsingkan kain panjangnya, dan bahkan kemudian melepaskan senjatanya dan menyerahkannya kepada Sugatra.
“’Dalam permainan ini aku tidak memerlukannya.”
Sugatra menerima senjata itu sambil berkata, “Hati-hatilah.”
Jaran Lanjar tersenyum. Lalu dipandanginya pemuda berpakaian merah itu sambil berkata, “Tepian ini berpasir. Kita dapat bermain-main di sini dengan sejumlah saksi. Kita dapat bermain-main sampai tengah hari, sampai senja, atau tiga hari tiga malam. Aku akan melayanimu saja sesuai dengan seleramu.”
Pemuda dengan pandangan mara berkilat – kilat itu menggeram. Ternyata Jaran Lanjar sama sekali tidak mengacuhkan dirinya yang di dalam banyak hal sangat berpengaruh karena merupakan tangan kanan Kelabang Ijo. Namun menghadapi Jaran Lanjar yang menganggapnya tidak berarti itu, hatinya benar-benar tergetar. Sementara itu Jaran Lanjar sudah berjalan menjauhi kerumunan anggota kelompok yang diperkenalkan kepadanya. Bahkan di antara mereka pun terdapat orang-orang lama yang sudah mengenalnya dengan baik. Meskipun demikian, apalagi orang-orang baru menjadi sangat berdebar-debar. Karena sikap pemuda itu nampaknya begitu garang.
“ Kakang mungkin kau belum mengenal beberapa orang yang kini justru menjadi kekuatan kelompok kita,” berkata Sugatra salah seorang anak buah Jaran Lanjar.
Jaran Lanjar mengangguk-angguk. Ia memang melihat beberapa orang baru di dalam lingkungannya.
“Mereka telah dipanggil untuk kami perkenalkan dengan kau,” berkata Sugatra.
Jaran Lanjar menarik nafas dalam-dalam. Ternyata Raden Panji telah memenuhi permintaan bala bantuan dari kelompok Kelabang Ijo.
Jaran Lanjar mengangguk-angguk. Katanya, “Ternyata susunan kelompok ini justru menjadi semakin baik dan rapi. Jumlahnya juga berlipat ganda.”
Beberapa orang yang ada di tempat itu untuk diperkenalkan dengan Jaran Lanjar mengangguk-angguk. Namun ternyata seorang pemuda yang bertubuh tinggi kecil namun memiliki tubuh tegap mengenakan pakaian serba merah. Termasuk ikat kepalanya tertawa pendek sambil berkata, “Mungkin suatu kesempatan yang baik sajalah yang telah memperkenalkan kau dengan Empu Jala Waja kisanak.”
Jaran Lanjar mengerutkan keningnya. Sekilas dipandanginya wajah Sugatra yang menjadi tegang pula.
“Maaf Jaran Lanjar. Aku memang orang baru di sini. Diperbantukan untuk menolong kelompok mu. Tetapi jangan dikira bahwa aku adalah orang yang dapat seenaknya kau suruh suruh. Orang di dalam kelompok ini tentu sudah mengenal siapakah aku. Para anak buah mu itu pun mengenal aku pula. Bertanyalah kepadanya, siapakah sebenarnya orang terkuat di kelompok ini.”
Jaran Lanjar termangu-mangu. Sekilas dipandanginya orang –orang yang berdiri berjajar di depannya berganti-ganti. Dari yang paling depan yang dihuni oleh para nak buahnya, sampai yang deretan tengah dan belakang yang rata –rata ia tidka mengenal satupun orang –orang itu.
Sugatra pun kemudian bertanya kepada pemuda yang berpakaian serba merah itu, “Apa sebenarnya maksudmu anak muda?”
“Tidak apa-apa. Aku hanya ingin mengatakan, bahwa pimpinan mu itu jangan menganggap kami, orang-orang yang belum dikenalnya, sebagai orang yang hanya disuruh –suruh di sini. Jika aku di sini, bukan menjadi pimpinan, karena sejak aku datang, sudah ada seorang yang disegani. Tetapi bahwa pimpinan tertinggi di kelompok ini bukanlah orang terkuat tentu sudah diketahui.”
Tiba-tiba Sugatra meloncat berdiri sambil membelalakkan matanya. Katanya, “Aku tidak mengira bahwa kau bersikap seperti itu. Tetapi kau harus menyadari, tidak seorang pun yang mengetahui dengan pasti, bahwa kau adalah orang terkuat di sini, karena kita belum pernah menentukan ukuran yang dapat kita terima bersama-sama. Apalagi jika yang kau anggap pimpinan tertinggi adalah kakang Jaran Lanjar.”
Pemuda itu masih tertawa. Katanya, “Kadang-kadang kita memang perlu meyakinkan, siapakah yang memegang peran tertinggi di dalam suatu kelompok tertentu. Mungkin seseorang dianggap sebagai pemimpin tertinggi karena pengaruhnya, karena kecakapannya memimpin dan membuat rencana yang masak, tetapi mungkin juga karena memang tidak ada orang lain di dalam kelompok itu yang dapat mengalahkannya.”
Sugatra yang merupakan anak buah Jaran Lanjar mengangguk-angguk. Katanya, “Baik. Baik. Justru pada saat semua ada di sini kau ingin menunjukkan bahwa kau adalah orang yang tidak terkalahkan di sini. Marilah. Aku akan mewakili kakang Jaran Lanjar yang tidak akan mempedulikan kau dengan kesombonganmu, meskipun aku belum dapat menyamai kemampuan kakang Jaran Lanjar.”
Pemuda berpakaian merah itu masih tertawa. Katanya, “Jangan mencari kesulitan. Sebenarnya kata-kataku sama sekali tidak aku tujukan kepadamu, karena selama ini pimpinan mu telah berhasil memimpin kelompok ini dengan baik. Aku hanya ingin menunjukkan kepada dia bahwa ia tidak boleh bersikap seperti pemegang kekuasaan tertinggi selama aku dan orang –orang ku, karena ia sama sekali bukan pemimpin di sini. Lebih-lebih lagi, jika ia menganggap bahwa orang-orang yang ada di sini sekarang ini, adalah orang-orang yang harus selalu tunduk pada perintah mu !”
“Itu pikiran gila,” bentak Sugatra.
Namun dalam pada itu, Jaran Lanjar pun tersenyum sambil berkata, “Baiklah. Aku mengerti. Tentu yang dimaksud adalah apakah aku pantas menyebut diriku jadi pemimpin kelompok ini. Baiklah. Jika itu yang kau kehendaki, maka aku pun akan menerima dengan senang hati. Bukankah jelasnya kau menantang aku untuk berkelahi sehingga dengan demikian kau akan mendapat ukuran mengenai diriku di antara orang-orangnya di sini.”
Pemuda itu menjadi tegang, justru karena ia tidak menyangka bahwa Jaran Lanjar akan mempergunakan istilah yang terus-terang.
Namun kemudian ia berkata, “Ternyata kau cukup jantan, sehingga pantas kau berada di lingkungan kelompok Empu Jala Waja.”
Jaran Lanjar mengangguk-angguk. Sejenak dipandanginya pemuda berbaju merah dihadapannya itu. Ujudnya memang meyakinkan. Badannya yang tinggi tegap besar dan dua bilah pedang yang terselip di kedua pinggangnya.
Dalam pada itu, Jaran Lanjar pun kemudian berkata kepada Sugatra, “Biarlah aku memenuhi keinginannya.”
“ Kakang Jaran Lanjar. Akulah anak buah yang paling tertua di sini. Karena itu biarlah aku menertibkan orang itu. Jika kau memang ingin mengukur kekuatannya, lakukanlah. Tetapi kau harus mendapat kepastian, bahwa aku akan dapat mengalahkannya. Jika tidak, maka kewibawaan kakang sebagai pemimpin di sini akan selalu direndahkannya. Karena itu biarlah ia yakin, bahwa kakang adalah pemimpinnya di sini.”
Tetapi Jaran Lanjar menggelengkan kepalanya. Katanya, “Sugatra, aku wajib menerima tantangannya agar aku dapat membuktikan bahwa orang itu bagiku tidak berarti apa-apa.”
“Ayolah, berapa lama lagi aku harus menunggu” geram pemuda itu, “ayo, cepat. Lakukanlah. Tetapi jika kau hanya dapat bersembunyi di punggung para anak buah mu, apa boleh buat.”
“Nah, kau dengar,Sugatra? Akulah yang memang ditantangnya. Dan aku sama sekali tidak berkeberatan. Aku adalah salah seorang pemimpin yang dipercaya di dalam lingkungan kelompok ini. Jika pemuda sombong itu dapat mengalahkan aku, maka ia adalah orang yang pantas duduk di sebelah Raden Panji. Bahkan mungkin melampauinya.”
Sugatra menggeretakkan giginya. Lalu kata-nya, “Baiklah. Lakukanlah kakang. Sebenarnya tidak perlu kau sendiri yang melawannya. Semua orang –orang kita akan mampu mengalahkannya. Bahkan kalau perlu mematahkan lehernya.”
Pemuda berpakaian serba merah itu tertawa. Katanya, “Memang sulit untuk mendapatkan gambaran kekuatan seseorang. Di dalam tugas kita masing-masing, kita tidak akan dapat langsung saling mengukur. Jumlah orang yang sudah dibunuh bukan ukuran kemampuan seseorang.”
Pemuda itu berhenti sejenak, lalu, “Jika kau dapat mengalahkan aku, Jaran Lanjar, maka baru kau pantas memimpin kami melakukan perampokan atas utusan dari Pasuruan.”
Jaran Lanjar tidak berbicara lagi. Ia pun kemudian berdiri dan membenahi pakaiannya, menyingsingkan kain panjangnya, dan bahkan kemudian melepaskan senjatanya dan menyerahkannya kepada Sugatra.
“’Dalam permainan ini aku tidak memerlukannya.”
Sugatra menerima senjata itu sambil berkata, “Hati-hatilah.”
Jaran Lanjar tersenyum. Lalu dipandanginya pemuda berpakaian merah itu sambil berkata, “Tepian ini berpasir. Kita dapat bermain-main di sini dengan sejumlah saksi. Kita dapat bermain-main sampai tengah hari, sampai senja, atau tiga hari tiga malam. Aku akan melayanimu saja sesuai dengan seleramu.”
Pemuda dengan pandangan mara berkilat – kilat itu menggeram. Ternyata Jaran Lanjar sama sekali tidak mengacuhkan dirinya yang di dalam banyak hal sangat berpengaruh karena merupakan tangan kanan Kelabang Ijo. Namun menghadapi Jaran Lanjar yang menganggapnya tidak berarti itu, hatinya benar-benar tergetar. Sementara itu Jaran Lanjar sudah berjalan menjauhi kerumunan anggota kelompok yang diperkenalkan kepadanya. Bahkan di antara mereka pun terdapat orang-orang lama yang sudah mengenalnya dengan baik. Meskipun demikian, apalagi orang-orang baru menjadi sangat berdebar-debar. Karena sikap pemuda itu nampaknya begitu garang.
Diubah oleh breaking182 06-11-2022 11:26
ashrose dan 11 lainnya memberi reputasi
12
Kutip
Balas