- Beranda
- Stories from the Heart
KIDUNG DI ATAS TANAH JAWI
...
TS
breaking182
KIDUNG DI ATAS TANAH JAWI
Quote:
Menuliskan cerita yang berbau sejarah tidak gampang. Tulisan ini berdasarkan riset kecil dengan metode wawancara dengan orang yang lebih mengerti dan sumber terpercaya sebatas pengetahuan narasumber. Di samping itu kecintaan saya akan film -film kolosal, sandiwara radio era tahun 90-an tentang kerajaan - kerajaan di tanah Jawa mendorong saya untuk menulis. Tentu saja dengan keterbatasan ilmu pengetahuan yang saya miliki. Kidung Di Atas Tanah Jawi bercerita tentang perjalanan seorang pemuda bernama Arya Gading. Berlatar belakang kerajaan Pajang di bawah pemerintahan Sultan Hadiwijoyo. Cerita ini fiktif belaka. Baca dan nikmati. Salam Olahraga.........
Quote:
Quote:
Konten Sensitif
Quote:
EPISODE 1
GEGER DI PUCANG KEMBAR
gatra 1
gatra 2
gatra 3
gatra 4
gatra 5
gatra 6
gatra 7
gatra 8
gatra 9
gatra 10
gatra 11
gatra 12
gatra 13
gatra 14
gatra 15
gatra 16
gatra 17
gatra 18
gatra 19
gatra 20
gatra 21
gatra 22
gatra 23
gatra 24
gatra 25
gatra 26
gatra 27
gatra 28
gatra 29
gatra 30
gatra 31
gatra 32
gatra 33
gatra 34
gatra 35
gatra 36
gatra 37
gatra 38
gatra 39
gatra 40
gatra 41
gatra 42
gatra 43
gatra 44
gatra 45
gatra 46
gatra 47
gatra 48
gatra 49
Quote:
EPISODE 2
BARA API DI KAKI MERAPI
gatra 1
gatra 2
gatra 3
gatra 4
gatra 5
gatra 6
gatra 7
gatra 8
gatra 9
gatra 10
gatra 11
gatra 12
gatra 13
gatra 14
gatra 15
gatra 16
gatra 17
gatra 18
gatra 19
gatra 20
gatra 21
gatra 22
gatra 23
gatra 24
gatra 25
gatra 26
gatra 27
gatra 28
gatra 29
gatra 30
gatra 31
gatra 32
gatra 33
gatra 34
gatra 35
gatra 36
gatra 37
gatra 38
gatra 39
gatra 40
gatra 41
gatra 42
gatra 43
gatra 44
gatra 45
gatra 46
gatra 47
gatra 48
gatra 49
gatra 50
gatra 51
Quote:
Diubah oleh breaking182 30-12-2022 16:12
69banditos dan 66 lainnya memberi reputasi
67
78.6K
Kutip
621
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.5KThread•42.2KAnggota
Tampilkan semua post
TS
breaking182
#383
gatra 8
Quote:
DALAM PADA ITU, selagi Pajang hanyut dalam perhelatan besar di alun –alun. Di kaki bukit kecil, sekelompok orang-orang yang tegang sedang memperbincangkan hasil yang telah mereka peroleh di dalam tugas mereka. Pemimpin kelompok itu seorang yang berkumis lebat dan berambut terurai di bawah ikat kepala yang tidak dilingkarkan di kepalanya, tetapi hanya disangkutkannya saja melingkari tengkuknya, berjalan hilir-mudik dengan gelisahnya.
“Besok pagi-pagi, sebelum matahari sepenggalah, kita harus sudah berada di kaki Gunung Tidar. Di sana kita harus menghadap Kiai Kelabang Ijo dan Empu Jala Waja.” Ia berhenti sejenak, lalu, “ Orang yang bernama Raden Panji itu juga akan hadir. Tugas untuk membuat kekacauan di Pajang dengan cara merampok negara –negara bawahan dari bang wetan yang akan mengirim upeti ke Pajang telah kita lakukan seperti yang telah diperintahkan kepada kita”
Seorang di antara mereka bergeser setapak, lalu katanya, “ Dua hari yang lalu utusan dari Pasuruan telah kita rampas dan telah kita buat kocar –kacir menyelamatkan diri. Itu tentu akan membuat Karebet menjadi tidak bisa tidur nyenyak. Ia tentu tidak mau kehilangan wibawanya di hadapan negara –negara bawahan “
Pemimpin kelompok yang rambutnya terurai itu menggeram. Lalu katanya, “Kelompok ini adalah kelompok yang paling sial. Yang kita dapatkan tidak seberapa banyak, tetapi kita harus mengorbankan lima orang kawan. Itu sudah keterlaluan.”
“Kita masih bekerja dengan orang –orang kita sendiri. Kelompok Kelabang Ijo yang dijanjikan untuk membantu kita belum juga bergabung. Dan besok pagi kita pergi ke gunung Tidar untuk mendapatkan perintah selanjutnya. Selain itu kita juga akan menjemput orang –orang Kelabang Ijo “
“ Aku juga telah memerintahkan dua orang telik sandi untuk melihat perkembangan di Pajang sekaligus mencari berita kapan orang –orang Pasuruan itu akan kembali pulang. Lima nyawa orang –orang kita harus ditebus berkali lipat. Aku yakin kita akan dapat membabat habis orang –orang Pasuruan yang kemungkinan besar juga akan dikawal oleh prajurit Pajang”
“ Maaf kakang Jaran Lanjar, apakah itu tidak terlalu berbahaya? “
Yang lain mengangguk-angguk. Terbayang di dalam angan-angan mereka, pertempuran yang akan sangat sengit jika pecah bentrokan antara utusan Pasuruan yang dikawal oleh para prajurit Pajang.
“Kau memang dungu. Kau tidak mengetahui apa yang seharusnya kau ketahui. Jika kita cegat lagi utusan itu kekuatan kita sudah bertambah besar dan kuat. Bala bantuan dari gerombolan Kelabang ijo akan menambah kekuatan kita “
“Baiklah,” berkata pemimpin kelompok yang rambutnya terurai yang bernama Jaran Lanjar itu, “kita akan menghadap ke Gunung Tidar dengan keadaan seperti yang kita alami sekarang ini. Tidak lebih dan tidak kurang.”
Kawan-kawannya mengangguk-angguk.
“Bersiaplah. Kita akan berangkat menjelang senja. Kita akan berada di perjalanan sepanjang malam hari. Mungkin waktu itulah yang terbaik bagi kita.”
“Terbaik dan teraman,” sahut yang lain, “meskipun kita akan menguap sepanjang jalan.”
Demikianlah maka sekelompok orang-orang itu pun segera mempersiapkan diri. Mereka telah membenahi semua barang-barang dan uang yang mereka dapatkan dari hasil merampok utusan dari Pasuruan, meskipun mereka harus melepaskan beberapa orang kawan mereka sebagai banten.
Menjelang senja, maka kelompok kecil itu pun telah bersiap. Mereka akan menempuh perjalanan semalam suntuk dan di pagi hari menjelang matahari naik sepenggalah.
“Apakah kita sudah tidak mempunyai waktu lagi menjelang pertemuan di lembah antara kedua gunung itu?” bertanya seseorang dari antara mereka.
“Kita tidak tahu pasti, kapan pertemuan itu diadakan. Tetapi Raden Panji telah memberi batas waktu kepada kita sampai besok menjelang matahari naik sepenggalah. Mungkin pertemuan itu masih akan berlangsung beberapa hari lagi. Sementara Empu Jala Waja masih sempat berbuat sesuatu jika ada kekurangan pada persiapan kita menjelang saat-saat pertemuan itu,” jawab Jaran Lanjar, “karena dalam pertemuan itulah, akan diatur imbangan kekuatan dan tentu juga imbangan kekuasaan yang akan diperoleh kelak, selama perjuangan selanjutnya dan bahkan apabila kekuasaan Pajang benar-benar sudah kembali kepada garis keturunan Pangeran Sekar Sedo Lepen.”
“Dan Haryo Penangsang adalah keturunan langsung dari Pangeran Sekar Sedo Lepen.”
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Mereka pun pernah mendengar tentang orang-orang yang tidak mereka kenal, namun yang memiliki kekuasaan lebih banyak dari pemimpm-pemimpin kelompok yang langsung terjun ke dalam gelanggang. Namun mereka tidak terlalu banyak memikirkan orang-orang yang tidak mereka kenal itu. Itu adalah tugas pemimpin-pemimpin mereka. Yang penting mereka dapat menjalankan tugas yang dibebankan kepada mereka sebaik-baiknya, sehingga jika kelak perjuangan itu berhasil, mereka akan mendapat kedudukan yang baik. Sawah pelungguh yang luas dan kedudukan yang memadai di padukuhannya. Mungkin seorang demang atau bebahu yang lain. Jika ia terjun ke dalam lingkungan keprajuritan maka kelak akan mendapat kedudukan sebagai seorang lurah dengan seratus orang anak buah.
Ketika mereka meninggalkan bukit kecil, langit sudah mulai disentuh oleh warna senja. Bibir mega yang putih, nampak kemerah-merahan oleh sinar matahari yang sudah hampir terbenam.
“Kita tidak memintas lewat tengah-tengah hutan,” berkata Jaran Lanjar pemimpin kelompok yang rambutnya terurai itu.
“Bukankah jalan itu lebih dekat?” bertanya seseorang di antara mereka.
“Tetapi kita akan justru lebih lama sampai, karena di malam hari jalan itu sulit ditembus. Kita akan menyusur di sepanjang jalan sempit di pinggir hutan dan sekali-sekali menembus padukuhaan-padukuhan itu tidak akan dapat menghambat perjalanan kita.”
Meskipun demikian iring-iringan kecil itu tidak dapat meninggalkan kewaspadaan. Mereka sadar, bahwa telik sandi Pajang tentu akan disebar setelah kejadian perampokan utusan dari Pasuruan di tepi hutan Jati Jajar. Semakin jauh iring-iringan itu dari perbatasan Pajang, maka mereka pun merasa semakin aman. Padukuhan-padukuhan kecil yang akan mereka lalui tidak akan dapat mengganggu perjalanan mereka menuju ke kaki Gunung Tidar. Apalagi di malam hari yang gelap. Maka tidak akan ada seorang pun yang akan dapat menghentikan mereka.
“Besok pagi-pagi, sebelum matahari sepenggalah, kita harus sudah berada di kaki Gunung Tidar. Di sana kita harus menghadap Kiai Kelabang Ijo dan Empu Jala Waja.” Ia berhenti sejenak, lalu, “ Orang yang bernama Raden Panji itu juga akan hadir. Tugas untuk membuat kekacauan di Pajang dengan cara merampok negara –negara bawahan dari bang wetan yang akan mengirim upeti ke Pajang telah kita lakukan seperti yang telah diperintahkan kepada kita”
Seorang di antara mereka bergeser setapak, lalu katanya, “ Dua hari yang lalu utusan dari Pasuruan telah kita rampas dan telah kita buat kocar –kacir menyelamatkan diri. Itu tentu akan membuat Karebet menjadi tidak bisa tidur nyenyak. Ia tentu tidak mau kehilangan wibawanya di hadapan negara –negara bawahan “
Pemimpin kelompok yang rambutnya terurai itu menggeram. Lalu katanya, “Kelompok ini adalah kelompok yang paling sial. Yang kita dapatkan tidak seberapa banyak, tetapi kita harus mengorbankan lima orang kawan. Itu sudah keterlaluan.”
“Kita masih bekerja dengan orang –orang kita sendiri. Kelompok Kelabang Ijo yang dijanjikan untuk membantu kita belum juga bergabung. Dan besok pagi kita pergi ke gunung Tidar untuk mendapatkan perintah selanjutnya. Selain itu kita juga akan menjemput orang –orang Kelabang Ijo “
“ Aku juga telah memerintahkan dua orang telik sandi untuk melihat perkembangan di Pajang sekaligus mencari berita kapan orang –orang Pasuruan itu akan kembali pulang. Lima nyawa orang –orang kita harus ditebus berkali lipat. Aku yakin kita akan dapat membabat habis orang –orang Pasuruan yang kemungkinan besar juga akan dikawal oleh prajurit Pajang”
“ Maaf kakang Jaran Lanjar, apakah itu tidak terlalu berbahaya? “
Yang lain mengangguk-angguk. Terbayang di dalam angan-angan mereka, pertempuran yang akan sangat sengit jika pecah bentrokan antara utusan Pasuruan yang dikawal oleh para prajurit Pajang.
“Kau memang dungu. Kau tidak mengetahui apa yang seharusnya kau ketahui. Jika kita cegat lagi utusan itu kekuatan kita sudah bertambah besar dan kuat. Bala bantuan dari gerombolan Kelabang ijo akan menambah kekuatan kita “
“Baiklah,” berkata pemimpin kelompok yang rambutnya terurai yang bernama Jaran Lanjar itu, “kita akan menghadap ke Gunung Tidar dengan keadaan seperti yang kita alami sekarang ini. Tidak lebih dan tidak kurang.”
Kawan-kawannya mengangguk-angguk.
“Bersiaplah. Kita akan berangkat menjelang senja. Kita akan berada di perjalanan sepanjang malam hari. Mungkin waktu itulah yang terbaik bagi kita.”
“Terbaik dan teraman,” sahut yang lain, “meskipun kita akan menguap sepanjang jalan.”
Demikianlah maka sekelompok orang-orang itu pun segera mempersiapkan diri. Mereka telah membenahi semua barang-barang dan uang yang mereka dapatkan dari hasil merampok utusan dari Pasuruan, meskipun mereka harus melepaskan beberapa orang kawan mereka sebagai banten.
Menjelang senja, maka kelompok kecil itu pun telah bersiap. Mereka akan menempuh perjalanan semalam suntuk dan di pagi hari menjelang matahari naik sepenggalah.
“Apakah kita sudah tidak mempunyai waktu lagi menjelang pertemuan di lembah antara kedua gunung itu?” bertanya seseorang dari antara mereka.
“Kita tidak tahu pasti, kapan pertemuan itu diadakan. Tetapi Raden Panji telah memberi batas waktu kepada kita sampai besok menjelang matahari naik sepenggalah. Mungkin pertemuan itu masih akan berlangsung beberapa hari lagi. Sementara Empu Jala Waja masih sempat berbuat sesuatu jika ada kekurangan pada persiapan kita menjelang saat-saat pertemuan itu,” jawab Jaran Lanjar, “karena dalam pertemuan itulah, akan diatur imbangan kekuatan dan tentu juga imbangan kekuasaan yang akan diperoleh kelak, selama perjuangan selanjutnya dan bahkan apabila kekuasaan Pajang benar-benar sudah kembali kepada garis keturunan Pangeran Sekar Sedo Lepen.”
“Dan Haryo Penangsang adalah keturunan langsung dari Pangeran Sekar Sedo Lepen.”
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Mereka pun pernah mendengar tentang orang-orang yang tidak mereka kenal, namun yang memiliki kekuasaan lebih banyak dari pemimpm-pemimpin kelompok yang langsung terjun ke dalam gelanggang. Namun mereka tidak terlalu banyak memikirkan orang-orang yang tidak mereka kenal itu. Itu adalah tugas pemimpin-pemimpin mereka. Yang penting mereka dapat menjalankan tugas yang dibebankan kepada mereka sebaik-baiknya, sehingga jika kelak perjuangan itu berhasil, mereka akan mendapat kedudukan yang baik. Sawah pelungguh yang luas dan kedudukan yang memadai di padukuhannya. Mungkin seorang demang atau bebahu yang lain. Jika ia terjun ke dalam lingkungan keprajuritan maka kelak akan mendapat kedudukan sebagai seorang lurah dengan seratus orang anak buah.
Ketika mereka meninggalkan bukit kecil, langit sudah mulai disentuh oleh warna senja. Bibir mega yang putih, nampak kemerah-merahan oleh sinar matahari yang sudah hampir terbenam.
“Kita tidak memintas lewat tengah-tengah hutan,” berkata Jaran Lanjar pemimpin kelompok yang rambutnya terurai itu.
“Bukankah jalan itu lebih dekat?” bertanya seseorang di antara mereka.
“Tetapi kita akan justru lebih lama sampai, karena di malam hari jalan itu sulit ditembus. Kita akan menyusur di sepanjang jalan sempit di pinggir hutan dan sekali-sekali menembus padukuhaan-padukuhan itu tidak akan dapat menghambat perjalanan kita.”
Meskipun demikian iring-iringan kecil itu tidak dapat meninggalkan kewaspadaan. Mereka sadar, bahwa telik sandi Pajang tentu akan disebar setelah kejadian perampokan utusan dari Pasuruan di tepi hutan Jati Jajar. Semakin jauh iring-iringan itu dari perbatasan Pajang, maka mereka pun merasa semakin aman. Padukuhan-padukuhan kecil yang akan mereka lalui tidak akan dapat mengganggu perjalanan mereka menuju ke kaki Gunung Tidar. Apalagi di malam hari yang gelap. Maka tidak akan ada seorang pun yang akan dapat menghentikan mereka.
Quote:
SEPERTI YANG MEREKA perhitungkan, maka perjalanan itu sama sekali tidak mengalami gangguan. Setelah mereka meninggalkan daerah yang berhutan lebat, maka mereka pun sekali-sekali memasuki bulak-bulak persawahan yang gersang, meskipun nampak tanaman palawija yang berwarna kekuning-kuningan. Demikianlah iring-iringan itu pun melalui padukuhan-padukuhan yang gelap dan seolah-olah tidak bernafas lagi. Lampu-lampu minyak hanya nampak di beberapa rumah yang agak lebih baik dari rumah-rumah disekitarnya.
Namun dengan demikian, perjalanan mereka sama sekali tidak terganggu karenanya. Hingga keesokan harinya rombongan Jaran Lanjar telah sampai di kaki gunung Tidar. Dan beberapa orang sedang berkumpul untuk membicarakan rencana mereka yang paling menarik.
“Kita akan mencegat lagi serombongan utusan dari Pasuruan sepulangnya untuk mengantar upeti ke Pajang,” berkata salah seorang dari mereka, “tentu Raden Panji akan menyetujui rencana kita.”
Yang lain mengangguk-angguk. Salah seorang berkata, “Kita harus dapat memberikan keterangan sejelas-jelasnya secara terperinci. Kita harus tahu pasti jalan yang kira-kira akan dilaluinya, sehingga kita dapat menempatkan diri sebaik-baiknya.”
“Kau sajalah yang menyampaikan kepadanya Jaran Lanjar.”
“Kita bersama-sama,” jawab yang lain.
“Tetapi mereka tentu membawa pengawal yang kuat,” berkata salah seorang dari mereka.
“Sebut, berapa orang. Sepuluh, dua puluh?”
“Seandainya sekian.”
“Kami dapat mempersiapkan orang sejumlah itu. Bahkan lipat dua. Kelompok Kelabang Ijo yang dijanjikan oleh Empu Jala Waja tentu akan membuat kita semakin kuat”
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Lalu, “Sebentar lagi kita mendapat kesempatan untuk menghadap. Kita akan menyampaikannya. Setelah kesempatan ini tertunda dua hari.”
Yang lain masih saja mengangguk-angguk. Namun rasa-rasanya mereka tidak sabar lagi menunggu kesempatan untuk menghadap Raden Panji yang memerintahkan kepada mereka untuk datang ke Gunung Tidar, justru saat yang ditentukan telah lewat. Dalam kegelisahan itu, mereka berkali-kali telah mendesak kepada pengawal terdekat untuk segera mendapat kesempatan melaporkan apa yang telah mereka lakukan di Pajang.
“Raden Panji sedang terganggu kesehatannya,” berkata pengawal terdekatnya.
“Kenapa?” bertanya salah seorang dari mereka yang ingin menghadap itu.
“Tentu aku tidak tahu kenapa Raden Panji menjadi sakit, bahkan Raden Panji sendiri pun tidak tahu pula sebabnya. Mungkin kita dapat menduga, bahwa Raden Panji terlalu letih, karena perjalanannya yang tergesa-gesa ke kaki Gunung Tidar ini. Karena itulah maka kesempatanmu menghadap dan menceritakan hasil kerjamu di Pajang menjadi tertunda. Tetapi itu pun tidak dapat kita anggap dugaan yang tepat, karena Raden Panji tidak pernah mengenal lelah. Tiga hari tiga malam ia bertempur tanpa berhenti sama sekali, tidak mempengaruhi kesehatannya, tanpa makan tanpa minum"
"Apalagi sekedar perjalanan betapa pun tergesa-gesanya. Karena itu, mungkin pula ada sebab lain yang tidak kita mengerti.”
“Apakah sekarang masih juga belum dapat menerima kami?”
“Aku tidak tahu. Tetapi hanya orang-orang terpenting sajalah yang dapat menemuinya. Laporanmu mungkin akan diterima bukan oleh Raden Panji sendiri. Mungkin Empu Jala Waja yang akan menerima laporan mu dan kemudian menyampaikannya pada Raden Panji”
“Tetapi laporanku penting sekali.”
“Katakan kepada siapa pun yang akan berkewajiban menerimanya.”
Jaran Lanjar dan orang-orang yang sudah menunggu terlampau lama itu menjadi kecewa. Apalagi mereka sudah sangat tergesa –gesa tadi di perjalanan. Tetapi sudah barang tentu mereka tidak akan memaksa seandainya Raden Panji sendiri tidak dapat menerima mereka.
“Aneh,” mereka masih saja menjadi heran, “mana mungkin Raden Panji menjadi sakit. Aku tidak pernah mendengar sebelumnya. Dan aku tidak dapat membayangkan bahwa hal itu telah terjadi.”
Tetapi nampaknya Raden Panji benar-benar telah menutup diri bagi mereka yang tidak termasuk orang-orang yang paling dipercaya. Seperti yang dikatakan oleh pengawal itu, maka ternyata beberapa orang yang telah pergi ke Pajang itu pun telah dipanggil untuk memasuki sebuah rumah induk dari perkemahan mereka. Tetapi yang menerima mereka memang bukan Raden Panji sendiri meskipun agaknya Raden Panji juga berada di rumah itu.
“Seorang pengawal telah mendesak agar kalian dapat diterima hari ini,” berkata seorang yang bertubuh besar dan kekar, berkulit kuning dengan kumis yang kecil menyilang di atas bibirnya.
“Ya, Empu Jala Waja,” jawab salah seorang yang tertua dari mereka, “sudah terlalu lama kami menunggu.”
“Apa salahnya? Kalian tidak akan mendapat tugas baru lagi untuk beberapa lama sampai saat terpenting itu tiba.”
“Apa bekal kita sudah cukup?”
“Raden Panji tidak peduli lagi. Ada sesuatu yang lebih penting dari semuanya itu. Dan kini yang jauh lebih berharga itu telah ada di sini.”
“Apakah yang jauh lebih berharga itu?”
“Kelak kalian akan mengetahuinya. Sekarang jika kalian memang ingin segera menyampaikan pesan atau laporan tentang tugas-tugasmu, katakanlah. Pada saatnya aku akan menyampaikan kepada Raden Panji.”
“Apakah saat-saat ini sama sekali tidak ada kesempatan untuk menghadap Raden Panji betapa pun pentingnya.”
“Tidak pada waktu dekat ini Jaran Lanjar”
“Apakah sakitnya cukup parah?”
Empu Jala Waja termangu-mangu sejenak. Lalu katanya, “Raden Panji sebenarnya tidak sakit. Tetapi ia hanya sekedar ingin beristirahat tanpa diganggu oleh siapa pun untuk kira-kira sepekan. Ada sesuatu yang sedang dipikirkannya. Jauh lebih penting dari tugas kalian selama ini.”
“Tetapi ada bahan yang barangkali dapat dipertimbangkan.”
“Katakanlah. Tetapi jika hal itu hanyalah sekedar masalah membuat kericuhan di Pajang dengan cara merampok Negara –negara bawahan yang hendak membayar upeti ke Pajang, sebaiknya lupakan saja dalam saat-saat seperti ini.”
Orang-orang itu mengerutkan keningnya. Salah seorang dari mereka bertanya, “Kenapa?”
“Sudah aku katakan. Masalahnya ada yang lebih penting daripada itu. Ada hal lebih penting yang memerlukan perhatian sepenuhnya.”
“Apakah ada sesuatu yang kurang wajar telah terjadi?”
“ Hanya Raden Panji sajalah yang mengetahuinya. Kita tidak perlu. Kapan pun hal itu terjadi sama saja akibatnya bagi kita. Bersiaga, menghadapi setiap kemungkinan.”
Orang-orang itu termangu-mangu sejenak. Lalu Jaran Lanjar berkata, “Baiklah. Aku akan mengatakannya apa pun tanggapan atas laporanku itu.”
“Katakanlah.”
Orang itu pun segera melaporkan apa yang telah terjadi. Bahwa dua hari yang lalu ia bersama kelompok nya berhasil merampas dan memukul mundur para utusan dari Pasuruan. Empu Jala Waja mengangguk-angguk kosong. Seperti ia mendengarkan laporan yang lain. Tanpa perhatian, apalagi tertarik atas sesuatu yang telah terjadi. Meskipun, perintah untuk membuat kericuhan itu adalah perintah nya.
“Ya,” sahutnya kemudian, “terima kasih. Yang telah menjadi korban, sudahlah. Itu adalah peristiwa yang wajar bagi suatu perjuangan.”
“Di daerah manakah selama ini kau melakukan kegiatan.”
“He?” orang itu menarik nafas. Ia sadar, bahwa laporannya hanyalah sekedar didengar tanpa perhatian sama sekali.
Empu Jala Waja mengerutkan keningnya. Dipandanginya wajah Jaran Lanjar yang telah memberikan laporan kepadanya itu. Dengan heran ia bertanya pula, “Di manakah selama ini kau melakukan kegiatan? Apakah pertanyaan ini mengherankan kalian?”
“Aku sudah melaporkan semuanya dengan teliti. Tiba-tiba saja aku ditanya, di manakah aku melakukan kegiatan.”
“O,” Empu Jala Waja tersenyum, “kau kecewa mendengar pertanyaanku? Baiklah. Aku minta maaf. Tetapi cobalah ulangi, di manakah kau melakukan kegiatan?”
“Seandainya aku belum melaporkannya, tentu sudah diketahui, di manakah aku ditugaskan.”
Empu Jala Waja masih tersenyum. Katanya, “Jangan merajuk. Kau tahu, bahwa bukan akulah yang mengatur tugas setiap anggota kita di sini. Kali ini aku diwajibkan menerima laporanmu, karena Raden Panji berhalangan. Aku kira kau cukup tua untuk mengerti.”
Namun dengan demikian, perjalanan mereka sama sekali tidak terganggu karenanya. Hingga keesokan harinya rombongan Jaran Lanjar telah sampai di kaki gunung Tidar. Dan beberapa orang sedang berkumpul untuk membicarakan rencana mereka yang paling menarik.
“Kita akan mencegat lagi serombongan utusan dari Pasuruan sepulangnya untuk mengantar upeti ke Pajang,” berkata salah seorang dari mereka, “tentu Raden Panji akan menyetujui rencana kita.”
Yang lain mengangguk-angguk. Salah seorang berkata, “Kita harus dapat memberikan keterangan sejelas-jelasnya secara terperinci. Kita harus tahu pasti jalan yang kira-kira akan dilaluinya, sehingga kita dapat menempatkan diri sebaik-baiknya.”
“Kau sajalah yang menyampaikan kepadanya Jaran Lanjar.”
“Kita bersama-sama,” jawab yang lain.
“Tetapi mereka tentu membawa pengawal yang kuat,” berkata salah seorang dari mereka.
“Sebut, berapa orang. Sepuluh, dua puluh?”
“Seandainya sekian.”
“Kami dapat mempersiapkan orang sejumlah itu. Bahkan lipat dua. Kelompok Kelabang Ijo yang dijanjikan oleh Empu Jala Waja tentu akan membuat kita semakin kuat”
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Lalu, “Sebentar lagi kita mendapat kesempatan untuk menghadap. Kita akan menyampaikannya. Setelah kesempatan ini tertunda dua hari.”
Yang lain masih saja mengangguk-angguk. Namun rasa-rasanya mereka tidak sabar lagi menunggu kesempatan untuk menghadap Raden Panji yang memerintahkan kepada mereka untuk datang ke Gunung Tidar, justru saat yang ditentukan telah lewat. Dalam kegelisahan itu, mereka berkali-kali telah mendesak kepada pengawal terdekat untuk segera mendapat kesempatan melaporkan apa yang telah mereka lakukan di Pajang.
“Raden Panji sedang terganggu kesehatannya,” berkata pengawal terdekatnya.
“Kenapa?” bertanya salah seorang dari mereka yang ingin menghadap itu.
“Tentu aku tidak tahu kenapa Raden Panji menjadi sakit, bahkan Raden Panji sendiri pun tidak tahu pula sebabnya. Mungkin kita dapat menduga, bahwa Raden Panji terlalu letih, karena perjalanannya yang tergesa-gesa ke kaki Gunung Tidar ini. Karena itulah maka kesempatanmu menghadap dan menceritakan hasil kerjamu di Pajang menjadi tertunda. Tetapi itu pun tidak dapat kita anggap dugaan yang tepat, karena Raden Panji tidak pernah mengenal lelah. Tiga hari tiga malam ia bertempur tanpa berhenti sama sekali, tidak mempengaruhi kesehatannya, tanpa makan tanpa minum"
"Apalagi sekedar perjalanan betapa pun tergesa-gesanya. Karena itu, mungkin pula ada sebab lain yang tidak kita mengerti.”
“Apakah sekarang masih juga belum dapat menerima kami?”
“Aku tidak tahu. Tetapi hanya orang-orang terpenting sajalah yang dapat menemuinya. Laporanmu mungkin akan diterima bukan oleh Raden Panji sendiri. Mungkin Empu Jala Waja yang akan menerima laporan mu dan kemudian menyampaikannya pada Raden Panji”
“Tetapi laporanku penting sekali.”
“Katakan kepada siapa pun yang akan berkewajiban menerimanya.”
Jaran Lanjar dan orang-orang yang sudah menunggu terlampau lama itu menjadi kecewa. Apalagi mereka sudah sangat tergesa –gesa tadi di perjalanan. Tetapi sudah barang tentu mereka tidak akan memaksa seandainya Raden Panji sendiri tidak dapat menerima mereka.
“Aneh,” mereka masih saja menjadi heran, “mana mungkin Raden Panji menjadi sakit. Aku tidak pernah mendengar sebelumnya. Dan aku tidak dapat membayangkan bahwa hal itu telah terjadi.”
Tetapi nampaknya Raden Panji benar-benar telah menutup diri bagi mereka yang tidak termasuk orang-orang yang paling dipercaya. Seperti yang dikatakan oleh pengawal itu, maka ternyata beberapa orang yang telah pergi ke Pajang itu pun telah dipanggil untuk memasuki sebuah rumah induk dari perkemahan mereka. Tetapi yang menerima mereka memang bukan Raden Panji sendiri meskipun agaknya Raden Panji juga berada di rumah itu.
“Seorang pengawal telah mendesak agar kalian dapat diterima hari ini,” berkata seorang yang bertubuh besar dan kekar, berkulit kuning dengan kumis yang kecil menyilang di atas bibirnya.
“Ya, Empu Jala Waja,” jawab salah seorang yang tertua dari mereka, “sudah terlalu lama kami menunggu.”
“Apa salahnya? Kalian tidak akan mendapat tugas baru lagi untuk beberapa lama sampai saat terpenting itu tiba.”
“Apa bekal kita sudah cukup?”
“Raden Panji tidak peduli lagi. Ada sesuatu yang lebih penting dari semuanya itu. Dan kini yang jauh lebih berharga itu telah ada di sini.”
“Apakah yang jauh lebih berharga itu?”
“Kelak kalian akan mengetahuinya. Sekarang jika kalian memang ingin segera menyampaikan pesan atau laporan tentang tugas-tugasmu, katakanlah. Pada saatnya aku akan menyampaikan kepada Raden Panji.”
“Apakah saat-saat ini sama sekali tidak ada kesempatan untuk menghadap Raden Panji betapa pun pentingnya.”
“Tidak pada waktu dekat ini Jaran Lanjar”
“Apakah sakitnya cukup parah?”
Empu Jala Waja termangu-mangu sejenak. Lalu katanya, “Raden Panji sebenarnya tidak sakit. Tetapi ia hanya sekedar ingin beristirahat tanpa diganggu oleh siapa pun untuk kira-kira sepekan. Ada sesuatu yang sedang dipikirkannya. Jauh lebih penting dari tugas kalian selama ini.”
“Tetapi ada bahan yang barangkali dapat dipertimbangkan.”
“Katakanlah. Tetapi jika hal itu hanyalah sekedar masalah membuat kericuhan di Pajang dengan cara merampok Negara –negara bawahan yang hendak membayar upeti ke Pajang, sebaiknya lupakan saja dalam saat-saat seperti ini.”
Orang-orang itu mengerutkan keningnya. Salah seorang dari mereka bertanya, “Kenapa?”
“Sudah aku katakan. Masalahnya ada yang lebih penting daripada itu. Ada hal lebih penting yang memerlukan perhatian sepenuhnya.”
“Apakah ada sesuatu yang kurang wajar telah terjadi?”
“ Hanya Raden Panji sajalah yang mengetahuinya. Kita tidak perlu. Kapan pun hal itu terjadi sama saja akibatnya bagi kita. Bersiaga, menghadapi setiap kemungkinan.”
Orang-orang itu termangu-mangu sejenak. Lalu Jaran Lanjar berkata, “Baiklah. Aku akan mengatakannya apa pun tanggapan atas laporanku itu.”
“Katakanlah.”
Orang itu pun segera melaporkan apa yang telah terjadi. Bahwa dua hari yang lalu ia bersama kelompok nya berhasil merampas dan memukul mundur para utusan dari Pasuruan. Empu Jala Waja mengangguk-angguk kosong. Seperti ia mendengarkan laporan yang lain. Tanpa perhatian, apalagi tertarik atas sesuatu yang telah terjadi. Meskipun, perintah untuk membuat kericuhan itu adalah perintah nya.
“Ya,” sahutnya kemudian, “terima kasih. Yang telah menjadi korban, sudahlah. Itu adalah peristiwa yang wajar bagi suatu perjuangan.”
“Di daerah manakah selama ini kau melakukan kegiatan.”
“He?” orang itu menarik nafas. Ia sadar, bahwa laporannya hanyalah sekedar didengar tanpa perhatian sama sekali.
Empu Jala Waja mengerutkan keningnya. Dipandanginya wajah Jaran Lanjar yang telah memberikan laporan kepadanya itu. Dengan heran ia bertanya pula, “Di manakah selama ini kau melakukan kegiatan? Apakah pertanyaan ini mengherankan kalian?”
“Aku sudah melaporkan semuanya dengan teliti. Tiba-tiba saja aku ditanya, di manakah aku melakukan kegiatan.”
“O,” Empu Jala Waja tersenyum, “kau kecewa mendengar pertanyaanku? Baiklah. Aku minta maaf. Tetapi cobalah ulangi, di manakah kau melakukan kegiatan?”
“Seandainya aku belum melaporkannya, tentu sudah diketahui, di manakah aku ditugaskan.”
Empu Jala Waja masih tersenyum. Katanya, “Jangan merajuk. Kau tahu, bahwa bukan akulah yang mengatur tugas setiap anggota kita di sini. Kali ini aku diwajibkan menerima laporanmu, karena Raden Panji berhalangan. Aku kira kau cukup tua untuk mengerti.”
Quote:
JARAN LANJAR MENELAN ludahnya. Ia tidak berani merajuk lagi, karenanya ia tiba-tiba saja sadar, dengan siapa ia berhadapan. Empu Jala Waja adalah seorang yang mudah tersenyum dan tertawa. Sikapnya baik dan kadang-kadang lemah lembut. Kata-katanya sedap dan menyenangkan.
Namun dengan sikap yang sama, dengan senyum dan tertawa, dengan lemah lembut dan kata-kata yang sedap dan menyenangkan, ia membunuh orang-orang yang tidak disukainya. Dengan seakan-akan bergurau saja ia menukikkan keris ke jantung seseorang yang dikehendaki. Bahkan sambil menganggukkan kepalanya dalam-dalam ia tiba-tiba saja menghantam wajah seseorang sehingga giginya rontok dan bahkan kadang-kadang mematikan.
Dengan tersenyum pula ia kemudian berkata, “Maaf, aku tidak sengaja membunuhnya.”
Jaran Lanjar dengan sedikit menahan geram itu pun kemudian berkata, “Ki Empu Jala Waja. Kami bertugas di hutan Jati Jajar dan sekitarnya.”
“O, di daerah hutan jati berhantu itu,” desis Empu Jala Waja.
Jaran Lanjar mengerutkan keningnya. Di dalam hatinya ia berkata, “Belum ada sejarahnya Jaran Lanjar takut dengan hantu, dedemit atau apapun itu ”
“ Lantas apa yang kau rencanakan setelah ini Jaran Lanjar? “
“ Saya akan kembali mencegat rombongan itu pada saat pulang ke Pasuruan. Kalau perlu kali ini akan kami tumpes kelor. Tidak satupun akan disisakan nyawanya pulang ke Pasuruan “
Empu Jala Waja mengangguk-angguk. Katanya, “Memang menarik sekali. Tetapi apakah kau yakin dengan orang –orang yang kau punyai untuk melakukan tugas ini ?”
Jaran Lanjar menganggukkan kepalanya, “ Yakin Empu, apalagi dahulu Raden Panji berjanji akan memberikan bala bantuan dari kelompok Kelabang Ijo. Aku sudah mendapat keterangan yang lebih jelas dari orang-orang Pajang. Di saat-saat aku menyusupkan telik sandi untuk menyamar dan berada di pasar, dan alun –alun. Aku yakin akan banyak keterangan yang akan kami peroleh dari para petugas sandi itu.”
“Memang ceriteramu mulai menarik. Dan aku juga menyetujui seperti yang dijanjikan Raden Panji kepadamu Jaran Lanjar ”
“Baiklah. Keterangan ini akan aku sampaikan kepada Raden Panji ”
Jaran Lanjar mengangguk-angguk. Namun kemudian ia menjadi kecewa ketika Empu Jala Waja menepuk bahunya sambil berdiri, “Aku terima laporanmu. Sangat menarik.”
Ketika Jaran Lanjar tertegun, Empu Jala Waja tertawa. Sambil melangkah pergi ia berdesis, “Tunggulah sebentar. Mungkin ada kabar baik dari Raden Panji.”
Beberapa orang yang merupakan anak buah Jaran Lanjar itu pun termangu-mangu. Ternyata Empu Jala Waja sama sekali tidak memperhatikan laporan mereka. Empu Jala Waja tidak bertanya apa pun yang cukup penting, baik mengenai laporannya maupun mengenai imbalan dan hadiah apa saja yang kelak akan diterima olehnya.
“Ia tidak bertanya, apakah yang dapat kita lakukan, perincian dari usaha kita dan yang lain-lain, terutama mengenai imbalan itu.”
Seorang yang berwajah keras seperti padas menarik nafas sambil mengumpat, “Apakah kerja itu sama sekali tidak berarti?”
“Jangan berputus asa,” sahut Jaran Lanjar, “mungkin para pemimpin memang sedang sibuk ”
“Mungkin ada pertimbangan-pertimbangan lain,” sahut kawannya yang bertubuh tinggi.
“Agaknya Empu Jala Waja banyak mengetahui mengenai Pajang dan sekitarnya. Karena itu, mungkin ada pertimbangan-pertimbangan lain yang belum kita ketahui.”
Yang lain mengangguk-angguk. Namun mereka sama sekali tidak puas atas penerimaan para pemimpin mereka, setelah mereka menjalankan tugas di daerah Jati Jajar dan sekitarnya. Bahkan dengan mengorbankan beberapa orang kawan mereka. Tetapi mereka tidak dapat menuntut perhatian lebih banyak lagi meskipun dengan berdebar-debar mereka telah menunggu untuk waktu yang cukup lama.
Namun dengan sikap yang sama, dengan senyum dan tertawa, dengan lemah lembut dan kata-kata yang sedap dan menyenangkan, ia membunuh orang-orang yang tidak disukainya. Dengan seakan-akan bergurau saja ia menukikkan keris ke jantung seseorang yang dikehendaki. Bahkan sambil menganggukkan kepalanya dalam-dalam ia tiba-tiba saja menghantam wajah seseorang sehingga giginya rontok dan bahkan kadang-kadang mematikan.
Dengan tersenyum pula ia kemudian berkata, “Maaf, aku tidak sengaja membunuhnya.”
Jaran Lanjar dengan sedikit menahan geram itu pun kemudian berkata, “Ki Empu Jala Waja. Kami bertugas di hutan Jati Jajar dan sekitarnya.”
“O, di daerah hutan jati berhantu itu,” desis Empu Jala Waja.
Jaran Lanjar mengerutkan keningnya. Di dalam hatinya ia berkata, “Belum ada sejarahnya Jaran Lanjar takut dengan hantu, dedemit atau apapun itu ”
“ Lantas apa yang kau rencanakan setelah ini Jaran Lanjar? “
“ Saya akan kembali mencegat rombongan itu pada saat pulang ke Pasuruan. Kalau perlu kali ini akan kami tumpes kelor. Tidak satupun akan disisakan nyawanya pulang ke Pasuruan “
Empu Jala Waja mengangguk-angguk. Katanya, “Memang menarik sekali. Tetapi apakah kau yakin dengan orang –orang yang kau punyai untuk melakukan tugas ini ?”
Jaran Lanjar menganggukkan kepalanya, “ Yakin Empu, apalagi dahulu Raden Panji berjanji akan memberikan bala bantuan dari kelompok Kelabang Ijo. Aku sudah mendapat keterangan yang lebih jelas dari orang-orang Pajang. Di saat-saat aku menyusupkan telik sandi untuk menyamar dan berada di pasar, dan alun –alun. Aku yakin akan banyak keterangan yang akan kami peroleh dari para petugas sandi itu.”
“Memang ceriteramu mulai menarik. Dan aku juga menyetujui seperti yang dijanjikan Raden Panji kepadamu Jaran Lanjar ”
“Baiklah. Keterangan ini akan aku sampaikan kepada Raden Panji ”
Jaran Lanjar mengangguk-angguk. Namun kemudian ia menjadi kecewa ketika Empu Jala Waja menepuk bahunya sambil berdiri, “Aku terima laporanmu. Sangat menarik.”
Ketika Jaran Lanjar tertegun, Empu Jala Waja tertawa. Sambil melangkah pergi ia berdesis, “Tunggulah sebentar. Mungkin ada kabar baik dari Raden Panji.”
Beberapa orang yang merupakan anak buah Jaran Lanjar itu pun termangu-mangu. Ternyata Empu Jala Waja sama sekali tidak memperhatikan laporan mereka. Empu Jala Waja tidak bertanya apa pun yang cukup penting, baik mengenai laporannya maupun mengenai imbalan dan hadiah apa saja yang kelak akan diterima olehnya.
“Ia tidak bertanya, apakah yang dapat kita lakukan, perincian dari usaha kita dan yang lain-lain, terutama mengenai imbalan itu.”
Seorang yang berwajah keras seperti padas menarik nafas sambil mengumpat, “Apakah kerja itu sama sekali tidak berarti?”
“Jangan berputus asa,” sahut Jaran Lanjar, “mungkin para pemimpin memang sedang sibuk ”
“Mungkin ada pertimbangan-pertimbangan lain,” sahut kawannya yang bertubuh tinggi.
“Agaknya Empu Jala Waja banyak mengetahui mengenai Pajang dan sekitarnya. Karena itu, mungkin ada pertimbangan-pertimbangan lain yang belum kita ketahui.”
Yang lain mengangguk-angguk. Namun mereka sama sekali tidak puas atas penerimaan para pemimpin mereka, setelah mereka menjalankan tugas di daerah Jati Jajar dan sekitarnya. Bahkan dengan mengorbankan beberapa orang kawan mereka. Tetapi mereka tidak dapat menuntut perhatian lebih banyak lagi meskipun dengan berdebar-debar mereka telah menunggu untuk waktu yang cukup lama.
Diubah oleh breaking182 05-11-2022 00:46
ashrose dan 15 lainnya memberi reputasi
16
Kutip
Balas
Tutup