- Beranda
- Stories from the Heart
Pocong Keliling [Epic Horror Story]
...
TS
harrywjyy
Pocong Keliling [Epic Horror Story]
![Pocong Keliling [Epic Horror Story]](https://s.kaskus.id/images/2022/09/09/10600510_202209090455080040.jpg)
Sumber Gambar Asli
Selamat datang di thread cerita horor ane yang baru gan! Kali ini ane bawa cerita yang gak kalah seram!

Ketika orang meninggal, dipercaya arwahnya akan kembali ke Tuhan dan terlepas dari segala urusan dunianya.
Tapi tidak dengan keluarga Pak Joko. Setelah kematiannya, justru ada banyak pocong yang meneror warga setiap malam. Mengetuk pintu satu per satu rumah warga di tengah malam.
Apa yang ia inginkan? Nantikan kisahnya.



Quote:



Nantikan part 1 yang akan segera TS update gan!
Pokoknya setiap part akan memberikan ketegangan yang seru!


INDEX
1. Part 1 - Kepala Desa
2. Part 2 - Ancaman Tak Kasat Mata
3. Part 3 - Empat Tali Gantung
4. Part 4 - Kok Gak Ajak Aku Ronda?
5. Part 5 - Tamu Tengah Malam
6. Part 6 - Tamu Tengah Malam 2
7. Part 7 - Lantunan Di Rumah Berdarah
8. Part 8 - Tawa Di Belakang Pos
9. Part 9 - Menagih Janji
10. Part 10 - Tali Pocong
11. Part 11 - Mbah Dino
12. Part 12 - Nestapa Penjual Bakso
13. Part 13 - Ilusi
14. Part 14 - Secercah Harapan
15. Part 15 - Linda
16. Part 16 - Teka-teki
Jangan lupa bagi cendol gan! Haus nih.


Ditulis oleh Harry Wijaya
Cerita ini merupakan karya orisinil dan karangan asli TS, dilarang mengcopas dan mempublikasikan di luar KasKus tanpa izin!
Diubah oleh harrywjyy 03-11-2022 15:58
margitop dan 37 lainnya memberi reputasi
38
20.8K
207
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52.1KAnggota
Tampilkan semua post
TS
harrywjyy
#31
Part 7 - Lantunan Di Rumah Berdarah
Malam itu tak seperti biasanya, selepas menunaikan salat isya para warga berdiam di dalam mushola. Mereka berkumpul dan tidak langsung pulang kecuali para perempuan. Semua duduk rapi di posisinya. Setelah selesai membaca doa, sang ustad memberikan mikrofon kepada Anwar sang kepala desa.
Anwar berdiri dan mengambil mikrofon itu. “Baik, bapak-bapak.” Anwar mulai bicara, semua pasang mata yang ada menatap ke arahnya.
“Seperti rencana kita sebelumnya, malam ini kita akan melakukan pengajian di rumah Pak Joko. Hal ini guna mendoakan almarhum, supaya tenang di alamnya. Supaya almarhum diterima di sisi Allah SWT,” tutur Anwar menjelaskan.
“Dan saya juga mohon bantuannya pada Pak Ustad untuk memimpin pengajian malam ini. Juga kepada para warga, bagi yang memang punya waktu luang saya mohon untuk ikut meramaikan pengajian. Terima kasih, saya kembalikan ke Pak Ustad.” Anwar memberikan mikrofonnya kembali ke Pak Ustad.
Sosok pria berpeci putih dengan surban di bahunya itu lalu berdiri menggantikan Anwar di hadapan para jamaahnya. “Ya, bapak-bapak. Karena kita juga udah selesai di sini. Mari kita berangkat ke rumah Pak Joko. Sebelumnya, baca bismillah supaya semua niat baik kita ini diberi kelancaran oleh Allah SWT.”
“Bismillahirrahmaanirrahiim!” Semua jamaah kemudian berdiri secara bersamaan dan mulai berjalan keluar dari mushola.
Bejo yang juga ada di sana lalu mengambil satu kardus berisi air minum untuk dibawa ke lokasi pengajian. Tak hanya Bejo, Reza pun turut ikut dalam pengajian tersebut. Mereka berdua keluar paling terakhir dari mushola, di kejauhan rombongan jamaah sudah berjalan mendahului.
“Reza, abis bawa air minum ini kita pulang aja kali ya?” tanya Bejo sambil memakai sandalnya.
“Hah? Kenapa?”
“Pake nanya kenapa lagi, kamu gak inget? Kita mau dateng ke rumahnya Rian lho, nanti kalo kita ketemu pocongnya lagi gimana?” tanya Bejo sambil mulai berjalan.
Reza mengikuti di sampingnya. “Hus! Jangan gitu kamu, ngomong yang baik-baik aja. Lagi juga niat kita kesana kan baik. Rian itu temen kita juga, Jo. Biar gimana pun kita harus ikut bantu doa supaya dia tenang di sana.”
“Temen sih temen, tapi—“
“Udahlah, ikut aja jangan banyak omong. Kamu gak inget dulu kamu main game naik level siapa yang bantuin kalo bukan Rian?” ucap Reza yang kemudian mempercepat langkahnya.
“Reza, pelan-pelan! Gak liat nih aku bawa kardus minuman berat!”
Mereka berdua berjalan mengikuti rombongan para jamaah dari belakang. Melewati tepian sawah yang agak licin, lalu belok ke sebuah jalan setapak menuju pemukiman warga yang agak ramai. Agak jauh dari rumah-rumah warga yang sederhana, sebuah rumah megah berdiri dengan dua lantai yang mewah.
Di depan rumah Pak Joko, dua orang pemuda dengan kaos polos tengah duduk di batu sambil menghisap sebatang rokok dan segelas kopi yang masih panas. Begitu melihat rombongan datang, mereka langsung mematikan rokok dan meminum kopi sampai habis.
“Ah, panas!” keluh salah satu pemuda.
“Udah tau panas, pelan-pelan!”
Mereka berdua berdiri menyambut kedatangan kedatangan Pak Ustad dan Pak Kades.
“Assalamualaikum!” ucap Pak Ustad yang kemudian berhenti di depan mereka. “Gimana? Udah siap semua?”
“Udah siap, Pak. Sofa, meja, semuanya udah kita rapihin. Udah kita sapu sampe bersih. Karpet udah digelar, lampu udah nyala. Udah siap deh pokoknya!” jawab salah satu pemuda.
“Bagus deh, tapi kok kalian masih pada pake celana pendek? Pulang sana, ganti pake sarung,” ujar Pak Ustad.
“Lah? Kita ikut juga nih?”
“Iyalah, udah sana cepetan keburu mulai!”
Semua jamaah kemudian mulai memasuki pintu gerbang rumah Joko yang sudah seminggu lebih dalam keadaan kosong. Meski kosong, tapi aliran listrik masih tersambung di sini. Sehingga mereka bisa menyalakan lampu ruang tamu. Walau pun lampu ruang tamu menyala, lantai dua, kamar dan ruangan lainnya gelap gulita.
Satu per satu mulai dari Anwar masuk ke dalam rumah, karpet hijau sudah digelar rapi di ruang tamu yang cukup luas. Debu-debu sudah dibersihkan, mereka hanya tinggal duduk dan langsung memulai pengajian. Para jamaah duduk membentuk segi empat dan saling berhadapan layaknya pengajian pada umumnya.
Reza mulai menyiapkan pengeras suara dan mikrofon yang akan digunakan oleh Pak Ustad. Sementara itu, Bejo membagi-bagikan air minum kepada para jamaah yang datang. Mereka juga masing-masing memegang buku yasin yang dibawa dari mushola.
“Langsung aja ya, Pak. Biar gak terlalu malem selesainya,” ucap Anwar.
Tanpa banyak basa-basi, Pak Ustad langsung menggenggam mikrofon di tangannya. Mulutnya mulai membaca doa-doa yang diikuti dengan jamaah lainnya. Suasana yang semula hening pun berubah jadi ramai dengan lantunan doa-doa dari jamaah yang datang.
Lembar demi lembar mulai dibuka, mereka membaca tiap-tiap ayat yang ada di dalamnya dengan khusyuk. Tapi, pengajian itu tidak selancar seperti yang diharapkan. Beberapa menit setelah dimulai, tipis-tipis masih tercium bau busuk yang seakan tertinggal di rumah ini. Beberapa jamaah terpaksa membaca sambil menutup hidung.
Belum selesai, kali ini suara tangisan terdengar dari dalam kamar yang gelap. Beberapa jamaah langsung menyadarinya. Bahkan sebenarnya Anwar dan Pak Ustad pun mendengarnya juga. Suara tangisan itu mirip dengan suara tangisan Dita istri dari Joko.
Salah seorang jamaah menoleh ke arah teman di sampingnya, mereka lalu saling bertatapan. Kepala mereka mengangguk seolah mengisyaratkan kalau keduanya sama-sama mendengar tangisan itu. Para jamaah tampak mulai tak nyaman.
“Bu Dita, kita ke sini mau doa ya. Jangan ganggu ya, Bu!” ucap Bejo sambil melihat sekitar dengan wajah takut.
“Sssttt!” Dengan wajah kesal Anwar menegur Bejo sambil menaruh jari telunjuknya di depan bibir mengisyaratkan agar ia diam.
Suara lantunan doa terdengar beriringan dengan suara tangisan yang makin lama makin jelas terdengar. Menusuk dan memaksa telinga para jamaah untuk mendengarnya, membuyarkan konsentrasi mereka. Belum lagi dengan bau busuk yang belum menghilang. Para jamaah mulai menunjukkan gelagat tak nyaman.
Tapi pada akhirnya, para jamaah bertahan di tengah suasana mencekam itu. Sesekali melirik satu sama lain. Sampai akhirnya mereka membuka lembar terakhir dan mulai menutup pengajian ini dengan doa. Para jamaah mengangkat tangannya, mengamini semua doa yang keluar dari mulut Pak Ustad.
Sekitar pukul setengah sepuluh malam, para jamaah berjalan meninggalkan rumah Joko. Pengajian telah selesai, Pak Ustad dan Anwar menyerahkan semuanya pada pemuda yang ditugaskan untuk merapikan kembali tempat itu.
Dua pemuda itu merapikan karpet yang panjang menutupi lantai keramik. Sambil membungkuk, tangan mereka menggulung-gulung karpet hingga rapi. Setelah itu barulah sama-sama mereka angkat bersama-sama dan membawanya keluar. Sebelum keluar, tak lupa mereka mematikan lampu. Seketika cahaya menghilang dan ruang tamu pun kembali gelap.
“Udah selesai pengajiannya, semoga tenang ya Pak Joko dan keluarga,” ucap salah satu pemuda sambil berjalan mendekat ke pintu.
“Iya, makasih ya.” Terdengar suara perempuan menjawab dari arah belakang.
Mereka berdua berhenti, lalu saling menatap sama lain. Wajah mereka mendadak menjadi tegang, napas mereka memburu dan jantungnya berdegup kencang. Ada sesuatu di belakang mereka.
“Liat gak ya?” tanya salah satu pemuda.
“Jangan!”
Tapi pemuda itu malah nekat menoleh ke belakang.
“Woi, gue bilang jangan diliat!”
Saat salah satu pemuda melihat ke arah belakang, tepat di ujung ruangan yang gelap ia melihat sosok Bu Dita istri Joko tengah berdiri seorang diri. Dengan memakai kain kafan yang tampak masih baru. Wajahnya pucat pasi dan matanya putih polos tanpa pupil, sosok itu tersenyum ke arah kedua pemuda itu memamerkan deretan gigi hitamnya.
"Makasih ya, Abang-abang!" ucap Pocong itu sambil menggoyangkan kepalanya ke kiri dan ke kanan.
“Aaaaaa!!” Sontak salah satu pemuda langsung teriak dan lari ketakutan. Sedangkan pemuda satunya langsung lari dan enggan melihat ke belakang. Karpet yang harusnya mereka bawa ke mushola akhirnya mereka tinggal di rumah itu.
Bersambung ....
Anwar berdiri dan mengambil mikrofon itu. “Baik, bapak-bapak.” Anwar mulai bicara, semua pasang mata yang ada menatap ke arahnya.
“Seperti rencana kita sebelumnya, malam ini kita akan melakukan pengajian di rumah Pak Joko. Hal ini guna mendoakan almarhum, supaya tenang di alamnya. Supaya almarhum diterima di sisi Allah SWT,” tutur Anwar menjelaskan.
“Dan saya juga mohon bantuannya pada Pak Ustad untuk memimpin pengajian malam ini. Juga kepada para warga, bagi yang memang punya waktu luang saya mohon untuk ikut meramaikan pengajian. Terima kasih, saya kembalikan ke Pak Ustad.” Anwar memberikan mikrofonnya kembali ke Pak Ustad.
Sosok pria berpeci putih dengan surban di bahunya itu lalu berdiri menggantikan Anwar di hadapan para jamaahnya. “Ya, bapak-bapak. Karena kita juga udah selesai di sini. Mari kita berangkat ke rumah Pak Joko. Sebelumnya, baca bismillah supaya semua niat baik kita ini diberi kelancaran oleh Allah SWT.”
“Bismillahirrahmaanirrahiim!” Semua jamaah kemudian berdiri secara bersamaan dan mulai berjalan keluar dari mushola.
Bejo yang juga ada di sana lalu mengambil satu kardus berisi air minum untuk dibawa ke lokasi pengajian. Tak hanya Bejo, Reza pun turut ikut dalam pengajian tersebut. Mereka berdua keluar paling terakhir dari mushola, di kejauhan rombongan jamaah sudah berjalan mendahului.
“Reza, abis bawa air minum ini kita pulang aja kali ya?” tanya Bejo sambil memakai sandalnya.
“Hah? Kenapa?”
“Pake nanya kenapa lagi, kamu gak inget? Kita mau dateng ke rumahnya Rian lho, nanti kalo kita ketemu pocongnya lagi gimana?” tanya Bejo sambil mulai berjalan.
Reza mengikuti di sampingnya. “Hus! Jangan gitu kamu, ngomong yang baik-baik aja. Lagi juga niat kita kesana kan baik. Rian itu temen kita juga, Jo. Biar gimana pun kita harus ikut bantu doa supaya dia tenang di sana.”
“Temen sih temen, tapi—“
“Udahlah, ikut aja jangan banyak omong. Kamu gak inget dulu kamu main game naik level siapa yang bantuin kalo bukan Rian?” ucap Reza yang kemudian mempercepat langkahnya.
“Reza, pelan-pelan! Gak liat nih aku bawa kardus minuman berat!”
Mereka berdua berjalan mengikuti rombongan para jamaah dari belakang. Melewati tepian sawah yang agak licin, lalu belok ke sebuah jalan setapak menuju pemukiman warga yang agak ramai. Agak jauh dari rumah-rumah warga yang sederhana, sebuah rumah megah berdiri dengan dua lantai yang mewah.
Di depan rumah Pak Joko, dua orang pemuda dengan kaos polos tengah duduk di batu sambil menghisap sebatang rokok dan segelas kopi yang masih panas. Begitu melihat rombongan datang, mereka langsung mematikan rokok dan meminum kopi sampai habis.
“Ah, panas!” keluh salah satu pemuda.
“Udah tau panas, pelan-pelan!”
Mereka berdua berdiri menyambut kedatangan kedatangan Pak Ustad dan Pak Kades.
“Assalamualaikum!” ucap Pak Ustad yang kemudian berhenti di depan mereka. “Gimana? Udah siap semua?”
“Udah siap, Pak. Sofa, meja, semuanya udah kita rapihin. Udah kita sapu sampe bersih. Karpet udah digelar, lampu udah nyala. Udah siap deh pokoknya!” jawab salah satu pemuda.
“Bagus deh, tapi kok kalian masih pada pake celana pendek? Pulang sana, ganti pake sarung,” ujar Pak Ustad.
“Lah? Kita ikut juga nih?”
“Iyalah, udah sana cepetan keburu mulai!”
Semua jamaah kemudian mulai memasuki pintu gerbang rumah Joko yang sudah seminggu lebih dalam keadaan kosong. Meski kosong, tapi aliran listrik masih tersambung di sini. Sehingga mereka bisa menyalakan lampu ruang tamu. Walau pun lampu ruang tamu menyala, lantai dua, kamar dan ruangan lainnya gelap gulita.
Satu per satu mulai dari Anwar masuk ke dalam rumah, karpet hijau sudah digelar rapi di ruang tamu yang cukup luas. Debu-debu sudah dibersihkan, mereka hanya tinggal duduk dan langsung memulai pengajian. Para jamaah duduk membentuk segi empat dan saling berhadapan layaknya pengajian pada umumnya.
Reza mulai menyiapkan pengeras suara dan mikrofon yang akan digunakan oleh Pak Ustad. Sementara itu, Bejo membagi-bagikan air minum kepada para jamaah yang datang. Mereka juga masing-masing memegang buku yasin yang dibawa dari mushola.
“Langsung aja ya, Pak. Biar gak terlalu malem selesainya,” ucap Anwar.
Tanpa banyak basa-basi, Pak Ustad langsung menggenggam mikrofon di tangannya. Mulutnya mulai membaca doa-doa yang diikuti dengan jamaah lainnya. Suasana yang semula hening pun berubah jadi ramai dengan lantunan doa-doa dari jamaah yang datang.
Lembar demi lembar mulai dibuka, mereka membaca tiap-tiap ayat yang ada di dalamnya dengan khusyuk. Tapi, pengajian itu tidak selancar seperti yang diharapkan. Beberapa menit setelah dimulai, tipis-tipis masih tercium bau busuk yang seakan tertinggal di rumah ini. Beberapa jamaah terpaksa membaca sambil menutup hidung.
Belum selesai, kali ini suara tangisan terdengar dari dalam kamar yang gelap. Beberapa jamaah langsung menyadarinya. Bahkan sebenarnya Anwar dan Pak Ustad pun mendengarnya juga. Suara tangisan itu mirip dengan suara tangisan Dita istri dari Joko.
Salah seorang jamaah menoleh ke arah teman di sampingnya, mereka lalu saling bertatapan. Kepala mereka mengangguk seolah mengisyaratkan kalau keduanya sama-sama mendengar tangisan itu. Para jamaah tampak mulai tak nyaman.
“Bu Dita, kita ke sini mau doa ya. Jangan ganggu ya, Bu!” ucap Bejo sambil melihat sekitar dengan wajah takut.
“Sssttt!” Dengan wajah kesal Anwar menegur Bejo sambil menaruh jari telunjuknya di depan bibir mengisyaratkan agar ia diam.
Suara lantunan doa terdengar beriringan dengan suara tangisan yang makin lama makin jelas terdengar. Menusuk dan memaksa telinga para jamaah untuk mendengarnya, membuyarkan konsentrasi mereka. Belum lagi dengan bau busuk yang belum menghilang. Para jamaah mulai menunjukkan gelagat tak nyaman.
Tapi pada akhirnya, para jamaah bertahan di tengah suasana mencekam itu. Sesekali melirik satu sama lain. Sampai akhirnya mereka membuka lembar terakhir dan mulai menutup pengajian ini dengan doa. Para jamaah mengangkat tangannya, mengamini semua doa yang keluar dari mulut Pak Ustad.
Sekitar pukul setengah sepuluh malam, para jamaah berjalan meninggalkan rumah Joko. Pengajian telah selesai, Pak Ustad dan Anwar menyerahkan semuanya pada pemuda yang ditugaskan untuk merapikan kembali tempat itu.
Dua pemuda itu merapikan karpet yang panjang menutupi lantai keramik. Sambil membungkuk, tangan mereka menggulung-gulung karpet hingga rapi. Setelah itu barulah sama-sama mereka angkat bersama-sama dan membawanya keluar. Sebelum keluar, tak lupa mereka mematikan lampu. Seketika cahaya menghilang dan ruang tamu pun kembali gelap.
“Udah selesai pengajiannya, semoga tenang ya Pak Joko dan keluarga,” ucap salah satu pemuda sambil berjalan mendekat ke pintu.
“Iya, makasih ya.” Terdengar suara perempuan menjawab dari arah belakang.
Mereka berdua berhenti, lalu saling menatap sama lain. Wajah mereka mendadak menjadi tegang, napas mereka memburu dan jantungnya berdegup kencang. Ada sesuatu di belakang mereka.
“Liat gak ya?” tanya salah satu pemuda.
“Jangan!”
Tapi pemuda itu malah nekat menoleh ke belakang.
“Woi, gue bilang jangan diliat!”
Saat salah satu pemuda melihat ke arah belakang, tepat di ujung ruangan yang gelap ia melihat sosok Bu Dita istri Joko tengah berdiri seorang diri. Dengan memakai kain kafan yang tampak masih baru. Wajahnya pucat pasi dan matanya putih polos tanpa pupil, sosok itu tersenyum ke arah kedua pemuda itu memamerkan deretan gigi hitamnya.
"Makasih ya, Abang-abang!" ucap Pocong itu sambil menggoyangkan kepalanya ke kiri dan ke kanan.
“Aaaaaa!!” Sontak salah satu pemuda langsung teriak dan lari ketakutan. Sedangkan pemuda satunya langsung lari dan enggan melihat ke belakang. Karpet yang harusnya mereka bawa ke mushola akhirnya mereka tinggal di rumah itu.
Bersambung ....
symoel08 dan 11 lainnya memberi reputasi
12
Tutup