Seminggu setelah aku kembali ke Surabaya, kesibukanku pun kembali seperti biasanya.
Pulang kerja - nyicilin bab empat yang rasanya lebih rumit dan susah.
Sesekali aku pergi ke kolam renang dekat Plaza Marina untuk berenang barang sejenak sekedar untuk melepas penat.
Hari-hariku yang begitu monoton sama sekali tidak membuatku bosan apalagi jengah.
Melihat teman-teman seumuranku yang bisa liburan atau sekedar kencan saat malam weekend, membuatku tak iri apalagi dengki.
Yaudah, gitu.
Aku tak pernah membanding-bandingkan jalanku dan caraku yang mungkin berbeda dengan mereka.
Mau dibilang kurang pergaulan, aku tiap hari ketemu dengan customer yang beda-beda latar belakangnya. Tak jarang kami pun sering sharing. Jika tidak, aku hanya sekedar menjadi pendengar mereka saat mereka menceritakan pengalaman hidup mereka.
Dibilang tidak menikmati masa muda, yaa emang bener sih. Tapi, aku meyakini, bahwa caraku ini akan membuahkan hasil nantinya.
Bukankah untuk mencapai sesuatu harus melakukan pengorbanan dan perjuangan?
27 Desember 2016, Selasa.
Sekitar jam 16.42, saat aku masih di kantor dan kebetulan kebagian di call center, -jadi bisa membawa handphone ke meja kerja-, menerima email masuk dari HRD pusat, tepatnya email dari tim rekruitmen FA.
Quote:
Kepada Yth,
Calon Kandidat Initial Flight Attendant
(Nama Maskapai)
Selamat Sore,
Sehubungan dengan adanya agenda untuk Medical Examination calon Initial Flight Attendant, kami undang kehadirannya untuk dapat melaksanakan Medex dengan jadwal berikut :
1. Savira
2. Anni
3. Anestya Dewi
4. Atmitha
5. Lita
6. Lia
7. Ningsih
8. Tri
pada 29 Desember 2016 pukul 07.00 WIB di Balai Kesehatan Penerbangan, Kota Baru Bandar Kemayoran Blok.B11, Kemayoran, Jakarta Pusat.
Untuk dokumen dan hal yang perlu dipersiapkan, yaitu :
-Membawa pasfoto ukuran 3x4 dan 4x6 @ 2 lembar dengan background merah.
-Biaya sekitar Rp. 2.000.000,- (biaya ditanggung peserta).
-Bersihkan karang gigi, jika ada gigi berlubang, mohon lebih dulu ditambal atau dicabut.
-Jika harus menggunakan kontak lensa mata, pakai yang bening.
-Diwajibkan puasa di malam sebelumnya mulai jam 10 malam.
-Medex dimulai jam 07.00 WIB.
Pada saat tiba di Balai Kesehatan Penerbangan dapat menghubungi Mas Kholil (0813xxx) atau Ibu Maya (082xxx). Dimohon agar dapat hadir pada agenda yang sudah kami tentukan.
Atas perhatian dan kerjasamanya, kami sampaikan terima kasih.
Best Regards,
Anastasya.
Saat membaca email itu, jujur aku linglung dibuatnya. Bukan karena ga bersyukur, tapi, jadwal Medexnya itu lusa loh. Mau ga mau besok malam aku udah harus di Jakarta!! Dan lagi, biayanya dua juta!! Uang dari mana??
Huhu rasanya ingin menyerah saja. Tidak ingin melanjutkan ke tahap selanjutnya.
Tapi sepertinya Allah tidak ingin aku menyerah, karena ada banyak kemudahan tak terduga setelahnya.
Pertama.
Aku dapet tiket pesawat Surabaya-Jakarta-Surabaya dengan potongan 90%, tanpa harus melakukan pengajuan yang cukup rumit ke HRD Pusat.
Kedua.
Ada rekan kerjaku menawarkanku untuk bermalam di mess karyawan putri, katanya, aku cukup bayar 50ribu untuk ikutan iuran bayar listrik dan air. Dan, messnya itu deket banget sama tempat Medex. Aku sih langsung menerima tawaran itu, meski belum tahu, apa ada uang untuk bayar medexnya. Hehehe.
Ketiga.
Malam setelah aku pulang kerja, kakak iparku, Mas Jaya, tiba-tiba menghubungiku.
Mas Jaya ini adalah suami dari kakak keduaku, Mba Dian namanya. Dia tinggal di Malang bersama kedua anaknya.
Kata Mas Jaya, sebelum Mba Dian meninggal di tahun 2008, Mba Dian memberikan suatu amanah ke Mas Jaya.
“Tolong bantu biayain adekku, si Anes, sampe dia sukses ya. Katanya, dia pengen jadi Pramugari.”
Dan, Mas Jaya menjalankan amanah yang diberikan Kakakku itu.
Jadi, kalau aku udah bener-bener mepet ga punya uang untuk biaya hidup, aku selalu ngabarin Mas Jaya. Alhamdulillahnya, Mas Jaya ini pekerjaannya cukup oke, jadi saat aku butuh, pasti langsung dibantu, tapi biasanya ditanya-tanya dulu untuk apa uangnya.
Mungkin untuk memastikan bahwa aku menggunakan uang pemberiannya dengan benar yaa. Hehehe.
// Gimana hasil psikotesnya, Nes? //
Aku yang menerima pesannya, segera ingin menjelaskan apa yang aku hadapi padanya melalui telpon langsung, agar tidak timbul salah paham.
// Mas, boleh aku telpon? //
Malam itu, aku cerita kalau aku lolos psikotes dan aku lagi butuh biaya untuk Medex.
“Di Jakarta nanti, kamu tidur dimana?”
“Di mess karyawan, Mas. Katanya, ada satu tempat tidur yang kosong. Dan jaraknya juga dekat dengan tempat Medex.”
“Hmm untuk tiket pesawatnya?”
“Aku dapet potongan 90% sih Mas.”
“Berapa itu berarti?”
“Pulang pergi 160ribuan, Mas.”
“Hm yaudah, besok Mas kabarin kalau udah transfer ya. Sukses yoo!!”
“Makasih nggeh Mas…”
“Iyaa sama-sama..”
Alhamdulillah, Allah benar-benar Maha Baik Maha Segalanya!!
Saat aku merasakan keagunganNya malam itu, aku langsung sujud syukur dan nangis sejadi-jadinya.
Aku masih ga menyangka, Allah akan berikan kemudahan seperti ini.
Sepertinya, doa-doa Papaku, diijabah-Nya.
28 Desember 2016, Rabu.
Jam 17.45 aku sudah berada di dalam pesawat yang beberapa saat lagi akan lepas landas.
Hari itu, ada dua orang pria paruh baya yang duduk di kursi tengah dan kursi dekat jendela, sedangkan aku duduk di dekat lorong.
Saat pesawat akan hendak lepas landas, kami bertiga saling diam. Namun, saat pesawat sudah mencapai di ketinggian 10.000 kaki, kami bertiga saling mengobrol.
“Dengan Mba siapa?”, tanya Bapak yang duduk di kursi tengah, yang sekilas mirip dengan Cak Lontong ini.
“Saya dengan Anes, Pak.”, jawabku.
“Anes ini staff di kantor kota bukan sih?”, kata Bapak yang duduk dekat jendela. Aku yang mendengar pertanyaan itu, cukup kaget dibuatnya.
“Hmm benar, Pak. Maaf dengan Bapak siapa ya? Kenapa bisa mengenal saya?”
Mereka berdua pun memperkenalkan diri dan menceritakan bagaimana bisa mengenalku.
Singkat cerita, mereka itu adalah orang dari kantor pusat yang lagi ditugasin ke Surabaya.
“Nanti ke Kemayoran naik apa Nes?”, tanya Pak Adi, Bapak yang mirip Cak Lontong.
“Naik Damri, Pak.”
“Udah pernah naik Damri emang?”
“Belum, Pak. Tapi udah sempet tanya dan cari informasi mengenai rutenya sih.”
“Loh, Pak Adi kan rumahnya di Jakarta Pusat? Bareng Pak Adi aja, Nes. Lagian, kalau naik Damri pasti nyampe messnya tengah malam loh.”, kata Pak Anwar.
“Nanti saya sih dijemput sama driver kantor. Jadi kalau Anes mau ke Mess Putri sama saya, gapapa dan ga perlu khawatir saya jahatin. Hehehehe.”, sepertinya Pak Adi tau aku takut kalau bareng dia ke Jakarta Pusat.
“Iyaaa, tenang, nanti pasti dianter dengan aman dan selamat, yakan Pak?”, kata Pak Anwar lagi.
Selama satu jam penerbangan, mereka berdua berusaha meyakinkanku untuk ke Jakarta Pusat dengan tidak menggunakan Damri atau taksi, lebih aman jika diantar oleh driver kantor katanya.
‘Nekat sih kalau aku iyain!’, ujar bathinku.
‘Ayo Nes, pasang wajah sok berani! Jangan sampe mereka tau kalau kamu lagi komat-kamit di dalam hati!!’, ujar bathinku lagi.
‘Duh, ini aku ga lagi kena gendam kan?‘,tanya bathinku.
Semua kekhawatiranku mulai menghilang saat sebelum pesawat mendarat, saat salah satu pramugari, menyapa kami. Lebih tepatnya menyapa Pak Adi.
“Pak Adi jalan-jalan mulu yaa? Ini di Surabaya berapa hari Pak? Perasaan baru kemarin yaa saya antar Bapak?”
‘Wah, berarti beneran nih kalau Pak Adi emang orang pusat, buktinya Mba pramugarinya aja sampe ngeh gitu kan’, bathinku menyerah. Dan akhirnya, aku pun dengan ikhlas mengiyakan tawarannya.
—-
Saat pesawat sudah mendarat, aku diperlakukan dengan sangat baik oleh Pak Adi dan Pak Anwar. Koperku yang diletakkan di luggage bin, beliau yang ambilkan. Padahal kopernya lumayan berat. Huhuhu.
Pak Anwar bahkan meminta maaf sebab tak bisa mengantarku ke Jakarta Pusat, karena letak rumahnya yang berada di Tangerang Selatan sangat berbeda arah dengan tujuanku.
Sekitar jam 21.00, alhamdulillah, aku sudah berada di Mess Putri. Selama dalam perjalanan tadi, Pak Adi sangat baik dan sopan. Bahkan beliau banyak bercerita tentang dia semasa muda, yang merantau ke Jakarta dan ga punya siapa-siapa. Makanya, saat melihatku tadi, dia langsung mengingat masa-masa susahnya dia dulu hehe.
Alhamdulillah ya, lagi-lagi Allah melindungiku dan mempertemukanku dengan orang-orang baik.
—-
“Mba Anes, nanti kita tidurnya pake kasur ini ya. Maaf yaa, tidurnya ga diatas dipan.”, kata Teh Sonya, setelah kami berada di dalam ruangan besar yang disebut kamar mess, yang letaknya di lantai 3.
Messnya ini ada 3 lantai. Dan hanya ada satu ruangan besar di tiap lantai, dimana di dalamnya masing-masing muat menampung 25 orang.
Di lantai 2, ada kamar mess untuk karyawan putra.
Meski dalam satu atap rumah, di mess itu benar-benar dilarang keras memasuki wilayah yang bukan areanya. Maksudnya, yang pria dilarang ke lantai 3, dan yang putri dilarang ke lantai 2 (hanya boleh lewat depan kamar untuk turun ke lantai 1).
“Ih gapapa teteh. Santai hehehe. Dikasih tumpangan untuk tidur aja aku udah makasih banget.”, Teh Sonya ini baik banget, padahal kami baru saja bertemu.
Saat Teh Sonya ngasih tau lebih detail tentang Mess, ada seorang perempuan -yang kayanya usianya udah hampir kepala tiga- memasuki kamar Mess. Dia dengan ketus menatapku. Saat aku memberikan salam, dia menjawabnya dengan cuek.
“Ini temen kamu yang dari Surabaya?”, tanyanya kepada Teh Sonya.
“Iyaa Kak. Mba Anes, kenalin, ini Kak Lia. Kak Lia ini yang paling lama kerja di perusahaan kita dan udah lama tinggal di Mess.”
“Salam kenal, Kak. Saya Anes.”
“Hm ya salam kenal juga.”, jawabnya tanpa senyum sama sekali huhuhu.
“Ohyaa, karena kamar mandinya hanya ada 2, kami harus bergantian untuk mandi sejak jam 4 subuh dan biasanya kamar mandi selesai dipake di jam 6 pagi. Terserah kamu mau mandi lebih awal atau paling terakhir. Yang jelas, kalau mandi lebih awal, tolong jangan berisik ya!”, katanya lagi.
“Baik Kak.”, jawabku.
Teh Sonya yang memperhatikanku, memberikan isyarat dengan beberapa kedipan. Aku langsung ngeh sama pesannya sebelumnya :
“Mba Anes, kalau ntar aku ngedip-ngedipin mata, itu artinya ada senior tergalak yang tinggal di mess ini yaaa. Jadi jangan diambil hati yaa, cukup iyain ajaaa.”