- Beranda
- Stories from the Heart
Pocong Keliling [Epic Horror Story]
...
TS
harrywjyy
Pocong Keliling [Epic Horror Story]
![Pocong Keliling [Epic Horror Story]](https://s.kaskus.id/images/2022/09/09/10600510_202209090455080040.jpg)
Sumber Gambar Asli
Selamat datang di thread cerita horor ane yang baru gan! Kali ini ane bawa cerita yang gak kalah seram!

Ketika orang meninggal, dipercaya arwahnya akan kembali ke Tuhan dan terlepas dari segala urusan dunianya.
Tapi tidak dengan keluarga Pak Joko. Setelah kematiannya, justru ada banyak pocong yang meneror warga setiap malam. Mengetuk pintu satu per satu rumah warga di tengah malam.
Apa yang ia inginkan? Nantikan kisahnya.



Quote:



Nantikan part 1 yang akan segera TS update gan!
Pokoknya setiap part akan memberikan ketegangan yang seru!


INDEX
1. Part 1 - Kepala Desa
2. Part 2 - Ancaman Tak Kasat Mata
3. Part 3 - Empat Tali Gantung
4. Part 4 - Kok Gak Ajak Aku Ronda?
5. Part 5 - Tamu Tengah Malam
6. Part 6 - Tamu Tengah Malam 2
7. Part 7 - Lantunan Di Rumah Berdarah
8. Part 8 - Tawa Di Belakang Pos
9. Part 9 - Menagih Janji
10. Part 10 - Tali Pocong
11. Part 11 - Mbah Dino
12. Part 12 - Nestapa Penjual Bakso
13. Part 13 - Ilusi
14. Part 14 - Secercah Harapan
15. Part 15 - Linda
16. Part 16 - Teka-teki
Jangan lupa bagi cendol gan! Haus nih.


Ditulis oleh Harry Wijaya
Cerita ini merupakan karya orisinil dan karangan asli TS, dilarang mengcopas dan mempublikasikan di luar KasKus tanpa izin!
Diubah oleh harrywjyy 03-11-2022 15:58
margitop dan 37 lainnya memberi reputasi
38
20.8K
207
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
harrywjyy
#17
Part 2 - Ancaman Tak Kasat Mata
"Bajingan!" bentak Joko sambil membanting berkas-berkas di depannya.
Semua tim suksesnya yang terdiri dari sepuluh orang hanya bisa duduk termenung sambil menunduk, berkumpul di rumah mewah dua lantai milik sang majikan. Tak ada yang berani bicara. Istri Joko juga duduk di kamar bersama anak perempuannya yang masih berusia sembilan tahun. Sementara anak laki-lakinya Rian berada di kamarnya sendiri.
"Pasti ada yang salah, ini gak mungkin!" kata Joko.
"T-tapi, Pak. Hasilnya udah jelas, Anwar yang dapat suara paling banyak. Kita kalah, Pak."
Joko lalu mendekat dengan wajah marah dan menarik kerah pemuda yang menjawabnya itu. "Denger baik-baik! Kita udah usaha sekeras mungkin! Gak mungkin kita kalah! Pasti ada kecurangan di sini!"
Joko lalu melepasnya kembali, lalu menendang kursi yang ada di dekatnya. Semua takut tak berani bicara. "Gimana bisa aku yang udah kasih banyak uang, sembako ke warga. Tapi cuma dapet 30% suara?!"
"Warga lebih memilih Anwar yang jadi kepala desa, Pak!"
"Warga sialan! Udah aku kasih segalanya, tapi nyatanya apa? Mereka malah pilih kandidat lain! Bajingan, aku udah keluar banyak uang buat mereka!" Joko kehilangan kendali, ia benar-benar mengamuk.
Setelah satu minggu menanti, akhirnya pemilihan pun dimulai. Akan tetapi, hasil akhirnya tidak sesuai keinginan. Secara mengejutkan Joko kalah dari Anwar yang selama ini tidak mempromosikan apa-apa. Tentunya ia tak terima. Dirinya benar-benar kacau, hatinya hancur berkeping-keping. Warga yang selama ini tampak mendukungnya malah memilih kandidat lain.
Tak lama terdengar suara keramaian warga yang berjalan melewati jalan depan rumah Joko. Mendengar itu, Joko langsung naik pitam. Ia berjalan ke arah gudang yang ada di bagian belakang rumah. Tak lama pria itu keluar kembali sambil membawa sebuah golok tajam.
Sambil berjalan cepat ke depan, Joko memasang wajah marah. Golok yang ada di tangannya membuat anak buahnya ketakutan. "Pak, ngapain, Pak?" Salah satu anak buah menahannya.
"Diem! Minggir kamu!"
Karena diancam dengan golok, pemuda itu pun mundur dan tak berani menghalangi Joko yang sudah hampir gila itu. Pria paruh baya itu keluar rumah dan membuka gerbang, mendatangi beberapa warga yang lewat rumahnya.
"Heh! Anjing! Sini kalian!" teriaknya sambil mengacungkan goloknya.
Dengan wajah takut, para warga mulai mundur menjauhinya sambil tetap waspada. "Pak Joko, sadar, Pak! Sadar!"
"Pak, ishtigfar!"
"Bajingan kalian semua, sudah dikasih semua yang kalian mau! Tapi kalian malah jadi pengkhianat! Sini kalian, saya bunuh satu-satu!" Golok itu mengacung ke arah para warga.
Tak lama beberapa warga lain datang dari arah belakang. Dengan cepat, salah satu dari mereka langsung memukul tangan Joko dengan bambu hingga golok itu terlepas dan jatuh ke tanah. Kemudian warga lainnya datang dan mengamankan golok itu.
"Sadar, Pak! Sadar!"
"Heh, sini kamu!" bentak Joko. Tiga orang warga lalu memegang badan Joko yang mengamuk tak terkendali. Tak cukup tiga, lima orang pun datang kembali untuk menahan pria paruh baya itu.
"Emang Bapak kira, uang bisa membeli suara kami? Kita semua mau uang aja, namanya juga kampanye, Pak! Ada uang ya kita ambil, tapi pilihan kami tetap buat Anwar. Generasi muda!" ucap salah satu warga berusia dua puluh tahunan.
"Hus! Orang lagi stress jangan ngomong gitu!" tegur salah satu warga.
Beberapa meter, terlihat ada Reza dan ayahnya yang bernama Pak Rosman. Mereka hendak lewat rumah Joko, tapi karena ada keributan. Mereka terpaksa berhenti dan melihat dari jauh.
"Tuh, Reza. Kasian Bapaknya temen kamu gak kepilih jadi kepala desa," kata Pak Rosman sambil memainkan kumisnya.
"Iya, Pak. Kasian Pak Joko. Rian pasti sedih," jawab Reza.
"Besok atau nanti, kamu ajak main Rian. Hibur dia supaya gak sedih, kamu kan temennya."
"Iya, Pak."
Setelah satu jam, keributan pun berhenti. Akhirnya Joko yang mengamuk pun akhirnya kehabisan tenaga dan mulai lemas. Para warga menggotongnya ke dalam untuk diberikan minum.
Sementara Joko merana, Anwar merayakan kemenangannya di kantor desa. Para warga dengan suka cita menyambut kepala desa baru mereka. Sosok anak muda yang visioner dan penuh ide, dicintai para warganya. Semua warga menaruh harapan dan masa depan desa ini kepadanya.
"Terima kasih semuanya, tentunya ini bukan sekedar kemenangan yang sekedar dirayakan. Bagi saya jabatan ini juga sebuah tanggung jawab yang harus saya emban ke depannya, terima kasih atas dukungannya. Mohon bantuan untuk ke depannya," ucap Anwar dalam pidatonya.
***
Saat malam tiba pun, para warga masih merayakan terpilihnya kepala desa baru mereka. Salah satu pengusaha di desa membuatkan pesta yang meriah untuk merayakan kemenangan Anwar. Semua warga bebas makan dan menikmati pertunjukkan musik. Semua larut dalam kebahagiaan.
Kecuali rumah besar dua lantai ini. Rumah yang ditempati oleh Joko dan keluarganya ini tampak suram. Bagian dalamnya masih berantakan, semuanya berada di kamarnya masing-masing.
Anak laki-laki Joko yaitu Rian berjalan menuruni tangga. Ia membuka kamar orang tuanya sedikit dan melihat ke dalam. Tampak ibunya sedang duduk sambil menyisir rambut sang adik.
"Bu," panggil Rian.
"Iya, Nak?"
"Bapak mana?"
Sang Ibu memasang wajah sedih, sambil menghela napas ia menunjuk ke arah belakang. "Di kamar belakang, Nak. Dari tadi siang gak mau keluar, gak mau makan. Ibu udah coba temenin, tapi Ibu malah diusir dan dimarahin. Ibu takut."
"Gitu ya, Rian coba ngomong sama Bapak ya."
"Iya, Rian."
Anak laki-laki itu pun berjalan ke arah belakang. Melewati dapur dan kamar mandi, lalu sedikit belok ke arah kanan. Tepat di samping gudang, terdapat satu kamar khusus pembantu yang kebetulan sedang kosong.
Rian mulai mengetuk pintu kamar itu. "Pak?" panggilnya. Namun tak ada jawaban dari dalam.
"Bapak? Ini aku." Rian mulai memegang gagang pintu dan mencoba membukanya. Akan tetapi pintu itu di kunci dari dalam. "Bapak, Bapak belum makan, kan? Buka dong, Pak!"
"Pak, Bapak!" Rian terus menggedor-gedor pintu kamarnya.
"Berisik!" bentak seseorang dari dalam kamar.
Rian pun kaget bukan main. Ia kaget bukan karena dibentak, tapi karena ia sadar kalau suara yang membentak itu bukanlah suara ayahnya. Suara itu terdengar berat dan serak, sedikit menggema dari dalam kamar. Rian mulai bergidik, bulu kuduknya merinding.
"Pak?" panggilnya sekali lagi. Tapi tetap tak ada jawaban.
"Pak, ini ak-"
Tiba-tiba sebuah tempat sampah plastik yang ada di dapur terlempar dengan sendirinya. Melayang ke arah Rian seolah ada yang sengaja melemparnya. Beruntung Rian bisa menghindar sehingga kepalanya selamat dari barang itu.
Rian mulai takut dan berjalan pergi meninggalkan kamar itu, saat hendak ingin kembali ke kamarnya. Ia melihat bercak darah di lantai.
"Astaga."
Awalnya ia kaget dan ketakutan, tapi ia tak mau Ibu dan adiknya sampai tahu. Buru-buru dirinya berjalan ke kamar mandi mengambil pel dan pembersih lantai.
Kemudian kembali untuk membersihkan bercak darah tersebut, akan tetapi setelah ia kembali bercak darah itu sudah menghilang. Rian semakin bingung dan ketakutan. Tangannya mulai gemetar.
"Lah, kok udah hilang?" gumamnya bingung.
Sudah saya bersihin, Nak.
Tiba-tiba terdengar sebuah bisikan misterius di telinganya. Tanpa ragu-ragu Rian membanting pel dan botol pembersih lantai itu. Kemudian dirinya berlari menaiki tangga ke lantai dua dan masuk ke kamarnya.
Hahahahaha!
Sebuah suara tawa terdengar menggema di seisi rumah setelah Rian berlari kabur.
Semua tim suksesnya yang terdiri dari sepuluh orang hanya bisa duduk termenung sambil menunduk, berkumpul di rumah mewah dua lantai milik sang majikan. Tak ada yang berani bicara. Istri Joko juga duduk di kamar bersama anak perempuannya yang masih berusia sembilan tahun. Sementara anak laki-lakinya Rian berada di kamarnya sendiri.
"Pasti ada yang salah, ini gak mungkin!" kata Joko.
"T-tapi, Pak. Hasilnya udah jelas, Anwar yang dapat suara paling banyak. Kita kalah, Pak."
Joko lalu mendekat dengan wajah marah dan menarik kerah pemuda yang menjawabnya itu. "Denger baik-baik! Kita udah usaha sekeras mungkin! Gak mungkin kita kalah! Pasti ada kecurangan di sini!"
Joko lalu melepasnya kembali, lalu menendang kursi yang ada di dekatnya. Semua takut tak berani bicara. "Gimana bisa aku yang udah kasih banyak uang, sembako ke warga. Tapi cuma dapet 30% suara?!"
"Warga lebih memilih Anwar yang jadi kepala desa, Pak!"
"Warga sialan! Udah aku kasih segalanya, tapi nyatanya apa? Mereka malah pilih kandidat lain! Bajingan, aku udah keluar banyak uang buat mereka!" Joko kehilangan kendali, ia benar-benar mengamuk.
Setelah satu minggu menanti, akhirnya pemilihan pun dimulai. Akan tetapi, hasil akhirnya tidak sesuai keinginan. Secara mengejutkan Joko kalah dari Anwar yang selama ini tidak mempromosikan apa-apa. Tentunya ia tak terima. Dirinya benar-benar kacau, hatinya hancur berkeping-keping. Warga yang selama ini tampak mendukungnya malah memilih kandidat lain.
Tak lama terdengar suara keramaian warga yang berjalan melewati jalan depan rumah Joko. Mendengar itu, Joko langsung naik pitam. Ia berjalan ke arah gudang yang ada di bagian belakang rumah. Tak lama pria itu keluar kembali sambil membawa sebuah golok tajam.
Sambil berjalan cepat ke depan, Joko memasang wajah marah. Golok yang ada di tangannya membuat anak buahnya ketakutan. "Pak, ngapain, Pak?" Salah satu anak buah menahannya.
"Diem! Minggir kamu!"
Karena diancam dengan golok, pemuda itu pun mundur dan tak berani menghalangi Joko yang sudah hampir gila itu. Pria paruh baya itu keluar rumah dan membuka gerbang, mendatangi beberapa warga yang lewat rumahnya.
"Heh! Anjing! Sini kalian!" teriaknya sambil mengacungkan goloknya.
Dengan wajah takut, para warga mulai mundur menjauhinya sambil tetap waspada. "Pak Joko, sadar, Pak! Sadar!"
"Pak, ishtigfar!"
"Bajingan kalian semua, sudah dikasih semua yang kalian mau! Tapi kalian malah jadi pengkhianat! Sini kalian, saya bunuh satu-satu!" Golok itu mengacung ke arah para warga.
Tak lama beberapa warga lain datang dari arah belakang. Dengan cepat, salah satu dari mereka langsung memukul tangan Joko dengan bambu hingga golok itu terlepas dan jatuh ke tanah. Kemudian warga lainnya datang dan mengamankan golok itu.
"Sadar, Pak! Sadar!"
"Heh, sini kamu!" bentak Joko. Tiga orang warga lalu memegang badan Joko yang mengamuk tak terkendali. Tak cukup tiga, lima orang pun datang kembali untuk menahan pria paruh baya itu.
"Emang Bapak kira, uang bisa membeli suara kami? Kita semua mau uang aja, namanya juga kampanye, Pak! Ada uang ya kita ambil, tapi pilihan kami tetap buat Anwar. Generasi muda!" ucap salah satu warga berusia dua puluh tahunan.
"Hus! Orang lagi stress jangan ngomong gitu!" tegur salah satu warga.
Beberapa meter, terlihat ada Reza dan ayahnya yang bernama Pak Rosman. Mereka hendak lewat rumah Joko, tapi karena ada keributan. Mereka terpaksa berhenti dan melihat dari jauh.
"Tuh, Reza. Kasian Bapaknya temen kamu gak kepilih jadi kepala desa," kata Pak Rosman sambil memainkan kumisnya.
"Iya, Pak. Kasian Pak Joko. Rian pasti sedih," jawab Reza.
"Besok atau nanti, kamu ajak main Rian. Hibur dia supaya gak sedih, kamu kan temennya."
"Iya, Pak."
Setelah satu jam, keributan pun berhenti. Akhirnya Joko yang mengamuk pun akhirnya kehabisan tenaga dan mulai lemas. Para warga menggotongnya ke dalam untuk diberikan minum.
Sementara Joko merana, Anwar merayakan kemenangannya di kantor desa. Para warga dengan suka cita menyambut kepala desa baru mereka. Sosok anak muda yang visioner dan penuh ide, dicintai para warganya. Semua warga menaruh harapan dan masa depan desa ini kepadanya.
"Terima kasih semuanya, tentunya ini bukan sekedar kemenangan yang sekedar dirayakan. Bagi saya jabatan ini juga sebuah tanggung jawab yang harus saya emban ke depannya, terima kasih atas dukungannya. Mohon bantuan untuk ke depannya," ucap Anwar dalam pidatonya.
***
Saat malam tiba pun, para warga masih merayakan terpilihnya kepala desa baru mereka. Salah satu pengusaha di desa membuatkan pesta yang meriah untuk merayakan kemenangan Anwar. Semua warga bebas makan dan menikmati pertunjukkan musik. Semua larut dalam kebahagiaan.
Kecuali rumah besar dua lantai ini. Rumah yang ditempati oleh Joko dan keluarganya ini tampak suram. Bagian dalamnya masih berantakan, semuanya berada di kamarnya masing-masing.
Anak laki-laki Joko yaitu Rian berjalan menuruni tangga. Ia membuka kamar orang tuanya sedikit dan melihat ke dalam. Tampak ibunya sedang duduk sambil menyisir rambut sang adik.
"Bu," panggil Rian.
"Iya, Nak?"
"Bapak mana?"
Sang Ibu memasang wajah sedih, sambil menghela napas ia menunjuk ke arah belakang. "Di kamar belakang, Nak. Dari tadi siang gak mau keluar, gak mau makan. Ibu udah coba temenin, tapi Ibu malah diusir dan dimarahin. Ibu takut."
"Gitu ya, Rian coba ngomong sama Bapak ya."
"Iya, Rian."
Anak laki-laki itu pun berjalan ke arah belakang. Melewati dapur dan kamar mandi, lalu sedikit belok ke arah kanan. Tepat di samping gudang, terdapat satu kamar khusus pembantu yang kebetulan sedang kosong.
Rian mulai mengetuk pintu kamar itu. "Pak?" panggilnya. Namun tak ada jawaban dari dalam.
"Bapak? Ini aku." Rian mulai memegang gagang pintu dan mencoba membukanya. Akan tetapi pintu itu di kunci dari dalam. "Bapak, Bapak belum makan, kan? Buka dong, Pak!"
"Pak, Bapak!" Rian terus menggedor-gedor pintu kamarnya.
"Berisik!" bentak seseorang dari dalam kamar.
Rian pun kaget bukan main. Ia kaget bukan karena dibentak, tapi karena ia sadar kalau suara yang membentak itu bukanlah suara ayahnya. Suara itu terdengar berat dan serak, sedikit menggema dari dalam kamar. Rian mulai bergidik, bulu kuduknya merinding.
"Pak?" panggilnya sekali lagi. Tapi tetap tak ada jawaban.
"Pak, ini ak-"
Tiba-tiba sebuah tempat sampah plastik yang ada di dapur terlempar dengan sendirinya. Melayang ke arah Rian seolah ada yang sengaja melemparnya. Beruntung Rian bisa menghindar sehingga kepalanya selamat dari barang itu.
Rian mulai takut dan berjalan pergi meninggalkan kamar itu, saat hendak ingin kembali ke kamarnya. Ia melihat bercak darah di lantai.
"Astaga."
Awalnya ia kaget dan ketakutan, tapi ia tak mau Ibu dan adiknya sampai tahu. Buru-buru dirinya berjalan ke kamar mandi mengambil pel dan pembersih lantai.
Kemudian kembali untuk membersihkan bercak darah tersebut, akan tetapi setelah ia kembali bercak darah itu sudah menghilang. Rian semakin bingung dan ketakutan. Tangannya mulai gemetar.
"Lah, kok udah hilang?" gumamnya bingung.
Sudah saya bersihin, Nak.
Tiba-tiba terdengar sebuah bisikan misterius di telinganya. Tanpa ragu-ragu Rian membanting pel dan botol pembersih lantai itu. Kemudian dirinya berlari menaiki tangga ke lantai dua dan masuk ke kamarnya.
Hahahahaha!
Sebuah suara tawa terdengar menggema di seisi rumah setelah Rian berlari kabur.
iinsusilawat677 dan 5 lainnya memberi reputasi
6
Tutup