sangdewikantiAvatar border
TS
sangdewikanti
Mbah Guno, Penghayat Kejawen yang Menolak Menjadi Kapitalis Pahala
Mbah Guno, Penghayat Kejawen yang Menolak Menjadi Kapitalis Pahala

Hidup di dunia bukan cuma soal surga dan neraka, katanya



Ilustrasi (pinterest.com)

Banyuwangi, IDN Times – Ini adalah cerita soal Guno Asmoro, orang-orang familiar memanggilnya dengan nama Guno. Dia adalah seorang pria berusia senja yang lahir beberapa tahun setelah Soekarno memproklamasikan naskah kemerdekaan Indonesia.

Di akhir tahun 2022 ini, Guno akan genap berusia 72 tahun. Selama 63 tahun lamanya, tepatnya sejak Guno memasuki usia remaja, dia sudah memiliki sebuah keyakinan berbeda dari manusia yang memeluk agama pada umumnya. Mungkin, keyakinan tersebut lebih merujuk kepada istilah ‘Manunggaling Kawula Gusti’.

Guno tidak lahir di Banyuwangi, dia bahkan tidak mengetahui dengan pasti di mana dia dilahirkan. Namun yang jelas, mendiang ayah Guno adalah orang Kasunanan Surakarta, Jawa Tengah. Dari ayahnya itulah, kepercayaan Kejawen dipelajari Guno. Sejak kecil, Guno diajarkan oleh ayahnya tentang konsep ketuhanan bagi orang-orang Jawa.

1. Tebang pilih pergaulan, ragam tafsir memandang aneh minoritas 



Ilustrasi. (pinterest.com)

Semasa kecil, Guno telah menjalani segala bentuk sikap diskriminasi dari teman lingkungannya. Dia pernah disebut sebagai dukun, kafir, atheis hingga penyembah setan. Tebang pilih pergaulan sukses menciutkan nyali dan mental Guno kecil saat itu. Meski hanya verbal, namun kasat mata menangkap tafsir yang berbeda atas sikap yang dipertontonkan teman sebaya terhadap dirinya.

Guno yang masih di bangku sekolah dasar, akhirnya pun enggan untuk meneruskan jenjang selanjutnya. Selama itu, tidak terhitung sudah berapa sanjungan miring dan stigma rendah yang diarahkan orang lain terhadapnya. Sebab itulah, arti kemerdekaan bagi Guno hanya berlaku untuk golongan mayoritas saja.

Memulai obrolan dengan IDN Times, Guno hanya tersenyum semringah saat ditanyai soal arti sejati kepercayaan Kejawen baginya. Meskipun gigi pria senja ini sudah tak lagi utuh, namun setiap pelafalan kalimat yang dia ucapkan masih terdengar cukup jelas.

“Kanggo opo sampean takon babakan Kejawen? Uwes, lakoni wae agamamu saiki. Manungso urip kuwi duwe lelakon dewe-dewe, ning dzat sing nyiptake kui siji (untuk apa kamu bertanya soal Kejawen? Sudah, jalani saja agamamu saat ini. Manusia hidup punya tujuan masing-masing, tapi dzat yang menciptakan hanya ada satu),” kata Guno menggunakan bahasa Jawa, Kamis (8/9/2022).

Guno lanjut bercerita, saat usianya menginjak usia dewasa dia disuruh oleh ayahnya untuk berguru dengan seseorang di Surakarta. Di situlah, Guno memperdalam pemahamannya tentang konsep ketuhanan dan kebatinan. Kaweruh, begitulah istilah Guno menyebutnya. Istilah ini merujuk kepada lima hal yang mendasari kepercayaan Guno.

“Atmo limo perkoro. Nur, rahso, nyowo, nafsu lan budi (ada lima hal. Asal, rasa, nyawa, nafsu dan akal,” kata Guno sembari menghitung jemarinya.

2. Tak ingin menjadi kapitalis pahala



Ilustrasi (pinterest.com)

Guno menyebut, kepercayaan Kejawen yang dia yakini ini pada dasarnya hampir sama dengan agama pada umumnya. Menurutnya, penghayat Kejawen yang diajarkan oleh ayah dan gurunya ini menyembah sebuah dzat yang maha gaib yang tidak dapat digambarkan dengan nalar apapun. Mereka menyebutnya Allah (dibaca alah bukan aloh).

“Tuhan, itu sebutan orang Indonesia. God itu sebutan orang barat. Gusti Pengeran, itu untuk orang Jawa umumnya. Allah itu sebutan untuk orang Islam. Ada lagi Sang Hyang Widi, Yang Maha Kuasa dan lainnya.

Jika itu mengacu kepada dzat yang menciptakan semesta, maka harus disepakati dulu bahwa kita menyembah sesuatu yang sama. Hanya saja namanya beda,” ungkap Guno.

“Taruh saja untuk agama Islam, bukankah dijelaskan bahwa Allah memiliki 99 nama yang disebut Asmaul Husna. Jika ada yang menyebut Allah dengan salah satu namanya, apakah bisa diartikan bahwa itu bukan Allah? Tentu masih sama,” imbuhnya.

Obrolan dengan IDN Times terus berlanjut, hingga tiba kesempatan untuk bertanya soal bagaimana cara Guno melakukan sembahyang seperti yang dilakukan umat beragama pada umumnya. Bukan langsung menjawab, Guno pun malah melontarkan pertanyaan balik.

“Apa tujuan orang melakukan sembahyang? Jika itu adalah surga maka tujuan orang tersebut begitu dangkal dan menyebabkan seseorang akan menjadi seorang kapitalis pahala. Apa karena takut neraka? Maka itu akan menyebabkan seorang umat menjadi terlalu fanatik dan malah tersesat karena ketakutannya. Maka sembahyang yang benar adalah dengan dasar cinta kepada Tuhan,” kata Guno.

“Teorinya gini, jika surga diibaratkan dengan angka sembilan. Maka ada rumus yang tak terbatas untuk menghasilkan angka sembilan. Mungkin saya delapan tambah satu, kamu pakai empat tambah lima dan orang lain juga punya rumusnya masing-masing,” jelasnya.

Istilah kapitalis pahala ini, digunakan oleh Guno untuk menyebut orang-orang yang melakukan kebaikan hanya demi mendapatkan pahala. Menurutnya, sudah jelas bahwa kewajiban manusia diciptakan untuk berbuat baik kepada sesama atau kepada alam.

3. Ibadah berdasar cinta, bersumber dari jiwa



(Instagram/budoyojawi)

Guno menyebut, bahwa untuk kembali ke penciptaNYA, ada banyak hal-hal baik yang bisa dilakukan. Selama itu adalah perbuatan baik dan tidak melukai atau menciderai, maka itu bisa dilakukan.

Tentang sembahyang, hal yang biasa Guno lakukan adalah dengan melakukan semedi. Duduk bersila dan mengosongkan pikiran, meninggalkan beban apapun yang sedang terjadi dan fokus memasrahkan diri terhadap tuhan yang dia yakini.

“Manusia ketika tidur ingatan dan kesadarannya ada di mana? Ketika tidur lalu dikasih uang, atau dikasih makanan enak atau dikasih jabatan, kok dia diam saja. Tapi saat dibangunkan atau dipanggil, maka ingatan dan kesadarannya kembali? Intinya sembahyang adalah di jiwa,” ungkap Guno.

Obrolan terus berlanjut, Guno kembali menceritakan saat dia masuk ke Banyuwangi. Kala itu usianya sudah lebih dari 30 tahun. Di Banyuwangi juga, Guno menikahi pribumi dan memiliki empat orang anak laki-laki.

Di Banyuwangi, Guno memilih pekerjaan sebagai petani dan buruh kuli bangunan untuk mencari nafkah. Karena tebang pilih membuat Guno kesulitan untuk mencari kerja yang layak. 

Di Banyuwangi juga, Guno semakin memperdalam kaweruh yang menjadi pilar dari kepercayaan yang dia yakini. Guno juga dikenal sebagai orang yang kerap melakukan tirakat atau berpuasa. Bahkan, dalam kegiatan pengajian atau syukuran yang dilakukan umat islam di lingkungannya, Guno pun dengan senang hati mengikutinya. Dalam KTP, Guno juga masih mencantumkan Islam sebagai agamanya.

“Saya bisa baca quran, hafal juga beberapa ayatnya. Orang-orang di sini menyebut kalau saya ini islam, tapi islam yang kejawen. Bagi saya tidak masalah mau disebut apa, intinya kita semua kan mahluk ciptaan dari dzat yang tunggal,” jelasnya.

https://jatim.idntimes.com/news/jati...ahala?page=all

Waduh bisa dituduh musyrik nih
7uniar
salvation101
rifkymrm
rifkymrm dan 5 lainnya memberi reputasi
6
1.8K
37
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
670KThread40.3KAnggota
Tampilkan semua post
pgcililitanAvatar border
pgcililitan
#3
sebelum negara api menyerang, semua penganut kepercayaan menuliskan agama Islam. dan engga ada yang merasa terdzolimi.



disaat negara2 arab menyadari kesalahan pandangan mereka terhadap agama. disitu kita ingin mengulangi kesalahan mereka.



MUSNAHKAN kaum intoleran
scorpiolama
chenobix
anu.ku.l
anu.ku.l dan 4 lainnya memberi reputasi
5
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.