- Beranda
- Stories from the Heart
Santet ( Ketamakan Membawa Petaka)
...
TS
piendutt
Santet ( Ketamakan Membawa Petaka)
Quote:
SANTET
Part 1. Mimpi Buruk
Kriiing! Kriiing!
Sebuah tangan terlihat meraba-raba berusaha menggapai jam weker yang terus berbunyi dan Cumiakkan telinga itu. Sang pemilik tangan pun bangun dari tidurnya.
"Whoaaamm!"
Seorang gadis dengan rambut sebahu menguap sambil mengusap-usap mata, kemudian berjalan sempoyongan menuju ke kamar mandi dan membersihkan diri.
Tidak lama kemudian, gadis itu menuju ke lantai bawah dan melihat seorang pria yang tidak lain adalah sang papa yang bernama Fajar, tengah duduk sambil membaca korang di sofa. Gadis cantik yang masih mengenakan piyama itu bernama Isna. Dia berjalan ke arah dapur sambil mengendus aroma sedap dari masakan wanita berkerudung yang terlihat sedang mencicipi sup buatannya. Wanita itu adalah sang mama yang bernama Fatimah. Kedua orang tuanya Isna memang sedang berlibur karena hari Minggu.
Tanpa menunggu lama, Isna pun langsung melingkarkan tangannya ke pinggul wanita yang dikaguminya itu.
"Mama masak apa? Sedap banget baunya," tanya Isna dengan nada manja.
"Ini sup ceker kesukaan kamu, Sayang,' jawab sang mama.
Mendadak, dari depan pintu dapur. Isna dikejutkan oleh suara lain yang memanggil namanya.
"Isna! Ngapain kamu di situ?"
Isna pun menoleh ke arah pintu, gadis itu terkejut melihat sang mama sedang berdiri tegak seraya menatapnya.
'Tunggu! Jika Mama ada di sana, lalu siapa yang kurangkul ini?' batin Isna.
Gadis itu menelan ludah, keringat dingin pun telah membasahi keningnya. Ia merenggangkan tangan, melepaskan rangkulan tangannya dan perlahan melongok ke atas untuk melihat siapa wanita yang berada di hadapannya.
Seketika, netranya terbelalak saat melihat wanita yang dikira sang mama tadi sudah berubah. Wanita itu berwajah pucat dengan tetesan darah hitam yang mengalir di seluruh wajahnya, matanya pun melotot tajam ke arah Isna.
"Arrrrhhhhhhhh!" Isna berteriak dan terbangun dari tidurnya bersamaan dengan dering jam weker di meja samping tempat tidurnya. Gadis itu terengah-engah, lalu mematikan jam weker yang terus berbunyi itu. Kemudian ia mengatur nafasnya kembali.
"Astagfirullahaladzim! Mimpi apa itu tadi?" Dia masih bertanya-tanya, lalu membersihkan diri dan turun ke lantai bawah.
Bersambung.
Written : @piendutt
Sumber : Opini pribadi
Jangan lupa mampir bawa ya gan, terimakasih.
Part 1. Mimpi Buruk
Kriiing! Kriiing!
Sebuah tangan terlihat meraba-raba berusaha menggapai jam weker yang terus berbunyi dan Cumiakkan telinga itu. Sang pemilik tangan pun bangun dari tidurnya.
"Whoaaamm!"
Seorang gadis dengan rambut sebahu menguap sambil mengusap-usap mata, kemudian berjalan sempoyongan menuju ke kamar mandi dan membersihkan diri.
Tidak lama kemudian, gadis itu menuju ke lantai bawah dan melihat seorang pria yang tidak lain adalah sang papa yang bernama Fajar, tengah duduk sambil membaca korang di sofa. Gadis cantik yang masih mengenakan piyama itu bernama Isna. Dia berjalan ke arah dapur sambil mengendus aroma sedap dari masakan wanita berkerudung yang terlihat sedang mencicipi sup buatannya. Wanita itu adalah sang mama yang bernama Fatimah. Kedua orang tuanya Isna memang sedang berlibur karena hari Minggu.
Tanpa menunggu lama, Isna pun langsung melingkarkan tangannya ke pinggul wanita yang dikaguminya itu.
"Mama masak apa? Sedap banget baunya," tanya Isna dengan nada manja.
"Ini sup ceker kesukaan kamu, Sayang,' jawab sang mama.
Mendadak, dari depan pintu dapur. Isna dikejutkan oleh suara lain yang memanggil namanya.
"Isna! Ngapain kamu di situ?"
Isna pun menoleh ke arah pintu, gadis itu terkejut melihat sang mama sedang berdiri tegak seraya menatapnya.
'Tunggu! Jika Mama ada di sana, lalu siapa yang kurangkul ini?' batin Isna.
Gadis itu menelan ludah, keringat dingin pun telah membasahi keningnya. Ia merenggangkan tangan, melepaskan rangkulan tangannya dan perlahan melongok ke atas untuk melihat siapa wanita yang berada di hadapannya.
Seketika, netranya terbelalak saat melihat wanita yang dikira sang mama tadi sudah berubah. Wanita itu berwajah pucat dengan tetesan darah hitam yang mengalir di seluruh wajahnya, matanya pun melotot tajam ke arah Isna.
"Arrrrhhhhhhhh!" Isna berteriak dan terbangun dari tidurnya bersamaan dengan dering jam weker di meja samping tempat tidurnya. Gadis itu terengah-engah, lalu mematikan jam weker yang terus berbunyi itu. Kemudian ia mengatur nafasnya kembali.
"Astagfirullahaladzim! Mimpi apa itu tadi?" Dia masih bertanya-tanya, lalu membersihkan diri dan turun ke lantai bawah.
Bersambung.
Written : @piendutt
Sumber : Opini pribadi
Jangan lupa mampir bawa ya gan, terimakasih.
Bab selanjutnya š
Part 1. Mimpi Buruk
Part 2. Ibu-ibu Arisan
Part 3. Musibah
Part 4. Perkenalan
Part 5. Mengobati Fatimah
Part 6. Kiriman Santet
Part 7. Cinta pada Pandangan Pertama
Part 8. Isna Terkena Santet
Part 9. Sang Dalang
Part 10. Percobaan Pembunuhan
Diubah oleh piendutt 05-10-2022 07:16
terbitcomyt dan 20 lainnya memberi reputasi
21
10.6K
Kutip
111
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32KThreadā¢45KAnggota
Tampilkan semua post
TS
piendutt
#3
Santet
Quote:
Part 1. Mimpi Buruk
Kriing! Kriiing!
Sebuah tangan terlihat meraba-raba, berusaha menggapai jam weker yang terus berbunyi dan Cumiakkan telinga itu. Sang pemilik tangan pun bangun dari tidurnya.
"Whoaahh!"
Seorang gadis berambut sebahu menguap sambil mengusap-usap mata, lalu berjalan sempoyongan menuju kamar mandi dan membersihkan diri.
Tidak lama kemudian, gadis itu turun ke lantai bawah dan melihat seorang pria yang tidak lain adalah sang papa yang bernama Fajar, tengah duduk sambil membaca koran di sofa. Gadis cantik yang masih mengenakan piyama itu bernama Isna. Dia berjalan ke arah dapur sambil mengendus aroma sedap dari masakan seorang wanita berkerudung yang terlihat sedang mencicipi sup buatannya. Wanita itu adalah sang mama yang bernama Fatimah. Kedua orang tua Isna memang sedang libur bekerja karena ini adalah hari Minggu.
Tanpa menunggu lama, Isna pun langsung melingkarkan tangannya ke pinggul wanita yang dikaguminya itu.
"Mama masak apa? Sedap banget baunya!" tanya Isna dengan nada manja.
"Ini sup ceker kesukaan kamu, Sayang," jawab sang mama.
Mendadak dari depan pintu dapur, Isna dikejutkan oleh suara lain yang memanggil namanya.
"Isna? Ngapain kamu di situ?"
Isna pun menoleh. Gadis itu terkejut melihat sang mama sedang berdiri di depan pintu dan menatapnya dengan tajam.
āTunggu! Jika Mama ada di sana, lalu ... siapa yang kurangkul ini?' batin Isna.
Gadis itu pun menelan air ludahnya, dan keringat dingin mulai membasahi keningnya. Dia merenggangkan rangkulan tangannya dan perlahan melongok ke atas karena ingin memastikan siapa orang yang dirangkulnya tadi.
Seketika, netranya terbelalak melihat sesosok wanita berwajah sangat pucat, berlumuran darah, dan matanya yang menyeramkan melotot ke arah Isna.
"Arghhhh!!" Isna berteriak dan terbangun dari tidurnya bersamaan dengan dering jam weker di meja samping tempat tidurnya. Gadis itu terengah-engah, lalu mematikan jam weker yang terus berbunyi itu, lalu mengatur napasnya agar teratur kembali.
"Astagfirullahaladzim! Mimpi apa itu tadi?!" Dia masih bertanya-tanya, lalu segera membersihkan diri dan perlahan turun ke lantai bawah.
Tiba di lantai bawah, Isna melihat sang papa duduk di sofa sambil membaca koran dan gadis itu pun berjalan perlahan menuju dapur. Isna terhenyak saat melongok ke dapur. Apa yang dilihatnya itu sama persis dengan mimpi buruk yang dialaminya tadi. Terlihat sang ibu yang tengah mencicipi sup. Gadis itu pun semakin kebingungan dengan apa yang terjadi.
"Isna, kamu sudah bangun, ya?" tanya wanita itu padanya.
Isna hanya diam saja dan tidak menjawab karena dia masih takut dan teringat dengan mimpinya tadi. Gadis itu merasa ketakutan jika wanita yang berada di dapur itu bukanlah sang mama, melainkan sosok mengerikan seperti dalam mimpinya tadi.
Fatimah segera menghampiri Isna yang terlihat cemas dan mematung di depan pintu dapur.
"Kok, diam? Apa kamu sakit, Sayang?" tanya Fatimah seraya memegang dahi anak gadisnya itu.
"Ma-Mama ā¦," ujar Isna lirih karena masih diliputi ketakutan. Dia benar-benar masih ingin memastikan bahwa wanita di hadapannya itu adalah benar-benar mamanya.
"Iya, Sayang. Kenapa?"
Setelah memastikan dan yakin bahwa suara itu adalah benar suara sang mama, barulah Isna merasa lega.
"Ah, syukurlah! Mama masak apa?" tanya Isna seraya menggandeng tangan Fatimah dan berusaha mencairkan suasana yang sempat terasa aneh tadi.
"Ini sup ceker kesukaan Isna. Apa kamu mau mencicipinya, Sayang?" tanya Fatimah seraya mengambil sendok.
"Mau banget, Ma!" seru gadis berbola mata besar itu dengan bersemangat.
Fatimah mengambil sesendok sup, kemudian menyuapkannya ke mulut Isna.
"Gimana? Enak nggak?"
"Enak banget, Ma! Super duper pokoknya! Masakan Mama memang yang paling enak di dunia!" puji Isna sambil mengacungkan kedua jempolnya dan tersenyum hingga lesung pipi di wajahnya jelas terlihat.
Fatimah pun turut tersenyum mendengar pujian Isna dan membelai rambut anak gadisnya itu. Wanita itu sangat menyayangi Isna yang masih suka bersikap manja, meski sudah bersekolah di bangku SMA.
"Duh! Baunya bikin laper, nih!" seru Fajar, suami Fatimah, yang tiba-tiba turut masuk ke dapur seraya mengelus perutnya yang sedikit buncit.
"Ah, Papa! Makan mulu pikirannya," celetuk Isna.
"Yaudah, kita sarapan, ya? Ayo, semuanya tunggu di luar! Biar Mama siapin dulu," ujar Fatimah meminta suami dan anaknya untuk keluar dari dapur.
***
Seluruh hidangan sudah disajikan di atas meja makan. Ada sup ceker, perkedel jagung, tempe, tahu goreng, kerupuk udang, dan tidak lupa sambal terasi sebagai pelengkap yang nikmat. Keluarga Isna pun menikmati hidangan itu sambil bercakap-cakap.
"Alhamdulillah, Pa! Pemasukan kita bulan ini meningkat pesat! Sepertinya, banyak pelanggan yang datang ke restoran kita!" ujar Fatimah memulai pembicaraan seraya mengucapkan syukur.
"Syukurlah, Ma!Papa juga ikut senang," sahut Fajar seraya menyendok sup buatan sang istri.
"Isna mau hadiah apa, Sayang?" tanya Fatimah pada anaknya yang masih sibuk melumat ceker ayam di kedua tangannya.
"Isna mau HP baru, Ma! Itu loh, yang bisa buat ngedit foto, biar Isna kelihatan tambah cantik, gitu!" terangnya sambil cengengesan.
"Isna, kamu itu udah cantik, Sayang. Nggak perlu diedit!" bantah Fajar.
"Tapi, Pa ā¦ wajahku ini banyak jerawatnya!" keluh Isna dan meletakkan tulang ceker yang telah habis digerogotinya.
"Jerawat itu tandanya kamu sudah dewasa. Dengerin kata Mama, orang yang baik akan menilai kamu dari kepribadian, bukan dari foto kamu, Sayang," jelas wanita berkerudung itu menasehati.
"Gitu, ya, Ma?" sahut Isna dengan senyum manisnya, kemudian langsung menyabet dua tempe goreng dan memakannya sekaligus.
Fatimah dan Fajar hanya tersenyum dan menggeleng melihat kelakuan anaknya itu.
***
Sejak Isna bermimpi buruk kemarin, entah kenapa dia menjadi sering merasa tidak enak. Sepulang sekolah, gadis itu membuka pintu rumah yang berlantai dua itu dan mendapati suasana yang begitu sunyi. Dia tahu bahwa kedua orang tuanya sedang sibuk bekerja di restoran dan baru akan pulang malam nanti. Sang kakak, Prima, yang sekarang sudah menikah pun tidak lagi tinggal di rumah ini dan menempati rumahnya sendiri yang berada tidak jauh dari rumah Isna.
āKok, lama-lama rumah ini semakin nyeremin, ya?' batin Isna saat bola matanya berselancar ke segala penjuru.
Dia pun segera menutup pintu dan perlahan berjalan menuju ke kamarnya. Saat kakinya menaiki anak tangga yang terbuat dari kayu itu satu per satu, mendadak bulu kuduknya meremang. Isna merasa seperti sedang diawasi. Gadis itu pun mengedarkan pandangannya dan terkejut melihat sesosok bayangan hitam sudah berdiri di depan jendela ruang tamu.
Tubuh Isna langsung gemetaran. Dia pun memalingkan wajahnya sambil membaca segala ayat Al-Quran yang pernah dihafalkannya. Isna mencoba mempercepat langkahnya, tetapi dia merasa langkahnya itu justru diam di tempat.
'Ya Allah, selamatkan hamba-Mu ini!' batin Isna menjerit, keringat dingin membasahi dahinya.
Kamar yang biasanya hanya berjarak beberapa meter itu, kini terasa jauh dari pandangannya. Isna tidak berhenti berdoa, sampai langkahnya berhenti di depan pintu kamar. Dia pun buru-buru masuk dan mengunci pintu kamarnya.
āAstagfirullahaladzim! Astagfirullahaladzim!ā Berulang kali Isna beristigfar.
Gadis itu benar-benar diliputi rasa takut yang teramat sangat dan tangannya masih gemetaran saat mengambil ponsel dari dalam tas sekolahnya. Gadis itu berniat mencari bantuan karena berada di rumah sendirian membuatnya ketakutan dan merasa hampir gila.
"Halo?! Assalamualaikum, Mbak Lastri?" ujarnya memanggil seseorang yang tidak lain adalah kakak iparnya yang tinggal di seberang jalan.
"Iya, Dek Is. Ada apa?" tanya wanita itu dari seberang telepon itu sambil memberikan sebotol susu kepada bayinya yang baru berusia tujuh bulan.
"Mbak Lastri ... bisa ke sini nggak? Isna takut di rumah sendirian!" rengeknya.
"Oh, gitu? Yaudah, Mbak ke situ sekarang. Kamu tunggu sebentar, ya?ā
"Iya, Mbak," sahut Isna dan mematikan ponsel.
Akhirnya dia pun lega karena akan ada orang yang datang menemaninya.
***
Isna segera mengganti bajunya dan mengambil buku PR dari dalam tas sekolahnya. Gadis berlesung pipi itu menunggu kedatangan Lastri sambil mengerjakan PR.
"Assalamualaikum!" Terdengar suara khas Lastri yang sedikit serak dari pintu depan.
"Waalaikumsalam!" sahut Isna dari dalam rumah dan bergegas membuka pintu.
Isna lega dan segera mempersilakan Lastri yang tengah menggendong bayi itu untuk masuk ke rumah. Namun, belum sempat duduk di sofa, bayi Lastri yang bernama Zara itu pun tiba-tiba menangis nyaring sekali seperti ketakutan merasakan ada sesuatu yang menyeramkan.
"Loh? Kenapa, Zara? Kenapa nangis?" tanya Lastri kebingungan sambil berusaha menenangkan bayinya itu.
"Mungkin Zara haus, Mbak," sahut Isna.
"Orang baru minum susu, kok!" bantah Lastri sambil menepuk bahu Zara yang tidak berhenti menangis.
"Oh, pasti popoknya basah, tuh," ujar Isna menebak-nebak.
"Sebelum ke sini, baru Mbak ganti juga. Aneh juga, ya? Kenapa tiba-tiba nangis gini?" sahut Lastri keheranan sambil terus berusaha menenangkan Zara dengan mengajak bayinya itu bermain.
Bola mata Isna melirik ke seluruh penjuru rumah. Dadanya berdesir melihat sosok menyeramkan yang tadi dilihatnya masih berdiri tegak di depan jendela ruang tamu. Sekilas terlihat seperti seorang wanita dengan wajah tidak jelas dan rambut yang acak-acakan. Isna pun kembali merasa ketakutan.
"Mbak Lastri, ayo ke rumah Mbak aja, yuk! Biar nanti Papa yang jemput aku," rengek Isna karena rasa takutnya mulai mengganggu.
"Oh gitu? Yaudah, ayo!" sahut Lastri dan mereka pun bergegas meninggalkan rumah itu setelah Isna mengunci pintu.
***
Setelah keluar dari rumah itu, tangisan Zara mereda dan bergeming, seakan merasa aman dari sesuatu menyeramkan yang tadi dirasakan bayi mungil itu.
"Loh? Zara, kok tiba-tiba diem? Ngerjain Mama, ya?" ujar Lastri keheranan.
Isna menoleh dan menatap rumah besar berlantai dua yang sudah lama ditempatinya itu. Terlihat jendela kamar di lantai dua terbuka, padahal sebelum pergi, dia yakin telah menutupnya. Tidak lama, terlihat sesosok wanita berbaju putih berdiri menatapnya dari jendela kamar. Isna pun bergidik ngeri dan menutup matanya karena tidak ingin melihat sosok tersebut. Akibatnya, Isna pun tersandung karena tidak melihat sebuah batu yang sedikit menonjol di depannya.
"Ouchhhh!!" rintih Isna menahan sakit karena ternyata lututnya berdarah.
"Hati-hati jalannya, Dek! Haduh! Jadi luka gini! Ayo, cepet ke rumah Mbak!" Wanita itu pun segera mengajak Isna ke rumahnya.
Bersambung.
Kriing! Kriiing!
Sebuah tangan terlihat meraba-raba, berusaha menggapai jam weker yang terus berbunyi dan Cumiakkan telinga itu. Sang pemilik tangan pun bangun dari tidurnya.
"Whoaahh!"
Seorang gadis berambut sebahu menguap sambil mengusap-usap mata, lalu berjalan sempoyongan menuju kamar mandi dan membersihkan diri.
Tidak lama kemudian, gadis itu turun ke lantai bawah dan melihat seorang pria yang tidak lain adalah sang papa yang bernama Fajar, tengah duduk sambil membaca koran di sofa. Gadis cantik yang masih mengenakan piyama itu bernama Isna. Dia berjalan ke arah dapur sambil mengendus aroma sedap dari masakan seorang wanita berkerudung yang terlihat sedang mencicipi sup buatannya. Wanita itu adalah sang mama yang bernama Fatimah. Kedua orang tua Isna memang sedang libur bekerja karena ini adalah hari Minggu.
Tanpa menunggu lama, Isna pun langsung melingkarkan tangannya ke pinggul wanita yang dikaguminya itu.
"Mama masak apa? Sedap banget baunya!" tanya Isna dengan nada manja.
"Ini sup ceker kesukaan kamu, Sayang," jawab sang mama.
Mendadak dari depan pintu dapur, Isna dikejutkan oleh suara lain yang memanggil namanya.
"Isna? Ngapain kamu di situ?"
Isna pun menoleh. Gadis itu terkejut melihat sang mama sedang berdiri di depan pintu dan menatapnya dengan tajam.
āTunggu! Jika Mama ada di sana, lalu ... siapa yang kurangkul ini?' batin Isna.
Gadis itu pun menelan air ludahnya, dan keringat dingin mulai membasahi keningnya. Dia merenggangkan rangkulan tangannya dan perlahan melongok ke atas karena ingin memastikan siapa orang yang dirangkulnya tadi.
Seketika, netranya terbelalak melihat sesosok wanita berwajah sangat pucat, berlumuran darah, dan matanya yang menyeramkan melotot ke arah Isna.
"Arghhhh!!" Isna berteriak dan terbangun dari tidurnya bersamaan dengan dering jam weker di meja samping tempat tidurnya. Gadis itu terengah-engah, lalu mematikan jam weker yang terus berbunyi itu, lalu mengatur napasnya agar teratur kembali.
"Astagfirullahaladzim! Mimpi apa itu tadi?!" Dia masih bertanya-tanya, lalu segera membersihkan diri dan perlahan turun ke lantai bawah.
Tiba di lantai bawah, Isna melihat sang papa duduk di sofa sambil membaca koran dan gadis itu pun berjalan perlahan menuju dapur. Isna terhenyak saat melongok ke dapur. Apa yang dilihatnya itu sama persis dengan mimpi buruk yang dialaminya tadi. Terlihat sang ibu yang tengah mencicipi sup. Gadis itu pun semakin kebingungan dengan apa yang terjadi.
"Isna, kamu sudah bangun, ya?" tanya wanita itu padanya.
Isna hanya diam saja dan tidak menjawab karena dia masih takut dan teringat dengan mimpinya tadi. Gadis itu merasa ketakutan jika wanita yang berada di dapur itu bukanlah sang mama, melainkan sosok mengerikan seperti dalam mimpinya tadi.
Fatimah segera menghampiri Isna yang terlihat cemas dan mematung di depan pintu dapur.
"Kok, diam? Apa kamu sakit, Sayang?" tanya Fatimah seraya memegang dahi anak gadisnya itu.
"Ma-Mama ā¦," ujar Isna lirih karena masih diliputi ketakutan. Dia benar-benar masih ingin memastikan bahwa wanita di hadapannya itu adalah benar-benar mamanya.
"Iya, Sayang. Kenapa?"
Setelah memastikan dan yakin bahwa suara itu adalah benar suara sang mama, barulah Isna merasa lega.
"Ah, syukurlah! Mama masak apa?" tanya Isna seraya menggandeng tangan Fatimah dan berusaha mencairkan suasana yang sempat terasa aneh tadi.
"Ini sup ceker kesukaan Isna. Apa kamu mau mencicipinya, Sayang?" tanya Fatimah seraya mengambil sendok.
"Mau banget, Ma!" seru gadis berbola mata besar itu dengan bersemangat.
Fatimah mengambil sesendok sup, kemudian menyuapkannya ke mulut Isna.
"Gimana? Enak nggak?"
"Enak banget, Ma! Super duper pokoknya! Masakan Mama memang yang paling enak di dunia!" puji Isna sambil mengacungkan kedua jempolnya dan tersenyum hingga lesung pipi di wajahnya jelas terlihat.
Fatimah pun turut tersenyum mendengar pujian Isna dan membelai rambut anak gadisnya itu. Wanita itu sangat menyayangi Isna yang masih suka bersikap manja, meski sudah bersekolah di bangku SMA.
"Duh! Baunya bikin laper, nih!" seru Fajar, suami Fatimah, yang tiba-tiba turut masuk ke dapur seraya mengelus perutnya yang sedikit buncit.
"Ah, Papa! Makan mulu pikirannya," celetuk Isna.
"Yaudah, kita sarapan, ya? Ayo, semuanya tunggu di luar! Biar Mama siapin dulu," ujar Fatimah meminta suami dan anaknya untuk keluar dari dapur.
***
Seluruh hidangan sudah disajikan di atas meja makan. Ada sup ceker, perkedel jagung, tempe, tahu goreng, kerupuk udang, dan tidak lupa sambal terasi sebagai pelengkap yang nikmat. Keluarga Isna pun menikmati hidangan itu sambil bercakap-cakap.
"Alhamdulillah, Pa! Pemasukan kita bulan ini meningkat pesat! Sepertinya, banyak pelanggan yang datang ke restoran kita!" ujar Fatimah memulai pembicaraan seraya mengucapkan syukur.
"Syukurlah, Ma!Papa juga ikut senang," sahut Fajar seraya menyendok sup buatan sang istri.
"Isna mau hadiah apa, Sayang?" tanya Fatimah pada anaknya yang masih sibuk melumat ceker ayam di kedua tangannya.
"Isna mau HP baru, Ma! Itu loh, yang bisa buat ngedit foto, biar Isna kelihatan tambah cantik, gitu!" terangnya sambil cengengesan.
"Isna, kamu itu udah cantik, Sayang. Nggak perlu diedit!" bantah Fajar.
"Tapi, Pa ā¦ wajahku ini banyak jerawatnya!" keluh Isna dan meletakkan tulang ceker yang telah habis digerogotinya.
"Jerawat itu tandanya kamu sudah dewasa. Dengerin kata Mama, orang yang baik akan menilai kamu dari kepribadian, bukan dari foto kamu, Sayang," jelas wanita berkerudung itu menasehati.
"Gitu, ya, Ma?" sahut Isna dengan senyum manisnya, kemudian langsung menyabet dua tempe goreng dan memakannya sekaligus.
Fatimah dan Fajar hanya tersenyum dan menggeleng melihat kelakuan anaknya itu.
***
Sejak Isna bermimpi buruk kemarin, entah kenapa dia menjadi sering merasa tidak enak. Sepulang sekolah, gadis itu membuka pintu rumah yang berlantai dua itu dan mendapati suasana yang begitu sunyi. Dia tahu bahwa kedua orang tuanya sedang sibuk bekerja di restoran dan baru akan pulang malam nanti. Sang kakak, Prima, yang sekarang sudah menikah pun tidak lagi tinggal di rumah ini dan menempati rumahnya sendiri yang berada tidak jauh dari rumah Isna.
āKok, lama-lama rumah ini semakin nyeremin, ya?' batin Isna saat bola matanya berselancar ke segala penjuru.
Dia pun segera menutup pintu dan perlahan berjalan menuju ke kamarnya. Saat kakinya menaiki anak tangga yang terbuat dari kayu itu satu per satu, mendadak bulu kuduknya meremang. Isna merasa seperti sedang diawasi. Gadis itu pun mengedarkan pandangannya dan terkejut melihat sesosok bayangan hitam sudah berdiri di depan jendela ruang tamu.
Tubuh Isna langsung gemetaran. Dia pun memalingkan wajahnya sambil membaca segala ayat Al-Quran yang pernah dihafalkannya. Isna mencoba mempercepat langkahnya, tetapi dia merasa langkahnya itu justru diam di tempat.
'Ya Allah, selamatkan hamba-Mu ini!' batin Isna menjerit, keringat dingin membasahi dahinya.
Kamar yang biasanya hanya berjarak beberapa meter itu, kini terasa jauh dari pandangannya. Isna tidak berhenti berdoa, sampai langkahnya berhenti di depan pintu kamar. Dia pun buru-buru masuk dan mengunci pintu kamarnya.
āAstagfirullahaladzim! Astagfirullahaladzim!ā Berulang kali Isna beristigfar.
Gadis itu benar-benar diliputi rasa takut yang teramat sangat dan tangannya masih gemetaran saat mengambil ponsel dari dalam tas sekolahnya. Gadis itu berniat mencari bantuan karena berada di rumah sendirian membuatnya ketakutan dan merasa hampir gila.
"Halo?! Assalamualaikum, Mbak Lastri?" ujarnya memanggil seseorang yang tidak lain adalah kakak iparnya yang tinggal di seberang jalan.
"Iya, Dek Is. Ada apa?" tanya wanita itu dari seberang telepon itu sambil memberikan sebotol susu kepada bayinya yang baru berusia tujuh bulan.
"Mbak Lastri ... bisa ke sini nggak? Isna takut di rumah sendirian!" rengeknya.
"Oh, gitu? Yaudah, Mbak ke situ sekarang. Kamu tunggu sebentar, ya?ā
"Iya, Mbak," sahut Isna dan mematikan ponsel.
Akhirnya dia pun lega karena akan ada orang yang datang menemaninya.
***
Isna segera mengganti bajunya dan mengambil buku PR dari dalam tas sekolahnya. Gadis berlesung pipi itu menunggu kedatangan Lastri sambil mengerjakan PR.
"Assalamualaikum!" Terdengar suara khas Lastri yang sedikit serak dari pintu depan.
"Waalaikumsalam!" sahut Isna dari dalam rumah dan bergegas membuka pintu.
Isna lega dan segera mempersilakan Lastri yang tengah menggendong bayi itu untuk masuk ke rumah. Namun, belum sempat duduk di sofa, bayi Lastri yang bernama Zara itu pun tiba-tiba menangis nyaring sekali seperti ketakutan merasakan ada sesuatu yang menyeramkan.
"Loh? Kenapa, Zara? Kenapa nangis?" tanya Lastri kebingungan sambil berusaha menenangkan bayinya itu.
"Mungkin Zara haus, Mbak," sahut Isna.
"Orang baru minum susu, kok!" bantah Lastri sambil menepuk bahu Zara yang tidak berhenti menangis.
"Oh, pasti popoknya basah, tuh," ujar Isna menebak-nebak.
"Sebelum ke sini, baru Mbak ganti juga. Aneh juga, ya? Kenapa tiba-tiba nangis gini?" sahut Lastri keheranan sambil terus berusaha menenangkan Zara dengan mengajak bayinya itu bermain.
Bola mata Isna melirik ke seluruh penjuru rumah. Dadanya berdesir melihat sosok menyeramkan yang tadi dilihatnya masih berdiri tegak di depan jendela ruang tamu. Sekilas terlihat seperti seorang wanita dengan wajah tidak jelas dan rambut yang acak-acakan. Isna pun kembali merasa ketakutan.
"Mbak Lastri, ayo ke rumah Mbak aja, yuk! Biar nanti Papa yang jemput aku," rengek Isna karena rasa takutnya mulai mengganggu.
"Oh gitu? Yaudah, ayo!" sahut Lastri dan mereka pun bergegas meninggalkan rumah itu setelah Isna mengunci pintu.
***
Setelah keluar dari rumah itu, tangisan Zara mereda dan bergeming, seakan merasa aman dari sesuatu menyeramkan yang tadi dirasakan bayi mungil itu.
"Loh? Zara, kok tiba-tiba diem? Ngerjain Mama, ya?" ujar Lastri keheranan.
Isna menoleh dan menatap rumah besar berlantai dua yang sudah lama ditempatinya itu. Terlihat jendela kamar di lantai dua terbuka, padahal sebelum pergi, dia yakin telah menutupnya. Tidak lama, terlihat sesosok wanita berbaju putih berdiri menatapnya dari jendela kamar. Isna pun bergidik ngeri dan menutup matanya karena tidak ingin melihat sosok tersebut. Akibatnya, Isna pun tersandung karena tidak melihat sebuah batu yang sedikit menonjol di depannya.
"Ouchhhh!!" rintih Isna menahan sakit karena ternyata lututnya berdarah.
"Hati-hati jalannya, Dek! Haduh! Jadi luka gini! Ayo, cepet ke rumah Mbak!" Wanita itu pun segera mengajak Isna ke rumahnya.
Bersambung.
Araka dan 6 lainnya memberi reputasi
7
Kutip
Balas