- Beranda
- Stories from the Heart
Kuntilanak Pemakan Bayi [Cerbung Horor]
...
TS
harrywjyy
Kuntilanak Pemakan Bayi [Cerbung Horor]
![Kuntilanak Pemakan Bayi [Cerbung Horor]](https://s.kaskus.id/images/2022/07/31/10600510_202207310531050465.jpg)
Sumber gambar: freepik
Salam kenal, semuanya. Aku mau mulai cerita bersambung yang lumayan panjang. Semoga lancar ya.
Cerita kali ini mengenai sepasang suami-istri yang menempati sebuah rumah baru. Sejak saat itu gangguan dari makhluk halus datang dan mengincar bayi dalam kandungan istrinya.
Langsung saja kita ke ceritanya!

Prolog:
Sore itu menjelang magrib. Adik melakukan sepeda motornya di jalanan desa. Di belakangnya ia membonceng sangat istri yang tengah mengandung anak pertama mereka. Keduanya baru pulang dari rumah sakit setelah melakukan kontrol kandungan bersama bidan.
Setelah melewati area persawahan, mereka berdua pun sampai di dekat rumah. Adi mengurangi kecepatan motornya lalu berhenti tepat di depan rumah. Sebuah rumah tua yang baru mereka beli sekitar satu bulan yang lalu. Rumah ini sangat nyaman ditempati. Apalagi di samping rumah berdiri sebuah pohon beringin besar yang rindang membuat udara sekitar menjadi sejuk.
"Mas, aku masuk duluan ya!" ucap Lia istri Adi yang sedang mengandung.
"Iya silahkan, aku di luar dulu mau cek mesin motor. Kamu istirahat ya," jawab Adi.
"Iya, Mas."
Lia pun berjalan masuk ke rumahnya sambil mengelus perut buncitnya. Hari mulai gelap, cahaya matahari mulai memudar di langit sana. Alunan doa dan sholawat sudah terdengar dari masjid terdekat. Menandakan segera datangnya waktu sholat magrib.
Lia berjalan masuk ke kamarnya, kemudian membuka pintu. Ia merasa heran sebab jendela kamar yang menghadap ke pohon beringin terbuka. Segera ia mendekat untuk menutupnya kembali.
"Ini siapa yang buka? Perasaan udah dikunci."
Saat hendak menutup pintu, tiba-tiba sebuah angin kencang masuk dan meniup badan Lia. Rambutnya terbang dan suatu aura negatif masuk.
"AAAAAA!!!" Lia berteriak sekuat tenaga.
Adi yang mendengar suara istrinya langsung berlari masuk ke rumah dengan wajah panik. Segera ia menuju ke kamar sumber suara. Di kamarnya, ia melihat sang istri terkulai lemas tak berdaya di lantai. Adi segera mendekatinya.
"Lia, kamu kenapa? Lia!" ucap Adi yang panik.
Adi kaget bukan main. Saat ia memegang perut istrinya, perut sang istri yang semula buncit tiba-tiba kempes. Bayi yang ada di dalam kandungannya menghilang entah ke mana. Awalnya ia tak percaya, tapi setelah beberapa kali mengecek. Ternyata benar, bayinya dalam kandungan istrinya hilang!
"Lia!!!"
Adi semakin histeris saat menyadari bahwa istrinya sudah tidak bernapas lagi.
Bersambung....
Untuk part-part selanjutnya, akan saya posting di INDEX di bawah ini.
⬇⬇⬇
Part 1 - Rumah Baru
Part 2 - Kakek Tua Yang Aneh
Part 3 - Barang Pemberian
Part 4 - Bersama Ranti
Part 5 - Sesuatu Di Balik Sesuatu
Part 6 - Penunggu Pohon Beringin
Part 7 - Anak Pertama
Part 8 - Kunjungan
Part 9 - Suara Tangis
Part 10 - Sikap Aneh
Part 11 - Hilang
Part 12 - Kendali Setan
Part 13 - Kebaya Putih
Part 14 - Ancaman Dalam Diam
Part 15 - Pasutri Licik
Part 16 - Masa Lalu Ranti
Part 17 - Rahasia
Part 18 - Skakmat
Part 19 - Ratu Kuntilanak
Part 20 - Kisah Sang Ratu
Part 21 - Kabur
Part 22 - Pengejaran
Part 23 - Ki Dana
Part 24 - Dendam
Part 25 - Penyelidikan
Part 26 - Kepala Desa Baru
Part 27 - Bangkitnya Sang Ratu Kuntilanak
Part 28 - Balas Dendam
Jangan Lupa Mampir ke Cerita Ane yang baru gan berjudul: Pocong Keliling
Bercerita tentang hantu pocong yang meneror seluruh warga desa setiap malam, ikuti keseruannya!

Klik link di bawah ini untuk membaca Pocong Keliling!
https://www.kaskus.co.id/show_post/6...2f0762992c9cb4
Terima kasih bagi yang sudah membaca!
Tunggu update dari ane gan! Mohon maaf bila ada kesalahan.


Diubah oleh harrywjyy 18-09-2022 20:40
sampeuk dan 15 lainnya memberi reputasi
16
15.7K
109
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
harrywjyy
#25
Part 14 - Ancaman Dalam Diam
“Pak, udah bener ya!” kata seorang pria sambil berjalan keluar dari rumah Abbas. Pria itu bernama Didi, seseorang yang dikenal sebagai ahli listrik di desa. Ketika ada masalah listrik di rumah warga, maka dialah orang yang paling dicari. Malam itu Didi dipanggil untuk memeriksa listrik rumah Abbas yang mendadak mati pada magrib tadi.
“Pak, ini ada sedikit.” Abbas memberikan sebuah amplop berisi uang.
“Ah, Pak. Jangan begitu, saya jadi gak enak sama Pak Guru. Jadi ngerepotin,” ucap Didi yang seolah tampak sungkan, akan tetapi tangannya dengan cepat menerima amplop itu dan memasukkan ke dalam sakunya. “Saya pulang ya,” tambah Didi.
“Mau dianter, Pak? Udah malem."
“Gak usah, Pak. Mau nongkrong dulu, saya pergi ya!” Didi lalu mulai berjalan meninggalkan rumah Abbas.
“Hati-hati, Pak!” ucap Abbas yang langsung masuk ke dalam rumahnya kembali.
Didi berjalan melewati pohon beringin yang sepi. Sebuah angin kencang tiba-tiba bertiup, membawa hawa dingin yang menusuk tulang. Didi memeluk dirinya sendiri sambil terus berjalan. Ranting-ranting pohon beringin bergerak, dedaunan berguguran. Didi mempercepat langkahnya.
Bukk!
“Eh, apaan tuh?” tanya Didi saat mendengar sebuah sesuatu yang tiba-tiba terjatuh dari atas pohon. Karena gelap, ia tak bisa melihat dengan jelas. Namun ia masih penasaran, Didi mendekat untuk melihat benda apa yang jatuuh dari atas pohon.
Samar-samar, Didi melihat sebuah bola yang tergeletak di sela-sela antara rumput dan semak-semak. Terlihat seperti buah durian, melihat itu Didi semakin bersemangat. Seperti kata orang, dia mendapat durian runtuh.
“Wah mantep nih, dapet duit, dapet durian juga!” Didi buru-buru mendekat untuk mengambil durian itu. Kakinya melangkah cepat, melewati semak kecil dan rumput-rumput pendek. Menerjang gelap dan dingin malam itu.
Saat sudah berada beberapa meter di dekat durian itu, Didi berhenti. Ia teringat sesuatu yang aneh. “Lah, ini kan pohon beringin. Kok bisa ada durian sih?” tanya Didi dalam hatinya. Lalu matanya kembali menatap ke buah yang jatuh itu.
Benda yang awalnya ia sangka adalah buah durian itu lalu berbalik arah dengan sendirinya. Barulah terlihat kalau buah durian itu bukanlah buah, melainkan kepala Kuntilanak tanpa badan. Kepala itu tergeletak di tengah rerumputan kecil. Wajahnya pucat dan matanya melotot, mulutnya menyeringai lebar ke arah Didi.
Mau durian, Mas? Hihihihihihi ....
Tanya kepala itu sambil tertawa nyaring dan melengking menusuk telinga. Melihat itu, Didi tak banyak bicara. “Setan!” Ia teriak sekali dan langsung mengeluarkan jurus kaki seribu. Ia berlari cepat sekali menelusuri jalan setapak desa.
Wajahnya pucat dan berkeringat. Beruntung, beberapa meter ia berlari, dirinya bertemu dengan seorang perempuan berjalan membelakangi Didi sambil membawa tas kecil di tangannya. Ia mengenal perempuan itu yang merupakan tetangganya.
“Sri! Sri! Tunggu! Bareng dong,” kata Didi sambil berlari menghampiri gadis itu.
Mendengar teriakan Didi, Sri berhenti berjalan. Wanita muda itu berdiri di posisinya sambil membelakangi tetangganya itu. Didi pun berhenti saat berada di belakang Sri, ia mengatur napasnya yang tersengal-sengal. Sambil memegangi lututnya yang terasa pegal setelah berlari sedemikian kencang.
“Bentar, Sri. Haduh,” kata Didi. “Tadi saya dikerjain sama Kuntilanak, sial!” kata Didi dengan wajah kesal sekaligus takut.
“Ah, masa sih, Mas?” tanya Sri sambil berbalik badan ke arah Didi. Sri menunjukkan wajahnya yang rusak dan berdarah-darah, lengkap dengan lubang-lubang kecil di pipi dan dahinya. Matanya melotot menatap Didi, dan mulutnya menyeringai lebar hingga ke telinga. “Hihihihihi.” Sosok yang menyerupai Sri itu tertawa melengking persis seperti Kuntilanak tadi.
“Hah! D-Dia lagi!” kata Didi yang wajahnya langsung pucat. Badannya lemas, matanya sayu lalu ia terjatuh pingsan saat itu juga.
Hihihihihihi ....
Sementara sosok menyeramkan itu terus tertawa puas, suaranya yang nyaring memecah kesunyian malam.
***
Malam itu, suasana sepi di rumah Abbas. Berbeda dengan kemarin di mana masih ada Rio dan keponakan-keponakannya. Kini hanya ada Abbas dan Nina yang tidur di kamarnya, dan juga Pasha yang berada di tengah-tengah mereka. Suasana begitu sunyi, bahkan terasa mencekam setelah apa yang terjadi magrib tadi. Abbas memilih untuk tidak menceritakan kepada Nina soal sosok berkebaya yang menggendong Pasha itu.
Lampu-lampu sudah dimatikan, termasuk lampu kamar. Hanya sedikit samar-samar cahaya dari lampu kamar mandi yang dibiarkan menyala. Dalam tidurnya, Nina bergerak ke sana sini dengan wajah tak nyaman.
Brakk!
Tiba-tiba jendela kamar terbuka dengan sendirinya, angin kencang pun masuk ke dalam kamar. Membawa serta daun-daun pohon beringin yang jatuh beterbangan. Suaranya yang terdengar keras membuat Nina terbangun.
“Hah?” Nina sedikit kaget.
Badannya tidak bisa bergerak, Nina merasa kaku di sekujur tubuhnya. Terasa sesak di dadanya, dan jantungnya berdebar-debar. Ada aura negatif yang entah bagaimana masuk ke dalam rumah. Nina bisa merasakannya, ia segera menoleh ke arah Pasha. Memastikan bayinya itu dalam keadaan aman.
Dari kolong tempat tidurnya, sebuah tangan pucat dengan kuku hitam panjang muncul. Sesosok Kuntilanak bergaun putih merangkak keluar dari bawah kasurnya. Nina melihatnya dengan wajah ketakutan. Sosok itu berdiri membelakangi dan memperlihatkan rambutnya yang panjang dan berantakan.
“Pergi! Pergi!” usir Nina dengan suara keras. Kemudian ia menoleh ke arah sang suami. “Sayang, Sayang! Bangun!” Nina berusaha membangunkannya, tapi Abbas seolah tak mendengar sama sekali. Suaminya itu terus terlelap dengan pulas. Berapa kali pun ia membangunkannya, Abbas tetap tidur.
Saat kembali menoleh kembali ke sosok itu, tiba-tiba si Kuntilanak sudah berada beberapa meter di depannya. Wajahnya yang pucat pasi dan rusak. Matanya yang hitam menatap tajam ke arah Nina.
Rambut gimbalnya menggantung helai demi helai di depan Nina. Wanita itu ingin berteriak, namun tidak bisa.
Anakku! Kuntilanak itu melihat ke arah Pasha yang sedang tidur.
Nina berusaha menggerakkan tubuhnya, mencoba melawan demi melindungi anaknya. Mulutnya komat-kamit membaca doa. Beberapa saat kemudian, tangannya perlahan bergerak. Kuntilanak itu terus menatap Pasha dengan penuh gairah, sampai-sampai lendir menjijikan keluar dari mulutnya.
Diam-diam tangan Nina bergerak ke bawah bantal, ia mengambil sesuatu. Tangan Kuntilanak yang kukunya panjang itu mulai bergerak untuk mengambil Pasha, tapi baru beberapa meter mendekatkan tangannya, ia tarik kembali tangannya itu. Seakan ada suatu energi yang membuat sosok itu ragu memegang Pasha.
“Mati kamu,” gumam Nina.
Dengan cepat, tangan Nina keluar dari bantal dan menyodorkan sebuah gunting kecil berwarna emas yang ia dapatkan dari Kakek Adi. Melihat gunting itu, Sang Kuntilanak berteriak dengan keras dan nyaring. Sampai-sampai mulutnya terbuka lebar hingga ke telinga.
Nina meringis, tak kuasa ia mendengar suara jeritan makhluk itu. Segera ia tutup telinga dan matanya. Setelah beberapa detik, suara itu kembali menghilang. Nina membuka mata, Kuntilanak itu sudah tidak ada. Seluruh badan Nina kini sudah bisa bergerak. Ia berdiri dan berlari ke arah jendela. Buru-buru ia menutupnya.
Setelah tertutup, Nina kembali berbaring kembali di kasur. Dengan posisi miring, ia tatap Pasha anaknya yang sedang terlelap. Tangannya dengan lembut mengelus kepala sang anak. Air matanya mulai menetes.
“Mama gak akan biarkan apa pun atau siapa pun ganggu kamu, Nak!” ucap Nina yang kemudian mengecup kening anaknya.
Setelah itu, Nina kembali tidur dengan nyaman. Sambil menyimpan gunting yang jadi senjatanya apabila makhluk itu kembali datang mengganggu.
“Pak, ini ada sedikit.” Abbas memberikan sebuah amplop berisi uang.
“Ah, Pak. Jangan begitu, saya jadi gak enak sama Pak Guru. Jadi ngerepotin,” ucap Didi yang seolah tampak sungkan, akan tetapi tangannya dengan cepat menerima amplop itu dan memasukkan ke dalam sakunya. “Saya pulang ya,” tambah Didi.
“Mau dianter, Pak? Udah malem."
“Gak usah, Pak. Mau nongkrong dulu, saya pergi ya!” Didi lalu mulai berjalan meninggalkan rumah Abbas.
“Hati-hati, Pak!” ucap Abbas yang langsung masuk ke dalam rumahnya kembali.
Didi berjalan melewati pohon beringin yang sepi. Sebuah angin kencang tiba-tiba bertiup, membawa hawa dingin yang menusuk tulang. Didi memeluk dirinya sendiri sambil terus berjalan. Ranting-ranting pohon beringin bergerak, dedaunan berguguran. Didi mempercepat langkahnya.
Bukk!
“Eh, apaan tuh?” tanya Didi saat mendengar sebuah sesuatu yang tiba-tiba terjatuh dari atas pohon. Karena gelap, ia tak bisa melihat dengan jelas. Namun ia masih penasaran, Didi mendekat untuk melihat benda apa yang jatuuh dari atas pohon.
Samar-samar, Didi melihat sebuah bola yang tergeletak di sela-sela antara rumput dan semak-semak. Terlihat seperti buah durian, melihat itu Didi semakin bersemangat. Seperti kata orang, dia mendapat durian runtuh.
“Wah mantep nih, dapet duit, dapet durian juga!” Didi buru-buru mendekat untuk mengambil durian itu. Kakinya melangkah cepat, melewati semak kecil dan rumput-rumput pendek. Menerjang gelap dan dingin malam itu.
Saat sudah berada beberapa meter di dekat durian itu, Didi berhenti. Ia teringat sesuatu yang aneh. “Lah, ini kan pohon beringin. Kok bisa ada durian sih?” tanya Didi dalam hatinya. Lalu matanya kembali menatap ke buah yang jatuh itu.
Benda yang awalnya ia sangka adalah buah durian itu lalu berbalik arah dengan sendirinya. Barulah terlihat kalau buah durian itu bukanlah buah, melainkan kepala Kuntilanak tanpa badan. Kepala itu tergeletak di tengah rerumputan kecil. Wajahnya pucat dan matanya melotot, mulutnya menyeringai lebar ke arah Didi.
Mau durian, Mas? Hihihihihihi ....
Tanya kepala itu sambil tertawa nyaring dan melengking menusuk telinga. Melihat itu, Didi tak banyak bicara. “Setan!” Ia teriak sekali dan langsung mengeluarkan jurus kaki seribu. Ia berlari cepat sekali menelusuri jalan setapak desa.
Wajahnya pucat dan berkeringat. Beruntung, beberapa meter ia berlari, dirinya bertemu dengan seorang perempuan berjalan membelakangi Didi sambil membawa tas kecil di tangannya. Ia mengenal perempuan itu yang merupakan tetangganya.
“Sri! Sri! Tunggu! Bareng dong,” kata Didi sambil berlari menghampiri gadis itu.
Mendengar teriakan Didi, Sri berhenti berjalan. Wanita muda itu berdiri di posisinya sambil membelakangi tetangganya itu. Didi pun berhenti saat berada di belakang Sri, ia mengatur napasnya yang tersengal-sengal. Sambil memegangi lututnya yang terasa pegal setelah berlari sedemikian kencang.
“Bentar, Sri. Haduh,” kata Didi. “Tadi saya dikerjain sama Kuntilanak, sial!” kata Didi dengan wajah kesal sekaligus takut.
“Ah, masa sih, Mas?” tanya Sri sambil berbalik badan ke arah Didi. Sri menunjukkan wajahnya yang rusak dan berdarah-darah, lengkap dengan lubang-lubang kecil di pipi dan dahinya. Matanya melotot menatap Didi, dan mulutnya menyeringai lebar hingga ke telinga. “Hihihihihi.” Sosok yang menyerupai Sri itu tertawa melengking persis seperti Kuntilanak tadi.
“Hah! D-Dia lagi!” kata Didi yang wajahnya langsung pucat. Badannya lemas, matanya sayu lalu ia terjatuh pingsan saat itu juga.
Hihihihihihi ....
Sementara sosok menyeramkan itu terus tertawa puas, suaranya yang nyaring memecah kesunyian malam.
***
Malam itu, suasana sepi di rumah Abbas. Berbeda dengan kemarin di mana masih ada Rio dan keponakan-keponakannya. Kini hanya ada Abbas dan Nina yang tidur di kamarnya, dan juga Pasha yang berada di tengah-tengah mereka. Suasana begitu sunyi, bahkan terasa mencekam setelah apa yang terjadi magrib tadi. Abbas memilih untuk tidak menceritakan kepada Nina soal sosok berkebaya yang menggendong Pasha itu.
Lampu-lampu sudah dimatikan, termasuk lampu kamar. Hanya sedikit samar-samar cahaya dari lampu kamar mandi yang dibiarkan menyala. Dalam tidurnya, Nina bergerak ke sana sini dengan wajah tak nyaman.
Brakk!
Tiba-tiba jendela kamar terbuka dengan sendirinya, angin kencang pun masuk ke dalam kamar. Membawa serta daun-daun pohon beringin yang jatuh beterbangan. Suaranya yang terdengar keras membuat Nina terbangun.
“Hah?” Nina sedikit kaget.
Badannya tidak bisa bergerak, Nina merasa kaku di sekujur tubuhnya. Terasa sesak di dadanya, dan jantungnya berdebar-debar. Ada aura negatif yang entah bagaimana masuk ke dalam rumah. Nina bisa merasakannya, ia segera menoleh ke arah Pasha. Memastikan bayinya itu dalam keadaan aman.
Dari kolong tempat tidurnya, sebuah tangan pucat dengan kuku hitam panjang muncul. Sesosok Kuntilanak bergaun putih merangkak keluar dari bawah kasurnya. Nina melihatnya dengan wajah ketakutan. Sosok itu berdiri membelakangi dan memperlihatkan rambutnya yang panjang dan berantakan.
“Pergi! Pergi!” usir Nina dengan suara keras. Kemudian ia menoleh ke arah sang suami. “Sayang, Sayang! Bangun!” Nina berusaha membangunkannya, tapi Abbas seolah tak mendengar sama sekali. Suaminya itu terus terlelap dengan pulas. Berapa kali pun ia membangunkannya, Abbas tetap tidur.
Saat kembali menoleh kembali ke sosok itu, tiba-tiba si Kuntilanak sudah berada beberapa meter di depannya. Wajahnya yang pucat pasi dan rusak. Matanya yang hitam menatap tajam ke arah Nina.
Rambut gimbalnya menggantung helai demi helai di depan Nina. Wanita itu ingin berteriak, namun tidak bisa.
Anakku! Kuntilanak itu melihat ke arah Pasha yang sedang tidur.
Nina berusaha menggerakkan tubuhnya, mencoba melawan demi melindungi anaknya. Mulutnya komat-kamit membaca doa. Beberapa saat kemudian, tangannya perlahan bergerak. Kuntilanak itu terus menatap Pasha dengan penuh gairah, sampai-sampai lendir menjijikan keluar dari mulutnya.
Diam-diam tangan Nina bergerak ke bawah bantal, ia mengambil sesuatu. Tangan Kuntilanak yang kukunya panjang itu mulai bergerak untuk mengambil Pasha, tapi baru beberapa meter mendekatkan tangannya, ia tarik kembali tangannya itu. Seakan ada suatu energi yang membuat sosok itu ragu memegang Pasha.
“Mati kamu,” gumam Nina.
Dengan cepat, tangan Nina keluar dari bantal dan menyodorkan sebuah gunting kecil berwarna emas yang ia dapatkan dari Kakek Adi. Melihat gunting itu, Sang Kuntilanak berteriak dengan keras dan nyaring. Sampai-sampai mulutnya terbuka lebar hingga ke telinga.
Nina meringis, tak kuasa ia mendengar suara jeritan makhluk itu. Segera ia tutup telinga dan matanya. Setelah beberapa detik, suara itu kembali menghilang. Nina membuka mata, Kuntilanak itu sudah tidak ada. Seluruh badan Nina kini sudah bisa bergerak. Ia berdiri dan berlari ke arah jendela. Buru-buru ia menutupnya.
Setelah tertutup, Nina kembali berbaring kembali di kasur. Dengan posisi miring, ia tatap Pasha anaknya yang sedang terlelap. Tangannya dengan lembut mengelus kepala sang anak. Air matanya mulai menetes.
“Mama gak akan biarkan apa pun atau siapa pun ganggu kamu, Nak!” ucap Nina yang kemudian mengecup kening anaknya.
Setelah itu, Nina kembali tidur dengan nyaman. Sambil menyimpan gunting yang jadi senjatanya apabila makhluk itu kembali datang mengganggu.
hernawan911 dan 9 lainnya memberi reputasi
10
Tutup