12 Desember 2016, Senin.
Sekitar jam enam sore, aku sudah berada di Bandara Soekarno Hatta Jakarta terminal 2F. Berada di dalamnya meski beberapa saat, membuatku seketika percaya bahwa Bandara Soekarno Hatta adalah bandara terluas di Indonesia. Sebab, berjalan dari tempat dimana pesawat parkir ke area kedatangan saja membutuhkan waktu sekitar 30 menit kurang sedikit! Aku yang belum pernah kesana sama sekali, hanya bisa mengikuti orang-orang yang berada di depanku sembari melihat penunjuk arah yang berada di langit-langitnya. Kalau engga gitu, pasti akunya nyasar. Semisal nyasar, yaa gapapa sih soalnya sore itu aku ga sendirian, aku berdua dengan Lia, temanku yang juga diundang dalam proses rekrutmen pramugari (FA) di Jakarta, jadi malunya ga sendirian hehe. Menurut cerita Lia, dia udah sering ke Jakarta untuk ikutan rekrutmen FA gini, hanya saja, dia selalu naik maskapai sebelah yang
landingnya di terminal 1.
“Ternyata terminal 1 sama 2 beda banget ya!!”, katanya saat kami berjalan perlahan dan melihat-lihat suasana di sekitar yang menurutku auranya penuh dengan aura positif dan semangat.
“Emang iya? Aku baru pertama kali kesini soalnya hehehe..”, jawabku sembari menggerek koper punya teman kerjaku. Ohya, selain meminjam koper, aku juga meminjam tas untuk aku pake selama rekrutmen -karena tas yang aku punya hanyalah tas ransel-, aku juga meminjam celana bahan dan juga kemeja. Kayanya ga perlu aku kasih tau alasan kenapa aku meminjam semuanya itu, selain karena waktu persiapan yang singkat, yups betul!!! Karena uang aku ga banyak. Hehehe.
Alhamdulillah teman-teman kantorku baik-baik banget.
“Udah Nes ga usah beli, sayang duitnya. Sini aku pinjemin koper sama tasnya!!”
“Kamu ada kemeja buat ganti ga? Soalnya aku denger kabar, tesnya 4 harian. Nih kemejaku banyak. Pinjam aja yang mau kamu pake!”
“Hm kamu mau cari celana bahan? Aku punya! Nanti kamu ke tempatku aja!”
Akhirnya, sampai juga di kedatangan. Kami yang sempat bingung lewat pintu keluar yang kanan atau kiri, memilih melewati pintu keluar sebelah kanan. Karena kata Lia, pasti ada banyak outlet makanan disana, karena posisinya yang berada di tengah-tengah.
“Mba Anes, kita dijemput dimana ya sama mobil hotelnya?”, tanya Lia, si perempuan berparas cantik dengan rambut sebahu, yang aku yakini dia bakal lolos untuk jadi FA.
“Katanya sih kita disuruh nunggu di depan Solaria. Mau nunggu sekalian makan malem disana ga? Karena kata si Mba resepsionis hotel, si Bapak yang jemput kita masih perjalanan nganter tamu yang lainnya dari bandara ke hotel saat kita baru
landing.”
“Ohgitu. Kayanya bakal lama sih, yaudah yuk Mba makan disana sekalian nunggu.”, ujarnya lagi.
Sembari makan dan menunggu jemputan, kami banyak mengobrol. Dia yang udah sering ngikutin perekrutan FA, sedikit banyak menceritakan proses perekrutannya seperti apa. Bahkan, menurut ceritanya, biasanya akan ada banyak peminat dan mereka harus mengantri panjang, panas-panasan, dan ga menutup kemungkinan banyak yang pingsan karena kelelahan.
“Ah, kayanya kita engga bakal gitu deh, Li. Kan kitanya diundang, artinya kita sebagai tamu dong!! Masa iya tamu disuruh antri berdiri panas-panasan?”, kataku dengan jumawa. Dan kejumawaanku itu langsung ditepis dengan sekencang-kencangnya di keesokan harinya saat aku sedang berdiri di bawah tenda dengan ribuan peserta. Aku yang ga biasa pakai sepatu heels tujuhsenti berlama-lama, mulai merasa pegal di betis dan tumit. Meski aku mengantri dibawah tenda, panasnya tetap membuatku mandi keringat. Mana lagi aku sama sekali ga bawa air minum, asli namanya kerongkongan ini kering kerontang.
Sekitar dua jam aku mengantri, akhirnya aku disuruh masuk ke aula dan mengantri disana. Lumayan, di dalam aula adem karena ada beberapa kipas angin besar dan juga
Air Conditioner (AC) yang sama-sama dinyalakan. Aku yang terpisah antrian dengan Lia, melihatnya sudah duduk di sisi sebelah kanan aula. Dan aku yang berada di sisi kiri aula -yang masih berdiri- agak bingung, kenapa Lia udah duduk aja.
“Selanjutnya!!”, teriak seorang perempuan berkerudung yang tengah memegang beberapa tumpukan kertas dan berdiri disamping timbangan berat badan dan alat pengukur tinggi badan.
Di sisi kiri aula ini, ada lima titik untuk mengukur berat dan tinggi badan. Aku saat itu berada di titik ke tiga, di tengah, dan sering kali mendengar :
“Maaf, berat badan dan tinggi kamu ga ideal, mungkin bisa coba dilain waktu ya. Silahkan, pintu keluar ada di belakang!”, ucap salah satu tim rekrutmen siang itu dengan tegas.
Aku makin deg-degan dibuatnya.
“Selamat siang, Kak!”, sapaku setelah berada di samping Kak Hilda, yang namanya bisa ku lihat dari
id card yang dikalungkannya. Aku memberikan map berisi CV dan dokumen pendukung lainnya pada Kak Hilda.
“Siang. Nomor urut 399 ya?”, katanya sembari menulis nomor urutku pada mapku setelah dia melihat nomor urutku yang terpasang di kantong kiri kemejaku. “Yuk ukur berat badan dulu.”, perintahnya. Dan aku segera membuka sepatu heelsku dan merasa sedikit lega hehehe. Mungkin jika kakiku bisa bicara, mereka akan berteriak :
Aku benci sepatu hak tinggi!’
Setelahnya, aku naik ke atas timbangan digital berwarna hitam itu.
“Berat 51kg.”, katanya lagi kemudian menuliskannya pada sebuah formulir. “Sekarang kita ukur tinggi badannya ya!”, lanjutnya. Aku mengiyakan.
“Tinggi 165cm yaa. Silahkan duduk di sisi kiri aula Kak, mohon ditunggu untuk tes selanjutnya ya.”, ucapnya sembari tersenyum dan kembali menulis di formulir yang sama.
“Baik, Kak. Terima kasih.”, aku membalas senyumannya.
Ketika itu, aku sedikit sumringah karena akhirnya aku bisa duduk setelah berjam-jam berdiri kepanasan. Lia yang mengetahui aku lolos di tahap pertama, segera melambai-lambaikan tangannya, menyuruhku mendekatinya, dan duduk disampingnya.
“Li, bener apa yang kamu bilang ternyata……”, bisikku. Dia terbahak mendengarnya.
Ternyata, mau diundang atau engga dalam sebuah perekrutan, kami semua harus sama-sama ngantri dan panas-panasan.
“Mba Nes, kenalin ini Shasa dari perusahaan kita juga loh, dia dari Lubuk Linggau.”, Lia mengenalkan seseorang berparas manis dengan gigi gingsulnya yang membuatnya terlihat makin imut saat tersenyum.
“Oh Haiiii Shasa, aku Anes, dari Surabaya juga sama dengan Lia. Salam kenal yaa”, sapaku antusias.
“Hai Kak, aku Shasa dari Linggau.”, Shasa menjawabnya dengan singkat tapi meninggalkan keanggunan didalamnya.
“Kak Aness!!!!”, teriak seseorang dari belakang membuat perbincangan aku dan Shasa terputus! ‘
Sepertinya aku mengenal suara ini’, bathinku. Aku menoleh dan benar!
“Yaampun Deva!! Kamu juga ikutan? Kamu tinggal dimana di Jakarta?”, tanyaku berusaha menahan suaraku agar tidak berteriak histeris.
“Di tempat temen, Kak. Tapi dia pagi ini lagi terbang sampe ntar malem. Jadi aku……”
“Yaudah nanti ikut kami aja ke hotel, istirahat di kamar aku sama Lia.”, sambungku yang tahu kemana arah bicara Deva. Deva ini staff dari Surabaya juga, barengan sama Lia masuk perusahaannya. Dia yang kurang beruntung, ikut perekrutan FA ini dengan biaya sendiri. Tapi semua itu tidak membuatnya menyerah.
“Beneran?? Asiiiikkk!!”
“Deva, kenalin Shasa dari Lubuk Linggau.”, lanjutku memperkenalkannya pada Shasa yang duduk di sebelah Lia.
Kami berempat pun saling mengobrol dan sesekali saling diam karena mulai bosan menunggu tes selanjutnya yang cukup lama. Ditambah lagi kepotong jam istirahat makan siang. Jadi makin-makin deh lamanya. Tapi karena saat itu semangatku lagi ada di puncak-puncaknya, hanya bisa sabar menunggu dan menghabiskan sekitar 5 gelas air aq*a yang disediakan oleh tim rekrutmen hari itu. Tepat setelah makan siang, Lia, Shasa, Deva, dan 2 kandidat lainnya dipanggil lebih dulu untuk ke lantai dua. Sedangkan aku kebagian di jam 13.40an.
Aku dan empat kandidat lain yang tidak aku kenal disuruh naik ke lantai dua. Aku yang sama sekali belum pernah mengikuti proses rekrutmen FA, benar-benar ga ada bayangan aku bentar lagi harus apa dan ngapain.
Tepat di pintu masuk ruangan di lantai dua, kami berlima diminta untuk segera masuk dan berdiri menghadap orang-orang berpengaruh sepertinya. Bisa dibilang mereka yang jumlahnya sekitar tujuh orang ini seperti juri dalam sebuah ajang pertunjukan. Dilihat dari penampilannya yang sungguh ON, maksudnya, dari make-up wajah dan rambut yang sangat cantik dan rapi serta pakaian yang dikenakan juga tampak berbeda dari tim rekrutmen yang kompak mengenakan kemeja putih, membuatku menilai sepertinya mereka adalah para senior FA.
Bohong jika aku ga deg-degan saat berdiri di hadapan mereka semua. Ini adalah aku yang ga seperti biasanya.
“Silahkan perkenalkan diri kalian satu-satu dengan menyebutkan nomor urut!”, ucap salah satu dari mereka yang duduknya berada di tengah menggunakan pengeras suara. Kami memperkenalkan diri kami bergantian dengan suara lantang, sebab jarak kami dengan para senior FA cukup jauh, jika berbicara dengan suara normal, pasti tidak akan terdengar. Aku yang berada diurutan kedua, memperkenalkan diri seadanya dan sewajarnya alias singkat padat jelas. Hampir samalah dengan peserta sebelumnya saat memperkenalkan diri. Namun, peserta ketiga sampai kelima, mereka memperkenalkan diri menggunakan Bahasa Inggris. Wiiih, keren banget deh mereka, totalitas banget!!
Setelah diminta memperkenalkan diri, kami diminta untuk berjalan satu-satu di
red carpet yang letaknya tak jauh di depan kami. Aku yang mendapat bocoran dari Lia untuk berjalan seperti biasanya saat diminta untuk berjalan, bukan seperti seorang model yang sedang
catwalk di
red carpet, agak kesusahan. Kesusahannya karena seluruh tubuhku gemetaran!! Demam panggung rupanya aku hahahaha. Untungnya aku bisa mengontrolnya dan bisa berjalan seperti biasa saat giliranku tiba. Tapi lagi-lagi, hanya aku yang berjalan biasa, mereka berempat berjalan layaknya seorang model.
“Huhuhu ini aku yang salah nih!! Keknya aku kemarin salah denger apa yang dikasih tau Lia deh…”, bathinku.
Tak berhenti disitu, kami kembali disuruh berjalan satu per satu mendekat ke meja para senior FA. Kemudian diminta untuk menjulurkan kedua tangan ke depan.
“Coba telapak tangannya menghadap keatas!”, kata salah seorang dari mereka.
“Sekarang telapak tangannya menghadap kebawah!”.
Saat aku disuruh begitu, mereka benar-benar melihat bentuk tanganku.
“Sekarang coba senyum.”, perintah yang lainnya.
Setelahnya, mereka mengerumuniku, melihat kaki dan tanganku apakah ada bekas luka dan semacamnya. Juga melihat wajahku, memastikan ada jerawat atau engga. Aku yang diperhatikan dengan jarak dekat, sungguh sangat gugup dibuatnya. Alhamdulillahnya semua itu berakhir saat mereka mulai sibuk mencatat sesuatu.
“Oke Anes,
thank you ya. Yuk selanjutnya!!!”, mereka pun kompak kembali ke tempat duduk mereka.
Peserta ketiga dan keempat, aman. Namun, saat peserta kelima mendapatkan gilirannya dikerumuni oleh para senior FA itu, salah satu dari mereka mengatakan :
“Ih kamu lagi bruntusan ya?!”
Deg!! Aku kaget. Gila, sejeli itu diliatnya yaa. Dari sana aku menyadari, bahwa di tahap ini, yang dilihat dan yang paling penting adalah
performancenya. Aku yang hanya bermodal berpenampilan rapi dan wangi tanpa make up wajah berlebihan, hanya bisa pasrah dan sangat ikhlas jika tidak lolos.
“Oke guys! Kalian udah boleh pulang. Pengumuman hasil tes hari ini, bisa dilihat di link ini ya. Nanti akan diumumkan sekitar jam lima sore.
Thanks yaaa semuanya!!”, kata Kak Hilda saat kami sudah keluar dari ruangan.
Kami pun mulai menuruni tangga dan berpencar setelahnya. Saat aku berjalan menuju tempat duduk Lia, aku sempat menghitung kandidat yang belum ke lantai dua untuk diuji mental, jumlahnya sekitar 30 orang. ‘
Goodluck ya buat kalian!!’, ujarku membathin.
“Shasa uda balik duluan, Li?”, tanyaku setibanya di sebelah Lia.
“Iya, dia duluan. Butuh istirahat katanya.”
“Ohgitu. Btw makasih udah nungguin aku ya Li.”
“Sama-sama. Tadi sebenernya mau ninggalin, tapi masa iya aku ninggalin senior wkwkwk”
“Hahahaha ntar aku galakin yaa kalau ditinggalin? Ohya, si Deva kemana?” tanyaku.
“Lagi ke toilet kayanya. Ohya, gimana Mba tes
performancenya?”
“Duh ga tau deh. Udah kelar aja, alhamdulillah banget. Sumpah deg-degan ga karuan.”
“Hahahaha.. Sama ih, aku juga. Selama aku ikutan rekrutmen FA, ga pernah setegang ini loh!!”, nah kan! Ternyata emang semenegangkan itu!!
“Huhu rasanya badan kaku dan sedingin es.”, timpalku.
“Sama!! Aku bahkan ga bisa ngelangkahin kaki tadi. Hahahaha!”
“Mba Anes udah kelar tesnya?”, tanya Deva yang baru saja dari toilet, memotong pembicaraan asik antara aku dan Lia.
“Udah dong!! Yaudah yuk, kita balik ke hotel! Mau berenang ga kalian?”, tawarku.
“Wah boleh juga tuh berenang setelah melewati hari yang menegangkan!”
“Hahaha!!”, serempak kami tertawa terbahak.
###