November 2016

Setelah satu bulan penuh selama Oktober sibuk membuat skripsi sampai pagi, akhirnya di minggu pertama bulan November, bab satu sampai bab tiga skripsiku kelar juga dibuat. Dan aku menyerahkan sekitar 50 lembar skripsiku itu kepada pihak kampus yang kemudian pihak kampus menindaklanjuti dengan memberikan pernyataan tertulis siapa dosen pembimbing utama dan dosen pembantu pembimbingku. Dua hari setelah aku menerima surat pernyataan tersebut, aku segera membuat janji temu dengan dosen pembimbing utamaku.
Aku datang lebih awal dari janji temu, tapi sudah banyak mahasiswa yang mengantri bertemu dengan dosen pembimbingku.
Di hari pertama aku mendapat bimbingan skripsi, ada banyak yang harus aku revisi ternyata. Tapi beliau bilang, aku cukup lumayan sebab revisiannya ga sebanyak mahasiswa lainnya saat di pertemuan pertama. Saat itu aku langsung teringat Agis, Ibu Dosen pembimbing pertamaku, yang sepertinya lebih layak mendapatkan pujian itu dibandingkan aku.

Sepulang dari kampus hari itu, aku langsung menuju kantorku untuk bekerja di shift siang. Alhamdulillahnya saat itu aku di bagian call center, jadi aku bisa sedikit lebih santai kerjanya.
Di kantor, aku sama sekali ga berani buka lembaran skripsiku yang siang tadi sudah penuh dengan coretan untuk direvisi. Agar akunya ga gabut di tengah sepinya panggilan telepon, aku selalu berinisiatif untuk latian menghitung cepat dalam rangka membiasakan diri dalam psikotes saat perekrutan pramugari berlangsung nanti -semisal aku lolos di tahap itu-. Terkadang aku juga latihan menggambar orang, sebab aku yang hanya bisa menggambar dua gunung dengan matahari ditengahnya, menyadari dengan sangat bahwa aku butuh latihan itu hehe.
Sejam sebelum kantor tutup, ada panggilan telepon dari penumpang, aku dan rekanku di call center hari itu, Mas Yono namanya, selalu berebutan saat mengangkat telpon. Saat itu, aku kalah cepet sepersekian detik darinya.

“Sxxxxx Air selamat malam, dengan Yono bisa dibantu?”, katanya memberikan salam pembuka standar maskapai perusahaanku sembari melet-melet ngecengin aku yang kalah cepat dengan dia.

“Iya, benar. Bisa dibantu, Pak?”

“Sebelumnya dengan Bapak siapa saya berbicara?”

“Oh, baik. Ditunggu sebentar ya Pak, akan saya sambungkan dengan Anes.”, Mas Yono menghold panggilannya.

“Nes, ada penumpang minta disambungin ke kamu.”

“Pak Agung bukan?”

“Bukan, dari Pak Ibor.”, kata Mas Yono. Aku pura-pura baik-baik saja mendengarnya. Soalnya kalau sampai dia tau siapa Ibor sebenarnya, dia pasti akan nyebarin gosip ke seluruh karyawan. Eh tapi, emang yang punya nama Ibor hanya dia?

“Oh Oke.”

“Aku sambungin ke kamu ya?”

“Sip. Makasih Mas Yon!!
Sxxxx Air selamat malam, dengan Anes bisa dibantu?”

“Malam, hai Nes.. ini aku Ibor.

“Oh hai…”

“Gimana kabar kamu?”

“Alhamdulillah baik. Mas?”, Mas Yono yang mendengar percakapanku, mulai menoleh padaku dan senyum-senyum ga jelas, sepertinya dia lagi siap-siap mau jailin aku.

“Baik juga. Ohya bulan lalu, aku kirim chat lewat line. Kenapa hanya dibaca?”

“Hm ohya, maaf ya, aku lupa bales.”

“Dek…”

“Iya?”

“Boleh Mas nanti telpon kamu?”

“Hmm boleh, tapi aku bisa ngangkat telpon jam 21.30. Dan hanya punya waktu 15 menit. Gapapa kan?”

“Gapapa. Nomor HP adek berapa?”

“Nanti aku kirim di line ya?”

“Oke. Selamat kerja ya.”

“Makasih..”

Tepat setelah aku menutup gagang telepon, Mas Yono langsung ngecie-ciein. Fix, besok semua orang di kantor ini pasti bakal tau kalau aku nerima telpon dari seorang kenalan. Huhuhu.



Sekitar jam 20.30, aku sudah berada di kamarku. Agis yang terlihat baru saja dari kamar mandi, berdiri tepat di depan pintu.

“Ness!! Gimana tadi bimbingan pertamanya?”

“Agiiiiis!!! Alhamdulillah ada beberapa yang harus ku revisi.”

“Mana, sini ku lihat!!”, ujar Agis antusias. Aku pun segera memberikan lembaran skripsiku padanya. Dia segera membacanya dengan penuh keseriusan.

“Kayanya keraguan kita didenger sama dosenku deh, Gis. Sadar ga sih, yang direvisi ini yang sebelumnya kita raguin?”

“Iya yaaaa?? Hm menurut aku, ide kamu yang sebelumnya sebenernya oke sih Nes, coba aja itu dituangin.”

“Gitu yaa?”

“Yups, ini bagian yang ini kenapa Nes harus direvisi? Kog ga ada keterangannya?”

“Kata dosenku, terlalu belibet kalimatnya. Perlu diringkas dan bikin kalimat yang mudah dipahami.”

“Hmm iya ya? Oke sih ini Nes, ga banyak-banyak amat yang perlu kamu revisi.”, kata Agis sembari membuka lembaran tiap lembaran dengan cermat.

“Iyaaa, alhamdulillah. Thanks banget ya Gis, udah banyak bantu aku.”

“Sama-sama, Nes.. Yaudah aku balik ke kamar ya, Randi mau nelpon soalnya.”

“Iyaaa, salam ya buat Bang Randi.”



Mendekati pukul 21.30 pada malam itu, badanku menggigil tiba-tiba. Aku yang menyadari kenapa aku begitu, berusaha untuk menarik napas dalam-dalam, dan membuangnya perlahan.

Aku yang masih di depan laptop, mulai panik dan bolak-balik melihat jam di ponsel dan tepat disaat itu juga, ada nomor tak dikenal menelponku. Aku segera menjawabnya tanpa banyak berpikir.

“Halo…”, aku menjawab panggilan itu.

“Halo, ini Mas, Dek..”

“Iya, Mas.”

“Kamu lagi sibuk?”

“Iyaa, lumayan. Mas lagi dimana?”

“Mas lagi di Bandung. Lagi ada pelatihan disini untuk beberapa bulan ke depan.”

“Oh..”

“Kamu udah punya pacar, Dek?”

“Hm baru aja putus.”

“Ohya?”

“Kalau Mas? Masih sama Mba itu?”

“Mas juga udah putus sama dia.”

“Ohya?”

Dia tak menjawab. Kami pun sama-sama terdiam.

“Dek, kalau kita mengulang semuanya dari awal, adek mau ga kira-kira?”

“Ngulang semuanya dari awal? Maksudnya aku harus nunggu tujuh tahun lebih lagi gitu? Sampe aku tua dong kalau gituuuu…”

“Haha bukan gitu.. Kalau kita jalin hubungan yang spesial seperti yang kita inginkan sejak beberapa tahun lalu, menurut adek gimana?”

“Hmm gimana ya. Jujur aku belum kepikiran sampe situ sih, Mas.”

Kami lagi-lagi saling terdiam.

“Dek…”, panggilnya.

“Iya?”

“Mas sayang adek.”, ujarnya menurunkan volume suaranya.

“Jangan ngomong gitu lah, hmmm?”

“Sekarang, gantian Mas yang bakal nunggu adek.”

“Jangan ngebual gitu Mas. Btw, Mas sakit ya? Kog suaranya serak gitu?”

“Lagi demam doang sih, tenggorokan Mas juga kaya kering gitu.”

“Yaudah istirahat aja kalau gitu ya?”

“Dek, kata adek, malam ini kita telponan 15 menit aja? Kenapa gitu?”, dia pura-pura tak mendengarkan perkataanku yang memintanya untuk segera istirahat.

“Ada yang harus aku kerjakan.”

“Hm gitu. Boleh ga besok dan besoknya lagi dan besok-besoknya lagi Mas telpon?”

“Boleh, tapi…”

“Waktunya 15 menit aja?”

“Hehehe iyaaa.”

“Gapapa!”, jawabnya.

Setelahnya, pembicaraan kami yang awalnya canggung, semakin hari menjadi lebih hangat dan berisi.

“Dek, dulu kamu nolak Mas, karena Mas gendut kan?”

“Dih, kenapa mikir gitu sih?”

“Kalau Mas sekarang masih gendut, pasti kamu tetep bakal nolak Mas kan?”

“Engga gitu Mas… Kan udah aku kasih tau dulu, kenapa aku nolak Mas..”

“Hehehe iya iya percaya. Dek, nanti sebelum natal, bisa ngajuin cuti ga kamu?”

“Tanggal berapa?”

“23 Desember..”

“Kenapa emang?”

“Papa adek kan udah kenal Mas, sekarang gantian, Mas mau ngenalin adek ke Mama dan Papa Mas. Mau ga?”

“Hmm nanti aku coba tanya HRD dulu ya, bisa engganya.”

“Pertanyaan Mas, adek mau ga?”

Aku tak menjawabnya.

“Dek? Kog………”

“Iya, aku mau..”