Saat aku masih kelas 1 SMP, ada seorang kakak kelas tiga yang dikenal sebagai murid paling pintar dan paling jago matematika di sekolah berusaha mendekatiku sejak hari pertama aku masuk sekolah. Dulu, di SMPku ini memberlakukan
moving classgitu, jadi setiap ganti jam pelajaran, kita harus pindah ke kelas mata pelajaran berikutnya. Kelasku dan kelas dia yang 80% selalu sama, membuat kami sering bertemu. Bahkan saat aku di kelas fisika yang kelasnya berdinding kaca, sering kali malu-malu saat mergokin dia -yang duduk di paling pinggir kelasnya yang juga berdinding kaca- ngeliatin aku.
Seiring bergantinya waktu, dia mulai berani mengajakku berbicara. Ku ingat, dia mengajakku berbicara cukup panjang saat berada di ruang multimedia sekolah ketika kami sama-sama mengikuti suatu pertemuan.
“Hai, Dek, aku Ibor dari kelas 9A, yang kemarin kirim SMS ke kamu.”
“Oh iyaa..”, jawabku sambil malu-malu.
‘Oh ternyata yang selama ini diem-diem merhatiin aku dari jauh, namanya Ibor.’, ucap bathinku.
“Kalau kamu kesusahan ngerjain PR Matematika, kamu SMS aku aja ya, nanti aku bantu jelasin.”, ujarnya sambil cengengesan memperlihatkan bentuk giginya yang rapi di balik bibirnya yang berwarna pink cerah. Dia yang saat itu memiliki badan ‘gendut’ terlihat seperti orang yang lagi malu-malu tapi berusaha memberanikan diri untuk ngajak aku bicara.
“Iya, Mas. Makasih ya.”
Karena tawarannya itu, di suatu hari saat aku kesusahan ngerjain PR matematika, mencoba untuk mengiriminya pesan melalui SMS.
// Sore Mas Ibor, maaf gangguin. Aku lagi ga bisa ngerjain soal matematika halaman 38 bab 3 nomor 7
//
Saat itu, tak ada balasan darinya. Tapi, sekitar jam 8 malem, telepon rumahku yang jarang berdering karena jarang menerima telepon, tiba-tiba berbunyi nyaring dan mengagetkan Tanteku yang saat itu duduk di sebelah telepon.
“Aneeees!! Ada telpon!!”, teriaknya.
“Dari siapa??”, teriakku dari dalam ruang belajar.
“Dari kakak kelasmu katanya!!”, jawab Tanteku masih dengan berteriak karena aku tak kunjung beranjak dari ruang belajarku yang pintunya kututup rapat.
“Siapa?? Kalau ga jelas gitu, bilang aja aku udah tidur, Tan!!”
“Ibor, katanya!!”
Saat mendengar namanya, aku mematung sesaat. “Kog dia tau nomor rumahku sih?”, gumamku sembari sedikit berlari menuju ruang keluarga dimana letak telepon rumah berada.
“Halo..”, aku menyapanya dibalik telpon.
“Halo, udah lama nunggu ya? Maaf yaa, aku baru banget pulang les sejak sore tadi.”
“Iya gapapa. Kog bisa tau nomor telpon rumahku?”
“Aku cari di buku telpon.”
“Yeee kan yang tercantum bukan nama aku.”
“Tapi nama Papa kamu kan? Ngomong-ngomong udah bisa ngerjain soal tadi yang kamu tanyain?”
“Belom..”
“Penerbit buku kamu Erl*ngga atau Y*dhistira, Dek?”
“Erl*ngga Mas….”
“Hm dulu saat aku kelas 7, bukuku Y*dhistira. Hehe beda buku ya kita.”
“Yah, berarti ga bisa bantu aku ngerjain PR dong?”
“Tenang, aku juga punya buku Erl*ngga kog.”
“Ohya?”
“Iyaa, kerjaanku tiap hari kan ngerjain soal-soal di berbagai macam penerbit buku. Jadi tenang.. Mas bisa bantu kamu ngerjain PR!”, ujarnya terdengar girang.
“Hehehe makasih.”
“Jadi tadi yang kamu ga ngerti di halaman 38 ya?”, tanyanya. Kemudian dia menjelaskannya perlahan sampai aku mengerti. Dan karena dia, aku jadi mencintai mata pelajaran matematika.
Sejak di hari itu, setiap aku kirim SMS ke dia untuk menanyakan soal matematika, dia akan segera menelponku melalui telepon rumah. Yang kemudian hal itu menjadi kebiasaan diantara kami berdua. Cara dia yang berbeda saat mendekatiku, membuatku jatuh cinta. Mungkin jika ditanya, siapa cinta pertamaku? Jawabannya adalah dia.
Tapi, disaat dia menembakku di suatu kesempatan, aku menolaknya. Sebab aku berpikir, saat itu aku masih bocah gitu, masa iya pacaran?. Toh akunya lagi berambisi jadi siswa terbaik kan, jadi ga mau pacar-pacaran. Nah karena aku menolaknya, dia pun mulai menjauh meski masih merhatiin aku diem-diem. Karena aku yang udah terlanjur dibuat nyaman, tiba-tibanya dia berubah, akupun merasa sedikit bersalah. ‘
Apa baiknya aku menerimanya ya?’, ujar bathinku. Hingga akhirnya, aku mengiriminya surat. Di surat itu, aku mengatakan, bahwa aku mau jadi pacar dia, kalau di semester dua nanti, aku bisa juara kelas dan masuk 10 besar paralel.
Surat itu aku titipkan ke teman sekelasnya, bukan ke dia langsung, karena aku ga seberani itu dulu.
Hari terus berlalu, dia makin sibuk menyiapkan ujian nasionalnya dan juga sibuk mengikuti tes masuk sekolah SMA TN. Begitu pun aku yang tak kalah sibuk memaksimalkan belajar agar bisa juara pertama dan masuk 10 besar paralel. Alhamdulillahnya, kerja kerasku membuahkan hasil, sebab di semester dua di kelas 7, aku berhasil meraih apa yang aku mau.
Sayangnya, aku tak bisa memberitahu Mas Ibor ketika itu, sebab dia yang berhasil masuk SMA TN, sudah harus masuk asrama.
Jadi yang bisa aku lakukan, hanya menunggunya.
Di kelas 8 dan kelas 9, aku masih bisa mempertahankan prestasiku dan masih menduduki peringkat pertama dan bertahan di 10 besar paralel, tapi Mas Ibor tak kunjung menjawab suratku. Saat dia libur semester, libur lebaran, dan libur tahun baru, dia selalu mengirimku pesan melalui SMS :
// Dimana dek? //
Dan biasanya, kami akan bertemu sebentar, sekedar menanyakan kabar dan bercerita sedikit tentang keseharian dan apa yang sedang ingin diraih.
Hal-hal itu terus berlanjut hingga aku kelas 12 (kelas 3 SMA). Dan tentunya, dia tak pernah membahas masalah surat yang aku buat.
-
Saat itu hari Sabtu, aku yang mengenakan seragam pramuka, berjalan perlahan menuju pintu masuk sekolah saat setelah menerima pesan dari Mas Ibor.
// Dek dimana? Mas lagi di depan sekolah kamu. Mas tunggu di depan ya? //
Dari kejauhan, aku melihatnya tampak gagah dengan seragam lengkap taruna AKM*Lnya sedang berbincang dengan teman sekelasnya dulu sewaktu dia di SMP. Saat aku mulai mendekat, dia melihatku, dan memberikan
gesture tubuh yang seolah menantikan kehadiranku.
“Adeek!!”, ujarnya sembari tersenyum cerah dan melambaikan tangannya seolah memberitahuku bahwa dia disana. Temannya pun yang awalnya berbincang dengannya, pergi lebih dulu menjauhi kami dan memberikan kami ruang untuk berdua.
“Yaampun, uda lama ga ketemu yaa?”, dia mengelus kepalaku dan mengacak-ngacak rambut lurus panjangku yang hari itu terurai.
“Iyaa.”, aku tersenyum.
“Ohya, aku antar kamu pulang ya? Kebetulan aku bawa mobil, kita ngobrol di dalam aja gimana?”
Aku mengiyakan.
Saat di mobil, dia tak henti-hentinya bertanya ini itu kepadaku. Aku inget banget, saat di lampu merah dekat rumah, tiba-tiba aku memberanikan diri mengungkapkan apa yang ingin aku ungkapkan.
“Dek, kamu uda punya pacar belum?”
“Belum, kan aku nunggu Mas Ibor.”
“Hah? Nunggu aku? Maksudnya?”
“Yaa kan dulu Mas pernah nembak aku, dan aku sempat nolak. Tapi aku berubah pikiran dan mengirimi Mas surat.”
“Ohya? Isi suratnya apa?”
“Mas belum baca?”
“Aku ga ngerasa nerima surat dari kamu. Hmm emang isinya apa?”, ujarnya terdengar lebih serius tanpa bercanda seperti sebelumnya.
“Aku mau jadi pacar Mas saat aku bisa jadi juara kelas.”
“Ohya?? Kog kamu ga pernah ngebahas masalah ini sejak dulu sih?”
“Yaa karena Mas ga pernah ngebahasnya, aku ga berani lah untuk ngebahas duluan.”
Mas Ibor menatapku sejenak.
“Maafin aku ya dek. Seandainya kamu ngasih tau aku 2 minggu lebih cepat, mungkin aku ga bakal pacaran sama pacar Mas ini.”
“Hmm Mas punya pacar?”
“Iyaa, baru jadian 2 minggu lalu. Aku pikir saat itu adek nolak Mas dan sejak itu Mas ga berani ngungkit-ngungkit lagi, khawatir buat Adek ga nyaman.”
“Yaudah gapapa. Hehehehe. Semoga Mas langgeng sama pacarnya yaa. Makasih udah anterin aku pulang.”, ucapku setelah mobil Mas Ibor berhenti tepat di depan pagar rumahku.
“Dek…”, dia menahanku dengan panggilannya. Kemudian aku menoleh padanya.
“Mau ga, adek nunggu Mas lagi? Karena Mas engga sepenuhnya ada rasa ke pacar Mas. Selama ini Mas juga susah lupain Adek, dan pacar Mas tau itu. Kayanya kalau Mas kasih tau ke dia tentang Adek yang juga udah lama nunggu Mas, dia akan ngerti.”
Aku berpikir sejenak sembari menatap matanya yang tampak sendu.
“Hm oke, aku bakal nunggu Mas. Tapi jangan pernah cerita tentang hal ini ke dia ya? Anggep aja obrolan kita ini ga pernah terjadi dan anggep aja Mas ga tau kalau aku begini selama ini.”
“Iya…”
Sejak pertemuan itu, Mas Ibor terus menjalin hubungan dengan pacarnya, dan aku terus menunggunya tanpa mengganggu hubungan mereka. Hingga setahun setelah pertemuan itu, tiba-tiba Mas Ibor kembali menghubungiku.
// Dek, dimana? //
// Di kamar. //
// Sibuk ga? Bisa telpon bentar?” //
// Bisaa… //
Semenit setelahnya, kami pun saling berbincang melalui panggilan telpon. Awalnya kami saling menanyakan kabar bahkan sempat bercandaan. Tapi tiba-tiba, kami sama-sama saling terdiam.
“Dek, maafin Mas yaa. Kayanya adek ga perlu nunggu Mas lagi. Setelah Mas pikir-pikir, Adek bisa dapetin yang lebih baik dari Mas. Dan Mas ga mungkin minta adek untuk nunggu Mas terus-terusan kan.”
“Hm kenapa tiba-tiba kepikiran gitu?”
“Karena Mas pengen adek juga bahagia.”
“Kalau aku dengan nunggu aja bahagia, gimana?”
“Tapi mau sampe kapan?”, tanyanya.
“Hm sampai Mas bener-bener mau aku untuk ga perlu nunggu Mas lagi seperti sekarang.”
“Hm maaf ya Dek… Makasih penantiannya selama ini. Sekali lagi maafin aku ya. Adek sehat-sehat terus ya, dan semoga adek bahagia.”
“Mas juga yaaa….”
Sejak saat itu, aku segera mengganti nomor ponselku dan tak lagi mendengar kabar tentangnya. Rasanya, baru kemarin aku menunggunya, rupanya sudah lebih dari 7 tahun lamanya! Hehehe.
Itulah kenapa, disaat Agis menanyakan apakah aku mengenalnya, aku sempat terdiam beberapa saat. Sebab, getaran di hatiku, ternyata masih ada untuknya.
###