Oktober 2016
Tiap hari Kamis di bulan Oktober, aku selalu ke perpustakaan kampus yang jaraknya sekitar 11 km dari kosku. Disana aku bisa meminjam 2-3 buku secara gratis dalam jangka waktu selama 7 hari. Kenapa Kamis? Sebab di hari itu, aku pulang kerja jam 2 siang karena keesokan harinya aku libur. Sehabis libur, aku masuk kerja jam 12 siang dan pulang jam 8 malam selama dua hari berturut-turut. Aku jalani waktu kerja seperti itu selama aku mulai kuliah loh. Jadi bisa dibayangkan selama aku kuliah, aku hampir tidak pernah bermalam-mingguan atau merasakan weekend.
Jika aku ke kampus jam 2 siang, sekitar jam 3 kurang, aku biasanya udah sampe di parkiran kampus. Lalu dengan langkah penuh semangat segera menuju perpustakaan yang ada di lantai 2.
Saat aku sudah berada di perpustakaan, aku bisa menghabiskan waktu berjam-jam mantengin buku ini itu, jika ada buku yang belum kubaca atau belum selesai ku rangkum di beberapa babnya, buku itulah yang akan aku pinjam.
Alhasil, di pertengahan Oktober, aku sudah hampir selesai mengerjakan bab keduaku. Bagaimana tidak, sehari aku hanya tidur sekitar 3-4 jam. Sepulang kerja, aku langsung menghadap laptop sampai jam 1 pagi, kadang juga sampai jam 2 pagi. Dan saat setelah shalat subuh, Agis yang udah seperti dosen pembimbingku, selalu mengoreksi hasil pemikiranku dalam setiap sub-babnya.

"Nes, ini udah oke nih! Tapi yang ini belum, kayanya perlu lebih merinci penjelasannya biar ga menimbulkan sesuatu yang ambigu."

"Ohgitu yaa. Oke kamu tandain aja yang harus aku benerin ya?", Agis tak merespon tanda ia sedang serius sama sesuatu yang dibacanya. Saat Agis selesai mengoreksi setiap kalimat yang aku buat dalam setiap babnya, Agis selalu ngasih pandangan ke aku baiknya seperti apa. Karena itu, ide-ide banyak yang bermunculan dalam pikiranku. Sayangnya, saat aku sedang di kantor, aku tidak bisa langsung menuangkan ide itu. Karena ada larangan untuk melakukan atau memikirkan hal lain (ngerjain tugas kuliah) saat sedang bekerja. Hehehehe. Semuanya berawal karena aku yang melakukan kesalahan yang sangat fatal di tahun 2014. Karena kesalahanku itu, penerbangan di hari itu delayhingga 4 jam. Belum sempat dipanggil oleh atasanku, aku yang diduga kelelahan malah jatuh sakit dan mau ga mau harus pulang ke kampung untuk dirawat di rumah sakit dekat rumah.
(Ya gimana ga cape, akunya yang pulang kerja jam 4 sore, langsung ke kampus untuk ikut mata kuliah pertama yang dimulai jam 6 sore. Selesai kuliah jam 10 malam jika hari itu mata kuliahnya full. Kalau ada tugas-tugas, aku kerjakan sesampainya di kosan, kelar-kelar biasanya jam 1 pagi.)

Sekitar sebulan setelah kejadian aku bikin heboh orang-orang di maskapaiku karena akunya yang teledor saat kerja, aku disuruh menghadap atasanku di ruangannya secara empat mata.
Huhuhu jujur saat itu aku gemeteran, udah takut disuruh resign segala macem. Apalagi saat aku uda masuk ke ruangan atasanku dan ngeliat wajah beliau yang kaku banget kaya kanebo kering.

"Pagi, Pak.", sapaku terbata-bata.

" Pagi. Duduk, Nes.", jawabnya tanpa melihat ke arahku. Sebab beliau sedang sibuk membaca lembaran-lembaran laporan di mejanya.

"Baik, Pak. Permisi saya duduk ya Pak.", ujarku pelan banget. Beliau tak menjawab. Dan beberapa saat kami saling terdiam. Aku menunggu beliau yang masih sibuk menandatangani beberapa berkas di hadapannya untuk berbicara terlebih dahulu.

"Anes, gimana keadaannya?", tanyanya tiba-tiba, meski beliau masih sibuk membubuhi beberapa laporan dengan tanda tangannya.

"Alhamdulillah sehat Pak. Tapi masih dalam proses pemulihan."

"Alhamdulillah kalau gitu. Anes boleh saya tanya kenapa beberapa waktu lalu, kamu sampai melakukan kesalahan fatal itu? Kamu tau kan maskapai kita harus mengeluarkan pengeluaran hingga ratusan juta untuk memberikan kompensasi delay karena kesalahan yang kamu buat? Dan karena itu, justru leader kamu yang dikenakan SP sebab saat kamu memproses pembayaran penumpang tersebut, kamu menggunakan username leader kamu?", sungguh pernyataan yang to the point tanpa basa-basi. Kali ini beliau menatapku dengan serius, tampak kacamata baca yang sebelumnya beliau kenakan, dia kebawahkan.

"Iya Bapak saya mengetahui hal itu dan saya hanya bisa memohon maaf yang sebesar-besarnya."

"Kata maaf ga merubah sesuatu yang sudah terjadi. Jadi, kira-kira apa yang harus kamu lakuin kedepannya, semisal saya beri kamu kesempatan untuk tetap bekerja di sini?"

Aku tak menjawabnya. Karena aku bingung harus menanggapi seperti apa.

"Menurut saya, kamu tuh kecapean karena harus kerja dan kuliah.", sambungnya yang membuatku benar-benar tidak bisa menjawabnya atau menyangkalnya. Karena apa yang beliau katakan, memang benar.

"Mulai sekarang, kamu harus mulai bisa memilih, antara kerja dan kuliah, mana hal yang paling penting buat kamu. "

Aku makin membisu dan hanya bisa menunduk menahan tangis.

"Kalau kamu milih untuk tetap kerja, berarti ya maaf, mau ga mau yaa kamu harus berhenti kuliah."

Saat itu, aku hanya bisa memaklumi apapun yang beliau katakan padaku. Dan akunya berusaha untuk menuruti apa yang beliau mau. Itu yang beliau tau. Nyatanya, aku tetap kuliah tanpa sepengetahuannya. Karenanya, aku sering absen untuk tidak masuk kelas sebab akunya sering diminta untuk lembur untuk diperbantukan di bagian keuangan dan terkadang diperbantukan di bagian marketing.

Agis yang mengetahui ceritaku itu, benar-benar bertekad ingin membantuku biar cepet-cepet lulus sarjana.

"Kamu harus buktiin Nes sama atasanmu, kalau kamu bisa lulus S1 meski kamunya sambil kerja. Jadi atasan kog engga bijak, malah ngatur-ngatur kehidupan karyawannya!!", kata Agis marah-marah dan ngomel-ngomel setelah dengerin curhatanku beberapa waktu lalu. Hehehe..


Di suatu malam di akhir pekan minggu ketiga di Oktober, ada suara notifikasi dari line.
Aku yang baru saja memasuki waktu istirahat sejenak dari laptop dan buku-buku akuntansi, mencoba meraih ponselku yang ku letakkan di atas kasur. Kemudian membuka pesan masuknya.

// Hi, Nes. Apa kabar kamu? Ini aku, Ibor. //

Aku sempat shockeddibuatnya. Kog bisa dia tau id line aku ya?

// Ohya, aku tau line kamu dari temen. //

Tiba-tiba dia mengirimku pesan lagi, seolah menjawab pertanyaan yang kuucapkan dalam hati.

// Kamu dimana sekarang? //

Tanyanya yang selalu begitu, ga berubah sejak dulu.

Malam itu, aku tak langsung membalas pesannya, sengaja memang. Karena jujur, aku takut dibuatnya menunggu seperti yang lalu-lalu.