“Hi hihi hihihi hihihihihi - hihihi hihihi hihihihi - hihihihi hihihi hihihi - hihihi hihi hihihihi”

Samar-samar terdengar suara tantekun tertawa sekian detik kemudian ia kembali diam. Tak berapa lama dari diamnya, ia mulai tertawa lagi.

“Hi hihihihi hihihihi - hihihi hihihihi hihihihi - hihihihi”

Alam bawah sadarku yang mulai merasa terganggu dengan suara tawa yang makin lama makin menggelegar segera menyuruh paksa otak untuk memerintah saraf motorik bawahku untuk memberikan sinyal pada tangan kananku untuk bergerak. Saraf-saraf tangan kananku menerima sinyal dengan sangat baik karena dia segera meraba-raba kasurku untuk mencari sumber suara yang ia tahu berasal dari alarmdi ponselku. Setelah ponsel sudah di tangan, otakku dengan cepat juga memerintah saraf okulomotorku untuk segera membuka kelopak mataku yang sepertinya ia tak terganggu sama sekali dengan keributan itu.
Aku pun mulai terjaga dan segera mematikan alarm yang menyala pada pukul 4.45. Kemudian diam sejenak untuk berdoa lalu narik napas dalam—dalam dan menghembuskannya perlahan.

‘Argh!! Nyawaku udah kembali nyatu nih!’, bisikku dalam hati. Kemudian aku beranjak dari kasurku, meminta kedua kakiku untuk melangkah menuju pintu dan menyuruh jemari tangan kananku untuk membuka kunci pada pintu dan refleks tangan kiriku membuka pintu yang sudah tidak terkunci. Ketika pintu sudah kubuka, udara segar menerpa kulit wajahku, aku tersenyum membalasnya. Setelahnya aku melangkah ringan melewati lorong balkon dan berhenti sejenak di depan jendela kamar Agis.

“Gis..Agissss.. Bangun!! Shalat subuh duluu yuk!!”

Pagi itu adalah pagi di hari Minggu di minggu kedua bulan September 2016.
Pikiranku yang memilih bergelut membuat bab pendahuluan skripsiku karena penasaran kenapa kog aku ga ada ide dan malah bingung mulainya dari mana, membuatku lupa bahwa aku belum juga melengkapi foto ukuran 4x6 dan full body. Agis yang baru menjadi pendatang di Surabaya, pasti tidak akan tahu dimana letak studio foto yang murah tapi kualitasnya bagus. Aku saja yang sudah empat tahunan disini, engga tau gitu kan, apalagi dia hehehe.

Alhamdulillahnya aku punya sahabat asli orang Surabaya. Titin namanya. Dia adalah orang yang mengenalku sejak aku pertama kali merantau disini. Letak rumahnya yang tak begitu jauh dari kosku, seolah mengisyaratkan kami untuk bisa terus ada baik disaat bahagia maupun susah.


Aku meraih ponselku yang ku letakkan di atas nakas dekat remote TV, kemudian membuka aplikasi messenger, seingetku saat itu masih melalui blackb*rry.




Setelah menemukan studio foto yang diinginkan melalui Titin, aku menyeruput energen cokelat yang sudah mulai menghangat dari cangkir satu-satunya yang ku punya sambil melihat kolam ikan dari balkon samping kamar. Suara gemericik air yang terdengar jelas dari lantai dua ini, membuatku sejenak memejamkan mata. Ternyata benar ya yang dibilang sama Om Orfeu Buxton, peneliti dari Live Science, bahwa suara gemericik air bisa memengaruhi pikiran seseorang agar tetap tenang, nyaman, dan tidak khawatir dengan keadaan.



Pikiranku yang terbagi menjadi dua antara harus membuat skripsi dan menyiapkan berkas untuk rekrutmen pramugari, mulai menemukan titik terang.

“Selama aku belum ngumpulin berkas ke HRD pusat, sepertinya aku hanya perlu banyak membaca referensi dan mencatat bagian-bagian pentingnya deh, biar aku tau harus mengawali dengan apa di bab pendahuluan. Kalau berkas udah aku kirim, baru deh mulai bikin bab satu sampai bab tiga.”, ujarku membathin.

(Seingetku nih kenapa dulu aku kepikiran terus karena…. Setelah pengajuan judul disetujui, aku harus menyelesaikan Bab Pendahuluan, Bab Tinjauan Pustaka, dan Bab Metode Penelitian dalam waktu yang bersamaan, baru deh setelah itu ditentuin siapa dosen pembimbingnya. Padahal, untuk bikin bab satu aja aku kebingungan hehehe)

“Nes.. Anes!!”, panggil Agis yang sepertinya clingak-clinguk nyariin aku di kamar.

“Aku disini!!”, jawabku.

“Astagaaaa, kirain dimana. Tumben banget duduk-duduk disini!”

“Mau aku bikinin energen ga?”, tawarku basa-basi karena aku tau kalau jam-jam segini Agis pasti belum laper.

“Engga ah masih kenyang.”

“Baru telponan sama Bang Randi ya?”

“Iyaaa, dia baru singgah gitu jadi baru ada sinyal. Nes, kamu kenal sama Bang Ibor?”

“Ibor siapa?”, ‘masa Ibor yang itu?’, tanyaku dalam hati.

“Katanya kakak kelas kamu saat SMP.”

‘Nah kan bener!’, jawabku dalam hati sembari menghabiskan energen cokelatku.

“Kenal ga Nes?”, tanya Agis lagi makin penasaran.

“Oh Mas Ibor, kenal sih. Kenapa emang?”

“Kata Bang Ibor, kalau kamu bilang kenal dia, dia nitip salam buat kamu.”

“Ohh, Wa’alaykumsalam…”

“Gitu doang? Ga bilang salam balik?”, kata Agis mulai rese`. Aku yang baru ngeh kalau Mas Ibor juga sekolah di SMA TN, berusaha ga nanya lebih merinci kenapa Agis bisa kenal dia bahkan bisa nitipin salam dia untuk aku.

“Harus ya?”

“Hahaha etikanya sih harus yaaa..”

Rabu, 14 September 2016

Sekitar jam 17.30, Titin sudah ada di kamarku. Dia yang enggan pulang terlebih dahulu ke rumahnya terlihat jelas dengan seragam kerjanya yang masih dia kenakan. Titinnya begitu semangat, sedangkan aku masih di depan lemari sibuk memilah dan memilih blazer mana yang layak aku pakai. Titin yang cuma bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuanku, membantu memberikan pilihan. Dan pilihan dia jatuh pada blazer berwarna biru tua yang tampak muda. -Eh gimana? Hehehe-
Setelah masalah blazer terpecahkan, kali ini muncul masalah baru, yaitu aku bingung harus pakai make-up yang seperti apa. Titin yang punya make-up jauh lebih lengkap dari aku, dengan tegasnya bilang “nanti aku yang make-up in!” Hehehe.

Sekitar 45 menit setelah adzan maghrib berkumandang, kami sudah siap untuk berangkat ke studio foto dengan mengendarai motor dan menerjang jalanan besar Surabaya yang padat merayap. Titin yang lihai nyelip kanan-nyelip kiri saat memasuki area macet tak bergerak, membuat kami tiba tepat waktu!!

“Mba Anes!”, panggil staff perempuan berambut pendek saat aku dan Titin baru saja duduk di ruang tunggu.

Kami menghampirinya dan diarahin untuk masuk ke studio satu.

“Mas, sek yo tak ngerapiin dia dulu..”, kata Titin pada fotografer disaat fotografer itu memintaku untuk berdiri beberapa meter di depannya.

Titin dengan cekatan merapikan pakaianku, make-upku, dan juga meminjamkan jam tangan berbahan kulit berwarna hitamnya padaku, sebab kata dia, jam tanganku yang berwarna silver ga matching sama pakaian yang aku kenakan. Aku yang diperlakukan begitu baiknya sama dia, mulai terharu.

“Heehh kamu ngapain berkaca-kaca say? Ntar maskaramu luntur loh! Jangan nangis!!”, katanya dengan medhoknya yang khas.

“Hiks maakasih banyak ya say…..”


Berkas-berkas yang dibutuhkan dalam persyaratan perekrutan pramugari sudah lengkap, namun mentalku belum cukup siap. Kata Papaku, minta sama Allah di setiap sepertiga malam dan perbanyak berdoa. Allah akan menjawabnya dengan memberikan rasa tenang dan lebih pasrah.

Beberapa hari menjelang batas akhir pengiriman berkas ke HRD pusat, akhirnya aku menemukan ketenangan itu.

“Nes, sibuk ga?”, tanya Mba Fitri melalui interphone. Dia juga seorang HRD di kantorku, sama seperti Pak Nanang.

“Engga, Mba Pit. Kenapakah?”

“Cuma mau nanya, kamu udah kirim berkasnya belum?”

“Kemarin udah aku kirim Mba…”

“Sipsip kalau gitu. Uda ga galau berarti ya?”

“Iyaaaa, berusaha pasrah akunya Mba hehehe. Yaa semisal ntar ga lolos, gapapa, anggep aja cari pengalaman.”, ujarku menenangkan diri sendiri.

“Nah iya betul, yang penting coba aja dulu. Ga usah terlalu mikirin hasilnya. Nikmati aja prosesnya.”

“Nggeh Mba, makasih yaaa…”


(*Ibor bukan nama yang sebenarnya)