- Beranda
- Stories from the Heart
KIDUNG DI ATAS TANAH JAWI
...
TS
breaking182
KIDUNG DI ATAS TANAH JAWI
Quote:
Menuliskan cerita yang berbau sejarah tidak gampang. Tulisan ini berdasarkan riset kecil dengan metode wawancara dengan orang yang lebih mengerti dan sumber terpercaya sebatas pengetahuan narasumber. Di samping itu kecintaan saya akan film -film kolosal, sandiwara radio era tahun 90-an tentang kerajaan - kerajaan di tanah Jawa mendorong saya untuk menulis. Tentu saja dengan keterbatasan ilmu pengetahuan yang saya miliki. Kidung Di Atas Tanah Jawi bercerita tentang perjalanan seorang pemuda bernama Arya Gading. Berlatar belakang kerajaan Pajang di bawah pemerintahan Sultan Hadiwijoyo. Cerita ini fiktif belaka. Baca dan nikmati. Salam Olahraga.........
Quote:

Quote:
Konten Sensitif
Quote:
EPISODE 1
GEGER DI PUCANG KEMBAR
gatra 1
gatra 2
gatra 3
gatra 4
gatra 5
gatra 6
gatra 7
gatra 8
gatra 9
gatra 10
gatra 11
gatra 12
gatra 13
gatra 14
gatra 15
gatra 16
gatra 17
gatra 18
gatra 19
gatra 20
gatra 21
gatra 22
gatra 23
gatra 24
gatra 25
gatra 26
gatra 27
gatra 28
gatra 29
gatra 30
gatra 31
gatra 32
gatra 33
gatra 34
gatra 35
gatra 36
gatra 37
gatra 38
gatra 39
gatra 40
gatra 41
gatra 42
gatra 43
gatra 44
gatra 45
gatra 46
gatra 47
gatra 48
gatra 49
Quote:
EPISODE 2
BARA API DI KAKI MERAPI
gatra 1
gatra 2
gatra 3
gatra 4
gatra 5
gatra 6
gatra 7
gatra 8
gatra 9
gatra 10
gatra 11
gatra 12
gatra 13
gatra 14
gatra 15
gatra 16
gatra 17
gatra 18
gatra 19
gatra 20
gatra 21
gatra 22
gatra 23
gatra 24
gatra 25
gatra 26
gatra 27
gatra 28
gatra 29
gatra 30
gatra 31
gatra 32
gatra 33
gatra 34
gatra 35
gatra 36
gatra 37
gatra 38
gatra 39
gatra 40
gatra 41
gatra 42
gatra 43
gatra 44
gatra 45
gatra 46
gatra 47
gatra 48
gatra 49
gatra 50
gatra 51
Quote:
Diubah oleh breaking182 30-12-2022 23:12
jundi666 dan 70 lainnya memberi reputasi
71
81.7K
Kutip
622
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
breaking182
#310
gatra 42
Quote:
SEMENTARA ITU wajah langit di sebelah barat mulai membayang cahaya kemerah-merahan. Tiba-tiba di daerah utara tampaklah langit berwarna darah. Disusul oleh bunyi kentongan titir, berturut-turut. Kobaran api seakan – akan hendak menjilat langit dan melampaui tingginya gunung Merapi. Mahesa Branjangan telah berdiri di balik sebatang pohon yang berdiri di dekat perapatan. Dari kelokan jalan di ujung bulak yang pendek ia melihat serombongan orang berjalan ke Pasanggaran. Namun mereka tidak melewati jalan di simpang empat itu. Orang –orang berkuda itu meloncati parit, dan menyusur pematang, memotong langsung menuju ke Pasanggaran.
“Mereka menyusuri pematang dan menginjak –injak tanaman padi yang baru selapan hari ditanam” bisik jagabaya Cangkringan dengan geram.
Mahesa Branjangan tidak segera menjawab. Tetapi tampaklah ia sedang berpikir. Tiba-tiba ia mendengar suara burung bence untuk kedua kalinya. Karena itu katanya, “ Itulah siasat Macan Ireng memancing lawannya ke arah yang keliru”
Jagabaya Cangkringan mengerutkan keningnya. Gumamnya, “Macan yang cerdik”
Mahesa Branjangan sadar bahwa ia harus bertindak cepat. Karena itu ia berkata, “Kita harus cepat mulai, sebelum orang –orang itu mengacak – acak padukuhan lain yang dilewatinya. Kita harus membekuknya di padukuhan ini “
Mahesa Branjangan segera mencabut pedangnya. Kemudian dilemparkannya sebuah kerikil kepada seseorang di sampingnya sebagai perintah. Kemudain terdengarlah bunyi burung bence berturut-turut tiga kali. Semua cantrik dan para pemuda padukuhan menjadi tegang. Mereka sudah harus bersiap untuk menyergap. Bagus Abangan tersenyum. Ia pun telah tegak di belakang pohon aren itu. Ketika ia mendengar aba-aba untuk kedua kalinya, anak muda itu tidak menunggu lebih lama lagi. Perintah untuk menyerang itu disambutnya dengan sebuah loncatan dan dengan cepat ia menghambur lari langsung ke arah rombongan oang –orang berkuda itu.
Pemimpin dari rombongan itu terkejut mendengar bunyi burung bence. Otaknya yang berpikir cepat segera mengenal, bahwa yang didengarnya itu sama sekali bukan bunyi burung yang sebenarnya. Karena itu ia pun segera berteriak nyaring, “Siapkan senjata kalian!”
Tetapi anak buahnya tidak menyangka bahwa mereka akan segera menerima sergapan. Mereka masih mengira bahwa kedatangannya baru diketahui oleh seorang pengawas saja. Namun tiba-tiba saja di hadapan mereka, muncul puluhan orang berloncatan dari balik-balik pohon dan parit-parit dengan senjata terhunus. Karena itu sebagian mereka menjadi gugup. Tetapi karena mereka adalah orang –orang yang hampir setiap waktu mangadu nyawa, segera mereka dapat menguasai diri dan dengan tangkasnya mencabut senjatanya masing -masing.
Sang pemimpin rombongan yang berwajah kasar dengan rambut riap -riapan itu menjadi sangat marah. Ternyata kehadirannya kali ini telah diketahui benar oleh lawannya. Karena itu maka segera ia berteriak nyaring, katanya, “Bagus, kalian ternyata menyambut kedatangan kami. Ayo, majulah!”
Apalagi ketika pimpinan rombongan itu berteriak, “Rencana kita tidak akan dapat berjalan seperti yang kita harapkan sepenuhnya. Kegagalan itu disebabkan karena orang-orang padukuhan ini. Ayo, jadikanlah mereka tebusan dari kegagalan ini”
Kini para pemuda Cangkringan dan cantrik – cantrik Pasanggaran menjadi semakin mantap. Sementara itu kuda-kuda orang – orang itu pun telah bergerak-gerak. Beberapa orang mendorong kudanya maju dan yang lain menghadap ke arah yang berlawanan. Musuh mereka berada di muka dan di belakang. Tempat itu sama sekali tidak menguntungkan bagi pertempuran di atas punggung kuda. Di kiri-kanan jalan itu adalah tanah persawahan yang sedang ditumbuhi oleh batang-batang jagung muda. Tanahnya tidak begitu basah, karena tanaman itu tidak memerlukan air yang tergenang.
Mahesa Branjangan menggeram mendengar aba-aba itu. Cepat ia berteriak, “Cegah mereka. Jangan diberi kesempatan meninggalkan jalan sempit ini, supaya mereka segera tertumpas di dalamya.”
Tetapi teriakan itu hampir-hampir tidak berarti. Kuda-kuda itu telah mendesak mereka. Dengan senjata di tangan para penunggang kuda itu mencoba mendapatkan jalan bagi kuda mereka. Beberapa ekor kuda telah berhasil meloncat parit yang sempit. Tetapi karena kejutan-kejutan orang-orang Cangkringan, ada juga kuda yang gagal, sehingga kuda itu tergelincir masuk ke dalam parit. Namun dengan tangkasnya para penunggangnya meloncat turun dan melawan orang-orang Cangkringan yang menyerangnya di atas tanah.
Memang beberapa orang yang terjatuh itu masih berusaha untuk meloncat kembali ke atas punggung-pungung kuda mereka yang telah berhasil merangkak keluar dari dalam parit. Tetapi orang-orang Cangkringan selalu mencoba menghalang-halangi. Pertempuran pun segera berkobar. Orang-orang Cangkringan di bantu oleh cantrik –cantrik dari Pasanggaran mulai menyerang dengan sengitnya. Tetapi orang –orang berkuda itu yang sempat meninggalkan jalan yang sempit segera membuat arena menjadi semakin luas. Mereka terpaksa tidak menghiraukan lagi batang-batang jagung muda. Kaki-kaki kuda mereka dengan garangnya telah merambas batang-batang jagung itu, sehingga sesaat kemudian sawah itu telah hampir menjadi gundul.
“Setan!” teriak pimpinan gerombolan berkuda itu menjadi semakin cemas melihat perkembangan keadaan.
Ternyata para pemuda dan cantrik Pasanggaran itu cukup tangkas melawan anak buahnya yang berada di atas punggung kuda. Bahkan beberapa orang yang terjatuh dari kudanya, terpaksa tidak mampu lagi berdiri karena terluka parah. Para pemuda Cangkringan dan cantrik Pasanggaran kini bertebaran di sawah-sawah. Mereka bertempur seperti burung rajawali. Arena pertempuran itu pun menjadi semakin lama semakin luas. Kuda-kuda gerombolan orang itu berlari melingkar-lingkar dengan garangnya. Setiap orang di atas punggung kuda itu telah memutar pedangnya dan menyambar-nyambar dengan dahsyatnya. Tetapi yang dihadapi adalah cantrik pilihan dari Pasanggaran dan para pemuda yang cukup tangkas memainkan senjatanya.
Meskipun demikian, namun anak-anak muda padukuhan yang dibantu oleh para cantrik Pasanggaran itu bukan anak-anak yang hanya pandai berteriak-teriak saja. Karena itu, maka mereka pun mempunyai cukup kemampuan untuk menggerak-gerakkan senjata-senjata mereka. Kemudian Mahesa Branjangan itu pun melihat, betapa lincahnya Bagus Abangan menyusup di antara kesibukan orang -orang yang sudah mulai terlibat dalam pertempuran.
“Mereka menyusuri pematang dan menginjak –injak tanaman padi yang baru selapan hari ditanam” bisik jagabaya Cangkringan dengan geram.
Mahesa Branjangan tidak segera menjawab. Tetapi tampaklah ia sedang berpikir. Tiba-tiba ia mendengar suara burung bence untuk kedua kalinya. Karena itu katanya, “ Itulah siasat Macan Ireng memancing lawannya ke arah yang keliru”
Jagabaya Cangkringan mengerutkan keningnya. Gumamnya, “Macan yang cerdik”
Mahesa Branjangan sadar bahwa ia harus bertindak cepat. Karena itu ia berkata, “Kita harus cepat mulai, sebelum orang –orang itu mengacak – acak padukuhan lain yang dilewatinya. Kita harus membekuknya di padukuhan ini “
Mahesa Branjangan segera mencabut pedangnya. Kemudian dilemparkannya sebuah kerikil kepada seseorang di sampingnya sebagai perintah. Kemudain terdengarlah bunyi burung bence berturut-turut tiga kali. Semua cantrik dan para pemuda padukuhan menjadi tegang. Mereka sudah harus bersiap untuk menyergap. Bagus Abangan tersenyum. Ia pun telah tegak di belakang pohon aren itu. Ketika ia mendengar aba-aba untuk kedua kalinya, anak muda itu tidak menunggu lebih lama lagi. Perintah untuk menyerang itu disambutnya dengan sebuah loncatan dan dengan cepat ia menghambur lari langsung ke arah rombongan oang –orang berkuda itu.
Pemimpin dari rombongan itu terkejut mendengar bunyi burung bence. Otaknya yang berpikir cepat segera mengenal, bahwa yang didengarnya itu sama sekali bukan bunyi burung yang sebenarnya. Karena itu ia pun segera berteriak nyaring, “Siapkan senjata kalian!”
Tetapi anak buahnya tidak menyangka bahwa mereka akan segera menerima sergapan. Mereka masih mengira bahwa kedatangannya baru diketahui oleh seorang pengawas saja. Namun tiba-tiba saja di hadapan mereka, muncul puluhan orang berloncatan dari balik-balik pohon dan parit-parit dengan senjata terhunus. Karena itu sebagian mereka menjadi gugup. Tetapi karena mereka adalah orang –orang yang hampir setiap waktu mangadu nyawa, segera mereka dapat menguasai diri dan dengan tangkasnya mencabut senjatanya masing -masing.
Sang pemimpin rombongan yang berwajah kasar dengan rambut riap -riapan itu menjadi sangat marah. Ternyata kehadirannya kali ini telah diketahui benar oleh lawannya. Karena itu maka segera ia berteriak nyaring, katanya, “Bagus, kalian ternyata menyambut kedatangan kami. Ayo, majulah!”
Apalagi ketika pimpinan rombongan itu berteriak, “Rencana kita tidak akan dapat berjalan seperti yang kita harapkan sepenuhnya. Kegagalan itu disebabkan karena orang-orang padukuhan ini. Ayo, jadikanlah mereka tebusan dari kegagalan ini”
Kini para pemuda Cangkringan dan cantrik – cantrik Pasanggaran menjadi semakin mantap. Sementara itu kuda-kuda orang – orang itu pun telah bergerak-gerak. Beberapa orang mendorong kudanya maju dan yang lain menghadap ke arah yang berlawanan. Musuh mereka berada di muka dan di belakang. Tempat itu sama sekali tidak menguntungkan bagi pertempuran di atas punggung kuda. Di kiri-kanan jalan itu adalah tanah persawahan yang sedang ditumbuhi oleh batang-batang jagung muda. Tanahnya tidak begitu basah, karena tanaman itu tidak memerlukan air yang tergenang.
Mahesa Branjangan menggeram mendengar aba-aba itu. Cepat ia berteriak, “Cegah mereka. Jangan diberi kesempatan meninggalkan jalan sempit ini, supaya mereka segera tertumpas di dalamya.”
Tetapi teriakan itu hampir-hampir tidak berarti. Kuda-kuda itu telah mendesak mereka. Dengan senjata di tangan para penunggang kuda itu mencoba mendapatkan jalan bagi kuda mereka. Beberapa ekor kuda telah berhasil meloncat parit yang sempit. Tetapi karena kejutan-kejutan orang-orang Cangkringan, ada juga kuda yang gagal, sehingga kuda itu tergelincir masuk ke dalam parit. Namun dengan tangkasnya para penunggangnya meloncat turun dan melawan orang-orang Cangkringan yang menyerangnya di atas tanah.
Memang beberapa orang yang terjatuh itu masih berusaha untuk meloncat kembali ke atas punggung-pungung kuda mereka yang telah berhasil merangkak keluar dari dalam parit. Tetapi orang-orang Cangkringan selalu mencoba menghalang-halangi. Pertempuran pun segera berkobar. Orang-orang Cangkringan di bantu oleh cantrik –cantrik dari Pasanggaran mulai menyerang dengan sengitnya. Tetapi orang –orang berkuda itu yang sempat meninggalkan jalan yang sempit segera membuat arena menjadi semakin luas. Mereka terpaksa tidak menghiraukan lagi batang-batang jagung muda. Kaki-kaki kuda mereka dengan garangnya telah merambas batang-batang jagung itu, sehingga sesaat kemudian sawah itu telah hampir menjadi gundul.
“Setan!” teriak pimpinan gerombolan berkuda itu menjadi semakin cemas melihat perkembangan keadaan.
Ternyata para pemuda dan cantrik Pasanggaran itu cukup tangkas melawan anak buahnya yang berada di atas punggung kuda. Bahkan beberapa orang yang terjatuh dari kudanya, terpaksa tidak mampu lagi berdiri karena terluka parah. Para pemuda Cangkringan dan cantrik Pasanggaran kini bertebaran di sawah-sawah. Mereka bertempur seperti burung rajawali. Arena pertempuran itu pun menjadi semakin lama semakin luas. Kuda-kuda gerombolan orang itu berlari melingkar-lingkar dengan garangnya. Setiap orang di atas punggung kuda itu telah memutar pedangnya dan menyambar-nyambar dengan dahsyatnya. Tetapi yang dihadapi adalah cantrik pilihan dari Pasanggaran dan para pemuda yang cukup tangkas memainkan senjatanya.
Meskipun demikian, namun anak-anak muda padukuhan yang dibantu oleh para cantrik Pasanggaran itu bukan anak-anak yang hanya pandai berteriak-teriak saja. Karena itu, maka mereka pun mempunyai cukup kemampuan untuk menggerak-gerakkan senjata-senjata mereka. Kemudian Mahesa Branjangan itu pun melihat, betapa lincahnya Bagus Abangan menyusup di antara kesibukan orang -orang yang sudah mulai terlibat dalam pertempuran.
Quote:
ANAK MUDA ITU langsung menghampiri pimpinan rombongan yang masih tegak memandang berkeliling. Dengan cermat ia mengawasi keadaan medan. Pimpinan rombongan itu terkejut ketika ia melihat seseorang melompat kehadapannya sambil tersenyum.
Kemudian terdengar orang itu berkata, “Kita bertemu lagi Banaspati. Bukankah kau yang bernama Banaspati? Kau masih mengingatku?”
Banaspati mengerutkan keningnya. Jawabnya, “Apa maumu anak muda? Kau pemuda gemblung yang hendak menyusup ke perkemahan kami bukan”
“Aneh” sahut orang itu, yang tidak lain adalah Bagus Abangan. “Kita berada di dalam pertempuran”
“Bagus” seru Banaspati. “Kita ulangi lagi pertempuran tempo hari. Disini kita buktikan siapa yang akan terkapar bermandikan darah. Namun, sebelum itu kau harus melawan para anak buahku dahulu”
Karena itu, maka anak buah Banaspati itu pun segera menyerang Bagus Abangan dengan sebuah tusukan pedang. Tetapi tiba-tiba mata Banaspati itu pun terbeliak. Yang dilihatnya, dengan suatu gerakan yang hampir tak tampak oleh mata, Bagus Abangan telah memiringkan tubuhnya, dan dengan satu gerakan yang tak terduga-duga tangan kirinya telah berhasil menyobek perut lawannya dengan senjatanya. Terdengar orang itu berteriak nyaring, dan kemudian tubuhnya terbanting di tanah.
“Hadiah yang tak menyenangkan” desis Bagus Abangan.
Wajah Banaspati pun menjadi merah. Ditatapnya muka Bagus Abangan. Tampaklah anak muda itu tersenyum. Tanpa banyak bicara lagi Banaspati mengayunkan bindi dengan ujung berbentuk tengkorak ke arah Bagus Abangan. Bindi dengan ukuran lumayan besar dan berat seperti sepotong lidi di tangan Banaspati. Bindi meluncur dengan deras dan cepat. Bagus Abangan memiringkan tubuhnya ke samping. Lantas dengan cepat pemuda murid Paraji Gading itu balas menyerang dengan ganas.
Banaspati yang terikat dalam pertempuran dengan Bagus Abangan menggeram marah. Kesempatannya untuk memperhatikan keadaan medan sangat terbatas. Sesaat-sesaat ia melihat juga Mahesa Branjangan berloncatan kian kemari hampir di seluruh daerah pertempuran, namun ia tidak dapat mengimbanginya. Karena itu, maka kemarahannya semakin memuncak. Sehingga kemudian dengan tenaga sepenuhnya ia bertempur untuk segera menghancurkan lawannya. Bagus Abangan pun kemudian memeras tenaganya dalam perlawanannya melawan Banaspati.
Sedikit demi sedikit Bagus Abangan merasa, bahwa ayuran bindi itu semakin lama semakin dekat dengan kulitnya. Bahkan sekali-sekali telah terasa sentuhan angin yang tajam, yang dilontarkan oleh gerak bindi yang berbentuk tengkorak itu. Namun, Bagus Abangan buikanlah anak kemarin sore. Berbekal kanuragan dari gurunya, pemuda itu juga telah mempelajari beberapa bab dari Kitab Lawang Pitu. Pedang tipis milik Bagus Abangan sesekali mematuk dan sekali-sekali menyambar hampir menyentuh wajah Banaspati.
Banaspati menjadi marah bukan buatan. Dengan menangkis setiap serangan Bagus Abangan ia menggeram, “Apakah kau sudah jemu hidup?”
Bagus Abangan menyerang semakin garang. Meskipun demikian ia menjawab, “Kita berada di medan pertempuran. Jangan ribut”
Banaspati kemudian berteriak nyaring. Dengan garangnya ia melawan serangan-serangan Bagus Abangan. Ia pun bukan anak-anak yang baru sekali menyaksikan darah tertumpah. Banaspati adalah cantrik tertua di padepokan Jalatunda. Seakan-akan ia memang dilahirkan untuk memanggul senjata. Demikianlah perkelahian itu cepat menanjak menjadi dahsyat sekali. Bagus Abangan bergerak dengan lincahnya, sedang Banaspati bertempur dengan tangguhnya. Keduanya memiliki beberapa kelebihan dari orang-orang kebanyakan. Namun ketika Banaspati sempat memperhatikan gerakan dan jurus –jurus Bagus Abangan, maka ia pun menjadi berdebar-debar.
“Hem, murid Hantu Gunung Sumbing ini ternyata tangguh juga. Lebih tangguh dari pertempuran yang lalu di dalam hutan” desisnya dalam sambil bertempur.
Kemudian terdengar orang itu berkata, “Kita bertemu lagi Banaspati. Bukankah kau yang bernama Banaspati? Kau masih mengingatku?”
Banaspati mengerutkan keningnya. Jawabnya, “Apa maumu anak muda? Kau pemuda gemblung yang hendak menyusup ke perkemahan kami bukan”
“Aneh” sahut orang itu, yang tidak lain adalah Bagus Abangan. “Kita berada di dalam pertempuran”
“Bagus” seru Banaspati. “Kita ulangi lagi pertempuran tempo hari. Disini kita buktikan siapa yang akan terkapar bermandikan darah. Namun, sebelum itu kau harus melawan para anak buahku dahulu”
Karena itu, maka anak buah Banaspati itu pun segera menyerang Bagus Abangan dengan sebuah tusukan pedang. Tetapi tiba-tiba mata Banaspati itu pun terbeliak. Yang dilihatnya, dengan suatu gerakan yang hampir tak tampak oleh mata, Bagus Abangan telah memiringkan tubuhnya, dan dengan satu gerakan yang tak terduga-duga tangan kirinya telah berhasil menyobek perut lawannya dengan senjatanya. Terdengar orang itu berteriak nyaring, dan kemudian tubuhnya terbanting di tanah.
“Hadiah yang tak menyenangkan” desis Bagus Abangan.
Wajah Banaspati pun menjadi merah. Ditatapnya muka Bagus Abangan. Tampaklah anak muda itu tersenyum. Tanpa banyak bicara lagi Banaspati mengayunkan bindi dengan ujung berbentuk tengkorak ke arah Bagus Abangan. Bindi dengan ukuran lumayan besar dan berat seperti sepotong lidi di tangan Banaspati. Bindi meluncur dengan deras dan cepat. Bagus Abangan memiringkan tubuhnya ke samping. Lantas dengan cepat pemuda murid Paraji Gading itu balas menyerang dengan ganas.
Banaspati yang terikat dalam pertempuran dengan Bagus Abangan menggeram marah. Kesempatannya untuk memperhatikan keadaan medan sangat terbatas. Sesaat-sesaat ia melihat juga Mahesa Branjangan berloncatan kian kemari hampir di seluruh daerah pertempuran, namun ia tidak dapat mengimbanginya. Karena itu, maka kemarahannya semakin memuncak. Sehingga kemudian dengan tenaga sepenuhnya ia bertempur untuk segera menghancurkan lawannya. Bagus Abangan pun kemudian memeras tenaganya dalam perlawanannya melawan Banaspati.
Sedikit demi sedikit Bagus Abangan merasa, bahwa ayuran bindi itu semakin lama semakin dekat dengan kulitnya. Bahkan sekali-sekali telah terasa sentuhan angin yang tajam, yang dilontarkan oleh gerak bindi yang berbentuk tengkorak itu. Namun, Bagus Abangan buikanlah anak kemarin sore. Berbekal kanuragan dari gurunya, pemuda itu juga telah mempelajari beberapa bab dari Kitab Lawang Pitu. Pedang tipis milik Bagus Abangan sesekali mematuk dan sekali-sekali menyambar hampir menyentuh wajah Banaspati.
Banaspati menjadi marah bukan buatan. Dengan menangkis setiap serangan Bagus Abangan ia menggeram, “Apakah kau sudah jemu hidup?”
Bagus Abangan menyerang semakin garang. Meskipun demikian ia menjawab, “Kita berada di medan pertempuran. Jangan ribut”
Banaspati kemudian berteriak nyaring. Dengan garangnya ia melawan serangan-serangan Bagus Abangan. Ia pun bukan anak-anak yang baru sekali menyaksikan darah tertumpah. Banaspati adalah cantrik tertua di padepokan Jalatunda. Seakan-akan ia memang dilahirkan untuk memanggul senjata. Demikianlah perkelahian itu cepat menanjak menjadi dahsyat sekali. Bagus Abangan bergerak dengan lincahnya, sedang Banaspati bertempur dengan tangguhnya. Keduanya memiliki beberapa kelebihan dari orang-orang kebanyakan. Namun ketika Banaspati sempat memperhatikan gerakan dan jurus –jurus Bagus Abangan, maka ia pun menjadi berdebar-debar.
“Hem, murid Hantu Gunung Sumbing ini ternyata tangguh juga. Lebih tangguh dari pertempuran yang lalu di dalam hutan” desisnya dalam sambil bertempur.
Diubah oleh breaking182 23-07-2022 05:14
ashrose dan 11 lainnya memberi reputasi
12
Kutip
Balas