mayyarossaAvatar border
TS
mayyarossa
Bahagia Itu Ada
Konten Sensitif


Kuambil sebuah buku yang berada di deretan teratas "Best Seller" sebuah toko buku ternama di kota ini. Tertera dengan jelas nama pengarangnya. Bibirku menyungging senyum tipis.

Quote:



"Buku itu berisi kisah cinta sepasang kekasih, yang akhirnya harus kandas, Dokter Wulan. Kandas karena ego orang tua. Kandas karena status sosial yang berbeda."



Sebuah suara mengagetkanku yang masih menggenggam buku tadi. Jantungku berdetak lebih kencang. Aku masih sangat mengenal suara itu. Suara orang yang telah membuatku jatuh cinta lima tahun lalu. Suara yang bisa menenangkan gundahku.

Aku berbalik. Di hadapanku, berdiri seorang pria. Penampilannya masih seperti dulu. Kaos oblong, jeans sobek-sobek di dengkul, serta rambut sebahu yang diikat asal. Emm, kali ini diikat lebih rapi. Cambang dan jenggot mulai tumbuh tipis, semakin menambah kesan macho. Tuhan. Setelah sekian lama, pesona makhlukmu ini masih menggetarkan dada.

***

"Wulan, jadi ini jawabanmu?" Lelaki berambut sebahu yang diikat asal itu bertanya dengan suara tertahan. Aku tak sanggup menatap sepasang mata teduhnya. Aku hanya mengangguk, sambil berusaha menahan bulir bening yang mendesak di sudut mata.

"Baiklah. Aku pergi. Kau boleh meninggalkanku. Menikahlah dengan lelaki pilihan ibumu, tapi aku akan selalu mengingatmu, Raden Ajeng Wulandari." Sepasang alis tebalnya tampak hampir bertaut, menandakan kemarahan, juga putus asa. Ada penekanan saat dia menyebut nama panjangku. Dia tahu, itu akan memancing kemarahanku, karena aku tak suka gelar kebangsawanan itu disebut. Bagiku, semua manusia sama. Bullshit dengan status sosial.

"Maafkan aku." Hanya itu yang keluar dari mulutku, mengiringi air mata yang akhirnya menetes juga. Aku segera berbalik untuk menyembunyikan air mata, lalu berjalan meninggalkannya.

Tiga detik kemudian, aku berbalik. Kupeluk lelaki berhidung mancung itu, kusandarkan kepalaku di dada bidangnya. Aku menangis sepuasnya. Lengan kokoh itu memelukku, erat. Ah, Tuhan, nyaman sekali berada dalam pelukan pria ini, rasanya tak ingin kulepas lagi.

"Jangan menangis lagi, berjanjilah padaku," ujarnya lembut. Dengan ibu jarinya, diusapnya sisa air mata.

Aku masih bergeming. Mungkin ini terakhir kali aku bisa menyandarkan diri di tubuh kokohnya, menghirup aroma maskulin yang membius sukma.

"Pergilah. Lupakan aku. Aku akan selalu mengingatmu. Namamu akan abadi di hatiku." Setelah mengatakan itu, dia melepas pelukan, kemudian berlalu.

Itu pertemuan terakhirku dengannya sebelum aku menikah dengan lelaki pilihan ibuku. Raden Bagus Widiyanto. Seorang lelaki berdarah biru, yang kata ibu mempunyai status sosial yang sama denganku. Selalu, hal itu yang ditekankan ibu padaku. Aku pergi dari rumah sesaat setelah pertengkaran dengan ibu.
"Cari suami itu harus jelas bibit, bobot dan bebetnya, Ndhuk. Aja grusa grusu. Ibuk ndak mau kamu menikah dengan orang yang nggak jelas bibit bobot dan bebetnya. Apa yang kamu harapkan dari seorang Arya Mahesa? Nggak punya tata krama, rambut gondrong, badan tatoan, apa yang mau kamu harapkan, Ndhuk?" Ibu terus saja bicara tentang bibit bobot dan bebet.

"Bu, Wulan belum mau menikah. Dan satu hal, Bu. Wulan ndak suka ibu selalu membandingkan status sosial. Wulan sudah besar. Wulan berhak menentukan masa depan Wulan sendiri." Aku mencoba bicara pada ibu.

"Pokoknya kamu harus menikah dengan Bagus. Dia sudah jelas asal usulnya. Sudah jelas pekerjaannya. Masih berdarah biru juga, sama seperti kita. Masa depan kamu pasti terjamin, Ndhuk."

"Ngapunten, Ibu, Wulan ndak bisa."

Aku segera pergi meninggalkan ibu. Entah, apa yang ada dalam pikiran ibu saat menjodohkan aku dengan Bagus. Aku tahu, dia telah mempunyai kekasih hati, bahkan kekasihnya temanku satu fakultas, Dyah Anindya.

Aku sendiri sudah menjalin hubungan dengan Arya selama tiga tahun. Aku tak peduli apa status sosialnya. Arya bisa menghiburku saat sedih. Dia selalu bisa mendengar keluh kesahku. Aku nyaman bersamanya.

***

"Wulan, kamu ada waktu? Kita minum kopi di kedai sebelah?"

Suara itu kembali membawaku ke masa kini kembali. Aku hanya mengangguk, kemudian mengikuti langkahnya. Kami pun duduk berhadapan. Dia pun memesan minuman untuk kami.

"Langit begitu cerah, apa karena mendungnya beralih ke wajahmu?" Arya bertanya, tatapannya masih seperti dulu.

Aku masih tak percaya bisa berjumpa kembali dengannya setelah sekian lama. Perjumpaan tak sengaja yang kembali memantik debar di dada.

"Bagaimana kabarmu?" Aku tak menanggapi pertanyaannya tadi.

"Tak pernah sebaik ini setelah perpisahan kita. Kamu sendiri?"

Dia masih menatapku. Aku menarik napas panjang. Rasanya tak kuasa membalas tatapannya.

"Aku juga sama, Ya. Maaf."

"Wulan, tak perlu minta maaf. Aku yang minta maaf. Waktu itu, aku yang menyuruhmu menerima keputusan ibumu. Kupikir, aku bisa melupakanmu. Ternyata aku salah. Setiap malam, hanya kamu yang ada di pikiranku. Kadang aku berpikir, mengapa tak menerima ajakanmu untuk kimpoi lari waktu itu."

"Ya, aku juga. Aku tak bisa melupakanmu, Ya."

Jemari Arya membelai lembut pipiku, lalu mengusap air mata yang terjatuh di sana.

"Wulan, masih bisakah kita kembali bersama?" Jemarinya kini berpindah ke jemariku.

"Kamu? Kamu belum menikah?" tanyaku tak percaya.

"Kalaupun aku menikah, itu hanya denganmu, Wulan. Kamu masih ingat 'kan, apa kataku saat pernikahanmu?"

Aku mencoba menatap mata teduhnya, mencari kesungguhan di sana. Mata yang saat aku menikah menatap tajam seraya berkata, "aku selalu mencintaimu, kutunggu jandamu."

Entah bagaimana, doa itu berhasil mengetuk pintu langit. Aku bercerai dari Bagus 5 bulan yang lalu. Aku memergokinya dalam sebuah hotel bersama dengan Dyah, mantan kekasihnya dulu. Aku tak mau sedikit pun menerima perselingkuhan, apa pun bentuknya. Aku segera menggugat cerai Bagus. Ibuku shock, lalu meninggal.

Aku memang tak pernah mencintai Bagus, tetapi aku berusaha. Selama menjadi istrinya aku mencoba tetap setia. Tetapi apa yang kudapat? Saat ini, saat aku sedang terluka, Tuhan telah mengirimkan obatnya.

"Selama ini, kita memang tak pernah berjumpa, tetapi aku tahu semua tentangmu, Wulan. Bahkan perceraianmu dengan lelaki itu."

Aku kembali menatap pria itu tak percaya. Sebegitu besarnyakah cintanya padaku? Dan aku merasa makin bersalah padanya.

"Wulan, maukah kau menghabiskan sisa hidupmu bersamaku? Kita hadapi dunia bersama, hanya ada aku dan kamu."

Air mataku kembali menetes. Aku tak menjawab Arya. Langit di barat mulai memancarkan semburat ungu. Di atas kopi yang mengepul bibir kami bertemu.

Jogja, 10 Juli 2022
Diubah oleh mayyarossa 10-07-2022 14:17
bukhorigan
bukhorigan memberi reputasi
2
461
6
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.5KThread41.6KAnggota
Tampilkan semua post
makolaAvatar border
makola 
#1
emoticon-Pertamaxdapet kaga nii
mayyarossa
mayyarossa memberi reputasi
1
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.