- Beranda
- Stories from the Heart
KIDUNG DI ATAS TANAH JAWI
...
TS
breaking182
KIDUNG DI ATAS TANAH JAWI
Quote:
Menuliskan cerita yang berbau sejarah tidak gampang. Tulisan ini berdasarkan riset kecil dengan metode wawancara dengan orang yang lebih mengerti dan sumber terpercaya sebatas pengetahuan narasumber. Di samping itu kecintaan saya akan film -film kolosal, sandiwara radio era tahun 90-an tentang kerajaan - kerajaan di tanah Jawa mendorong saya untuk menulis. Tentu saja dengan keterbatasan ilmu pengetahuan yang saya miliki. Kidung Di Atas Tanah Jawi bercerita tentang perjalanan seorang pemuda bernama Arya Gading. Berlatar belakang kerajaan Pajang di bawah pemerintahan Sultan Hadiwijoyo. Cerita ini fiktif belaka. Baca dan nikmati. Salam Olahraga.........
Quote:

Quote:
Konten Sensitif
Quote:
EPISODE 1
GEGER DI PUCANG KEMBAR
gatra 1
gatra 2
gatra 3
gatra 4
gatra 5
gatra 6
gatra 7
gatra 8
gatra 9
gatra 10
gatra 11
gatra 12
gatra 13
gatra 14
gatra 15
gatra 16
gatra 17
gatra 18
gatra 19
gatra 20
gatra 21
gatra 22
gatra 23
gatra 24
gatra 25
gatra 26
gatra 27
gatra 28
gatra 29
gatra 30
gatra 31
gatra 32
gatra 33
gatra 34
gatra 35
gatra 36
gatra 37
gatra 38
gatra 39
gatra 40
gatra 41
gatra 42
gatra 43
gatra 44
gatra 45
gatra 46
gatra 47
gatra 48
gatra 49
Quote:
EPISODE 2
BARA API DI KAKI MERAPI
gatra 1
gatra 2
gatra 3
gatra 4
gatra 5
gatra 6
gatra 7
gatra 8
gatra 9
gatra 10
gatra 11
gatra 12
gatra 13
gatra 14
gatra 15
gatra 16
gatra 17
gatra 18
gatra 19
gatra 20
gatra 21
gatra 22
gatra 23
gatra 24
gatra 25
gatra 26
gatra 27
gatra 28
gatra 29
gatra 30
gatra 31
gatra 32
gatra 33
gatra 34
gatra 35
gatra 36
gatra 37
gatra 38
gatra 39
gatra 40
gatra 41
gatra 42
gatra 43
gatra 44
gatra 45
gatra 46
gatra 47
gatra 48
gatra 49
gatra 50
gatra 51
Quote:
Diubah oleh breaking182 30-12-2022 23:12
jundi666 dan 70 lainnya memberi reputasi
71
81.7K
Kutip
622
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
breaking182
#297
gatra 35
Quote:
KEEMPAT ORANG yang datang itu baru menyadari keadaan lawannya, mereka kini melihat keempat kawannya masih berkelahi dengan sekuat-kuat tenaga mereka dengan senjata di tangan. Namun lawannya yang hanya seorang itu, dengan tersenyum selalu menghindarkan diri dari serangan yang bagaimanapun dahsyatnya. Bahkan mereka pun kemudian melihat bahwa yang seorang itu masih belum mempergunakan senjatanya.
“Jangan berdiri seperti patung!” teriak Banaspati. “Apakah kalian menunggu kami menjadi bangkai?”
Teriakan itu benar-benar telah membangunkan mereka dari kekaguman mereka melihat kanuragan Bagus Abangan. Lincah, tangguh dan membingungkan. Karena itu segera mereka mencabut senjata masing-masing dan terjun ke dalam arena perkelahian itu.
“Apakah kalian tidak akan saling tusuk di antara kawan-kawan sendiri?” teriak Bagus Abangan.
Tak seorang pun yang menjawab. Namun kini kepungan mereka menjadi semakin rapat. Ujung-ujung senjata semakin cepat menyambar kulit Bagus Abangan dari segala arah.
Karena itu maka katanya kemudian, “Nah, sekarang baru aku merasa perlu mempergunakan pedang. Ayo, sebutkan jumlah kalian, berapa?”
Tetapi pertanyaan itu dijawab dengan serangan yang datang bertubi-tubi dengan sengitnya.
Namun akhirnya Bagus Abangan berhasil menghitung mereka, katanya, “Delapan. Aku harus mengurangi tiga di antara kalian. Aku hanya ingin melawan lima orang.”
“Gila!” geram Banaspati.
Tetapi segera ia terdiam ketika pedang Bagus Abangan yang baru saja ditarik itu hampir-hampir menyentuh hidungnya. Dan hampir-hampir cacat di wajahnya bertambah seleret lagi.Demikianlah perkelahian itu semakin lama menjadi semakin dahsyat. Dalam pada itu Banaspati masih menunggu beberapa orang kawannya yang sedang nganglang. Tetapi kawan-kawannya yang nganglang itu berada di tempat yang cukup jauh. Mereka tidak menyangka bahwa akan datang bahaya di perkemahan mereka, sehingga mereka kehilangan kewaspadaan. Mereka bahkan sedang asyik duduk di bawah pohon gayam sembari minum tuak. Karena itu maka mereka sama sekali tidak mendengar tanda yang dibunyikan oleh kawan Banaspati di perkemahan.
Maka Banaspati terpaksa bertempur dengan kawan-kawannya yang telah ada. Delapan orang. Kemudian datang pula dua orang. Bagus Abangan kemudian berkelahi dengan lincahnya melawan delapan orang. Ia menyangka bahwa ia akan dapat bermain-main dengan lawannya itu. Tetapi ternyata keadaannya berbeda dengan dugaannya. Orang –orang itu adalah sebenarnya cantrik –cantrik dari perguruan Jalatunda. Hanya satu dua dari mereka adalah orang-orang yang kurang baik. Namun yang lain adalah cantrik -cantrik yang cukup tanggung. Meskipun bukan orang-orang yang digdaya bilih tanding.
“Hem,” desis Bagus Abangan sambil meloncat-loncat, “ternyata kalian cukup terlatih. Karena itu, maka jangan lebih dari lima supaya aku dapat bermain-main dengan baik tanpa menyakiti kamu sekalian. Tetapi kalau di antara kalian tidak ada yang meninggalkan arena ini, aku terpaksa melemparkan mu.”
Tak seorang pun yang menjawab. Bahkan mereka bekerja semakin keras. Senjata-senjata mereka berganti-ganti sambar-menyambar tak henti-hentinya, sehingga semakin lama Bagus Abangan semakin merasa bahwa sangat berat baginya untuk melawan delapan orang itu sekaligus. Ia terpaksa sekali-sekali meloncat jauh ke belakang, kemudian dengan cepatnya melingkar dan menyerang seperti petir menyambar di udara.
Kedelapan orang itu pun merasa, betapa besar tenaga anak muda yang bernama Bagus Abangan itu. Kini Banaspati mulai dirayapi oleh kepercayaannya bahwa Bagus Abangan benar-benar mampu menempatkan diri hampir sejajar dengan Macan Ireng. Namun, betapapun kuatnya Bagus Abangan, untuk melawan delapan orang sekaligus adalah berat baginya. Karena itu, ia kemudian terpaksa bekerja mati-matian. Sebab kedelapan orang itu pun bekerja dengan keras dan bertempur mati-matian pula.
“Sebenarnya aku tak ingin menyakiti kalian,” teriak Bagus Abangan, “tetapi ternyata melawan kalian berdelapan adalah berat sekali. Kalian benar-benar orang - orang yang tangguh. Karena itu, seandainya pedangku melukai salah seorang dari kalian, janganlah kalian menjadi sakit hati.”
Kata-kata itu sama sekali tidak mendapat perhatian. Bahkan dengan demikian Banaspati dan kawan-kawannya merasa, bahwa Bagus Abangan merasa terdesak. Karena itu justru mereka memperketat tekanan mereka.
“Jangan berdiri seperti patung!” teriak Banaspati. “Apakah kalian menunggu kami menjadi bangkai?”
Teriakan itu benar-benar telah membangunkan mereka dari kekaguman mereka melihat kanuragan Bagus Abangan. Lincah, tangguh dan membingungkan. Karena itu segera mereka mencabut senjata masing-masing dan terjun ke dalam arena perkelahian itu.
“Apakah kalian tidak akan saling tusuk di antara kawan-kawan sendiri?” teriak Bagus Abangan.
Tak seorang pun yang menjawab. Namun kini kepungan mereka menjadi semakin rapat. Ujung-ujung senjata semakin cepat menyambar kulit Bagus Abangan dari segala arah.
Karena itu maka katanya kemudian, “Nah, sekarang baru aku merasa perlu mempergunakan pedang. Ayo, sebutkan jumlah kalian, berapa?”
Tetapi pertanyaan itu dijawab dengan serangan yang datang bertubi-tubi dengan sengitnya.
Namun akhirnya Bagus Abangan berhasil menghitung mereka, katanya, “Delapan. Aku harus mengurangi tiga di antara kalian. Aku hanya ingin melawan lima orang.”
“Gila!” geram Banaspati.
Tetapi segera ia terdiam ketika pedang Bagus Abangan yang baru saja ditarik itu hampir-hampir menyentuh hidungnya. Dan hampir-hampir cacat di wajahnya bertambah seleret lagi.Demikianlah perkelahian itu semakin lama menjadi semakin dahsyat. Dalam pada itu Banaspati masih menunggu beberapa orang kawannya yang sedang nganglang. Tetapi kawan-kawannya yang nganglang itu berada di tempat yang cukup jauh. Mereka tidak menyangka bahwa akan datang bahaya di perkemahan mereka, sehingga mereka kehilangan kewaspadaan. Mereka bahkan sedang asyik duduk di bawah pohon gayam sembari minum tuak. Karena itu maka mereka sama sekali tidak mendengar tanda yang dibunyikan oleh kawan Banaspati di perkemahan.
Maka Banaspati terpaksa bertempur dengan kawan-kawannya yang telah ada. Delapan orang. Kemudian datang pula dua orang. Bagus Abangan kemudian berkelahi dengan lincahnya melawan delapan orang. Ia menyangka bahwa ia akan dapat bermain-main dengan lawannya itu. Tetapi ternyata keadaannya berbeda dengan dugaannya. Orang –orang itu adalah sebenarnya cantrik –cantrik dari perguruan Jalatunda. Hanya satu dua dari mereka adalah orang-orang yang kurang baik. Namun yang lain adalah cantrik -cantrik yang cukup tanggung. Meskipun bukan orang-orang yang digdaya bilih tanding.
“Hem,” desis Bagus Abangan sambil meloncat-loncat, “ternyata kalian cukup terlatih. Karena itu, maka jangan lebih dari lima supaya aku dapat bermain-main dengan baik tanpa menyakiti kamu sekalian. Tetapi kalau di antara kalian tidak ada yang meninggalkan arena ini, aku terpaksa melemparkan mu.”
Tak seorang pun yang menjawab. Bahkan mereka bekerja semakin keras. Senjata-senjata mereka berganti-ganti sambar-menyambar tak henti-hentinya, sehingga semakin lama Bagus Abangan semakin merasa bahwa sangat berat baginya untuk melawan delapan orang itu sekaligus. Ia terpaksa sekali-sekali meloncat jauh ke belakang, kemudian dengan cepatnya melingkar dan menyerang seperti petir menyambar di udara.
Kedelapan orang itu pun merasa, betapa besar tenaga anak muda yang bernama Bagus Abangan itu. Kini Banaspati mulai dirayapi oleh kepercayaannya bahwa Bagus Abangan benar-benar mampu menempatkan diri hampir sejajar dengan Macan Ireng. Namun, betapapun kuatnya Bagus Abangan, untuk melawan delapan orang sekaligus adalah berat baginya. Karena itu, ia kemudian terpaksa bekerja mati-matian. Sebab kedelapan orang itu pun bekerja dengan keras dan bertempur mati-matian pula.
“Sebenarnya aku tak ingin menyakiti kalian,” teriak Bagus Abangan, “tetapi ternyata melawan kalian berdelapan adalah berat sekali. Kalian benar-benar orang - orang yang tangguh. Karena itu, seandainya pedangku melukai salah seorang dari kalian, janganlah kalian menjadi sakit hati.”
Kata-kata itu sama sekali tidak mendapat perhatian. Bahkan dengan demikian Banaspati dan kawan-kawannya merasa, bahwa Bagus Abangan merasa terdesak. Karena itu justru mereka memperketat tekanan mereka.
Quote:
BAGUS ABANGAN yang merasa semakin terdesak akhirnya menjadi marah pula. Darahnya semakin lama benar-benar semakin panas. Apalagi ketika kemudian sebuah goresan melukai punggungnya. Goresan itu tidak terlalu dalam. Namun goresan itu telah menyobek baju dan menyentuh kulitnya. Luka itu, meskipun tidak seberapa, namun karena darah yang menetes, maka hati Bagus Abangan telah benar-benar terbakar karenanya. Hilanglah kemudian segala pengamatan diri. Dan dengan demikian maka anak murid Hantu Gunung Sumbing itu menggeram dengan dahsyatnya. Sekali ia meloncat dengan lincahnya beberapa langkah surut, namun kemudian dengan cepatnya ia melingkar, menyerang menyambar-nyambar dengan sengitnya.
Perkelahian itu segera meningkat dengan cepatnya. Semakin lama semakin dahsyat. Masing-masing pihak telah mengerahkan segenap kemampuan yang ada pada mereka. Banaspati pun kemudian merasa, bahwa kekuatannya bersama kawan-kawannya dapat mengimbangi kelincahan Bagus Abangan yang hanya seorang itu. Tetapi untuk mengalahkan, menangkap atu membinasakan adalah sulit sekali. Bagus Abangan itu benar-benar seperti anak setan. Sekali ia menerobos di antara lawan-lawannya, namun kemudian melontar dan menyerang dari sisi dan belakang mereka. Kalau Banaspati dan kawan-kawannya berusaha untuk mengepungnya, maka usaha itu selalu gagal. Bagus Abangan mampu meloncat dengan jarak yang tidak dapat mereka jangkau dengan loncatan dan senjata.
Ketika pertempuran itu menjadi semakin meningkat, maka terdengarlah Banaspati berteriak, “Bunyikan kembali lagi titir. Supaya kawan-kawan kita yang nganglang mendengarnya.”
Kembali salah seorang dari mereka meloncat keluar arena perkelahian. Kali ini Bagus Abangan tidak membiarkannya. Tetapi ia tidak mampu mencegahnya, sebab tujuh orang yang lain dengan garangnya mencoba melindungi kawannya yang seorang itu.
“Gila!” teriak Bagus Abangan. “Bukan maksudku membunuh salah seorang dari kalian, tetapi kalian benar-benar keras kepala. Karena itu, aku akan terpaksa melakukannya.”
Maka Bagus Abangan itu pun kemudian sampai pada puncak permainannya. Rasa nyeri di punggungnya telah memaksanya untuk mendendam. Karena itu, maka sesaat kemudian, terdengar sebuah keluhan tertahan. Bajang meloncat surut dari lingkaran pertempuran sambil meraba pundaknya. Tampak darah yang merah segar meleleh dari luka itu.
“Anak setan!” teriaknya.
Bajang yang terluka itu kemudian dengan kemarahan yang membakar ubun-ubunnya meloncat kembali ke arena. Tetapi demikian ia sampai, terdengar pula orang lain mengeluh. Sekali lagi, salah seorang dari mereka meloncat ke luar arena. Kali ini agaknya lebih parah dari luka yang diderita Bajang. Ternyata darah mengucur dari tangannya. Dua buah jarinya terpenggal dan pedangnya terlempar jatuh.
Wajah orang yang kehilangan jari-jarinya itu menjadi merah padam. Merah padam karena menahan marah dan sakit. Penuh luapan amarah ia pindahkan pedangnya ke tangan kiri. Cepat ia meloncat kembali ke arena dengan pedang di tangan kiri. Meskipun tangan kirinya tidak setangkas tangan kanan, namun tandang grayangnya hampir-hampir tak berkurang.
Perkelahian itu segera meningkat dengan cepatnya. Semakin lama semakin dahsyat. Masing-masing pihak telah mengerahkan segenap kemampuan yang ada pada mereka. Banaspati pun kemudian merasa, bahwa kekuatannya bersama kawan-kawannya dapat mengimbangi kelincahan Bagus Abangan yang hanya seorang itu. Tetapi untuk mengalahkan, menangkap atu membinasakan adalah sulit sekali. Bagus Abangan itu benar-benar seperti anak setan. Sekali ia menerobos di antara lawan-lawannya, namun kemudian melontar dan menyerang dari sisi dan belakang mereka. Kalau Banaspati dan kawan-kawannya berusaha untuk mengepungnya, maka usaha itu selalu gagal. Bagus Abangan mampu meloncat dengan jarak yang tidak dapat mereka jangkau dengan loncatan dan senjata.
Ketika pertempuran itu menjadi semakin meningkat, maka terdengarlah Banaspati berteriak, “Bunyikan kembali lagi titir. Supaya kawan-kawan kita yang nganglang mendengarnya.”
Kembali salah seorang dari mereka meloncat keluar arena perkelahian. Kali ini Bagus Abangan tidak membiarkannya. Tetapi ia tidak mampu mencegahnya, sebab tujuh orang yang lain dengan garangnya mencoba melindungi kawannya yang seorang itu.
“Gila!” teriak Bagus Abangan. “Bukan maksudku membunuh salah seorang dari kalian, tetapi kalian benar-benar keras kepala. Karena itu, aku akan terpaksa melakukannya.”
Maka Bagus Abangan itu pun kemudian sampai pada puncak permainannya. Rasa nyeri di punggungnya telah memaksanya untuk mendendam. Karena itu, maka sesaat kemudian, terdengar sebuah keluhan tertahan. Bajang meloncat surut dari lingkaran pertempuran sambil meraba pundaknya. Tampak darah yang merah segar meleleh dari luka itu.
“Anak setan!” teriaknya.
Bajang yang terluka itu kemudian dengan kemarahan yang membakar ubun-ubunnya meloncat kembali ke arena. Tetapi demikian ia sampai, terdengar pula orang lain mengeluh. Sekali lagi, salah seorang dari mereka meloncat ke luar arena. Kali ini agaknya lebih parah dari luka yang diderita Bajang. Ternyata darah mengucur dari tangannya. Dua buah jarinya terpenggal dan pedangnya terlempar jatuh.
Wajah orang yang kehilangan jari-jarinya itu menjadi merah padam. Merah padam karena menahan marah dan sakit. Penuh luapan amarah ia pindahkan pedangnya ke tangan kiri. Cepat ia meloncat kembali ke arena dengan pedang di tangan kiri. Meskipun tangan kirinya tidak setangkas tangan kanan, namun tandang grayangnya hampir-hampir tak berkurang.
Quote:
TERNYATA KENTONGAN titir tanda bahaya yang kedua itu menggema, jauh lebih dalam dari yang terdahulu. Kawan-kawan Banaspati, sebanyak empat orang yang sedang nganglang dan tengah beristirahat minum tuak, terkejut mendengar tanda itu. Sesaat mereka berdiri termangu-mangu. Seakan-akan bunyi tanda bahaya itu terdengar di telinga mereka.
“Kau dengar,” bergumam salah seorang dari mereka.
“Ya, suara titir bersahut -sahutan” sahut yang lain.
“Aku hampir tak percaya. Apakah orang-orang desa dan para cantrik Pandan Arum telah menyerbu perkemahan kita?”
“Mungkin. Mungkin mereka sengaja menggempur kita di tengah malam buta ini.”
“Mari kita pulang.”
Keempatnya segera berlari-lari kembali ke kemah mereka. Mereka menyangka bahwa di dalam perkemahan itu telah terjadi peperangan antara teman- temannya yang jumlahnya sangat terbatas, melawan orang –orang desa yang dibantu oleh para cantrik Pandan Arum. Semakin dekat mereka dengan kemah mereka, hati mereka menjadi semakin berdebar-debar. Mereka masih belum melihat tanda-tanda peperangan di dalam perkemahan itu.
“Aneh,” desis salah seorang dari mereka.
Sebelum yang lain menyahut, mereka telah memasuki daerah perkemahan mereka.
“Tidak ada apa-apa,” gumam yang lain.
“Kita lihat berkeliling,” berkata yang lain pula.
Mereka segera berjalan berkeliling. Dilihatnya tempat-tempat penjagaan sudah kosong. Karena itu mereka pun menjadi semakin berhati-hati. Ketika mereka sampai di sisi utara, barulah mereka melihat kawan-kawannya berkumpul dalam satu lingkaran perkelahian. Mereka melihat kawan-kawan mereka berkelahi melawan satu orang saja.
“Gila!” teriak salah seorang dari mereka. “Apakah aku harus nonton permainan yang menggelikan ini.”
Banaspati yang memimpin pertempuran di antara kawan-kawannya itu menjadi marah. Jawabnya lantang, “Buka matamu, jangan mulutmu!”
Keempat kawannya itu berdiam diri. Sesaat mereka memandangi perkelahian itu. Dilihatnya beberapa orang kawan-kawannya telah menjadi payah. Bahkan ada yang terluka.
“Bukan main,” desis salah seorang dari mereka. “Siapa anak muda yang gila itu?”
Tiba-tiba salah seorang yang lain dapat mengenal wajah itu. Jawabnya, “Anak muda itu aku pernah melihatnya di gerbang padepokan Pandan Arum. Aku yakin dia salah seorang cantrik disana “
“ Nyali anak muda itu aku akui besar. Tetapi ia kini tak akan lolos lagi. Anak ular masuk di sarang alang -alap”
Orang itu pun segera berlari menghambur menerjunkan diri ke dalam arena pertempuran.Tetapi tiba-tiba langkahnya terhenti ketika ia mendengar salah seorang kawannya berteriak tinggi. Ia melihat sosok tubuh terhuyung-huyung. Untunglah ia cepat dapat menangkapnya.
“Dadaku,” kaluh orang itu. Dan dari dadanya mengalir darah dengan derasnya.
Karena itu ia tidak segera dapat bertempur. Dipapahnya orang itu menepi dan diserahkannya kepada dua orang dapur yang berdiri terpaku di sisi pertempuran itu. Namun ketiga kawan-kawannya yang lain telah meloncat pula mendahuluinya memasuki arena. Bagus Abangan yang melihat kehadiran keempat orang baru itu menjadi semakin marah. Dengan sekuat tenaga ia berhasil mengurangi satu lawan. Namun yang empat itu pasti lebih baik dari yang seorang yang terlempar dari perkelahian itu.
“Kalian benar-benar jemu hidup,” teriak Bagus Abangan. “Ternyata kalian tidak mau mendengar permintaanku. Karena itu, aku tidak akan dapat menahan ujung senjataku.”
“Persetan dengan kesombonganmu. Ternyata kau tidak akan dapat keluar dari perkemahan ini, sehingga kau akan berkubur di sini,” sahut Banaspati.
Namun suaranya itu disaut oleh sebuah teriakan. Satu lagi kawannya terluka. Telinganya tergores pedang Bagus Abangan, sehingga hampir putus. Tetapi dengan demikian yang akan dapat terjadi. Dengan demikian perkelahian itu semakin lama menjadi semakin dahsyat. Masing-masing telah menumpahkan segenap kamampuan yang ada pada diri mereka. Bagus Abangan yang hanya seorang itupun, tenpaksa memeras kesaktiannya. Untunglah ia murid Paraji Gading yang namanya menakutkan setiap orang yang mendengarnya. Namun melawan sekian banyak orang, maka akhirnya ia mendapat kesulitan juga. Bahkan nyawanya kini terancam.
“Kau dengar,” bergumam salah seorang dari mereka.
“Ya, suara titir bersahut -sahutan” sahut yang lain.
“Aku hampir tak percaya. Apakah orang-orang desa dan para cantrik Pandan Arum telah menyerbu perkemahan kita?”
“Mungkin. Mungkin mereka sengaja menggempur kita di tengah malam buta ini.”
“Mari kita pulang.”
Keempatnya segera berlari-lari kembali ke kemah mereka. Mereka menyangka bahwa di dalam perkemahan itu telah terjadi peperangan antara teman- temannya yang jumlahnya sangat terbatas, melawan orang –orang desa yang dibantu oleh para cantrik Pandan Arum. Semakin dekat mereka dengan kemah mereka, hati mereka menjadi semakin berdebar-debar. Mereka masih belum melihat tanda-tanda peperangan di dalam perkemahan itu.
“Aneh,” desis salah seorang dari mereka.
Sebelum yang lain menyahut, mereka telah memasuki daerah perkemahan mereka.
“Tidak ada apa-apa,” gumam yang lain.
“Kita lihat berkeliling,” berkata yang lain pula.
Mereka segera berjalan berkeliling. Dilihatnya tempat-tempat penjagaan sudah kosong. Karena itu mereka pun menjadi semakin berhati-hati. Ketika mereka sampai di sisi utara, barulah mereka melihat kawan-kawannya berkumpul dalam satu lingkaran perkelahian. Mereka melihat kawan-kawan mereka berkelahi melawan satu orang saja.
“Gila!” teriak salah seorang dari mereka. “Apakah aku harus nonton permainan yang menggelikan ini.”
Banaspati yang memimpin pertempuran di antara kawan-kawannya itu menjadi marah. Jawabnya lantang, “Buka matamu, jangan mulutmu!”
Keempat kawannya itu berdiam diri. Sesaat mereka memandangi perkelahian itu. Dilihatnya beberapa orang kawan-kawannya telah menjadi payah. Bahkan ada yang terluka.
“Bukan main,” desis salah seorang dari mereka. “Siapa anak muda yang gila itu?”
Tiba-tiba salah seorang yang lain dapat mengenal wajah itu. Jawabnya, “Anak muda itu aku pernah melihatnya di gerbang padepokan Pandan Arum. Aku yakin dia salah seorang cantrik disana “
“ Nyali anak muda itu aku akui besar. Tetapi ia kini tak akan lolos lagi. Anak ular masuk di sarang alang -alap”
Orang itu pun segera berlari menghambur menerjunkan diri ke dalam arena pertempuran.Tetapi tiba-tiba langkahnya terhenti ketika ia mendengar salah seorang kawannya berteriak tinggi. Ia melihat sosok tubuh terhuyung-huyung. Untunglah ia cepat dapat menangkapnya.
“Dadaku,” kaluh orang itu. Dan dari dadanya mengalir darah dengan derasnya.
Karena itu ia tidak segera dapat bertempur. Dipapahnya orang itu menepi dan diserahkannya kepada dua orang dapur yang berdiri terpaku di sisi pertempuran itu. Namun ketiga kawan-kawannya yang lain telah meloncat pula mendahuluinya memasuki arena. Bagus Abangan yang melihat kehadiran keempat orang baru itu menjadi semakin marah. Dengan sekuat tenaga ia berhasil mengurangi satu lawan. Namun yang empat itu pasti lebih baik dari yang seorang yang terlempar dari perkelahian itu.
“Kalian benar-benar jemu hidup,” teriak Bagus Abangan. “Ternyata kalian tidak mau mendengar permintaanku. Karena itu, aku tidak akan dapat menahan ujung senjataku.”
“Persetan dengan kesombonganmu. Ternyata kau tidak akan dapat keluar dari perkemahan ini, sehingga kau akan berkubur di sini,” sahut Banaspati.
Namun suaranya itu disaut oleh sebuah teriakan. Satu lagi kawannya terluka. Telinganya tergores pedang Bagus Abangan, sehingga hampir putus. Tetapi dengan demikian yang akan dapat terjadi. Dengan demikian perkelahian itu semakin lama menjadi semakin dahsyat. Masing-masing telah menumpahkan segenap kamampuan yang ada pada diri mereka. Bagus Abangan yang hanya seorang itupun, tenpaksa memeras kesaktiannya. Untunglah ia murid Paraji Gading yang namanya menakutkan setiap orang yang mendengarnya. Namun melawan sekian banyak orang, maka akhirnya ia mendapat kesulitan juga. Bahkan nyawanya kini terancam.
Dukung saya Gan, untuk mengikuti kompetisi cerpen di KASKUS
koment, rate dan share. Biar jadi HT
koment, rate dan share. Biar jadi HT
KUNJUNGI LINK DI ATAS. MATURSEMBAH NUWUN
Diubah oleh breaking182 11-07-2022 10:17
itkgid dan 10 lainnya memberi reputasi
11
Kutip
Balas