Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

albyabby91Avatar border
TS
albyabby91
"Kerja Paksa" di Pondok Pesantren (Sebuah Contoh Kasus)
"Kerja Paksa" di Pondok Pesantren

"Kerja Paksa" di Pondok Pesantren (Sebuah Contoh Kasus)

Anak kami dulu menentukan sendiri di pesantren mana dia akan melanjutkan pendidikannya. Saya dan istri hanya membuat list beberapa pesantren di wilayah DKI Jakarta dan Jawa Barat yang kami yakini baik platformnya. Selanjutnya kami melakukan survey ke seluruh pesantren itu.

Di setiap pesantren yang kami datangi, kami berkeliling. Melihat sarana dan prasarana pondok. Mengecek ruang-ruang kelas dan asrama santri. Tak lupa mengamati suasana belajar/mengajar serta kegiatan ekstra kurikuler. Tak jarang kami juga bertanya / mewawancarai beberapa orang santri untuk mendapatkan informasi yang lebih valid.

Setelah survey selesai, tinggal si anak menentukan, pesantren mana yang dia pilih. Kami hanya memberikan pertimbangan- pertimbangan supaya anak bisa lebih kuat dasarnya menentukan pilihan.

Akhirnya dia memutuskan memilih Pesantren Darunnajah VIII Gunung Sindur Kabupaten Bogor.

Kami sebagai orang tua sebenarnya agak terkejut juga atas pilihannya itu. Sebab menurut kami, secara fasilitas dan fisik bangunan, pesantren itu sangat sederhana. Jauh dari kesan megah dan mewah. Namun memang memiliki lingkungan yang asri. Penuh pepohonan. Biaya pendidikannya pun relatif sangat murah. Baik uang masuk, uang pembangunan, maupun biaya bulanannya. Jauh lebih murah dibanding pesantren-pesantren ternama lainnya di DKI / Jabar.

Apapun, itulah pilihan anak kami. Dan sesuai komitmen awal, kami harus menyetujui apapun pilihannya. Karena dia yang akan menjalaninya kelak. Meskipun sebenarnya kami punya pilihan yang rasanya lebih baik.

Pilihan pesantren telah ditetapkan. Tahap selanjutnya mendaftar dan mengikuti seleksi/ujian masuk. Alhamdulillah dimudahkan Allah dan lulus.

Selanjutnya melakukan proses pendaftaran ulang, melunasi pembayaran, dan urusan administrasi lainnya. Sepanjang proses ini, ada hal yang menarik perhatian kami.

Untuk semua urusan, umumnya kami berhadapan dengan petugas-petugas yang masih sangat-sangat muda. Sebagiannya, menurut perkiraan kami, masih anak-anak malahan.

Sejak pertama datang dan memarkir kendaraan, mengurus segala administrasi, mengukur baju seragam, membayar, dan lain-lain urusan, "anak-anak" itulah yang melayani kami. Mereka sangat percaya diri dan komunikatif. Tidak canggung berhadapan dan berkomunikasi dengan para orang tua calon santri baru. Namun tetap sangat santun.

Saya sempat salah memarkir kendaraan, kemudian didatangi oleh seorang anak, yang paling-paling baru seusia kelas 3 SMP. Dengan nada tegas namun sopan dia mempersilahkan saya pindah ke tempat parkir yang seharusnya. Sayapun pindah. "Hmm.. hebat juga anak ini," gumam saya melihat keberanian dan caranya yang elegan menegur saya yang nota bene mungkin seumuran dengan orang tuanya.

Setelah beberapa lama, barulah kami tersadar. Ternyata petugas-petugas itu semuanya Santri. Mulai dari santri kelas 2 sampai kelas 6 (setara kelas 3 SMA).

Oleh pengelola pesantren, mereka diberdayakan untuk melaksanakan proses penerimaan santri baru. Masing-masing Santri diberi tugas dan tanggung jawab berbeda. Termasuk anak laki-laki yang menegur saya itu, yang rupanya diberi tanggungjawab mengelola parkir tamu-tamu 🙂.

Praktis, tidak terlihat ada pegawai pesantren yang terlibat. Hanya terlihat beberapa orang dewasa yang sering dipanggil Ustad dan Ustadzah oleh "anak-anak" itu. Sepertinya mereka hanya mengawasi.

Tidak sampai disitu saja perhatian kami. Bulan bulan selanjutnya, ketika kami rutin Mudifah (mengunjungi anak 1 kali/bulan), kami juga mendapati, ternyata hampir seluruh aspek pengurusan pesantren ini dilakukan oleh santri.

Tiap berkunjung kami melihat ada santri yang menyapu, mengepel, melap kaca-kaca. Ada yang berkeliling mendorong gerobak sampah dan memindahkan sampah yang ada dalam tong sampah di seluruh penjuru pesantren ke gerobak yang mereka dorong. Ada yang memotong rumput liar yang sudah menyemak. Ada yang menata taman. Ada yang membersihkan MCK. Ada juga yang bertugas piket sebagai "Satpam". Dan lain-lain pekerjaan. Singkatnya, semua dikerjakan oleh santri.

Bahkan ketika ada acara-acara besar, para Santri juga yang bekerja mendirikan panggung besar dengan material batang-batang bambu dan menata seluruh areal acara. Santri-santri kelas 6 biasanya yang terlihat berperan dalam pekerjaan-pekerjaan berat seperti ini.

Hmm.. dengan kondisi demikian, akhirnya saya tersadar. Pantas saja pesantren ini biayanya relatif murah. Sebab mereka tidak perlu menggaji banyak pegawai. Tidak perlu membayar cleaning service, petugas kebersihan, satpam, tukang kebun, dan lain sebagainya. Para santri sekaligus menjadi "pegawai" pesantren. Konsep yang hebat menurut saya.

Kenapa hebat? Ya, bagi pihak pesantren ini jelas akan mengefisienkan biaya operasional. Sehingga bisa menekan biaya pendidikan serendah mungkin. Bagi masyarakat juga menguntungkan. Karena terdapat pesantren dengan biaya yang terjangkau namun tetap berkualitas. Sehingga relatif seluruh lapisan masyarakat sanggup mengaksesnya.

Dan bagi kami, para orang tua santri, "kerja paksa" di pesantren itu jelas juga sebuah bentuk pendidikan mental dan karakter yang baik untuk kepribadian anak. Anak diajar memiliki tanggung jawab. Mereka juga dilatih untuk mau bekerja, tidak hanya bicara. Mereka jadi menghargai profesi-profesi yang mungkin kesannya sepele, tapi sebenarnya sangat mempengaruhi berjalannya sistem organisasi.

Jelas, mereka tidak akan bisa belajar dengan baik jika lingkungan pesantren mereka kotor dan sampah berserakan dimana-mana. Oleh karena itu mereka akan berperilaku selalu menjaga kebersihan, tidak membuang sampah sembarangan, dan akan sangat memenghargai para petugas kebersihan. Karena mereka sendiri sudah merasakan bagaimana rasanya jadi petugas kebersihan yang tentunya akan sangat sebal melihat orang yang tidak berperilaku bersih atau membuang sampah sembarangan.

Selain itu, dengan "kerja paksa" di pesantren, mungkin baik bagi anak-anak kita yang barangkali di rumah sangat sulit kita minta untuk sekedar ikut membantu membersihkan rumah atau bahkan sekedar merapikan kamar tidurnya sendiri. Anak-anak juga sudah mendapatkan pengalaman kerja tanpa perlu magang ke instansi lain, seperti yang dialami santri-santri yang mengurus administrasi penerimaan santri baru. Mereka jadi percaya diri dan pemberani seperti anak petugas parkir tadi. Mereka menjadi kreatif dan terlatih bekerja sama dalam tim seperti santri-santri senior yang mendirikan panggung megah dengan memanfaatkan batang-batang bambu. Banyak manfaat "kerja paksa" ini..

Bagaimana dengan anak kami? Apakah dia merasa berat dengan pekerjaan-pekerjaan yang dibebankan pada dia? Pernah ketika kami berkunjung, dia sedang dapat tugas menyapu halaman asrama. Sedang menenteng-nenteng sapu begitu, Bunda nya meledek, "Mau main film Harry Potter, ya, Nak? Naik sapu terbang?" Dia tertawa dan melanjutkan pekerjaannya. Dia terlihat ceria dan tidak masalah dengan pekerjaannya itu.

Konsep "kerja paksa" yang hebat.. emoticon-Smilie
gramediapubl701
penikmatbucin
penikmatbucin dan gramediapubl701 memberi reputasi
5
1.4K
14
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The LoungeKASKUS Official
923.3KThread84.3KAnggota
Tampilkan semua post
spay21Avatar border
spay21
#8
Pesantren adalah model pendidikan terbaik
0
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.