- Beranda
- Stories from the Heart
KIDUNG DI ATAS TANAH JAWI
...
TS
breaking182
KIDUNG DI ATAS TANAH JAWI
Quote:
Menuliskan cerita yang berbau sejarah tidak gampang. Tulisan ini berdasarkan riset kecil dengan metode wawancara dengan orang yang lebih mengerti dan sumber terpercaya sebatas pengetahuan narasumber. Di samping itu kecintaan saya akan film -film kolosal, sandiwara radio era tahun 90-an tentang kerajaan - kerajaan di tanah Jawa mendorong saya untuk menulis. Tentu saja dengan keterbatasan ilmu pengetahuan yang saya miliki. Kidung Di Atas Tanah Jawi bercerita tentang perjalanan seorang pemuda bernama Arya Gading. Berlatar belakang kerajaan Pajang di bawah pemerintahan Sultan Hadiwijoyo. Cerita ini fiktif belaka. Baca dan nikmati. Salam Olahraga.........
Quote:

Quote:
Konten Sensitif
Quote:
EPISODE 1
GEGER DI PUCANG KEMBAR
gatra 1
gatra 2
gatra 3
gatra 4
gatra 5
gatra 6
gatra 7
gatra 8
gatra 9
gatra 10
gatra 11
gatra 12
gatra 13
gatra 14
gatra 15
gatra 16
gatra 17
gatra 18
gatra 19
gatra 20
gatra 21
gatra 22
gatra 23
gatra 24
gatra 25
gatra 26
gatra 27
gatra 28
gatra 29
gatra 30
gatra 31
gatra 32
gatra 33
gatra 34
gatra 35
gatra 36
gatra 37
gatra 38
gatra 39
gatra 40
gatra 41
gatra 42
gatra 43
gatra 44
gatra 45
gatra 46
gatra 47
gatra 48
gatra 49
Quote:
EPISODE 2
BARA API DI KAKI MERAPI
gatra 1
gatra 2
gatra 3
gatra 4
gatra 5
gatra 6
gatra 7
gatra 8
gatra 9
gatra 10
gatra 11
gatra 12
gatra 13
gatra 14
gatra 15
gatra 16
gatra 17
gatra 18
gatra 19
gatra 20
gatra 21
gatra 22
gatra 23
gatra 24
gatra 25
gatra 26
gatra 27
gatra 28
gatra 29
gatra 30
gatra 31
gatra 32
gatra 33
gatra 34
gatra 35
gatra 36
gatra 37
gatra 38
gatra 39
gatra 40
gatra 41
gatra 42
gatra 43
gatra 44
gatra 45
gatra 46
gatra 47
gatra 48
gatra 49
gatra 50
gatra 51
Quote:
Diubah oleh breaking182 30-12-2022 23:12
jundi666 dan 70 lainnya memberi reputasi
71
81.7K
Kutip
622
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
breaking182
#287
gatra 33
Quote:
KARENA ITU ketika Paraji Gading memakinya sekali lagi, berkatalah Welat Kuning, “Paraji Gading aku sudah siap. Kali ini aku pun membawa nyawa tiga rangkap. Ayo mulailah. Kalau kau berhasil membunuh aku satu kali, maka kedua nyawaku yang lain akan mampu mencekik lehermu itu”
Paraji Gading tidak menjawab. Sekali ia menggeram dan dengan dahsyatnya ia meloncat menerkam Welat Kuning. Namun Welat Kuning sudah siap. Karena itu maka sambil menghindar ia berkata, “ Paraji Gading sebenarnya aku sama sekali tidak menganggap perlu mempergunakan senjata ini. Namun terpaksa aku harus memeganginya terus supaya senjata ini tidak hilang apabila terus aku selipkan di pinggangku ini ”
Tetapi Welat Kuning itu terkejut ketika terasa sepasang pedang kembarnya menyentuh benda keras di tangan Paraji Gading. Barulah kini ia sadar. Di dalam kedua tangan hantu Gunung Sumbing itu tergenggam sepasang logam tajam setengah lingkaran dengan gerigi – gerigi di sepanjang bilah senjata itu. Dengan sepasang pisau bergerigi berbentuk menyerupai bulan sabit itu Paraji Gading menyambar sepasang pedang Welat Kuning. Namun untunglah Welat Kuning cepat menyadarinya, sehingga sepasang pedangnya tidak terloncat dari tangannya. Dengan demikian, maka Welat Kuning tidak dapat lagi berkelahi sambil membual. Ia harus benar-benar bertempur dengan segenap kewaspadaan dan kemampuan yang ada padanya.
Maka dalam keremangan cahaya bulan, tampaklah dua lingkaran perkelahian yang semakin lama menjadi semakin sengit. Paraji Gading yang menjadi amat marah itu pun bertempur dengan darah yang seolah-olah menyala membakar seluruh tubuhnya. Welat Kuning itu adalah sumber kegagalannya malam ini. Kegagalan atas rencananya. Dan kegagalan itu membuatnya sangat marah. Karena itu, maka Paraji Gading pun segera berusaha untuk menyingkirkan Welat Kuning supaya muridnya dapat membunuh Macan Ireng meskipun ia harus membantunya. Pikirannya yang tiba-tiba saja timbul untuk membunuh Macan Ireng dan membawa bukti kematian itu ke padepokan Pasanggaran, sangat mempengaruhinya. Dengan demikian ia ingin Bagus Abangan akan mendapat kepercayaan melampaui kepercayaannya yang telah didapat oleh Arya Gading.
Tetapi Welat Kuning ternyata bukan seorang yang bermalas-malasan saja. Ketika lawannya menjadi semakin dahsyat, maka gerakannya pun menjadi semakin tangguh. Ternyata murid dari bukit Jalatunda itu tidak mengecewakan. Ketika terasa olehnya bahwa kedua tangan Paraji Gading seakan-akan terbalut oleh selapis baja, maka Welat Kuning tidak lagi segan-segan mempergunakan pedangnya. Sepasang pedang kembar itu di tangan Welat Kuning berubah menjadi senjata yang sangat berbahaya.
Bulan di langit beredar dengan lambannya. Sepotong-sepotong awan mengalir keutara dihembus angin lembah yang lembut. Betapa dinginnya malam namun keempat orang yang sedang berjuang antara hidup dan mati itu telah basah oleh keringat yang mengalir dari segenap lubang-lubang di permukaan kulit mereka. Dan ketika tubuh-tubuh mereka telah menjadi basah, maka gerak mereka pun menjadi semakin cepat dan semakin lincah.
Bagus Abangan kini benar-benar telah menemukan nilai-nilai baru di dalam tata geraknya. Unsur-unsur yang dapat memberinya kekuatan dan kelincahan. Kakinya melontar-lontar dengan cepatnya membawa tubuhnya yang seakan-akan tidak memiliki berat. Seperti seonggok kapuk yang diputar angin pusaran, sekali melenting tinggi, kemudian menukik menyambar dengan sepasang pedang pendeknya.
Macan Ireng kini terpaksa melawannya dengan sepenuh kemampuannya. Bahkan kadang-kadang ia menjadi bingung melihat gerak Bagus Abangan. Tetapi Macan Ireng adalah seorang yang memiliki pengalaman yang sangat luas, sehingga sesaat kemudian ia telah berhasil menemukan keseimbangannya kembali. Meskipun terasa juga, kadang-kadang ujung pedang Bagus Abangan berhasil menggores kulitnya dan meneteskan darahnya, namun kini ia tidak menjadi cemas. Apabila sekali ia mencoba melihat perkelahian antara Paraji Gading dan Welat Kuning, maka terasa olehnya, bahwa keduanya pun mempunyai ilmu yang dapat disejajarkan, sehingga karenanya maka ia tidak perlu memecah perhatiannya, mencemaskan nasib Welat Kuning. Demikianlah, mereka berempat telah memeras tenaga masing-masing. Paraji Gading terpaksa mengakui, bahwa murid perguruan Jalatunda benar-benar mampu melawannya.
Paraji Gading tidak menjawab. Sekali ia menggeram dan dengan dahsyatnya ia meloncat menerkam Welat Kuning. Namun Welat Kuning sudah siap. Karena itu maka sambil menghindar ia berkata, “ Paraji Gading sebenarnya aku sama sekali tidak menganggap perlu mempergunakan senjata ini. Namun terpaksa aku harus memeganginya terus supaya senjata ini tidak hilang apabila terus aku selipkan di pinggangku ini ”
Tetapi Welat Kuning itu terkejut ketika terasa sepasang pedang kembarnya menyentuh benda keras di tangan Paraji Gading. Barulah kini ia sadar. Di dalam kedua tangan hantu Gunung Sumbing itu tergenggam sepasang logam tajam setengah lingkaran dengan gerigi – gerigi di sepanjang bilah senjata itu. Dengan sepasang pisau bergerigi berbentuk menyerupai bulan sabit itu Paraji Gading menyambar sepasang pedang Welat Kuning. Namun untunglah Welat Kuning cepat menyadarinya, sehingga sepasang pedangnya tidak terloncat dari tangannya. Dengan demikian, maka Welat Kuning tidak dapat lagi berkelahi sambil membual. Ia harus benar-benar bertempur dengan segenap kewaspadaan dan kemampuan yang ada padanya.
Maka dalam keremangan cahaya bulan, tampaklah dua lingkaran perkelahian yang semakin lama menjadi semakin sengit. Paraji Gading yang menjadi amat marah itu pun bertempur dengan darah yang seolah-olah menyala membakar seluruh tubuhnya. Welat Kuning itu adalah sumber kegagalannya malam ini. Kegagalan atas rencananya. Dan kegagalan itu membuatnya sangat marah. Karena itu, maka Paraji Gading pun segera berusaha untuk menyingkirkan Welat Kuning supaya muridnya dapat membunuh Macan Ireng meskipun ia harus membantunya. Pikirannya yang tiba-tiba saja timbul untuk membunuh Macan Ireng dan membawa bukti kematian itu ke padepokan Pasanggaran, sangat mempengaruhinya. Dengan demikian ia ingin Bagus Abangan akan mendapat kepercayaan melampaui kepercayaannya yang telah didapat oleh Arya Gading.
Tetapi Welat Kuning ternyata bukan seorang yang bermalas-malasan saja. Ketika lawannya menjadi semakin dahsyat, maka gerakannya pun menjadi semakin tangguh. Ternyata murid dari bukit Jalatunda itu tidak mengecewakan. Ketika terasa olehnya bahwa kedua tangan Paraji Gading seakan-akan terbalut oleh selapis baja, maka Welat Kuning tidak lagi segan-segan mempergunakan pedangnya. Sepasang pedang kembar itu di tangan Welat Kuning berubah menjadi senjata yang sangat berbahaya.
Bulan di langit beredar dengan lambannya. Sepotong-sepotong awan mengalir keutara dihembus angin lembah yang lembut. Betapa dinginnya malam namun keempat orang yang sedang berjuang antara hidup dan mati itu telah basah oleh keringat yang mengalir dari segenap lubang-lubang di permukaan kulit mereka. Dan ketika tubuh-tubuh mereka telah menjadi basah, maka gerak mereka pun menjadi semakin cepat dan semakin lincah.
Bagus Abangan kini benar-benar telah menemukan nilai-nilai baru di dalam tata geraknya. Unsur-unsur yang dapat memberinya kekuatan dan kelincahan. Kakinya melontar-lontar dengan cepatnya membawa tubuhnya yang seakan-akan tidak memiliki berat. Seperti seonggok kapuk yang diputar angin pusaran, sekali melenting tinggi, kemudian menukik menyambar dengan sepasang pedang pendeknya.
Macan Ireng kini terpaksa melawannya dengan sepenuh kemampuannya. Bahkan kadang-kadang ia menjadi bingung melihat gerak Bagus Abangan. Tetapi Macan Ireng adalah seorang yang memiliki pengalaman yang sangat luas, sehingga sesaat kemudian ia telah berhasil menemukan keseimbangannya kembali. Meskipun terasa juga, kadang-kadang ujung pedang Bagus Abangan berhasil menggores kulitnya dan meneteskan darahnya, namun kini ia tidak menjadi cemas. Apabila sekali ia mencoba melihat perkelahian antara Paraji Gading dan Welat Kuning, maka terasa olehnya, bahwa keduanya pun mempunyai ilmu yang dapat disejajarkan, sehingga karenanya maka ia tidak perlu memecah perhatiannya, mencemaskan nasib Welat Kuning. Demikianlah, mereka berempat telah memeras tenaga masing-masing. Paraji Gading terpaksa mengakui, bahwa murid perguruan Jalatunda benar-benar mampu melawannya.
Quote:
SEPASANG PEDANG di tangan Welat Kuning, berputaran, sekali mematuk, sekali menebas menyambar seperti hendak menebang roboh tubuh Paraji Gading itu. Namun hampir disetiap kesempatan Paraji Gading dengan beraninya memukul pedang lawannya dengan tangannya yang terlindung oleh sepasang pisau sabit bergerigi. Dalam benturan-benturan yang terjadi itu, maka menyalalah bunga api memercik ke udara. Setiap kali terjadi benturan, senjata Welat Kuning seperti melabrak dinding baja.
Paraji Gading pun kemudian terpaksa berjuang dengan sengitnya untuk segera mengalahkan Welat Kuning. Namun Welat Kuning tidak mau menerima keadaan dengan kedua tangan ngapurancang, Tetapi sepasang tangannya berjuang sekuat-kuat tenaganya. Pedangnya kadang-kadang menyambar dalam genggaman tangan kanannya, namun kemudian mematuk lagi dari sisi yang lain dalam kelincahan tangan kirinya.
“Demit, tetekan” Paraji Gading tak habis-habisnya mengumpat.
Tetapi lawannya sama sekali tidak takut mendengar umpatan itu, bahkan dengan serunya Welat Kuning melawannya tanpa mengenal lelah.
Di pihak lain, Bagus Abangan bertempur dengan sepenuh tekad melawan Macan Ireng. Kali ini ia seperti hendak menebus kekalahan dan segenap kekecewaannya dengan Arya Gading. Seperti juga gurunya, ia benar-benar ingin membunuh Macan Ireng. Namun ternyata Macan Ireng tidak menyerahkan lehernya begitu saja. Bahkan semakin lama Macan Ireng seakan-akan menjadi semakin segar. Pedangnya yang berukuran sangat panjang itu menjadi semakin cepat bergerak menyambar-nyambar seperti burung garuda yang bertempur di udara.
Mula-mula Bagus Abangan berbangga dengan kemenangan-kemenangan kecilnya. Ketika sekali dua kali ujung pedangnya mampu meneteskan darah dari tubuh Macan Ireng. Namun kemudian terasa, bahwa kulitnya pasti menjadi tergors dan pedih pula. Setiap sentuhan ujung pedang Macan Ireng yang tipis namun tajam itu, seakan-akan benar-benar mencengkeram sekujur tubuhnya.
Meskipun ia selalu dapat menghindarkan dirinya dari benturan langsung, atau dengan sepasang senjatanya menghentikan ayunan senjata lawannya, namun terasa ujung pedang itu menyengat-nyengat tubuhnya semakin lama semakin sering. Sehingga dengan demikian, maka Bagus Abangan kemudian tidak lagi dapat membanggakan kelebihan-kelebihan yang ada padanya. Betapa ia menjadi semakin lincah di saat-saat terkhir, namun lawannya pun ternyata cukup tangguh untuk mengimbanginya.
Karena itulah maka perkelahian itu semakin lama menjadi semakin seru. Ketika bulan menjadi semakin merendah ke garis cakrawala di ujung barat, maka mereka yang bertempur itu semakin ngetok kekuatan. Mereka tidak mau masing-masing menjadi korban dari perkelahian itu, dan mereka masing-masing berusaha untuk mengalahkan lawannya sebelum pasangannya dapat dikalahkan.
Tetapi kemudian, perkelahian itu menjadi terganggu karenanya. Dikejauhan mereka melihat tiga bayangan yang bergerak-gerak dalam keremangan cahaya bulan. Tiga bayangan manusia yang datang mendekat daerah perkelahian itu.
Baik Paraji Gading maupun Welat Kuning bertanya-tanya di dalam hati mereka, siapakah mereka, orang-orang yang mendatangi itu. Macan Ireng dan Bagus Abangan pun kemudian melihat mereka pula. Karena itu, maka mereka menjadi berdebar-debar. Tetapi mereka tidak dapat menghentikan perkelahian itu. Perkelahian itu adalah perkelahian antara hidup dan mati. Namun kalau yang datang itu kawan dari salah satu pihak, maka keseimbangan perkelahian itu akan terganggu.
Paraji Gading pun kemudian terpaksa berjuang dengan sengitnya untuk segera mengalahkan Welat Kuning. Namun Welat Kuning tidak mau menerima keadaan dengan kedua tangan ngapurancang, Tetapi sepasang tangannya berjuang sekuat-kuat tenaganya. Pedangnya kadang-kadang menyambar dalam genggaman tangan kanannya, namun kemudian mematuk lagi dari sisi yang lain dalam kelincahan tangan kirinya.
“Demit, tetekan” Paraji Gading tak habis-habisnya mengumpat.
Tetapi lawannya sama sekali tidak takut mendengar umpatan itu, bahkan dengan serunya Welat Kuning melawannya tanpa mengenal lelah.
Di pihak lain, Bagus Abangan bertempur dengan sepenuh tekad melawan Macan Ireng. Kali ini ia seperti hendak menebus kekalahan dan segenap kekecewaannya dengan Arya Gading. Seperti juga gurunya, ia benar-benar ingin membunuh Macan Ireng. Namun ternyata Macan Ireng tidak menyerahkan lehernya begitu saja. Bahkan semakin lama Macan Ireng seakan-akan menjadi semakin segar. Pedangnya yang berukuran sangat panjang itu menjadi semakin cepat bergerak menyambar-nyambar seperti burung garuda yang bertempur di udara.
Mula-mula Bagus Abangan berbangga dengan kemenangan-kemenangan kecilnya. Ketika sekali dua kali ujung pedangnya mampu meneteskan darah dari tubuh Macan Ireng. Namun kemudian terasa, bahwa kulitnya pasti menjadi tergors dan pedih pula. Setiap sentuhan ujung pedang Macan Ireng yang tipis namun tajam itu, seakan-akan benar-benar mencengkeram sekujur tubuhnya.
Meskipun ia selalu dapat menghindarkan dirinya dari benturan langsung, atau dengan sepasang senjatanya menghentikan ayunan senjata lawannya, namun terasa ujung pedang itu menyengat-nyengat tubuhnya semakin lama semakin sering. Sehingga dengan demikian, maka Bagus Abangan kemudian tidak lagi dapat membanggakan kelebihan-kelebihan yang ada padanya. Betapa ia menjadi semakin lincah di saat-saat terkhir, namun lawannya pun ternyata cukup tangguh untuk mengimbanginya.
Karena itulah maka perkelahian itu semakin lama menjadi semakin seru. Ketika bulan menjadi semakin merendah ke garis cakrawala di ujung barat, maka mereka yang bertempur itu semakin ngetok kekuatan. Mereka tidak mau masing-masing menjadi korban dari perkelahian itu, dan mereka masing-masing berusaha untuk mengalahkan lawannya sebelum pasangannya dapat dikalahkan.
Tetapi kemudian, perkelahian itu menjadi terganggu karenanya. Dikejauhan mereka melihat tiga bayangan yang bergerak-gerak dalam keremangan cahaya bulan. Tiga bayangan manusia yang datang mendekat daerah perkelahian itu.
Baik Paraji Gading maupun Welat Kuning bertanya-tanya di dalam hati mereka, siapakah mereka, orang-orang yang mendatangi itu. Macan Ireng dan Bagus Abangan pun kemudian melihat mereka pula. Karena itu, maka mereka menjadi berdebar-debar. Tetapi mereka tidak dapat menghentikan perkelahian itu. Perkelahian itu adalah perkelahian antara hidup dan mati. Namun kalau yang datang itu kawan dari salah satu pihak, maka keseimbangan perkelahian itu akan terganggu.
Quote:
SESAAT MACAN IRENG menggeram keras sekali. Tiba-tiba ia memperketat tekanannya. Ia melihat satu tenaga cadangan yang akan mampu mempercepat penyelesaiannya. Kalau ia mengerahkan tenaganya dan berhasil, maka perkelahian itu akan menjadi semakin cepat selesai. Tetapi kalau tidak, maka akibatnya ia akan menjadi lebih dahulu kelelahan dan mungkin ia akan menjadi korban. Namun ia tidak dapat berbuat lain. Ketiga bayangan yang menjadi semakin dekat itu benar-benar mengganggunya.
Akibatnya terasa pula oleh Bagus Abangan. Serangan Macan Ireng menjadi bertambah dahsyat. Sedahsyat angin prahara yang melanda tebing pegunungan, menggetarkan pepohonan dan menggugurkan daun-daunnya. Sekali Bagus Abangan terpaksa meloncat surut, namun Macan Ireng mengejarnya terus.
Serangan Bagus Abangan itu serasa benar-benar menyusup dari segenap arah, mematuk seluruh bagian tubuhnya. Dengan demikian maka Bagus Abangan pun terseret kedalam pencurahan segenap tenaga, segenap kekuatan dan segenap kemampuannya. Namun, meskipun demikian, maka amat sulitlah baginya untuk segera dapat membebaskan diri dari belitan serangan Macan Ireng yang seperti lesus itu.
Pada saat-saat terakhir, Paraji Gading sebenarnya telah menemukan titik –titik kelemahan lawannya. Betapapun saktinya Welat Kuning, namun pada orang itu masih terdapat beberapa kelemahan. Meskipun Welat Kuning mampu mengimbangi hampir setiap usaha Paraji Gading untuk menembus pertahanannya, namun lambat laun, terasa bahwa Paraji Gading masih selapis berada di atas Welat Kuning.
Tetapi pada saat yang demikian, pada saat Paraji Gading memperkuat tekanannya untuk segera mengakhiri perkelahian itu, supaya ia sempat memenggal leher Macan Ireng, maka pada saat yang demikian itu pula, Bagus Abangan terpaksa beberapa kali beringsut surut.
“Gila” desis Paraji Gading itu, “Macan Ireng benar-benar berkelahi seperti seekor harimau jantan yang garang”
Dengan menggeram keras sekali ia mencoba mengakhiri perkelahiannya dengan Welat Kuning, ketika dengan tangan kirinya ia memukul pedang Welat Kuning ke samping, dan dengan tangannya yang lain, Paraji Gading berusaha menyambar leher lawannya itu. Namun usahanya masih belum berhasil, Welat Kuning masih mampu menggenggam pedang itu di tangannya, dan masih mampu melontar ke samping sambil merendahkan dirinya, sehingga tangan Paraji Gading yang bersenjatakan pisau menyerupai sabit itu hanya terbang beberapa jari dari lehernya. Sesaat kemudian ketika Paraji Gading berusaha menerkamnya, maka Welat Kuning sudah mampu mempersiapkan dirinya, dan menjulurkan pedangnya di muka dadanya. Bahkan kemudian ketika Paraji Gading mengurungkan serangannya, Welat Kuninglah yang meloncat maju dengan sebuah ayunan pendek.
Namun kembali Paraji Gading mengumpat di dalam hatinya. Kini ia benar-benar melihat muridnya dalam kesulitan. Karena itu maka mau tidak mau ia harus membagi perhatiannya. Namun karena orang tua itu memiliki pengalaman yang bertimbun-timbun di dalam perbendaharaan ilmunya, maka segera ia menemukan jalan untuk menyelamatkan muridnya tanpa mengorbankan kehormatannya.
Dengan lantang kemudian ia berkata, “Ayo, kalian berdua saudara seperguruan, ilmu kalian berdua bersumber dari perguruan yang sama. Kalau ternyata kau tidak mampu melawan aku seorang diri, marilah, aku beri kesempatan kalian bertempur berpasangan. Muridku pasti akan senang juga melayanimu dengan cara itu”
“Kau licik” sahut Welat Kuning, “Agaknya kau telah melihat bahwa muridmu telah hampir sampai pada titik ajalnya”
“Persetan, aku sobek mulutmu itu”
“Silakanlah” jawab Welat Kuning.
Paraji Gading menggeretakkan giginya. Namun ia tidak merubah rencana. Langsung ia melepaskan Welat Kuning dan berlari ke arah Bagus Abangan yang semakin terdesak. Dengan demikian maka Welat Kuning tidak dapat berbuat lain daripada berlari pula mengejar Paraji Gading itu.
Sesaat kemudian maka mereka terlibat dalam pertempuran berpasangan. Mula-mula Welat Kuning dan Macan Ireng agak canggung juga menyesuaikan diri masing-masing, namun karena mereka bersumber pada ilmu yang sama, maka segera mereka menemukan titik-titik yang dapat membuka kemungkinan-kemungkinan seterusnya.
Akibatnya terasa pula oleh Bagus Abangan. Serangan Macan Ireng menjadi bertambah dahsyat. Sedahsyat angin prahara yang melanda tebing pegunungan, menggetarkan pepohonan dan menggugurkan daun-daunnya. Sekali Bagus Abangan terpaksa meloncat surut, namun Macan Ireng mengejarnya terus.
Serangan Bagus Abangan itu serasa benar-benar menyusup dari segenap arah, mematuk seluruh bagian tubuhnya. Dengan demikian maka Bagus Abangan pun terseret kedalam pencurahan segenap tenaga, segenap kekuatan dan segenap kemampuannya. Namun, meskipun demikian, maka amat sulitlah baginya untuk segera dapat membebaskan diri dari belitan serangan Macan Ireng yang seperti lesus itu.
Pada saat-saat terakhir, Paraji Gading sebenarnya telah menemukan titik –titik kelemahan lawannya. Betapapun saktinya Welat Kuning, namun pada orang itu masih terdapat beberapa kelemahan. Meskipun Welat Kuning mampu mengimbangi hampir setiap usaha Paraji Gading untuk menembus pertahanannya, namun lambat laun, terasa bahwa Paraji Gading masih selapis berada di atas Welat Kuning.
Tetapi pada saat yang demikian, pada saat Paraji Gading memperkuat tekanannya untuk segera mengakhiri perkelahian itu, supaya ia sempat memenggal leher Macan Ireng, maka pada saat yang demikian itu pula, Bagus Abangan terpaksa beberapa kali beringsut surut.
“Gila” desis Paraji Gading itu, “Macan Ireng benar-benar berkelahi seperti seekor harimau jantan yang garang”
Dengan menggeram keras sekali ia mencoba mengakhiri perkelahiannya dengan Welat Kuning, ketika dengan tangan kirinya ia memukul pedang Welat Kuning ke samping, dan dengan tangannya yang lain, Paraji Gading berusaha menyambar leher lawannya itu. Namun usahanya masih belum berhasil, Welat Kuning masih mampu menggenggam pedang itu di tangannya, dan masih mampu melontar ke samping sambil merendahkan dirinya, sehingga tangan Paraji Gading yang bersenjatakan pisau menyerupai sabit itu hanya terbang beberapa jari dari lehernya. Sesaat kemudian ketika Paraji Gading berusaha menerkamnya, maka Welat Kuning sudah mampu mempersiapkan dirinya, dan menjulurkan pedangnya di muka dadanya. Bahkan kemudian ketika Paraji Gading mengurungkan serangannya, Welat Kuninglah yang meloncat maju dengan sebuah ayunan pendek.
Namun kembali Paraji Gading mengumpat di dalam hatinya. Kini ia benar-benar melihat muridnya dalam kesulitan. Karena itu maka mau tidak mau ia harus membagi perhatiannya. Namun karena orang tua itu memiliki pengalaman yang bertimbun-timbun di dalam perbendaharaan ilmunya, maka segera ia menemukan jalan untuk menyelamatkan muridnya tanpa mengorbankan kehormatannya.
Dengan lantang kemudian ia berkata, “Ayo, kalian berdua saudara seperguruan, ilmu kalian berdua bersumber dari perguruan yang sama. Kalau ternyata kau tidak mampu melawan aku seorang diri, marilah, aku beri kesempatan kalian bertempur berpasangan. Muridku pasti akan senang juga melayanimu dengan cara itu”
“Kau licik” sahut Welat Kuning, “Agaknya kau telah melihat bahwa muridmu telah hampir sampai pada titik ajalnya”
“Persetan, aku sobek mulutmu itu”
“Silakanlah” jawab Welat Kuning.
Paraji Gading menggeretakkan giginya. Namun ia tidak merubah rencana. Langsung ia melepaskan Welat Kuning dan berlari ke arah Bagus Abangan yang semakin terdesak. Dengan demikian maka Welat Kuning tidak dapat berbuat lain daripada berlari pula mengejar Paraji Gading itu.
Sesaat kemudian maka mereka terlibat dalam pertempuran berpasangan. Mula-mula Welat Kuning dan Macan Ireng agak canggung juga menyesuaikan diri masing-masing, namun karena mereka bersumber pada ilmu yang sama, maka segera mereka menemukan titik-titik yang dapat membuka kemungkinan-kemungkinan seterusnya.
Diubah oleh breaking182 09-07-2022 08:42
simounlebon memberi reputasi
19
Kutip
Balas