- Beranda
- Stories from the Heart
JANJI? (MINI SERIES)
...
TS
beavermoon
JANJI? (MINI SERIES)
Pernahkah kalian jatuh cinta? Pernahkah kalian menyembunyikan perasaan kepada orang yang kalian suka? Kenapa kalian menyembunyikan hal itu? Bukankah lebih baik untuk mengutarakannya?
Fika dan Rama akan menemani perjalanan kalian dalam mencari tahu jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas. Bersyukurlah jika kalian dapat menemukan jawabannya, namun jika tidak?
Spoiler for Episode:
Diubah oleh beavermoon 16-06-2022 12:03
ndoro_mant0 dan 7 lainnya memberi reputasi
4
3.1K
Kutip
40
Balasan
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.6KThread•43KAnggota
Tampilkan semua post
TS
beavermoon
#29
Episode 26 (Finale)
Spoiler for Episode 26 (Finale):
Kamar Rama terasa sangat hening, hanya terdengar suara detik jam yang terpasang di dinding kamarnya. Sesekali terdengar suara lembaran buku yang dibalik dengan sengaja oleh Fika, setelah menyelesaikan satu halaman untuk dibaca.
Ia kembali melihat ke arah sekeliling, Fika menutup buku tersebut. Ia memasukkan buku milik Rama ke dalam tas miliknya, ia kembali duduk di lantai lalu bersandar di tepian tempat tidur Rama untuk mengurangi rasa curiga. Benar saja, tak lama kemudian Rama ke luar dari dalam kamar mandi lalu kembali duduk di samping Fika.
“Gimana urusannya?” Tanya Fika kemudian tersenyum.
“Kita makan apa aja sih tadi? Ngga biasanya aku berurusan tengah malem begini.” Tanya Rama heran.
“Tadi pagi kita makan cemilan yang dikasih sama Kampus, terus abis dari makam kita makan Mi Ayam...”
Rama menatap ke arah Fika.
“...malem ini kita makan Ayam Goreng yang dibuat sama Lea. Kayaknya makanan Lea deh, soalnya kan tadi pedes.” Jelas Fika.
“Bisa jadi sih.” Ucap Rama.
Rama dan Fika kembali minum secara perlahan, kemudian Fika menyandarkan kepalanya pada pundak Rama. Beberapa saat mereka duduk dalam diam, membiarkan detik jam yang berbicara.
“Ram...”
Ucapan Fika memecah suasana.
“...kamu percaya ngga sama yang namanya takdir?” Tanya Fika.
“Pertanyaan kamu terlalu abu-abu Fik. Takdir itu banyak ragam bentuknya, ada yang bisa kita percaya dan sebaliknya pun juga ada.” Jawab Rama.
“Misalkan gini, ada dua orang yang emang udah ditakdirkan untuk bersama, tapi mereka berusaha sekeras mungkin untuk menolak takdir itu.” Kata Fika.
Rama menghela nafasnya, “Ngga ada jaminan mereka ditakdirkan untuk terus bersama. Bisa aja itu bukan ujungnya, akan ada banyak ujung-ujung lain yang mereka belum tau. Abu-abu sih kalau mereka berusaha menolak itu.”
“Sekeras apapun mereka berusaha, kalau emang takdirnya bukan itu ya bisa dibilang percuma atau sia-sia?” Tanya Fika lagi.
“Ngga ada yang namanya sia-sia Fik. Semua itu akan berproses ke satu arah yang mereka tuju, pasti akan selalu ada hasilnya. Kata sia-sia atau percuma, buat aku tuh kata-kata yang seharusnya ngga ada. Semuanya akan membuahkan hasil, apapun hasilnya nanti.” Jelas Rama.
“Jadi ngga ada yang sia-sia?” Tanya Fika.
Fika menatap ke arah Rama yang mengangguk dengan pasti. Rama pun menatap ke arah Fika.
“Kamu punya keraguan sama takdir?” Tanya Rama.
Fika mengangguk pelan, “Ragu yang berujung resah sih. Kenapa sih harus begini, kenapa bukan begitu? Seandainya begitu kan aku bisa aja ngelakuin ini, tapi sekarang aku harus ngelakuin itu. Semoga kamu paham sih sama penjelasan aku.”
“Kalau orang lain yang denger sih pasti akan ngediemin kamu setelah denger itu...”
Mereka sempat tertawa kecil bersama.
“...mungkin kita harus belajar yang namanya menerima Fik. Jujur aja sih, kadang aku juga sempat mikir kayak gitu. Setelah itu aku baru mikir, kayaknya harus belajar buat menerima apapun deh.” Jawab Rama.
“Menerima?” Tanya Fika.
Rama mengangguk, “Menerima apapun hasil dan konsekuensi dari apa yang kita pilih, dan ternyata itu pun cukup sulit untuk dilakukan.”
Apa yang diucapkan Rama membuka sudut pandang lain bagi Fika. Akan selalu ada hasil dan konsekuensi dari apa yang kita pilih dan kita lakukan. Terkadang setelah susah payah untuk melakukan apa yang kita pilih, kita terlalu berharap dengan hasil yang sesuai. Hasil yang tak sesuai pun membuat kita sulit menerima, padahal itu tetap hasil dari usaha kita.
Lalu bagaimana dengan konsekuensi? Jalan mana yang sudah dipilih tak jarang membuat kita lupa dengan konsekuensinya, bahkan hal itu menjadi nomor sekian. Kita pun lupa, setiap pilihan mempunyai konsekuensinya masing-masing. Baik atau buruk sudah menjadi urusan personal, tinggal bagaimana kita menerima konsekuensi dari apa yang sudah kita pilih.
Seperti Fika, ia sudah memilih jalannya untuk menutupi perasaanya kepada Rama. Ia pun seharusnya tau konsekuensi apa yang akan ia terima seiring berjalannya waktu, bahkan ia harus menerima apapun hasil dari rahasianya.
Entah sudah berapa lama berlalu, Fika masih terjaga. Ia merebahkan dirinya ke arah samping, dalam diam memandangi Rama yang sudah terlelap dalam tidurnya di atas sofa. Meskipun ini kamar Rama, ia tidak mau membuat Fika tidur di atas sofa.
“Hasil...”
Fika berbicara pelan kepada dirinya sendiri.
“...Konsekuensi.” Ucapnya.
Fika bangun dari tidurnya, ia melangkah pelan ke arah Rama. Ia mematung memandangi Rama, sampai akhirnya ia mendekatkan wajahnya kepada Rama. Tanpa ragu, Fika mencium Rama. Dalam hening, ia mencoba meluapkan seluruh isi hatinya, membiarkan hasrat yang selama ini tersimpan rapat-rapat terbang bebas. Ia pun tidak peduli jika Rama menyandari akan hal itu, ia sungguh tidak peduli.
Fika sempat menahan bibirnya, saat air matanya menetes melewati pipinya. Entah kesedihan yang ia rasa, entah kebahagiaan, ia kembali mencium Rama meski air matanya tak berhenti menetes.
Fika menjauhkan wajahnya dari Rama, terlihat sisa air mata yang melewati pipinya. Ia tak mencoba untuk sedikitpun menyeka, Fika membalikkan badannya lalu kembali merebahkan diri di atas tempat tidur Rama. Matanya pun terpejam, namun tetesan air mata masih berlinang.
*
Apa hal yang terjadi setelah adanya sebuah pertemuan? Perpisahan. Seberapa lama kalian mengenal seseorang sampai akhirnya berakhir dengan perpisahan? Akan selalu ada perpisahan berapa lamapun sejak pertemuan, entah karena berpindah tempat, sengaja untuk berpisah, bahkan kematian. Lantas, apakah ada pertemuan yang kekal abadi? Tidak. Semua akan menemui perpisahan pada waktu yang tak terduga.
Fika mengunci pintu rumahnya, ia melihat ke arah Rama yang sedang memasukkan koper ke dalam bagasi mobilnya. Fika berjalan mendekat ke arah Rama.
“Ngga ada yang ketinggalan kan?” Tanya Rama.
Fika menggeleng, “Semua yang harus aku bawa udah masuk ke dalam koper sama tas yang lagi aku pakai, sisanya biarin di sini aja.”
Fika memberikan kunci rumahnya kepada Rama. Rama pun menerima kunci tersebut lalu memasukannya ke dalam saku celana.
“Sesekali tolong kamu liatin rumah ya Ram.” Pinta Fika.
Rama mengangguk pertanda setuju. Mereka pun masuk ke dalam mobil lalu pergi meninggalkan rumah pada sore hari ini. Jalanan tidak terlalu ramai, mungkin karena belum waktunya orang-orang untuk pulang. Setelah melewati pintu tol, Rama membuka jendela lalu menyalakan sebatang rokok. Asapnya pun sekejap terhapus oleh angin dari luar.
“Besok kamu udah mulai kerja kan?” Tanya Fika.
Rama mengangguk, “Kamu juga langsung kerja kan besok?”
Fika bergantian mengangguk, “Ngga nyangka ya Ram, semuanya berjalan lebih cepet dari yang pernah aku bayangin. Aku pikir mungkin beberapa tahun lagi aku baru bisa berangkat ke sana.”
Rama tersenyum, “Jangan sia-siain kesempatan ini. Manfaatin sebaik-baiknya selagi masih ada, tapi jangan sampai lupa diri aja.”
“Aku ngga mau tau...”
Rama menatap ke arah Fika.
“...pokoknya kamu wajib ceritain gimana rasanya kerja di perusahaan, keluh kesah yang kamu rasain, semuanya harus kamu ceritain.” Ucap Fika.
Rama tersenyum seraya mengangguk, kemudian ia kembali fokus menatap ke arah depan. Fika juga ikut menatap ke arah depan menyandarkan tubuhnya, sesekali ia menatap ke arah Rama dalam diam.
Beberapa saat berlalu, mobil yang dikemudikan Rama masuk ke dalam area Bandara. Ia melewati pintu masuk menuju area parkir, beberapa menit berlalu akhirnya ia menemukan tempat untuk meletakkan mobilnya.
Rama dan Fika pun ke luar dari dalam mobil, Rama menuju bagasi untuk mengeluarkan koper milik Fika. Mereka berjalan bersampingan masuk ke dalam Bandara.
Bandara menjadi satu-satunya tempat yang tidak akan pernah sepi, baik orang yang berpergian atau orang yang datang untuk mengantarkan. Fika menggenggam tangan Rama, mereka masuk ke dalam lift yang hampir terisi penuh.
“Ramai juga ya Ram.” Ucap Fika pelan.
“Wajar aja sih Fik.” Sahut Rama.
Pintu liftterbuka, Rama dan Fika ke luar terlebih dahulu karena mereka yang paling dekat dengan pintu. Dengan santai mereka berjalan, sesekali mereka melihat ke arah sekeliling jika menemukan sesuatu yang cukup menarik bagi mereka.
“Kamu mau makan dulu?” Tanya Rama.
“Aku masuk dulu deh buat check-in, kamu tunggu di sini dulu ya.” Jawabnya.
Rama mengangguk dengan pasti, Fika membawa koper miliknya untuk masuk ke dalam. Ia melewati pemeriksaan pertama di mana ia diminta untuk menunjukkan tiket dan juga paspor, setelah itu koper yang ia bawa melewati pemeriksaan x-ray untuk memeriksa apakah barang bawaannya aman atau tidak.
Semua dinyatakan aman, Fika berjalan membawa kopernya menuju konter maskapai penerbangan untuk kembali mengisi jadwal penerbangannya. Ia menyerahkan koper miliknya, setelah itu ia kembali berjalan ke luar menuju Rama yang masih berdiri menunggu kedatangannya lagi.
“Ram...”
Rama menoleh ke arah Fika.
“...kayaknya aku makan di Pesawat aja deh, soalnya penerbangannya sebentar lagi.” Ucap Fika.
“Oh emang iya ya?...” Rama melihat jam tangannya, “yaudah kalau gitu nanti aja Fik nggapapa.”
Ada rombongan orang-orang yang berjalan ke luar, Rama kembali menarik tangan Fika untuk memberikan jalan kepada orang-orang tersebut.
“Kayaknya mereka baru pulang dari wisata ya Ram.” Ucap Fika.
“Kamu tau dari mana?” Tanya Rama heran.
Fika menatap ke arah Rama, “Kamu liat aja, mereka pakai syal dengan warna dan tulisan yang sama. Terlebih koper mereka semua juga pakai penanda yang sama, udah pasti mereka abis wisata.”
Rama pun menatap Fika, “Kadang-kadang kamu pinter juga Fik bisa menganalisa sampai segitunya.”
Mereka terdiam memandangi satu sama lain, hingga akhirnya suara pengumuman dari pengeras suara membuyarkan itu semua dengan cepat. Mereka dapat mendengar dengan jelas bahwa penerbangan yang akan dinaiki Fika akan dibuka sehingga ia harus segera kembali masuk ke dalam.
“Kayaknya kamu udah harus masuk lagi.” Ucap Rama.
Fika mengangguk pelan, “Padahal tadi aku tanya, harusnya masih ada sekitar 30 menit lagi. Belum ada 30 menit udah ada pengumuman.”
Rama tertawa kecil, namun tidak dengan Fika. Ia terdiam memandang ke arah Rama hingga membuat Rama ikut menatapnya dalam diam dan penuh tanya.
“Kamu kenapa?” Tanya Rama.
“Kamu bisa ke Tokyo kan tahun depan?” Tanya Fika.
Rama menghela nafasnya, “Fika, kamu baru mau berangkat hari ini dan kamu udah ngomongin rencana tahun depan? Kalau misalnya...”
Pelukan erat Fika membuat Rama tak menyelesaikan ucapannya. Fika menenggelamkan wajahnya pada dada Rama hingga ia dapat mendengar detak jantung Rama dengan sangat jelas. Rama pun mengusap kepala Fika secara perlahan, mencoba agar ia tetap tenang.
“Fika, dengerin aku...”
Fika menatap ke arah Rama.
“...Apapun yang terjadi, bagaimanapun keadaan kamu, aku selalu siap buat dengerin cerita kamu. Cerita baik, cerita buruk, menyenangkan, sekalipun mengharukan, aku akan selalu ada buat kamu.” Ucap Rama.
“Kamu yakin dengan ucapan kamu?” Tanya Fika.
Rama berfikir sejenak, “Setelah kamu nanya kayak tadi kok aku jadi sedikit ragu ya Fik....”
Ekspresi Fika nampak berubah dan Rama pun menyadari itu.
“...Ngga kok aku bercanda. Aku yakin dengan ucapan aku barusan, semisal sampai Tokyo kamu mau langsung cerita ke aku juga bisa aku dengerin.” Jelas Rama.
Fika tersenyum kecil setelah mendengar ucapan Rama, ia pun melepas pelukannya. Suasana Bandara berubah menjadi cukup sepi entah bagaimana, menyisakan mereka berdua yang masih saling beradu pandang.
“Yaudah kalau gitu aku masuk ke dalem ya Ram.” Ucap Fika.
Rama mengangguk, “Udah ngga ada yang ketinggalan kan?”
Fika menggeleng dengan pasti, ia memeluk Rama untuk waktu yang singkat lalu kembali menatap Rama.
“Ada yang mau kamu bilang sebelum aku berangkat?” Tanya Fika.
Rama tersenyum, “Hati-hati ya kamu di sana, jaga diri baik-baik. Kayak yang udah aku bilang aja tadi, aku akan siap dengerin semua cerita kamu kapanpun kamu mau.”
Fika membalas senyuman itu.
“Sekarang, apa yang mau kamu bilang ke aku?” Tanya Rama.
Senyumannya pun pudar begitu saja entah ia menyadarinya atau tidak, ia kembali mengingat apa yang mungkin seharusnya ia ucapkan sebelum pergi. Beberapa saat berlalu tanpa suara, akhirnya Rama pun kembali memeluk Fika.
“Hati-hati di sana.” Ucap Rama lagi.
Fika membalas pelukan itu lalu menganggukkan kepalanya beberapa kali. Mereka kembali bertatapan setelah melepas pelukan.
“Yaudah kamu masuk, jangan sampai terlambat.” Ucap Rama.
Fika mengangguk pelan, “Aku berangkat ya Ram, nanti aku kabarin kalau udah sampai Tokyo.”
Rama mengangguk dengan pasti, perlahan-lahan Fika menjauh dari Rama. Pandangannya masih terpaku pada Rama yang kembali tersenyum kepadanya. Fika melambaikan tangannya dan tak perlu waktu lama untuk mendapatkan balasan dari Rama, ia pun kembali masuk melewati pemeriksaan.
Ia kembali menatap ke arah luar di mana Rama masih memandanginya tanpa melepas senyumannya. Fika tersenyum untuk terakhir kalinya, ia berjalan masuk dan tak lagi dapat melihat Rama.
Ia berjalan menuju sebuah antrean pendek di gerbang penerbangan salah satu maskapai, beberapa saat berlalu ia pun memberikan tiketnya ke salah satu pegawai untuk diperiksa.
“Silahkan masuk.”
Fika masuk melewati lorong menuju pesawat, ia kembali menunjukkan tiketnya untuk mendapatkan arahan dari Pramugari di mana ia harus duduk.
“Silahkan lewat sini.”
Fika berjalan pelan menuju bangkunya, sampai akhirnya ia tiba di bangku miliknya. Fika duduk dengan nyaman, kemudian ia memasang sabuk pengaman. Pandangannya tertuju pada jendela pesawat yang ada tepat di sisi kirinya, ia melihat awan cerah pada sore hari ini. Cerahnya hari tidak menjadi jaminan untuk bersuka cita, air mata kembali menetes melewati pipi Fika.
“Maaf Ram...”
Fika berucap pelan seorang diri.
“...aku masih belum berani buat jujur sama kamu.” Ucapnya.
Semesta nampak mendukung, Fika duduk seorang diri hingga ia bisa meluapkan emosinya dengan mudah tanpa harus memikirkan apa yang mengganggunya. Pesawat pun terbang meninggalkan Bandara, menembus gumpalan awan hingga berada di atasnya, meninggalkan apa yang tersisa untuk sesaat atau selamanya.
*
Musim dingin tiba, salju sudah turun dari langit secara perlahan. Pintu terbuka dengan sengaja, Fika masuk ke dalam sebuah kedai selepas pekerjaannya selesai. Ia menuju kasir untuk memesan minuman, kemudian ia berlalu menuju sebuah meja yang menghadap ke arah jalanan. Ia dapat melihat dengan jelas suasana di luar karena di hadapannya adalah kaca dengan ukuran besar.
Fika meletakkan tasnya di atas meja, tak lama berselang minuman hangat yang ia pesan pun terjadi di hadapannya. Ia membuka tasnya untuk mengambil sebuah buku dengan sampul hitam. Sebelum membaca, ia sempat meminum minumannya secara perlahan. Fika menghela nafasnya secara perlahan lalu mulai membaca buku tersebut.
“Diorama dan Rahasia.”
Ia kembali melihat ke arah sekeliling, Fika menutup buku tersebut. Ia memasukkan buku milik Rama ke dalam tas miliknya, ia kembali duduk di lantai lalu bersandar di tepian tempat tidur Rama untuk mengurangi rasa curiga. Benar saja, tak lama kemudian Rama ke luar dari dalam kamar mandi lalu kembali duduk di samping Fika.
“Gimana urusannya?” Tanya Fika kemudian tersenyum.
“Kita makan apa aja sih tadi? Ngga biasanya aku berurusan tengah malem begini.” Tanya Rama heran.
“Tadi pagi kita makan cemilan yang dikasih sama Kampus, terus abis dari makam kita makan Mi Ayam...”
Rama menatap ke arah Fika.
“...malem ini kita makan Ayam Goreng yang dibuat sama Lea. Kayaknya makanan Lea deh, soalnya kan tadi pedes.” Jelas Fika.
“Bisa jadi sih.” Ucap Rama.
Rama dan Fika kembali minum secara perlahan, kemudian Fika menyandarkan kepalanya pada pundak Rama. Beberapa saat mereka duduk dalam diam, membiarkan detik jam yang berbicara.
“Ram...”
Ucapan Fika memecah suasana.
“...kamu percaya ngga sama yang namanya takdir?” Tanya Fika.
“Pertanyaan kamu terlalu abu-abu Fik. Takdir itu banyak ragam bentuknya, ada yang bisa kita percaya dan sebaliknya pun juga ada.” Jawab Rama.
“Misalkan gini, ada dua orang yang emang udah ditakdirkan untuk bersama, tapi mereka berusaha sekeras mungkin untuk menolak takdir itu.” Kata Fika.
Rama menghela nafasnya, “Ngga ada jaminan mereka ditakdirkan untuk terus bersama. Bisa aja itu bukan ujungnya, akan ada banyak ujung-ujung lain yang mereka belum tau. Abu-abu sih kalau mereka berusaha menolak itu.”
“Sekeras apapun mereka berusaha, kalau emang takdirnya bukan itu ya bisa dibilang percuma atau sia-sia?” Tanya Fika lagi.
“Ngga ada yang namanya sia-sia Fik. Semua itu akan berproses ke satu arah yang mereka tuju, pasti akan selalu ada hasilnya. Kata sia-sia atau percuma, buat aku tuh kata-kata yang seharusnya ngga ada. Semuanya akan membuahkan hasil, apapun hasilnya nanti.” Jelas Rama.
“Jadi ngga ada yang sia-sia?” Tanya Fika.
Fika menatap ke arah Rama yang mengangguk dengan pasti. Rama pun menatap ke arah Fika.
“Kamu punya keraguan sama takdir?” Tanya Rama.
Fika mengangguk pelan, “Ragu yang berujung resah sih. Kenapa sih harus begini, kenapa bukan begitu? Seandainya begitu kan aku bisa aja ngelakuin ini, tapi sekarang aku harus ngelakuin itu. Semoga kamu paham sih sama penjelasan aku.”
“Kalau orang lain yang denger sih pasti akan ngediemin kamu setelah denger itu...”
Mereka sempat tertawa kecil bersama.
“...mungkin kita harus belajar yang namanya menerima Fik. Jujur aja sih, kadang aku juga sempat mikir kayak gitu. Setelah itu aku baru mikir, kayaknya harus belajar buat menerima apapun deh.” Jawab Rama.
“Menerima?” Tanya Fika.
Rama mengangguk, “Menerima apapun hasil dan konsekuensi dari apa yang kita pilih, dan ternyata itu pun cukup sulit untuk dilakukan.”
Apa yang diucapkan Rama membuka sudut pandang lain bagi Fika. Akan selalu ada hasil dan konsekuensi dari apa yang kita pilih dan kita lakukan. Terkadang setelah susah payah untuk melakukan apa yang kita pilih, kita terlalu berharap dengan hasil yang sesuai. Hasil yang tak sesuai pun membuat kita sulit menerima, padahal itu tetap hasil dari usaha kita.
Lalu bagaimana dengan konsekuensi? Jalan mana yang sudah dipilih tak jarang membuat kita lupa dengan konsekuensinya, bahkan hal itu menjadi nomor sekian. Kita pun lupa, setiap pilihan mempunyai konsekuensinya masing-masing. Baik atau buruk sudah menjadi urusan personal, tinggal bagaimana kita menerima konsekuensi dari apa yang sudah kita pilih.
Seperti Fika, ia sudah memilih jalannya untuk menutupi perasaanya kepada Rama. Ia pun seharusnya tau konsekuensi apa yang akan ia terima seiring berjalannya waktu, bahkan ia harus menerima apapun hasil dari rahasianya.
Entah sudah berapa lama berlalu, Fika masih terjaga. Ia merebahkan dirinya ke arah samping, dalam diam memandangi Rama yang sudah terlelap dalam tidurnya di atas sofa. Meskipun ini kamar Rama, ia tidak mau membuat Fika tidur di atas sofa.
“Hasil...”
Fika berbicara pelan kepada dirinya sendiri.
“...Konsekuensi.” Ucapnya.
Fika bangun dari tidurnya, ia melangkah pelan ke arah Rama. Ia mematung memandangi Rama, sampai akhirnya ia mendekatkan wajahnya kepada Rama. Tanpa ragu, Fika mencium Rama. Dalam hening, ia mencoba meluapkan seluruh isi hatinya, membiarkan hasrat yang selama ini tersimpan rapat-rapat terbang bebas. Ia pun tidak peduli jika Rama menyandari akan hal itu, ia sungguh tidak peduli.
Fika sempat menahan bibirnya, saat air matanya menetes melewati pipinya. Entah kesedihan yang ia rasa, entah kebahagiaan, ia kembali mencium Rama meski air matanya tak berhenti menetes.
Fika menjauhkan wajahnya dari Rama, terlihat sisa air mata yang melewati pipinya. Ia tak mencoba untuk sedikitpun menyeka, Fika membalikkan badannya lalu kembali merebahkan diri di atas tempat tidur Rama. Matanya pun terpejam, namun tetesan air mata masih berlinang.
*
Apa hal yang terjadi setelah adanya sebuah pertemuan? Perpisahan. Seberapa lama kalian mengenal seseorang sampai akhirnya berakhir dengan perpisahan? Akan selalu ada perpisahan berapa lamapun sejak pertemuan, entah karena berpindah tempat, sengaja untuk berpisah, bahkan kematian. Lantas, apakah ada pertemuan yang kekal abadi? Tidak. Semua akan menemui perpisahan pada waktu yang tak terduga.
Fika mengunci pintu rumahnya, ia melihat ke arah Rama yang sedang memasukkan koper ke dalam bagasi mobilnya. Fika berjalan mendekat ke arah Rama.
“Ngga ada yang ketinggalan kan?” Tanya Rama.
Fika menggeleng, “Semua yang harus aku bawa udah masuk ke dalam koper sama tas yang lagi aku pakai, sisanya biarin di sini aja.”
Fika memberikan kunci rumahnya kepada Rama. Rama pun menerima kunci tersebut lalu memasukannya ke dalam saku celana.
“Sesekali tolong kamu liatin rumah ya Ram.” Pinta Fika.
Rama mengangguk pertanda setuju. Mereka pun masuk ke dalam mobil lalu pergi meninggalkan rumah pada sore hari ini. Jalanan tidak terlalu ramai, mungkin karena belum waktunya orang-orang untuk pulang. Setelah melewati pintu tol, Rama membuka jendela lalu menyalakan sebatang rokok. Asapnya pun sekejap terhapus oleh angin dari luar.
“Besok kamu udah mulai kerja kan?” Tanya Fika.
Rama mengangguk, “Kamu juga langsung kerja kan besok?”
Fika bergantian mengangguk, “Ngga nyangka ya Ram, semuanya berjalan lebih cepet dari yang pernah aku bayangin. Aku pikir mungkin beberapa tahun lagi aku baru bisa berangkat ke sana.”
Rama tersenyum, “Jangan sia-siain kesempatan ini. Manfaatin sebaik-baiknya selagi masih ada, tapi jangan sampai lupa diri aja.”
“Aku ngga mau tau...”
Rama menatap ke arah Fika.
“...pokoknya kamu wajib ceritain gimana rasanya kerja di perusahaan, keluh kesah yang kamu rasain, semuanya harus kamu ceritain.” Ucap Fika.
Rama tersenyum seraya mengangguk, kemudian ia kembali fokus menatap ke arah depan. Fika juga ikut menatap ke arah depan menyandarkan tubuhnya, sesekali ia menatap ke arah Rama dalam diam.
Beberapa saat berlalu, mobil yang dikemudikan Rama masuk ke dalam area Bandara. Ia melewati pintu masuk menuju area parkir, beberapa menit berlalu akhirnya ia menemukan tempat untuk meletakkan mobilnya.
Rama dan Fika pun ke luar dari dalam mobil, Rama menuju bagasi untuk mengeluarkan koper milik Fika. Mereka berjalan bersampingan masuk ke dalam Bandara.
Bandara menjadi satu-satunya tempat yang tidak akan pernah sepi, baik orang yang berpergian atau orang yang datang untuk mengantarkan. Fika menggenggam tangan Rama, mereka masuk ke dalam lift yang hampir terisi penuh.
“Ramai juga ya Ram.” Ucap Fika pelan.
“Wajar aja sih Fik.” Sahut Rama.
Pintu liftterbuka, Rama dan Fika ke luar terlebih dahulu karena mereka yang paling dekat dengan pintu. Dengan santai mereka berjalan, sesekali mereka melihat ke arah sekeliling jika menemukan sesuatu yang cukup menarik bagi mereka.
“Kamu mau makan dulu?” Tanya Rama.
“Aku masuk dulu deh buat check-in, kamu tunggu di sini dulu ya.” Jawabnya.
Rama mengangguk dengan pasti, Fika membawa koper miliknya untuk masuk ke dalam. Ia melewati pemeriksaan pertama di mana ia diminta untuk menunjukkan tiket dan juga paspor, setelah itu koper yang ia bawa melewati pemeriksaan x-ray untuk memeriksa apakah barang bawaannya aman atau tidak.
Semua dinyatakan aman, Fika berjalan membawa kopernya menuju konter maskapai penerbangan untuk kembali mengisi jadwal penerbangannya. Ia menyerahkan koper miliknya, setelah itu ia kembali berjalan ke luar menuju Rama yang masih berdiri menunggu kedatangannya lagi.
“Ram...”
Rama menoleh ke arah Fika.
“...kayaknya aku makan di Pesawat aja deh, soalnya penerbangannya sebentar lagi.” Ucap Fika.
“Oh emang iya ya?...” Rama melihat jam tangannya, “yaudah kalau gitu nanti aja Fik nggapapa.”
Ada rombongan orang-orang yang berjalan ke luar, Rama kembali menarik tangan Fika untuk memberikan jalan kepada orang-orang tersebut.
“Kayaknya mereka baru pulang dari wisata ya Ram.” Ucap Fika.
“Kamu tau dari mana?” Tanya Rama heran.
Fika menatap ke arah Rama, “Kamu liat aja, mereka pakai syal dengan warna dan tulisan yang sama. Terlebih koper mereka semua juga pakai penanda yang sama, udah pasti mereka abis wisata.”
Rama pun menatap Fika, “Kadang-kadang kamu pinter juga Fik bisa menganalisa sampai segitunya.”
Mereka terdiam memandangi satu sama lain, hingga akhirnya suara pengumuman dari pengeras suara membuyarkan itu semua dengan cepat. Mereka dapat mendengar dengan jelas bahwa penerbangan yang akan dinaiki Fika akan dibuka sehingga ia harus segera kembali masuk ke dalam.
“Kayaknya kamu udah harus masuk lagi.” Ucap Rama.
Fika mengangguk pelan, “Padahal tadi aku tanya, harusnya masih ada sekitar 30 menit lagi. Belum ada 30 menit udah ada pengumuman.”
Rama tertawa kecil, namun tidak dengan Fika. Ia terdiam memandang ke arah Rama hingga membuat Rama ikut menatapnya dalam diam dan penuh tanya.
“Kamu kenapa?” Tanya Rama.
“Kamu bisa ke Tokyo kan tahun depan?” Tanya Fika.
Rama menghela nafasnya, “Fika, kamu baru mau berangkat hari ini dan kamu udah ngomongin rencana tahun depan? Kalau misalnya...”
Pelukan erat Fika membuat Rama tak menyelesaikan ucapannya. Fika menenggelamkan wajahnya pada dada Rama hingga ia dapat mendengar detak jantung Rama dengan sangat jelas. Rama pun mengusap kepala Fika secara perlahan, mencoba agar ia tetap tenang.
“Fika, dengerin aku...”
Fika menatap ke arah Rama.
“...Apapun yang terjadi, bagaimanapun keadaan kamu, aku selalu siap buat dengerin cerita kamu. Cerita baik, cerita buruk, menyenangkan, sekalipun mengharukan, aku akan selalu ada buat kamu.” Ucap Rama.
“Kamu yakin dengan ucapan kamu?” Tanya Fika.
Rama berfikir sejenak, “Setelah kamu nanya kayak tadi kok aku jadi sedikit ragu ya Fik....”
Ekspresi Fika nampak berubah dan Rama pun menyadari itu.
“...Ngga kok aku bercanda. Aku yakin dengan ucapan aku barusan, semisal sampai Tokyo kamu mau langsung cerita ke aku juga bisa aku dengerin.” Jelas Rama.
Fika tersenyum kecil setelah mendengar ucapan Rama, ia pun melepas pelukannya. Suasana Bandara berubah menjadi cukup sepi entah bagaimana, menyisakan mereka berdua yang masih saling beradu pandang.
“Yaudah kalau gitu aku masuk ke dalem ya Ram.” Ucap Fika.
Rama mengangguk, “Udah ngga ada yang ketinggalan kan?”
Fika menggeleng dengan pasti, ia memeluk Rama untuk waktu yang singkat lalu kembali menatap Rama.
“Ada yang mau kamu bilang sebelum aku berangkat?” Tanya Fika.
Rama tersenyum, “Hati-hati ya kamu di sana, jaga diri baik-baik. Kayak yang udah aku bilang aja tadi, aku akan siap dengerin semua cerita kamu kapanpun kamu mau.”
Fika membalas senyuman itu.
“Sekarang, apa yang mau kamu bilang ke aku?” Tanya Rama.
Senyumannya pun pudar begitu saja entah ia menyadarinya atau tidak, ia kembali mengingat apa yang mungkin seharusnya ia ucapkan sebelum pergi. Beberapa saat berlalu tanpa suara, akhirnya Rama pun kembali memeluk Fika.
“Hati-hati di sana.” Ucap Rama lagi.
Fika membalas pelukan itu lalu menganggukkan kepalanya beberapa kali. Mereka kembali bertatapan setelah melepas pelukan.
“Yaudah kamu masuk, jangan sampai terlambat.” Ucap Rama.
Fika mengangguk pelan, “Aku berangkat ya Ram, nanti aku kabarin kalau udah sampai Tokyo.”
Rama mengangguk dengan pasti, perlahan-lahan Fika menjauh dari Rama. Pandangannya masih terpaku pada Rama yang kembali tersenyum kepadanya. Fika melambaikan tangannya dan tak perlu waktu lama untuk mendapatkan balasan dari Rama, ia pun kembali masuk melewati pemeriksaan.
Ia kembali menatap ke arah luar di mana Rama masih memandanginya tanpa melepas senyumannya. Fika tersenyum untuk terakhir kalinya, ia berjalan masuk dan tak lagi dapat melihat Rama.
Ia berjalan menuju sebuah antrean pendek di gerbang penerbangan salah satu maskapai, beberapa saat berlalu ia pun memberikan tiketnya ke salah satu pegawai untuk diperiksa.
“Silahkan masuk.”
Fika masuk melewati lorong menuju pesawat, ia kembali menunjukkan tiketnya untuk mendapatkan arahan dari Pramugari di mana ia harus duduk.
“Silahkan lewat sini.”
Fika berjalan pelan menuju bangkunya, sampai akhirnya ia tiba di bangku miliknya. Fika duduk dengan nyaman, kemudian ia memasang sabuk pengaman. Pandangannya tertuju pada jendela pesawat yang ada tepat di sisi kirinya, ia melihat awan cerah pada sore hari ini. Cerahnya hari tidak menjadi jaminan untuk bersuka cita, air mata kembali menetes melewati pipi Fika.
“Maaf Ram...”
Fika berucap pelan seorang diri.
“...aku masih belum berani buat jujur sama kamu.” Ucapnya.
Semesta nampak mendukung, Fika duduk seorang diri hingga ia bisa meluapkan emosinya dengan mudah tanpa harus memikirkan apa yang mengganggunya. Pesawat pun terbang meninggalkan Bandara, menembus gumpalan awan hingga berada di atasnya, meninggalkan apa yang tersisa untuk sesaat atau selamanya.
*
Musim dingin tiba, salju sudah turun dari langit secara perlahan. Pintu terbuka dengan sengaja, Fika masuk ke dalam sebuah kedai selepas pekerjaannya selesai. Ia menuju kasir untuk memesan minuman, kemudian ia berlalu menuju sebuah meja yang menghadap ke arah jalanan. Ia dapat melihat dengan jelas suasana di luar karena di hadapannya adalah kaca dengan ukuran besar.
Fika meletakkan tasnya di atas meja, tak lama berselang minuman hangat yang ia pesan pun terjadi di hadapannya. Ia membuka tasnya untuk mengambil sebuah buku dengan sampul hitam. Sebelum membaca, ia sempat meminum minumannya secara perlahan. Fika menghela nafasnya secara perlahan lalu mulai membaca buku tersebut.
“Diorama dan Rahasia.”
TAMAT
0
Kutip
Balas
Tutup