- Beranda
- Stories from the Heart
KIDUNG DI ATAS TANAH JAWI
...
TS
breaking182
KIDUNG DI ATAS TANAH JAWI
Quote:
Menuliskan cerita yang berbau sejarah tidak gampang. Tulisan ini berdasarkan riset kecil dengan metode wawancara dengan orang yang lebih mengerti dan sumber terpercaya sebatas pengetahuan narasumber. Di samping itu kecintaan saya akan film -film kolosal, sandiwara radio era tahun 90-an tentang kerajaan - kerajaan di tanah Jawa mendorong saya untuk menulis. Tentu saja dengan keterbatasan ilmu pengetahuan yang saya miliki. Kidung Di Atas Tanah Jawi bercerita tentang perjalanan seorang pemuda bernama Arya Gading. Berlatar belakang kerajaan Pajang di bawah pemerintahan Sultan Hadiwijoyo. Cerita ini fiktif belaka. Baca dan nikmati. Salam Olahraga.........
Quote:

Quote:
Konten Sensitif
Quote:
EPISODE 1
GEGER DI PUCANG KEMBAR
gatra 1
gatra 2
gatra 3
gatra 4
gatra 5
gatra 6
gatra 7
gatra 8
gatra 9
gatra 10
gatra 11
gatra 12
gatra 13
gatra 14
gatra 15
gatra 16
gatra 17
gatra 18
gatra 19
gatra 20
gatra 21
gatra 22
gatra 23
gatra 24
gatra 25
gatra 26
gatra 27
gatra 28
gatra 29
gatra 30
gatra 31
gatra 32
gatra 33
gatra 34
gatra 35
gatra 36
gatra 37
gatra 38
gatra 39
gatra 40
gatra 41
gatra 42
gatra 43
gatra 44
gatra 45
gatra 46
gatra 47
gatra 48
gatra 49
Quote:
EPISODE 2
BARA API DI KAKI MERAPI
gatra 1
gatra 2
gatra 3
gatra 4
gatra 5
gatra 6
gatra 7
gatra 8
gatra 9
gatra 10
gatra 11
gatra 12
gatra 13
gatra 14
gatra 15
gatra 16
gatra 17
gatra 18
gatra 19
gatra 20
gatra 21
gatra 22
gatra 23
gatra 24
gatra 25
gatra 26
gatra 27
gatra 28
gatra 29
gatra 30
gatra 31
gatra 32
gatra 33
gatra 34
gatra 35
gatra 36
gatra 37
gatra 38
gatra 39
gatra 40
gatra 41
gatra 42
gatra 43
gatra 44
gatra 45
gatra 46
gatra 47
gatra 48
gatra 49
gatra 50
gatra 51
Quote:
Diubah oleh breaking182 30-12-2022 23:12
jundi666 dan 70 lainnya memberi reputasi
71
81.7K
Kutip
622
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
breaking182
#273
gatra 30
Quote:
SESAAT KEMUDIAN guru dan murid itu pun berkuda beriringan berjalan dengan cepat ke arah selatan. Di belakang mereka Padukuhan –padukuhan seolah-olah berjalan mundur sedang gerumbul-gerumbul jarak yang liar di hadapan mereka pun menjadi semakin dekat. Di belakang semak-semak itu akan terbentang sebuah lapangan rumput yang tidak begitu lebar. Dan di seberang lapangan itu mereka akan mendapatkan sebuah hutan yang begitu luas dan sangat lebat.
Di langit, matahari telah melewati titik puncaknya dan dengan perlahan-lahan turun ke cakrawala. Namun panasnya masih terasa seakan-akan membakar kulit. Paraji Gading dan Bagus Abangan berjalan tanpa berpaling lagi. Panas matahari telah memeras keringat mereka sehingga seluruh pakaian mereka menjadi basah. Kulit mereka yang menjadi semerah tembaga, menjadi berkilat-kilat karena keringat dan debu yang melekat.
Hutan Nyangkringan yang berada tidak begitu jauh dari kaki Merapi meskipun tengah hari namun suasana di dalam hutan itu terasa redup karena sinar matahari tak sanggup menembus lebat dan rimbunnya pohon-pohon besar. Matahari yang merangkak di langit kini menjadi semakin rendah. Cahayanya tidak lagi terasa membakar kulit, tetapi cukup menyilaukan pandangan mata.
“ Guru di hutan itukah Macan Ireng menyembunyikan diri?”, bertanya Bagus Abangan.
“Ya,” jawab Paraji Gading, “Agak ke tengah.”
“Apakah guru pernah melihatnya?”
“Pernah, aku sengaja mengikutinya separoh jalan setelah mereka membuat kerusuhan di padukuhan,” sahut Paraji Gading.
“Marilah kita lihat dan aku akan mencoba membujuk Macan Ireng untuk bergabung bersama kita. Kalau benggol rampok itu tidak mau membantu kita. Aku bisa memaksanya atau bahkan membunuhnya.”
Ketika mereka telah hampir sampai ke tepi hutan itu, maka segera Paraji Gading memperhatikan rerumputan di hadapan langkah kakinya. “Hati-hati,” seakan-akan ada yang dicarinya.
“Adakah yang guru cari?” bertanya Bagus Abangan.
“Ada,” sahut Paraji Gading.
“Apa?”
Paraji Gading tidak segera menjawab. Tetapi tiba-tiba ia tertawa, “Itulah”
Bagus Abangan segera mengetahuinya, bahwa gurunya itu sedang mencari jejak kaki orang-orang.
“Itulah salah satu tanda yang dapat kita ikuti,” berkata Paraji Gading sambil menunjuk ujung-ujung ilalang yang terpatah-patahkan oleh injakan kaki.
“Kita mengikuti arah itu. Berlawanan dengan arah yang mereka tempuh.”
Bagus Abangan tidak menjawab. Pemuda itu berjalan saja di samping gurunya. Sejenak lagi mereka akan sampai ke hutan yang sejuk. Panas matahari tidak lagi menyentuh tubuh mereka karena daun pepohonan yang lebat dan rimbun.
Demikian mereka menginjakkan kaki-kaki mereka di batas hutan itu, maka Paraji Gading segera berkata, “Di sini kita mendapat petunjuk yang lebih jelas lagi. Lihat iring-iringan itu pasti telah melewati jalan ini pula. Ranting-ranting yang patah, dan dedaunan yang terinjak-injak itu akan menjadi penunjuk jalan yang baik. Marilah kita ikuti. Kita harus sampai di perkemahan itu sebelum senja.”
Tetapi ketika Bagus Abangan menengadahkan wajahnya, maka ia menggelengkan kepalanya sambil bergumam, “Matahari telah turun terlampau cepat guru. Aku tidak yakin bahwa kita akan sampai sebelum senja. Kalau kita dapat menentukan jalan memintas, maka kita akan dapat mencapainya”
Paraji Gading mengangguk-anggukkan kepalanya, ia pun mempunyai perhitungan yang serupa, tetapi ia menjawab, “Marilah kita bergegas.”
Kembali mereka berjalan beriringan. Kali ini mereka berjalan di antara pepohonan yang belum terlampau pepat. Yang banyak mereka lintasi barulah gerumbul-gerumbul yang bertebaran di sana-sini. Satu dua mereka melintasi pohonpohon yang cukup besar. Namun sejenak kemudian, hutan itu pun menjadi semakin pepat. Pepohonan menjadi semakin padat dan gerumbul-gerumbulnya pun menjadi semakin rapat. Bahkan di sana-sini mereka harus melewati rumpun-rumpun berduri.
Namun Paraji Gading yang berjalan di paling depan tidak kehilangan jejak. Semakin rimbun hutan itu, semakin jelaslah bekas-bekas tapak –tapak kaki orang. Semakin banyak ranting-ranting yang patah dan mereka patahkan untuk memberi jalan kepada kawan-kawan mereka yang masih di belakang. Daun-daun yang menjorok ke dalam barisan dan duri-duri yang berada di depan rombongan itu telah disingkirkan.
Ketika Paraji Gading melihat sebuah tikungan yang lengkung dari bekas tapak kaki orang, kemudian satu putaran lagi di hadapan mereka.
Terdengar lelaki tua itu bergumam, “Ya, orang-orang ini mengambil jalan yang paling mudah, bukan yang paling dekat. Seandainya kita tahu jalan memintas maka kita akan sampai ke tempat itu segera.”
“Ya guru” sahut Bagus Abangan.
“Tetapi dengan mengikuti jejak ini kita pasti akan sampai. Kalau kita memilih jalan sendiri mungkin kita akan membutuhkan waktu yang lama untuk menemukan perkemahan itu.”
“Ya guru, aku sependapat,” jawab Bagus Abangan, “karena itu, mari kita percepat jalan kita.”
Langkah mereka pun menjadi semakin cepat dan panjang. Mereka ingin berlomba dengan waktu. Namun setiap kali terasa bahwa jalan mereka terlampau lambat. Meskipun mereka telah meloncat-loncat, berlari-lari kecil. Namun matahari serasa meluncur amat cepatnya ke atas cakrawala. Sinarnya yang kemudian menjadi kemerah-merahan tampak bergayutan di tepi-tepi awan yang bergerak di langit yang biru. Tetapi matahari itu pun turun lebih rendah lagi. Hampir hilang ditelan punggung-punggung bukit. Sehingga hutan itu pun kini menjadi semakin kabur.
“Apakah perkemahan itu masih jauh guru?” bertanya Bagus Abangan.
“Aku tidak tahu,” sahut Paraji Gading, “Aku belum pernah sampai ke perkemahan itu. Aku hanya mengikutinya separoh jalan”
Bagus Abangan terdiam. Kini ia menjadi semakin sukar untuk mengenal bekas-bekas yang telah di buat oleh rombongan orang-orang Jipang yang menyerah. Tetapi tiba-tiba Bagus Abangan berteriak, “Guru, lihat. Itu adalah sebuah gardu peronda yang telah mereka buat.”
Paraji Gading segera menarik tangan Bagus Abangan ke balik sebuah pohon besar. Dari belakang sebuah pohon yang cukup besar, mereka melihat sebuah atap ilalang yang cukup untuk berteduh dua orang bersama-sama.
“Kita hampir sampai,” desis Paraji Gading.
Mereka pun terdiam. Dengan penuh perhatian mereka memandangi keadaan di sekeliling mereka. Ketika mereka maju lagi dengan mengendap -endap, maka segera mereka mengenal tempat itu. Tempat itu pasti tempat gerombolan rampok itu berkemah. Sebuah halaman yang kotor dan di sana-sini mereka melihat batang-batang kayu yang telah tumbang. Karena itu maka tempat itu menjadi agak lebih terang dari tempat-tempat yang lain karena sisa-sisa sinar senja.
“Kita sudah sampai. Tetapi kita harus menemukan gubug-gubug mereka di sekitar tempat ini.”
“Sudah dekat sekali guru,” desis Bagus Abangan, “Tidak ada seratus langkah kita akan sampai.”
“Belum pasti,” jawab Paraji Gading.
Kembali mereka terdiam. Hutan itu menjadi semakin suram. Sekali-sekali mereka terpaksa menggaruk-garuk tubuh mereka karena gigitan nyamuk yang berterbangan.
Dan kini langkah mereka terhenti. Kembali Bagus Abangan berteriak, “Nah, itulah. Guru lihat?”
“Ya, aku tidak buta Abangan” Paraji Gading menyahut.
Di langit, matahari telah melewati titik puncaknya dan dengan perlahan-lahan turun ke cakrawala. Namun panasnya masih terasa seakan-akan membakar kulit. Paraji Gading dan Bagus Abangan berjalan tanpa berpaling lagi. Panas matahari telah memeras keringat mereka sehingga seluruh pakaian mereka menjadi basah. Kulit mereka yang menjadi semerah tembaga, menjadi berkilat-kilat karena keringat dan debu yang melekat.
Hutan Nyangkringan yang berada tidak begitu jauh dari kaki Merapi meskipun tengah hari namun suasana di dalam hutan itu terasa redup karena sinar matahari tak sanggup menembus lebat dan rimbunnya pohon-pohon besar. Matahari yang merangkak di langit kini menjadi semakin rendah. Cahayanya tidak lagi terasa membakar kulit, tetapi cukup menyilaukan pandangan mata.
“ Guru di hutan itukah Macan Ireng menyembunyikan diri?”, bertanya Bagus Abangan.
“Ya,” jawab Paraji Gading, “Agak ke tengah.”
“Apakah guru pernah melihatnya?”
“Pernah, aku sengaja mengikutinya separoh jalan setelah mereka membuat kerusuhan di padukuhan,” sahut Paraji Gading.
“Marilah kita lihat dan aku akan mencoba membujuk Macan Ireng untuk bergabung bersama kita. Kalau benggol rampok itu tidak mau membantu kita. Aku bisa memaksanya atau bahkan membunuhnya.”
Ketika mereka telah hampir sampai ke tepi hutan itu, maka segera Paraji Gading memperhatikan rerumputan di hadapan langkah kakinya. “Hati-hati,” seakan-akan ada yang dicarinya.
“Adakah yang guru cari?” bertanya Bagus Abangan.
“Ada,” sahut Paraji Gading.
“Apa?”
Paraji Gading tidak segera menjawab. Tetapi tiba-tiba ia tertawa, “Itulah”
Bagus Abangan segera mengetahuinya, bahwa gurunya itu sedang mencari jejak kaki orang-orang.
“Itulah salah satu tanda yang dapat kita ikuti,” berkata Paraji Gading sambil menunjuk ujung-ujung ilalang yang terpatah-patahkan oleh injakan kaki.
“Kita mengikuti arah itu. Berlawanan dengan arah yang mereka tempuh.”
Bagus Abangan tidak menjawab. Pemuda itu berjalan saja di samping gurunya. Sejenak lagi mereka akan sampai ke hutan yang sejuk. Panas matahari tidak lagi menyentuh tubuh mereka karena daun pepohonan yang lebat dan rimbun.
Demikian mereka menginjakkan kaki-kaki mereka di batas hutan itu, maka Paraji Gading segera berkata, “Di sini kita mendapat petunjuk yang lebih jelas lagi. Lihat iring-iringan itu pasti telah melewati jalan ini pula. Ranting-ranting yang patah, dan dedaunan yang terinjak-injak itu akan menjadi penunjuk jalan yang baik. Marilah kita ikuti. Kita harus sampai di perkemahan itu sebelum senja.”
Tetapi ketika Bagus Abangan menengadahkan wajahnya, maka ia menggelengkan kepalanya sambil bergumam, “Matahari telah turun terlampau cepat guru. Aku tidak yakin bahwa kita akan sampai sebelum senja. Kalau kita dapat menentukan jalan memintas, maka kita akan dapat mencapainya”
Paraji Gading mengangguk-anggukkan kepalanya, ia pun mempunyai perhitungan yang serupa, tetapi ia menjawab, “Marilah kita bergegas.”
Kembali mereka berjalan beriringan. Kali ini mereka berjalan di antara pepohonan yang belum terlampau pepat. Yang banyak mereka lintasi barulah gerumbul-gerumbul yang bertebaran di sana-sini. Satu dua mereka melintasi pohonpohon yang cukup besar. Namun sejenak kemudian, hutan itu pun menjadi semakin pepat. Pepohonan menjadi semakin padat dan gerumbul-gerumbulnya pun menjadi semakin rapat. Bahkan di sana-sini mereka harus melewati rumpun-rumpun berduri.
Namun Paraji Gading yang berjalan di paling depan tidak kehilangan jejak. Semakin rimbun hutan itu, semakin jelaslah bekas-bekas tapak –tapak kaki orang. Semakin banyak ranting-ranting yang patah dan mereka patahkan untuk memberi jalan kepada kawan-kawan mereka yang masih di belakang. Daun-daun yang menjorok ke dalam barisan dan duri-duri yang berada di depan rombongan itu telah disingkirkan.
Ketika Paraji Gading melihat sebuah tikungan yang lengkung dari bekas tapak kaki orang, kemudian satu putaran lagi di hadapan mereka.
Terdengar lelaki tua itu bergumam, “Ya, orang-orang ini mengambil jalan yang paling mudah, bukan yang paling dekat. Seandainya kita tahu jalan memintas maka kita akan sampai ke tempat itu segera.”
“Ya guru” sahut Bagus Abangan.
“Tetapi dengan mengikuti jejak ini kita pasti akan sampai. Kalau kita memilih jalan sendiri mungkin kita akan membutuhkan waktu yang lama untuk menemukan perkemahan itu.”
“Ya guru, aku sependapat,” jawab Bagus Abangan, “karena itu, mari kita percepat jalan kita.”
Langkah mereka pun menjadi semakin cepat dan panjang. Mereka ingin berlomba dengan waktu. Namun setiap kali terasa bahwa jalan mereka terlampau lambat. Meskipun mereka telah meloncat-loncat, berlari-lari kecil. Namun matahari serasa meluncur amat cepatnya ke atas cakrawala. Sinarnya yang kemudian menjadi kemerah-merahan tampak bergayutan di tepi-tepi awan yang bergerak di langit yang biru. Tetapi matahari itu pun turun lebih rendah lagi. Hampir hilang ditelan punggung-punggung bukit. Sehingga hutan itu pun kini menjadi semakin kabur.
“Apakah perkemahan itu masih jauh guru?” bertanya Bagus Abangan.
“Aku tidak tahu,” sahut Paraji Gading, “Aku belum pernah sampai ke perkemahan itu. Aku hanya mengikutinya separoh jalan”
Bagus Abangan terdiam. Kini ia menjadi semakin sukar untuk mengenal bekas-bekas yang telah di buat oleh rombongan orang-orang Jipang yang menyerah. Tetapi tiba-tiba Bagus Abangan berteriak, “Guru, lihat. Itu adalah sebuah gardu peronda yang telah mereka buat.”
Paraji Gading segera menarik tangan Bagus Abangan ke balik sebuah pohon besar. Dari belakang sebuah pohon yang cukup besar, mereka melihat sebuah atap ilalang yang cukup untuk berteduh dua orang bersama-sama.
“Kita hampir sampai,” desis Paraji Gading.
Mereka pun terdiam. Dengan penuh perhatian mereka memandangi keadaan di sekeliling mereka. Ketika mereka maju lagi dengan mengendap -endap, maka segera mereka mengenal tempat itu. Tempat itu pasti tempat gerombolan rampok itu berkemah. Sebuah halaman yang kotor dan di sana-sini mereka melihat batang-batang kayu yang telah tumbang. Karena itu maka tempat itu menjadi agak lebih terang dari tempat-tempat yang lain karena sisa-sisa sinar senja.
“Kita sudah sampai. Tetapi kita harus menemukan gubug-gubug mereka di sekitar tempat ini.”
“Sudah dekat sekali guru,” desis Bagus Abangan, “Tidak ada seratus langkah kita akan sampai.”
“Belum pasti,” jawab Paraji Gading.
Kembali mereka terdiam. Hutan itu menjadi semakin suram. Sekali-sekali mereka terpaksa menggaruk-garuk tubuh mereka karena gigitan nyamuk yang berterbangan.
Dan kini langkah mereka terhenti. Kembali Bagus Abangan berteriak, “Nah, itulah. Guru lihat?”
“Ya, aku tidak buta Abangan” Paraji Gading menyahut.
Quote:
DI DALAM KESURAMAN senja, mereka melihat beberapa buah gubug berdiri berjajar-jajar. Udara terasa sangat lembab dan pengab. Tetapi gubug-gubug itu adalah gubug yang kecil-kecil.
“ Sekarang apa rencana guru? “
“ Aku akan menemui Macan Ireng. Kalau benggol rampok itu tidak mau membantu kita. Terpaksa kita akan gulung komplotan rampok ini berdua. Sementara kau bersembunyilah disini. Jangan berbuat bodoh. Aku akan menyusup ke perkemahan itu dan mencari dimana gubug tempat Macan Ireng “
Paraji Gading segera duduk bersila. Tangannya bersedekap diatas dada. Sementara matanya terpejam dengan rapat, mulutnya berkomat –kamit merapal mantra. Perlahan –lahan sosok Paraji Gading memudar dan memudar. Dan untuk akhirnya sosok wadag itu lenyap dari pandangan mata.
Jauh di tengah hutan Nyangkringan di sebuah gubug yang terlihat lebih kokoh dan berukuran lebih besar. Seorang lelaki bertubuh tegap memakai pakaian dan ikat kepala serba hitam duduk sambil menundukkan wajahnya. Sekitar sepuluh orang duduk di hadapan lelaki yang berpakaian serba hitam itu. Tidak banyak di antara mereka yang bercakap-cakap. Sekali dua kali terdengar ada yang berbisik-bisik di antara mereka. Namun kemudian kembali mereka berdiam diri.
“Hem..” suara lelaki itu menggeram, namun kemudian ia berkata, “ Aku sudah tidak sabar lagi untuk menggempur padepokan Pandan Arum. Sudah terlalu banyak kita buat rusuh pedukuhan –pedukuhan disekitar padepokan itu. Dan sampai saat ini tidak ada tidakan apa –apa. Apakah orang –orang padepokan itu tahu bahwa ini hanyalah pancingan saja?"
"Tertangkapnya Kebo Peteng harus dibayar oleh orang –orang padepokan itu. Terutama orang yang telah mengalahkan Kebo Peteng. Biarlah mereka tahu, bahwa Macan Ireng tidak saja mampu bertempur dengan senjata. Tetapi Macan Ireng juga berbuat hal-hal yang lain, yang dapat mengejutkan orang –orang itu”
“Tetapi mereka kini mengetahui kehadiran kita kakang. Orang –orang desa itu pastilah sudah melaporkan semuanya kepada orang –orang di padepokan itu. Kita tidak dapat berlaku gegabah. Menurut kabar yang diperoleh oleh telik sandi kita bahwa para tetua sedang berkumpul di padepokan itu “
“Ya. Tetapi kita harus dapat menggulung padepokan itu”
Orang yang bernama Luwing itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Marilah Ki Lurah kita bicarakan lagi. Apa yang harus kita lakukan untuk mempersiapkan rencana ini ”
Macan Ireng menggangukkan kepalanya, katanya, “Kita bukan orang-orang bodoh. Mereka pasti tahu siapa kita. Karena itu mereka pasti juga sudah bersiap –siap. Nanti malam aku akan menyusup unutk mencoba melihat keadaan disana. Sekarang kalian bubarlah. Malam ini jangan ada yang keluar dari tempat ini”
“ Luwing panggil Welat Kuning kesini. Ada yang ingin aku katakana pada orang itu “
“ Baik Ki Lurah”, orang bernama Luwing itu segera bergegas dari gubug besar itu.
Tidak lama kemudian, Luwing telah datang bersama seorang lelaki tinggi kurus dan memiliki kumis yang melintang tebal.
“Duduklah Welat Kuning.”
Orang yang masih tergolong muda dan bernama Welat Kuning itu duduk di samping Macan Ireng sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Terima Kasih, kakang.”
“Kenapa kau tidak menampakkan diri tadi?”
Welat Kuning mengerutkan alisnya yang mencuat kasar. Jawabnya, “Kakang aku tadi sehabis pulang dari tugas sandi ku. Dan karena itu maka aku tidak berani mengganggu kakang yang tengah menyusun siasat”
Macan Ireng mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya serta-merta, “Apa yang kau dapatkan dari tugas sandi mu itu Welat Kuning?”
Welat Kuning menarik nafasnya dalam-dalam. Kemudian jawabnya, “Kakang sekeliling padepokan itu hampir selalu di jaga dengan rapat oleh para cantrik. Pagi sampai ke pagi lagi. Sangat sulit kalau kita memaksakan diri menggempu dengan kekuatan yang kita miliki saat ini. Belum lagi di padepokan itu berkumpul para pendekar –pendekar tua. Kita jangan terlalu gegabah untuk menyerbu padepokan itu. Jangan sampai kesalahan Kebo Peteng terulang ”
Kembali mereka berdua terlempar dalam kesenyapan. Yang terdengar hanyalah nafas Macan Ireng yang semakin cepat mengalir lewat lubang-lubang hidungnya. Matanya yang tajam menerkam dinding bambu yang berlubang-lubang di hadapannya. Tetapi lubang-lubang itu kini sama sekali sudah tidak kelihatan.
Ketika Macan Ireng berpaling menembus celah-celah tutup keyong gubugnya yang tidak rapat, maka terdengar ia berdesis, “Sudah hampir gelap”
Welat Kuning mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya, sudah hampir gelap”
Tiba-tiba Macan Ireng berdiri. Beberapa langkah ia berjalan ke sudut ruangan itu. Diraihnya sebauh pedang panjang namun tipis yang tersangkut di atas pembaringannya. Welat Kuning memandang senjata itu dengan wajah yang tegang. Ia tidak tahu, apakah yang akan dilakukan oleh Macan Ireng yang garang itu.
Tetapi ketika ia melihat Macan Ireng memutar tubuhnya, dan dilihatnya dalam keremangan ujung malam itu kesan sikap yang wajar, maka Welat Kuning pun tidak beranjak dari tempatnya. Dari lubang pintu cahaya pelita menembus masuk kedalam ruangan. Bukan pelita, tetapi sebuah obor yang menyala-nyala di samping di mulut pintu.
“Welat Kuning, aku ingin berjalan-jalan bersama mu malam ini ke kaki Gunung Merapi” suara Macan Ireng datar dalam nada yang rendah.
Macan Ireng ternyata kemudian tidak menunggu Welat Kuning menjawab. perlahan-lahan ia berjalan kepintu dan sekali ia berpaling. Ketika dilihatnya Welat Kuning telah berdiri, maka Macan Ireng itu pun berjalan terus.
“ Sekarang apa rencana guru? “
“ Aku akan menemui Macan Ireng. Kalau benggol rampok itu tidak mau membantu kita. Terpaksa kita akan gulung komplotan rampok ini berdua. Sementara kau bersembunyilah disini. Jangan berbuat bodoh. Aku akan menyusup ke perkemahan itu dan mencari dimana gubug tempat Macan Ireng “
Paraji Gading segera duduk bersila. Tangannya bersedekap diatas dada. Sementara matanya terpejam dengan rapat, mulutnya berkomat –kamit merapal mantra. Perlahan –lahan sosok Paraji Gading memudar dan memudar. Dan untuk akhirnya sosok wadag itu lenyap dari pandangan mata.
Jauh di tengah hutan Nyangkringan di sebuah gubug yang terlihat lebih kokoh dan berukuran lebih besar. Seorang lelaki bertubuh tegap memakai pakaian dan ikat kepala serba hitam duduk sambil menundukkan wajahnya. Sekitar sepuluh orang duduk di hadapan lelaki yang berpakaian serba hitam itu. Tidak banyak di antara mereka yang bercakap-cakap. Sekali dua kali terdengar ada yang berbisik-bisik di antara mereka. Namun kemudian kembali mereka berdiam diri.
“Hem..” suara lelaki itu menggeram, namun kemudian ia berkata, “ Aku sudah tidak sabar lagi untuk menggempur padepokan Pandan Arum. Sudah terlalu banyak kita buat rusuh pedukuhan –pedukuhan disekitar padepokan itu. Dan sampai saat ini tidak ada tidakan apa –apa. Apakah orang –orang padepokan itu tahu bahwa ini hanyalah pancingan saja?"
"Tertangkapnya Kebo Peteng harus dibayar oleh orang –orang padepokan itu. Terutama orang yang telah mengalahkan Kebo Peteng. Biarlah mereka tahu, bahwa Macan Ireng tidak saja mampu bertempur dengan senjata. Tetapi Macan Ireng juga berbuat hal-hal yang lain, yang dapat mengejutkan orang –orang itu”
“Tetapi mereka kini mengetahui kehadiran kita kakang. Orang –orang desa itu pastilah sudah melaporkan semuanya kepada orang –orang di padepokan itu. Kita tidak dapat berlaku gegabah. Menurut kabar yang diperoleh oleh telik sandi kita bahwa para tetua sedang berkumpul di padepokan itu “
“Ya. Tetapi kita harus dapat menggulung padepokan itu”
Orang yang bernama Luwing itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Marilah Ki Lurah kita bicarakan lagi. Apa yang harus kita lakukan untuk mempersiapkan rencana ini ”
Macan Ireng menggangukkan kepalanya, katanya, “Kita bukan orang-orang bodoh. Mereka pasti tahu siapa kita. Karena itu mereka pasti juga sudah bersiap –siap. Nanti malam aku akan menyusup unutk mencoba melihat keadaan disana. Sekarang kalian bubarlah. Malam ini jangan ada yang keluar dari tempat ini”
“ Luwing panggil Welat Kuning kesini. Ada yang ingin aku katakana pada orang itu “
“ Baik Ki Lurah”, orang bernama Luwing itu segera bergegas dari gubug besar itu.
Tidak lama kemudian, Luwing telah datang bersama seorang lelaki tinggi kurus dan memiliki kumis yang melintang tebal.
“Duduklah Welat Kuning.”
Orang yang masih tergolong muda dan bernama Welat Kuning itu duduk di samping Macan Ireng sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Terima Kasih, kakang.”
“Kenapa kau tidak menampakkan diri tadi?”
Welat Kuning mengerutkan alisnya yang mencuat kasar. Jawabnya, “Kakang aku tadi sehabis pulang dari tugas sandi ku. Dan karena itu maka aku tidak berani mengganggu kakang yang tengah menyusun siasat”
Macan Ireng mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya serta-merta, “Apa yang kau dapatkan dari tugas sandi mu itu Welat Kuning?”
Welat Kuning menarik nafasnya dalam-dalam. Kemudian jawabnya, “Kakang sekeliling padepokan itu hampir selalu di jaga dengan rapat oleh para cantrik. Pagi sampai ke pagi lagi. Sangat sulit kalau kita memaksakan diri menggempu dengan kekuatan yang kita miliki saat ini. Belum lagi di padepokan itu berkumpul para pendekar –pendekar tua. Kita jangan terlalu gegabah untuk menyerbu padepokan itu. Jangan sampai kesalahan Kebo Peteng terulang ”
Kembali mereka berdua terlempar dalam kesenyapan. Yang terdengar hanyalah nafas Macan Ireng yang semakin cepat mengalir lewat lubang-lubang hidungnya. Matanya yang tajam menerkam dinding bambu yang berlubang-lubang di hadapannya. Tetapi lubang-lubang itu kini sama sekali sudah tidak kelihatan.
Ketika Macan Ireng berpaling menembus celah-celah tutup keyong gubugnya yang tidak rapat, maka terdengar ia berdesis, “Sudah hampir gelap”
Welat Kuning mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya, sudah hampir gelap”
Tiba-tiba Macan Ireng berdiri. Beberapa langkah ia berjalan ke sudut ruangan itu. Diraihnya sebauh pedang panjang namun tipis yang tersangkut di atas pembaringannya. Welat Kuning memandang senjata itu dengan wajah yang tegang. Ia tidak tahu, apakah yang akan dilakukan oleh Macan Ireng yang garang itu.
Tetapi ketika ia melihat Macan Ireng memutar tubuhnya, dan dilihatnya dalam keremangan ujung malam itu kesan sikap yang wajar, maka Welat Kuning pun tidak beranjak dari tempatnya. Dari lubang pintu cahaya pelita menembus masuk kedalam ruangan. Bukan pelita, tetapi sebuah obor yang menyala-nyala di samping di mulut pintu.
“Welat Kuning, aku ingin berjalan-jalan bersama mu malam ini ke kaki Gunung Merapi” suara Macan Ireng datar dalam nada yang rendah.
Macan Ireng ternyata kemudian tidak menunggu Welat Kuning menjawab. perlahan-lahan ia berjalan kepintu dan sekali ia berpaling. Ketika dilihatnya Welat Kuning telah berdiri, maka Macan Ireng itu pun berjalan terus.
Quote:
DI MUKA GUBUG Banaspati dan orang-orangnya, Macan Ireng berhenti. Dipanggilnya Banaspati yang sedang menghadapi seceting nasi dan daging menjangan.
“Apakah kakang akan pergi?” bertanya Banaspati.
“Ya” jawab Macan Ireng, “Pekerjaanmu besok mengumpulkan semua kekuatan. Malam ini aku ingin melihat padepokan Pandan Arum bersama Welat Kuning”
Dalam pada itu, Macan Ireng berjalan dengan tergesa-gesa meninggalkan perkemahannya, seakan-akan ia ingin segera pergi sejauh-jauhnya dari tempat itu. Demikianlah mereka melangkahkan kaki mereka keluar hutan. Ketika Macan Ireng menengadahkan wajahnya, di langit dilihatnya bulan yang terbelah. Sehelai-sehelai awan yang putih hanyut dibawa arus angin yang lembut.
“Hem” desahnya.
Welat Kuning melangkah lebih cepat lagi, sehingga ia berjalan di samping Macan Kepatihan itu. Ketika ia mendengar Macan Ireng itu berdesah, ia berpaling. Tetapi ia tidak bertanya apa-apa. Macan Ireng masih mengagumi kesegaran angin malam dan kelembutan sinar bulan setengah. Cahaya yang redup kekuning-kuningan dan daun-daun yang hijau gelap seperti langit di garis cakrawala. Dari dalam kekelaman malam, menjulang lamat-lamat gunung Merapi menyentuh langit. Malam menjadi semakin lama semakin dingin. Angin yang basah mengusap tubuh-tubuh mereka yang seakan-akan membeku. Suara jangkerik terdengar mengorek-ngorek dinding telinga. Sekali-sekali terdengar pekik binatang-binatang hutan mengejutkan.
Dalam keheningan malam itu tiba-tiba Welat Kuning merasa sesuatu berdesir di hatinya. Matanya yang tajam, menembus keremangan malam menusuk kekejauhan. Welat Kuning menarik nafas. Ia berpaling ketika terdengar Macan Ireng menggeram perlahan-lahan.
Tetapi Welat Kuning itu mengangguk-anggukkan kepalanya ketika ia mendengar Macan Ireng bergumam perlahan-lahan, “Ada seseorang yang bersembunyi di balik pohon besar itu”
“Ya, aku melihatnya”
“Siapa kira – kira Welat Kuning, apakah orang itu orang-orang kita?”
“Entahlah kakang. Apakah kakang memberikan perintah kepada seseorang atau kedua orang itu untuk suatu pekerjaan?”
“Aku tidak. Malam ini aku perintahkan semuanya untuk tidak keluyuran kemana - mana”
Meskipun demikian, firasat Welat Kuning memberitahukan kepadanya, bahwa orang itu akan dapat membawa bahaya. Dengan demikian maka Welat Kuning segera meraba sepasang peang pendek yang terselip di pinggangnya. Welat Kuning dan Macan Ireng kemudian saling berdiam diri. Bahkan nafas mereka pun seakan-akan mereka tahankan, agar kehadiran mereka tidak segera diketahui oleh orang yang bersembunyi itu.
“Kalau orang-orang itu orang Pandan Arum” bisik Macan Ireng perlahan-lahan sekali, “alangkah beraninya”
Welat Kuning mengangguk, tetapi ia tidak menjawab.
“Tetapi aku pasti, mereka bukan orang-orang kita” sambung Macan Ireng hampir tak terdengar.
Sekali lagi Welat Kuning mengangguk.
Macan Ireng terkejut ketika kemudian didengarnya suara tertawa berderai. Di antara suara tertawa itu terdengarlah kata-kata, “ Seekor macam bersarang di hutan yang gersang dan tandus. Apakah kau tidak merasa kelaparan Macan Ireng? “
“Apakah kakang akan pergi?” bertanya Banaspati.
“Ya” jawab Macan Ireng, “Pekerjaanmu besok mengumpulkan semua kekuatan. Malam ini aku ingin melihat padepokan Pandan Arum bersama Welat Kuning”
Dalam pada itu, Macan Ireng berjalan dengan tergesa-gesa meninggalkan perkemahannya, seakan-akan ia ingin segera pergi sejauh-jauhnya dari tempat itu. Demikianlah mereka melangkahkan kaki mereka keluar hutan. Ketika Macan Ireng menengadahkan wajahnya, di langit dilihatnya bulan yang terbelah. Sehelai-sehelai awan yang putih hanyut dibawa arus angin yang lembut.
“Hem” desahnya.
Welat Kuning melangkah lebih cepat lagi, sehingga ia berjalan di samping Macan Kepatihan itu. Ketika ia mendengar Macan Ireng itu berdesah, ia berpaling. Tetapi ia tidak bertanya apa-apa. Macan Ireng masih mengagumi kesegaran angin malam dan kelembutan sinar bulan setengah. Cahaya yang redup kekuning-kuningan dan daun-daun yang hijau gelap seperti langit di garis cakrawala. Dari dalam kekelaman malam, menjulang lamat-lamat gunung Merapi menyentuh langit. Malam menjadi semakin lama semakin dingin. Angin yang basah mengusap tubuh-tubuh mereka yang seakan-akan membeku. Suara jangkerik terdengar mengorek-ngorek dinding telinga. Sekali-sekali terdengar pekik binatang-binatang hutan mengejutkan.
Dalam keheningan malam itu tiba-tiba Welat Kuning merasa sesuatu berdesir di hatinya. Matanya yang tajam, menembus keremangan malam menusuk kekejauhan. Welat Kuning menarik nafas. Ia berpaling ketika terdengar Macan Ireng menggeram perlahan-lahan.
Tetapi Welat Kuning itu mengangguk-anggukkan kepalanya ketika ia mendengar Macan Ireng bergumam perlahan-lahan, “Ada seseorang yang bersembunyi di balik pohon besar itu”
“Ya, aku melihatnya”
“Siapa kira – kira Welat Kuning, apakah orang itu orang-orang kita?”
“Entahlah kakang. Apakah kakang memberikan perintah kepada seseorang atau kedua orang itu untuk suatu pekerjaan?”
“Aku tidak. Malam ini aku perintahkan semuanya untuk tidak keluyuran kemana - mana”
Meskipun demikian, firasat Welat Kuning memberitahukan kepadanya, bahwa orang itu akan dapat membawa bahaya. Dengan demikian maka Welat Kuning segera meraba sepasang peang pendek yang terselip di pinggangnya. Welat Kuning dan Macan Ireng kemudian saling berdiam diri. Bahkan nafas mereka pun seakan-akan mereka tahankan, agar kehadiran mereka tidak segera diketahui oleh orang yang bersembunyi itu.
“Kalau orang-orang itu orang Pandan Arum” bisik Macan Ireng perlahan-lahan sekali, “alangkah beraninya”
Welat Kuning mengangguk, tetapi ia tidak menjawab.
“Tetapi aku pasti, mereka bukan orang-orang kita” sambung Macan Ireng hampir tak terdengar.
Sekali lagi Welat Kuning mengangguk.
Macan Ireng terkejut ketika kemudian didengarnya suara tertawa berderai. Di antara suara tertawa itu terdengarlah kata-kata, “ Seekor macam bersarang di hutan yang gersang dan tandus. Apakah kau tidak merasa kelaparan Macan Ireng? “
Diubah oleh breaking182 19-06-2022 22:55
simounlebon dan 20 lainnya memberi reputasi
21
Kutip
Balas