- Beranda
- Stories from the Heart
KIDUNG DI ATAS TANAH JAWI
...
TS
breaking182
KIDUNG DI ATAS TANAH JAWI
Quote:
Menuliskan cerita yang berbau sejarah tidak gampang. Tulisan ini berdasarkan riset kecil dengan metode wawancara dengan orang yang lebih mengerti dan sumber terpercaya sebatas pengetahuan narasumber. Di samping itu kecintaan saya akan film -film kolosal, sandiwara radio era tahun 90-an tentang kerajaan - kerajaan di tanah Jawa mendorong saya untuk menulis. Tentu saja dengan keterbatasan ilmu pengetahuan yang saya miliki. Kidung Di Atas Tanah Jawi bercerita tentang perjalanan seorang pemuda bernama Arya Gading. Berlatar belakang kerajaan Pajang di bawah pemerintahan Sultan Hadiwijoyo. Cerita ini fiktif belaka. Baca dan nikmati. Salam Olahraga.........
Quote:

Quote:
Konten Sensitif
Quote:
EPISODE 1
GEGER DI PUCANG KEMBAR
gatra 1
gatra 2
gatra 3
gatra 4
gatra 5
gatra 6
gatra 7
gatra 8
gatra 9
gatra 10
gatra 11
gatra 12
gatra 13
gatra 14
gatra 15
gatra 16
gatra 17
gatra 18
gatra 19
gatra 20
gatra 21
gatra 22
gatra 23
gatra 24
gatra 25
gatra 26
gatra 27
gatra 28
gatra 29
gatra 30
gatra 31
gatra 32
gatra 33
gatra 34
gatra 35
gatra 36
gatra 37
gatra 38
gatra 39
gatra 40
gatra 41
gatra 42
gatra 43
gatra 44
gatra 45
gatra 46
gatra 47
gatra 48
gatra 49
Quote:
EPISODE 2
BARA API DI KAKI MERAPI
gatra 1
gatra 2
gatra 3
gatra 4
gatra 5
gatra 6
gatra 7
gatra 8
gatra 9
gatra 10
gatra 11
gatra 12
gatra 13
gatra 14
gatra 15
gatra 16
gatra 17
gatra 18
gatra 19
gatra 20
gatra 21
gatra 22
gatra 23
gatra 24
gatra 25
gatra 26
gatra 27
gatra 28
gatra 29
gatra 30
gatra 31
gatra 32
gatra 33
gatra 34
gatra 35
gatra 36
gatra 37
gatra 38
gatra 39
gatra 40
gatra 41
gatra 42
gatra 43
gatra 44
gatra 45
gatra 46
gatra 47
gatra 48
gatra 49
gatra 50
gatra 51
Quote:
Diubah oleh breaking182 30-12-2022 23:12
jundi666 dan 70 lainnya memberi reputasi
71
81.7K
Kutip
622
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
breaking182
#270
gatra 28
Quote:
WAJAH RATRI HENING menjadi merah. Betapa ia menjadi sangat kecewa mendengar kata-kata Mahesa Branjangan itu. Ternyata menurut penilaiannya, ayahnya itu berpihak kepada Bagus Abangan. Perlahan-lahan Sekar Ratri pergi meninggalkan pringgitan. Sekali-sekali ia berpaling. Namun baik Mahesa Branjangan mau pun Arya Gading tidak lagi memandanginya.
Meskipun demikian, Ratri Hening masih dapat menghibur dirinya, “Arya Gading tidak marah kepadaku” katanya dalam hati. “Ia hanya takut kepada bapa”
Pagi itu, Ratri Hening pergi ke pasar seorang diri. Sebenarnya ia pun sama sekali tidak takut seandainya Bagus Abangan berbuat sesuatu atasnya. Apalagi hari telah berangsur terang, dan di sepanjang jalan telah menjadi riuh oleh orang-orang yang pergi datang ke pasar di ujung desa.
Mahesa Branjangan dan Arya Gading yang duduk di pringgitan itu terkejut ketika mereka mendengar gerit pintu terbuka. Mereka menggeser duduk mereka, ketika dari pintu itu muncul Kuda Merta. Wajahnya yang sudah mulai ditumbuhi oleh garis-garis umur itu tampak tersenyum. sambil duduk di samping Mahesa Branjangan terdengar ia berkata, “Hampir semalam suntuk kau berkeliling malam ini”
Mahesa Branjangan tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, “Ya paman”
“Bukankah tidak ada sesuatu yang mencurigakan? Karena tidak adaa ngin tidak ada hujan tiba –tiba saja ada segerombolan orang –orang berkuda yang membuat kericuhan di padukuhan Cangkring” bertanya Kuda Merta.
Mahesa Branjangan menggeleng, “Tidak paman, aku benar –benar tidak melihat ada sesuatu yang mencurigakan atau berpapasan dengan orang –orang itu”
Kuda Merta kini mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “ Bahkan tadi pagi setelah ada beberapa jagabaya dan bekel padukuhan kesini meminta perlindungan. Para cantrik telah siap untuk mengangkat senjata. Hanya saja kami masih menunggu kau Branjangan karena kau lah pimpinan sementara di padepokan ini “
“Ya, paman” sahut Mahesa Branjangan, “Namun, kita jangan terlalu gegabah untuk terpancing dengan tindakan orang –orang berkuda itu. Aku curiga itu semua hanya jebakan”
“ Satu lagi paman, sebentar lagi tolong kumpulkan para tetua dan perwakilan cantrik di pringgitan. Ki Ageng akan berbicara pada kita semua mengenai penerus dari padepokan ini. Sementara aku akan memerintahkan istriku, para mentrik untuk menyiapkan ubo rampenya”
Kuda Merta hampir tersentak dari tempat duduknya, “ Apakah kakang Pandan Arum sudah pulang Branjangan?”
“ Iya paman, beliau sengaja melarangku untuk mengatakan pada semua penghuni padepokan”
“ Baiklah Branjangan aku akan mengumpulkan orang –orang di pringgitan. Hanya saja mungkin kakang Paraji Gading tidak turut serta. Sudah beberapa hari ini aku tidak melihatnya. Bahkan, pada saat aku bertanya kepada Bagus Abangan. Anak itu juga tidak tahu dimana gurunya ”
Mahesa Branjangan tersenyum hambar, “ Tidak apa paman, mungkin paman Paraji Gading ada urusan yang harus diselesaikannya terlebih dahulu”
Meskipun demikian, Ratri Hening masih dapat menghibur dirinya, “Arya Gading tidak marah kepadaku” katanya dalam hati. “Ia hanya takut kepada bapa”
Pagi itu, Ratri Hening pergi ke pasar seorang diri. Sebenarnya ia pun sama sekali tidak takut seandainya Bagus Abangan berbuat sesuatu atasnya. Apalagi hari telah berangsur terang, dan di sepanjang jalan telah menjadi riuh oleh orang-orang yang pergi datang ke pasar di ujung desa.
Mahesa Branjangan dan Arya Gading yang duduk di pringgitan itu terkejut ketika mereka mendengar gerit pintu terbuka. Mereka menggeser duduk mereka, ketika dari pintu itu muncul Kuda Merta. Wajahnya yang sudah mulai ditumbuhi oleh garis-garis umur itu tampak tersenyum. sambil duduk di samping Mahesa Branjangan terdengar ia berkata, “Hampir semalam suntuk kau berkeliling malam ini”
Mahesa Branjangan tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, “Ya paman”
“Bukankah tidak ada sesuatu yang mencurigakan? Karena tidak adaa ngin tidak ada hujan tiba –tiba saja ada segerombolan orang –orang berkuda yang membuat kericuhan di padukuhan Cangkring” bertanya Kuda Merta.
Mahesa Branjangan menggeleng, “Tidak paman, aku benar –benar tidak melihat ada sesuatu yang mencurigakan atau berpapasan dengan orang –orang itu”
Kuda Merta kini mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “ Bahkan tadi pagi setelah ada beberapa jagabaya dan bekel padukuhan kesini meminta perlindungan. Para cantrik telah siap untuk mengangkat senjata. Hanya saja kami masih menunggu kau Branjangan karena kau lah pimpinan sementara di padepokan ini “
“Ya, paman” sahut Mahesa Branjangan, “Namun, kita jangan terlalu gegabah untuk terpancing dengan tindakan orang –orang berkuda itu. Aku curiga itu semua hanya jebakan”
“ Satu lagi paman, sebentar lagi tolong kumpulkan para tetua dan perwakilan cantrik di pringgitan. Ki Ageng akan berbicara pada kita semua mengenai penerus dari padepokan ini. Sementara aku akan memerintahkan istriku, para mentrik untuk menyiapkan ubo rampenya”
Kuda Merta hampir tersentak dari tempat duduknya, “ Apakah kakang Pandan Arum sudah pulang Branjangan?”
“ Iya paman, beliau sengaja melarangku untuk mengatakan pada semua penghuni padepokan”
“ Baiklah Branjangan aku akan mengumpulkan orang –orang di pringgitan. Hanya saja mungkin kakang Paraji Gading tidak turut serta. Sudah beberapa hari ini aku tidak melihatnya. Bahkan, pada saat aku bertanya kepada Bagus Abangan. Anak itu juga tidak tahu dimana gurunya ”
Mahesa Branjangan tersenyum hambar, “ Tidak apa paman, mungkin paman Paraji Gading ada urusan yang harus diselesaikannya terlebih dahulu”
Quote:
GUNUNG MERAPI tampak indah, menjulang tinggi bagai hendak menembus langit. Puncaknya selalu berselimut kabut tebal, sehingga menghalangi pandangan untuk sampai memandang ke batas puncak gunung itu. Udara di sekitarnya pun terasa sejuk, bersih dengan desiran angin lembut. Di pringgitan Ki Ageng Pandan Arum duduk bersila di atas tikar pandan. Dihadapannya duduk bersila Mahesa Branjangan, Kuda Merta, Anjam Kayuwangi, Paksi Jalak Kuning, Damar Tahun dan beberapa perwakilan cantrik.
“ Branjangan dimana adi Paraji Gading dan angger Arya Gading? “
“ Maaf bapa, Arya Gading sedang berada di pondoknya. Kalau untuk paman Paraji terus terang saya juga tidak tahu“
“ Semenjak dua hari ini kakang Paraji tidak terlihat di padepokan ini. Bahkan, Bagus Abangan juga tidak tahu dimana gurunya itu berada “
“ Baiklah kalau begitu. Branjangan aku minta tolong kau panggil Arya Gading kesini “
“ Baik bapa “
Lantas Mahesa Branjangan memanggil salah satu cantrik untuk memanggil Arya Gading di pondoknya. Tidak lama kemudian cantrik itu telah kembali bersama Arya Gading. Pemuda itu terlihat bingung dan bertanya-tanya mengapa dirinya harus mengikuti pertemuan dengan para tetua di pringgitan.
Melihat Arya Gading, Ki Ageng lantas menyapanya, “ Bagaimana keadaan mu dan bibi mu Ngger? Apakah kau betah tinggal di padepokan ini? “
Arya Gading tersenyum, “ Keadaan saya dan bibi baik Ki Ageng. Saya dan bibi sangat betah tinggal disini. Semua baik dan kakang Mahesa Branjangan selalu melindungi saya”
"Syukurlah kalau kau betah tinggal disini, silahkan duduk. Aku akan memulai pembicaraan perihal masa depan dari padepokan ini”
Orang –orang yang berada di pringgitan itu terdiam menunggu apa yang akan disampaikan oleh Ki Ageng Pandan Arum. Lelaki tua itu satu persatu memandang wajah –wajah orang yang berada di hadapannya.
“ Karena umur ku sudah bertambah tua, aku ingin menunjuk seseorang untuk melanjutkan nama padepokan ini. Meskipun, padepokan ini hanya sebuah padepokan yang kecil. Aku berharap api tekad di dalamnya tidak pernah padam. Syukur –syukur sedikit banyak dapat membantu orang –orang yang berada di sekitar kita”
Ki Ageng menghentikan bicaranya. Lanjutnya lagi, “ Maka, aku putuskan untuk menunjuk Arya Gading sebagai penerusku di dalam padepokan ini. Dan aku juga ingin mengubah nama perguruan ini menjadi Pasanggaran. Pasanggaran artinya tenpat untuk ngangsu kawruh atau menimba ilmu. Baik ilmu sastra, ilmu pertanian, kanuragan dan ilmu –ilmu yang lain “
Semua yang ada di pringgitan tersentak manakala mendengar perkataan Ki Ageng. Terutama Arya Gading, pemuda itu menggigil. Kepalanya tiba –tiba berdenyut –denyut dengan hebatnya. Seolah –olah bumi yang dipijaknya itu berputar –putar seperti titiran. Mahesa Branjangan yang sangat mengenal sifat ayahnya hanya manggut –manggut saja. Tidak terbersit sedikitpun dilubuk hatinya iri atau dengki dengan keputusan ayahnya itu.
Kuda Merta berpandang –pandangan dengan Anjam Kayuwangi. Paksi Jalak Kuning menunduk sembari menarik nafas panjang. Dan tanpa sepengetahuan orang –orang yang berada di pringgitan itu. Sesosok tubuh yang berada dibalik tembok pringgitan yang terbuat dari kayu nangka itu tambah bergemuruh seisi dadanya. Jantungnya berdentang –dentang dengan cepat, aliran darahnya mengalir bagaikan banjir bandang. Matanya tampak mencorong merah menahan amarah yang sewaktu –waktu mungkin akan meledak dan menggugurkan gunung Merapi. Orang itu tidak lain Bagus Abangan.
“ Ternyata benar kata guru. Anak itu kalau tidak dilenyapkan akan selalu menjadi duri dalam daging”
Lalu Bagus Abangan beringsut meninggalkan tempat persembunyiannya. Pemuda itu berjalan meninggalkan padepokan. Di ambilnya seekor kuda tunggangannya di kandang.Pada saat sampai di gerbang. Seorang cantrik menyapanya, “ Kau mau kemana Bagus Abangan hari sudah terlalu siang untuk berjalan –jalan “
Bagus Abangan tidak menghiraukan sapaan cantrik yang berjaga di depan gerbang. Pemuda itu masih saja duduk di atas kuda tanpa menghiraukan lagi teriakan –teriakan cantrik yang terdengar menggodanya. Kudanya berlari bagai dikejars etan. Debu –debu berterbangan di belakangnya. Sementara itu keadaan di pringgitan menjadi sunyi. Hanya sesekali terdengar nafas dari orang – orang yang hadir disitu.
“ Aku harap keputusanku ini dapat kalian terima dengan baik dan mendukung langkah Arya Gading sebagai penerusku. Aku tahu Arya Gading masih terlalu muda untuk memikul tugas berat ini. Maka dari itu aku minta tolong pada adi Kuda Merta dan adi Anjam Kayuwangi unutk sementara mendampingi Arya Gading”
“ Apakah adi berdua bersedia? “
“ Aku sangat senang diberi kepercayaan itu kakang. Kami berdua bersedia untuk mendampingi dan membimbing Arya Gading “
“ Terimakasih adi, atas kesediannya”
“Setelah ini Mahesa Branjangan akan pulang ke Prambanan. Melanjutkan keinginannya untuk mendirikan sebuah padepokan baru “
“ Arya Gading apakah kau siap dengan tugas yang harus kau emban ini ?”
Pertanyaan dari Ki Ageng seolah –olah menyadarkan Arya Gading dari kekalutan hatinya. Perlahan –lahan adik dari tumenggung anom dari Pajang itu mengangkat kepalanya.
Terbata –bata pemuda itu berkata, “ Apakah keputusan Ki Ageng tidak salah? Saya merasa tidak mampu dan tidak pantas untuk memimpin padepokan yang begini besar. Ilmu saya masih sangat dangkal. Saya masih jauh di bawah kakang Mahesa Branjangan, paman Kuda Merta, paman Anjam Kayuwangi dan kakang Jalak Kuning. Saya sangat takut untuk memikul tanggung jawab ini Ki Ageng. Saya takut tidak mampu. Belum lagi saya berpikir keputusan Ki Ageng akan membuat banyak pihak menjadi tidak suka”
Ki Ageng tersenyum, “ Kau tidak perlu cemas Gading. Akan ada paman –paman mu disini yang akan membimbing mu “
Arya Gading lantas tertunduk lagi lunglai. Anak itu sudah tidak mampu lagi untuk membantah perintah Ki Ageng. Tidak lama dari balik pintu bermunculan beberapa mentrik dan Ratri Hening membawa beraneka makanan. Nasi tumpeng,jajan pasar,ayam bakar dan beberapa kendi wedang sereh.
Ratri Hening sempat mengerling kepada Arya Gading. Gadis itu berbisik sambil tersenyum tipis, “ Kakang, makanlah yang banyak. Sebagai seorang pemimpin padepokan kau harus selalu sehat dan kuat”
Arya Gading tidak menjawab apa –apa. Di kepala pemuda itu masih saja bergemuruh tidka menentu. Bahkan, hidangan dihadapannya yang beraneka ragam itu tidak sedikitpun menggugah selera makannya. Kepala Arya Gading masih terlalu pening. Berdesak-desakanlah perasaan yang bergumul di dalam dadanya.
“ Branjangan dimana adi Paraji Gading dan angger Arya Gading? “
“ Maaf bapa, Arya Gading sedang berada di pondoknya. Kalau untuk paman Paraji terus terang saya juga tidak tahu“
“ Semenjak dua hari ini kakang Paraji tidak terlihat di padepokan ini. Bahkan, Bagus Abangan juga tidak tahu dimana gurunya itu berada “
“ Baiklah kalau begitu. Branjangan aku minta tolong kau panggil Arya Gading kesini “
“ Baik bapa “
Lantas Mahesa Branjangan memanggil salah satu cantrik untuk memanggil Arya Gading di pondoknya. Tidak lama kemudian cantrik itu telah kembali bersama Arya Gading. Pemuda itu terlihat bingung dan bertanya-tanya mengapa dirinya harus mengikuti pertemuan dengan para tetua di pringgitan.
Melihat Arya Gading, Ki Ageng lantas menyapanya, “ Bagaimana keadaan mu dan bibi mu Ngger? Apakah kau betah tinggal di padepokan ini? “
Arya Gading tersenyum, “ Keadaan saya dan bibi baik Ki Ageng. Saya dan bibi sangat betah tinggal disini. Semua baik dan kakang Mahesa Branjangan selalu melindungi saya”
"Syukurlah kalau kau betah tinggal disini, silahkan duduk. Aku akan memulai pembicaraan perihal masa depan dari padepokan ini”
Orang –orang yang berada di pringgitan itu terdiam menunggu apa yang akan disampaikan oleh Ki Ageng Pandan Arum. Lelaki tua itu satu persatu memandang wajah –wajah orang yang berada di hadapannya.
“ Karena umur ku sudah bertambah tua, aku ingin menunjuk seseorang untuk melanjutkan nama padepokan ini. Meskipun, padepokan ini hanya sebuah padepokan yang kecil. Aku berharap api tekad di dalamnya tidak pernah padam. Syukur –syukur sedikit banyak dapat membantu orang –orang yang berada di sekitar kita”
Ki Ageng menghentikan bicaranya. Lanjutnya lagi, “ Maka, aku putuskan untuk menunjuk Arya Gading sebagai penerusku di dalam padepokan ini. Dan aku juga ingin mengubah nama perguruan ini menjadi Pasanggaran. Pasanggaran artinya tenpat untuk ngangsu kawruh atau menimba ilmu. Baik ilmu sastra, ilmu pertanian, kanuragan dan ilmu –ilmu yang lain “
Semua yang ada di pringgitan tersentak manakala mendengar perkataan Ki Ageng. Terutama Arya Gading, pemuda itu menggigil. Kepalanya tiba –tiba berdenyut –denyut dengan hebatnya. Seolah –olah bumi yang dipijaknya itu berputar –putar seperti titiran. Mahesa Branjangan yang sangat mengenal sifat ayahnya hanya manggut –manggut saja. Tidak terbersit sedikitpun dilubuk hatinya iri atau dengki dengan keputusan ayahnya itu.
Kuda Merta berpandang –pandangan dengan Anjam Kayuwangi. Paksi Jalak Kuning menunduk sembari menarik nafas panjang. Dan tanpa sepengetahuan orang –orang yang berada di pringgitan itu. Sesosok tubuh yang berada dibalik tembok pringgitan yang terbuat dari kayu nangka itu tambah bergemuruh seisi dadanya. Jantungnya berdentang –dentang dengan cepat, aliran darahnya mengalir bagaikan banjir bandang. Matanya tampak mencorong merah menahan amarah yang sewaktu –waktu mungkin akan meledak dan menggugurkan gunung Merapi. Orang itu tidak lain Bagus Abangan.
“ Ternyata benar kata guru. Anak itu kalau tidak dilenyapkan akan selalu menjadi duri dalam daging”
Lalu Bagus Abangan beringsut meninggalkan tempat persembunyiannya. Pemuda itu berjalan meninggalkan padepokan. Di ambilnya seekor kuda tunggangannya di kandang.Pada saat sampai di gerbang. Seorang cantrik menyapanya, “ Kau mau kemana Bagus Abangan hari sudah terlalu siang untuk berjalan –jalan “
Bagus Abangan tidak menghiraukan sapaan cantrik yang berjaga di depan gerbang. Pemuda itu masih saja duduk di atas kuda tanpa menghiraukan lagi teriakan –teriakan cantrik yang terdengar menggodanya. Kudanya berlari bagai dikejars etan. Debu –debu berterbangan di belakangnya. Sementara itu keadaan di pringgitan menjadi sunyi. Hanya sesekali terdengar nafas dari orang – orang yang hadir disitu.
“ Aku harap keputusanku ini dapat kalian terima dengan baik dan mendukung langkah Arya Gading sebagai penerusku. Aku tahu Arya Gading masih terlalu muda untuk memikul tugas berat ini. Maka dari itu aku minta tolong pada adi Kuda Merta dan adi Anjam Kayuwangi unutk sementara mendampingi Arya Gading”
“ Apakah adi berdua bersedia? “
“ Aku sangat senang diberi kepercayaan itu kakang. Kami berdua bersedia untuk mendampingi dan membimbing Arya Gading “
“ Terimakasih adi, atas kesediannya”
“Setelah ini Mahesa Branjangan akan pulang ke Prambanan. Melanjutkan keinginannya untuk mendirikan sebuah padepokan baru “
“ Arya Gading apakah kau siap dengan tugas yang harus kau emban ini ?”
Pertanyaan dari Ki Ageng seolah –olah menyadarkan Arya Gading dari kekalutan hatinya. Perlahan –lahan adik dari tumenggung anom dari Pajang itu mengangkat kepalanya.
Terbata –bata pemuda itu berkata, “ Apakah keputusan Ki Ageng tidak salah? Saya merasa tidak mampu dan tidak pantas untuk memimpin padepokan yang begini besar. Ilmu saya masih sangat dangkal. Saya masih jauh di bawah kakang Mahesa Branjangan, paman Kuda Merta, paman Anjam Kayuwangi dan kakang Jalak Kuning. Saya sangat takut untuk memikul tanggung jawab ini Ki Ageng. Saya takut tidak mampu. Belum lagi saya berpikir keputusan Ki Ageng akan membuat banyak pihak menjadi tidak suka”
Ki Ageng tersenyum, “ Kau tidak perlu cemas Gading. Akan ada paman –paman mu disini yang akan membimbing mu “
Arya Gading lantas tertunduk lagi lunglai. Anak itu sudah tidak mampu lagi untuk membantah perintah Ki Ageng. Tidak lama dari balik pintu bermunculan beberapa mentrik dan Ratri Hening membawa beraneka makanan. Nasi tumpeng,jajan pasar,ayam bakar dan beberapa kendi wedang sereh.
Ratri Hening sempat mengerling kepada Arya Gading. Gadis itu berbisik sambil tersenyum tipis, “ Kakang, makanlah yang banyak. Sebagai seorang pemimpin padepokan kau harus selalu sehat dan kuat”
Arya Gading tidak menjawab apa –apa. Di kepala pemuda itu masih saja bergemuruh tidka menentu. Bahkan, hidangan dihadapannya yang beraneka ragam itu tidak sedikitpun menggugah selera makannya. Kepala Arya Gading masih terlalu pening. Berdesak-desakanlah perasaan yang bergumul di dalam dadanya.
Quote:
DI ATAS JALAN berbatu-batu menuju ke bawah, lewat sebuah sungai yang dangkal karena dihentak oleh kemarau terdengarlah suara kaki kuda berderap. Kuda itu berlari dengan kencang, namun tidak dengan kecepatan penuh. Penunggangnya, Bagus Abangan, wajahnya masih merah padam. Dendam sakit hati dan kebencian seolah –olah membaur menjadi satu memanaskan setiap pembuluh darahnya.
Ketika Bagus Abangan mencoba memandang jauh ke depan, jantungnya menjadi berdebar-debar. Sekali lagi ia harus membelok kemudian ia kan sampai ke Bulak Dawa. Di ujung bulak yang panjang itulah terdapat sebuah pohon randu alas kembar raksasa dengan dua lubang menganga di tengah –tengah batang pohon randu itu, yang terkenal dengan sebutan randu growong.
Ketika sekali lagi Bagus Abangan memandang ke depan, kudanya telah sampai dikelok jalan, dan sesaat kemudian di hadapannya terbentang daerah persawahan yang panjang. Bulak dawa. Kini sengatan matahari telah benar-benar memeras peluh Bagus Abangan. Cahayanya yang terik memencar terlempar ke atas daun-daun padi yang subur di tanah persawahan. Di sana sini air yang bergenangan memantulkan sinar matahari.
Sekali-sekali Bagus Abangan menengadahkan wajahnya. Jauh di arah timur, dilihatnya hutan yang terbujur keselatan, seakan-akan raksasa sedang berjajar membentuk pagar betis. Sepi. Bagus Abangan segera memalingkan wajahnya. Kalau ia menempuh jalan timur, maka ia akan menyusur jalan ditepi hutan itu. Ia manarik nafas. Jantung Bagus Abangan masih berdebar terlalu cepat. Terdengarlah nafasnya berkejaran lewat lubang hidungnya. Tiba-tiba perasaan amarahnya memuncak. Ketika terngiang di telinganya. Arya Gading dipilih untuk meneruskan kelangsungan padepokan Pandan Arum yang kini telah berganti nama menjadi Pasanggaran.
Bagus Abangan mengumpat lantas kudanya kembali dipacu sekencang-kencangnya. Tidak terlalu lama berkuda Bagus Abangan melihat seekor kuda berhenti di tengah jalan. Karena itu, timbul pertanyaan di dalam hatinya. “Siapakah gerangan orang berkuda itu? Apakah memang sengaja untuk menghadangku? Persetan, akan aku hajar untuk pelampiasan amarah ku ini”
“Setan” dengusnya setelah ia mengetahui kuda itu tak berpenumpang.
Sekejap Bagus Abangan akan membedal kudanya lagi. Tiba –tiba dihadapannya seorang bertopeng berdiri tegak di atas tanggul parit. Bagus Abangan terbungkam. Serta merta ia urungkan niatnya itu. Namun dadanya melonjak-lonjak. Darahnya serasa mengalir semakin cepat.
Dipandanginya orang bertopeng itu dari ujung kakinya sampai keujung ikat kepalanya, “Apakah kau penari topeng?”
Tetapi orang bertopeng itu menjawab, “Tepat. Aku adalah tokoh Panji dalam setiap ceritera”
“Huh” Bagus Abangan itu mencibirkan bibirnya, “Jangan main-main, kau berhadapan dengan Bagus Abangan”
“Ya, aku sudah tahu” jawab orang bertopeng itu.
Bagus Abangan mengerutkan keningnya, “Dari mana kau tahu?”
“ Semua aku tahu, bahkan yang tidak kau ketahuipun aku sudah tahu” sahut orang bertopeng itu sembari menepuk dada.
Bagus Abangan membelalakkan matanya. Ditatapnya orang dihadapannya itu dengan tajam penuh pertanyaan. Terdengarlah kemudian anak muda itu menggeram, “Hem, kanapa kau pakai topeng? Sebutkan dirimu, supaya aku dapat mengukur kesaktianmu”
“Aku orang tidak bernama” jawab orang bertopeng itu.
“Cukup!” bentak Bagus Abangan, “jangan membual” Suaranya keras mengguruh.
Kemudian terdengar Bagus Abanganitu meneruskan, “Kau memakai topeng itu bukan karena kebetulan. Apakah maksudmu. Mungkin kau salah seorang yang pernah aku kenal dan mencoba menyembunyikan dirimu. Tetapi itu tak akan berarti. Hidup atau mati aku akan dapat merenggut topeng itu dari wajahmu, dan akan jelas bagiku siapakah kau ini dan apa maksudmu sebenarnya”
Orang bertopeng itu menggeleng, “Tidak” jawabnya, “Tak seorang pun dapat melepas topeng ini, sebab topengku telah melekat pada kulit wajahku”
Ketika Bagus Abangan mencoba memandang jauh ke depan, jantungnya menjadi berdebar-debar. Sekali lagi ia harus membelok kemudian ia kan sampai ke Bulak Dawa. Di ujung bulak yang panjang itulah terdapat sebuah pohon randu alas kembar raksasa dengan dua lubang menganga di tengah –tengah batang pohon randu itu, yang terkenal dengan sebutan randu growong.
Ketika sekali lagi Bagus Abangan memandang ke depan, kudanya telah sampai dikelok jalan, dan sesaat kemudian di hadapannya terbentang daerah persawahan yang panjang. Bulak dawa. Kini sengatan matahari telah benar-benar memeras peluh Bagus Abangan. Cahayanya yang terik memencar terlempar ke atas daun-daun padi yang subur di tanah persawahan. Di sana sini air yang bergenangan memantulkan sinar matahari.
Sekali-sekali Bagus Abangan menengadahkan wajahnya. Jauh di arah timur, dilihatnya hutan yang terbujur keselatan, seakan-akan raksasa sedang berjajar membentuk pagar betis. Sepi. Bagus Abangan segera memalingkan wajahnya. Kalau ia menempuh jalan timur, maka ia akan menyusur jalan ditepi hutan itu. Ia manarik nafas. Jantung Bagus Abangan masih berdebar terlalu cepat. Terdengarlah nafasnya berkejaran lewat lubang hidungnya. Tiba-tiba perasaan amarahnya memuncak. Ketika terngiang di telinganya. Arya Gading dipilih untuk meneruskan kelangsungan padepokan Pandan Arum yang kini telah berganti nama menjadi Pasanggaran.
Bagus Abangan mengumpat lantas kudanya kembali dipacu sekencang-kencangnya. Tidak terlalu lama berkuda Bagus Abangan melihat seekor kuda berhenti di tengah jalan. Karena itu, timbul pertanyaan di dalam hatinya. “Siapakah gerangan orang berkuda itu? Apakah memang sengaja untuk menghadangku? Persetan, akan aku hajar untuk pelampiasan amarah ku ini”
“Setan” dengusnya setelah ia mengetahui kuda itu tak berpenumpang.
Sekejap Bagus Abangan akan membedal kudanya lagi. Tiba –tiba dihadapannya seorang bertopeng berdiri tegak di atas tanggul parit. Bagus Abangan terbungkam. Serta merta ia urungkan niatnya itu. Namun dadanya melonjak-lonjak. Darahnya serasa mengalir semakin cepat.
Dipandanginya orang bertopeng itu dari ujung kakinya sampai keujung ikat kepalanya, “Apakah kau penari topeng?”
Tetapi orang bertopeng itu menjawab, “Tepat. Aku adalah tokoh Panji dalam setiap ceritera”
“Huh” Bagus Abangan itu mencibirkan bibirnya, “Jangan main-main, kau berhadapan dengan Bagus Abangan”
“Ya, aku sudah tahu” jawab orang bertopeng itu.
Bagus Abangan mengerutkan keningnya, “Dari mana kau tahu?”
“ Semua aku tahu, bahkan yang tidak kau ketahuipun aku sudah tahu” sahut orang bertopeng itu sembari menepuk dada.
Bagus Abangan membelalakkan matanya. Ditatapnya orang dihadapannya itu dengan tajam penuh pertanyaan. Terdengarlah kemudian anak muda itu menggeram, “Hem, kanapa kau pakai topeng? Sebutkan dirimu, supaya aku dapat mengukur kesaktianmu”
“Aku orang tidak bernama” jawab orang bertopeng itu.
“Cukup!” bentak Bagus Abangan, “jangan membual” Suaranya keras mengguruh.
Kemudian terdengar Bagus Abanganitu meneruskan, “Kau memakai topeng itu bukan karena kebetulan. Apakah maksudmu. Mungkin kau salah seorang yang pernah aku kenal dan mencoba menyembunyikan dirimu. Tetapi itu tak akan berarti. Hidup atau mati aku akan dapat merenggut topeng itu dari wajahmu, dan akan jelas bagiku siapakah kau ini dan apa maksudmu sebenarnya”
Orang bertopeng itu menggeleng, “Tidak” jawabnya, “Tak seorang pun dapat melepas topeng ini, sebab topengku telah melekat pada kulit wajahku”
Quote:
“Hem” Bagus Abangan itu menggeram penuh kemarahan.
“Baiklah. Kalau demikian akan aku kelupas kulit mukamu itu”.
Meskipun demikian timbul pula pertanyaan di dalam dadanya. Terdengar kemudian jawaban orang bertopeng itu, “Jangan. Jangan kau kelupas kulit mukaku. Wajahku pasti akan menakuti anak-anak kelak”
“Jangan banyak bicara” potong Bagus Abangan yang menjadi kian marah, “Bersiaplah"
“Baiklah. Kalau demikian akan aku kelupas kulit mukamu itu”.
Meskipun demikian timbul pula pertanyaan di dalam dadanya. Terdengar kemudian jawaban orang bertopeng itu, “Jangan. Jangan kau kelupas kulit mukaku. Wajahku pasti akan menakuti anak-anak kelak”
“Jangan banyak bicara” potong Bagus Abangan yang menjadi kian marah, “Bersiaplah"
Diubah oleh breaking182 14-06-2022 14:57
simounlebon dan 18 lainnya memberi reputasi
19
Kutip
Balas