- Beranda
- Stories from the Heart
JANJI? (MINI SERIES)
...
TS
beavermoon
JANJI? (MINI SERIES)
Pernahkah kalian jatuh cinta? Pernahkah kalian menyembunyikan perasaan kepada orang yang kalian suka? Kenapa kalian menyembunyikan hal itu? Bukankah lebih baik untuk mengutarakannya?
Fika dan Rama akan menemani perjalanan kalian dalam mencari tahu jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas. Bersyukurlah jika kalian dapat menemukan jawabannya, namun jika tidak?
Spoiler for Episode:
Diubah oleh beavermoon 16-06-2022 12:03
ndoro_mant0 dan 7 lainnya memberi reputasi
4
3.1K
Kutip
40
Balasan
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.6KThread•43KAnggota
Tampilkan semua post
TS
beavermoon
#28
Episode 25
Spoiler for Episode 25:
Mobil berhenti di tepi jalan, Rama dan Fika pun ke luar dari dalam mobil. Di tangan Fika sudah ada rangkaian bunga yang sengaja ia bawa, Rama pun demikian. Mereka berjalan menaiki anak tangga beberapa langkah, kemudian beranjak menuju sisi kanan. Beberapa langkah berlalu, mereka pun berhenti di dua nisan bernama.
“Papa, Mama, Fika sama Rama dateng nih.” Ucap Fika.
Fika meletakkan rangkaian bunga yang ia bawa di depan dua batu nisan, ia tersenyum setelah melihat bunga yang ia bawa nampak memperindah makam ke dua orang tuanya. Rama mengambil beberapa daun kering untuk disingkirkan dari atas makam Papa dan Mama.
“Fika akhirnya wisuda, sayangnya Papa sama Mama ngga bisa dateng. Jujur Fika sedih, tadi aja sampai nangis pas meluk Ibunya Rama...”
Rama mengusap pundak Fika pelan beberapa kali.
“...Tapi Fika juga seneng, akhirnya koleksi foto wisuda Fika sama Rama lengkap...”
Rama tersenyum mendengar ucapannya.
“...Tapi sekarang Fika bingung. Fika dapet tawaran untuk berangkat ke Jepang, padahal sesuai sama apa yang Fika cita-citakan. Fika ngga tau harus gimana, semoga Fika segera dapet jawaban untuk keraguan itu. Kalau gitu, Fika sama Rama pamit dulu ya. Kita mau ke tempat Ayahnya Rama.” Ucap Fika.
“Papa, Mama, Rama sama Fika pamit ya.” Ucap Rama.
Mereka menundukkan kepala seraya berdo’a agar Papa dan Mama dapat diterima di sisi terbaik Tuhan. Mereka melanjutkan perjalanan untuk naik ke atas melewati anak tangga, sebelum bukit paling atas mereka berbelok ke sisi kiri.
“Kayaknya Ibu dari sini.” Ucap Rama.
“Karena ada bunga itu?” Tanya Fika.
Ada sebuah rangkaian bunga yang masih segar di atas makan Ayah, Rama mengangguk dengan pasti setelah memeriksa rangaian bunga tersebut.
“Bunga yang dulu selalu Ayah kasih ke Ibu.” Jawab Rama.
Rama meletakkan rangkaian bunganya di samping pemberian Ibu, kemudian ia berdiri di samping Fika. Rama sempat menghela nafasnya panjang, dengan segera Fika menggenggam tangan kanan Rama.
“Ayah, Rama sama Fika dateng dengan kabar gembira. Kita udah wisuda, akhirnya perjalanan selama beberapa tahun belakangan berbuah manis...”
Tangan kanan Fika pun menggenggam tangan kanan Rama.
“...semoga kita juga siap untuk melangkah ke tahapan berikutnya. Oh iya, Lea sekarang udah punya pacar. Pasti Ayah bakalan pusing kalau masih ada...”
“Bentar...” Fika memotong ucapan Rama, “Lea udah punya pacar Ram?”
Rama mengangguk, “Kamu inget ngga sama cowo yang pernah dateng sama Lea ke Rumah kamu bawain baju aku? Itu pacarnya Lea.”
Fika menganggukkan kepalanya dengan pelan mengingat siapa orang yang dimaksud, kemudian mereka kembali menatap ke arah makam Ayah.
“Kalau gitu aku sama Fika pamit dulu ya.” Ucap Rama.
“Ayah, kita pamit dulu ya.” Ucap Fika.
Rama dan Fika kembali menundukkan kepala seraya berdo’a kepada Tuhan. Mereka meninggalkan makam Ayah lalu menaiki anak tangga untuk sampai ke bukit paling atas di mana ada sebuah pohon besar yang tumbuh di sana. Mereka pun duduk beralaskan rerumputan dan bersandar pada pohon besar, menatap ke arah Matahari di sore hari.
“Mereka pasti bangga sama kita kan Ram?” Tanya Fika.
Rama mengangguk lalu tersenyum, tangannya mengarah ke arah rambut yang menutupi sebagian kecil wajah Fika. Ia mengarahkan rambut tersebut ke belakang telinga Fika agar tidak mengganggu pandangannya, Fika ikut tersenyum kemudian.
“Kenapa kamu ngga langsung jawab ajakan Dosen kamu tadi?” Tanya Rama.
Fika menghela nafasnya, “Ternyata ngga semudah yang aku bayangin Ram. Dulu aku tuh ngebayangin kalau ada kesempatan langsung berangkat aja, eh ternyata syaratnya banyak banget.”
“Itu bukan alesan kamu nunda itu Fik.” Sambut Rama.
“Mungkin untuk itu bisa aku kerjain pelan-pelan, tapi mental aku belum ada buat melangkah ke sana. Tiba-tiba banyak keraguan yang muncul entah dari mana, aku pun sampai bingung sendiri.” Jelas Fika.
“Pelan-pelan aja, masih ada waktu dua hari untuk mikirin itu semua. Aku yakin kalau kamu udah siap banget buat berangkat ke sana.” Ucap Rama.
“Numpang ya Ram...”
Fika menyandarkan kepalanya pada pundak Rama, ia sempat menghela nafas lalu meregangkan otot-otot tangannya.
“...ada yang mau aku tanyain sih ke kamu.” Ucap Fika.
Rama bergumam singkat
“Kamu gimana kalau aku pergi?” Tanya Fika.
“Ngga ada hubungannya lah Fik.” Jawab Rama.
“Kamu sama sekali ngga ngerasa sedih kalau kita udah ngga bisa main bareng lagi?” Tanya Fika lagi.
Rama tertawa kecil, “Fika, kamu ngga inget umur kita udah 22 tahun? Masa iya kita harus main terus? Pasti akan ada saatnya kita berdua udah ngga ada waktu buat main kayak sekarang ini. Entah itu pekerjaan, entah itu hubungan kamu yang lebih serius dengan pasangan kamu nanti. Banyak banget deh yang bisa bikin kita ngga main bareng lagi sekalipun kamu masih di sini.”
Fika pun menghela nafasnya setelah mendengar penjelasan Rama. Sebuah kenyataan yang akan mereka alami nampaknya memberi pukulan ringan kepada pemikiran Fika. Ia pun meneteskan air mata dalam diam, mencoba untuk menutupi dari Rama.
Bukan karena kenyataan yang harus ia hadapi, bukan karena ia tak bisa lagi bermain dengan Rama. Berjalannya waktu membuat perasaannya yang selama ini ia tutupi nampak bertemu dengan ujungnya. Sebuah ujung yang akhirnya ia temukan setelah sekian lama, dari beberapa kemungkinan ujung-ujung akhir cerita lain.
Ia masih bisa merubah ujung cerita tersebut, seandainya saja ia mau. Kesempatan masih terbuka sangat besar, sebelum semuanya terlambat begitu saja. Dengan segera ia menghapus air matanya agar tidak nampak di mata Rama.
“Kamu ngantuk Fik?” Tanya Rama.
“Kayaknya iya deh Ram, ini aja sampai nangis gara-gara nguap terus.” Ucap Fika berbohong.
“Yaudah kita pulang aja biar kamu istirahat.” Ajak Rama.
Fika mengangguk pertanda setuju. Rama bangun dari duduknya, kemudian ia mengulurkan tangannya untuk membantu Fika bangun. Fika meraih tangan Rama lalu ia bangun dari duduknya. Mereka berjalan bersampingan menuruni anak tangga untuk kembali ke mobil yang terparkir di tepi jalan.
*
Fika nampak sibuk di depanlaptopnya, entah sudah berapa lama namun waktu sudah menunjukkan tengah malam. Ia menyandarkan tubuhnya ke bangku lalu melihat ke arah samping. Rama sedang membereskan beberapa lembaran kertas yang ada di hadapannya, ia memasukkan kertas-kertas tersebut ke dalam tempat penyimpanan.
Pintu kamar terbuka dari luar, Fika dan Rama pun menatap ke arah pintu. Lea masuk membawakan nampan berisi dua gelas kaca berisi minuman..
“Apa itu?” Tanya Rama.
“Ini adalah minuman yang aku racik sendiri...”
Lea memberikan satu gelas kepada Rama dan satu gelas lagi kepada Fika.
“...mohon berikan komentar dan masukannya.” Ucap Lea.
“Kamu bikin minuman malem-malem begini?” Tanya Rama lagi.
“Abang bawel deh, buruan dicobain.” Protes Lea.
Rama dan Fika bersamaan mencoba minuman yang dibuat oleh Lea. Rama nampak terkejut setelah mencoba minuman itu, sementara Fika meghabiskan lebih banyak dari porsi Rama.
“Apa nih Lea? Kok enak?” Tanya Fika.
“Serius enak Kak Fika?” Tanya Lea tertarik.
Fika mengangguk, “Serius, beneran enak kan Ram?”
“Bentar deh, kamu masukin vodka ya ke dalem minuman ini? Eh bukan deh, kamu pakai dry gin di minuman ini. Bener kan?” Ucap Rama.
“Loh Abang tau?” Tanya Lea.
“Jadi beneran?” Tanya Fika.
“Iya Kak Fik, aku pakai dry gin punya Abang.” Jawab Lea.
Rama melihat ke arah lemari kamarnya, “Pantesan kok botol di sana kayak ada yang hilang, tenyata ada yang diem-diem ngambil dan bereksperimen.”
Lea tertawa pelan, “Abisnya aku penasaran Bang. Berhubung aku masih belum boleh minum dan kebetulan ada Abang dan Kak Fika, jadinya aku punya kesempatan buat bikin minuman itu.”
“Kamu bisa tau resep ini dari mana?” Tanya Fika.
“Dari internet. Sebenernya aku tahu resep itu udah lama tapi baru ada kesempatan bikin hari ini. Soalnya nih Kak, kalau aku cuma buatin buat Abang pasti dia marah.”
“Marah?” Tanya Fika penasaran.
“Iya, pasti Abang marah kalau aku main ambil minuman di lemari itu. Kalau sekarang pasti ngga akan marah karena ada Kak Fika, Abang akan lemah kalau sama Kak Fika.” Jelas Lea.
“Ngomong apa sih kamu...”
Fika tertawa pelan mendengar penjelasan Lea.
“...mending kamu tidur, udah jam segini.” Ucap Rama.
Lea tertawa pelan, “Oke kalau begitu, aku pamit undur diri. Selamat menikmati minuman yang udah aku buat.”
“Makasih ya Lea.” Ucap Fika.
Lea tersenyum kemudian ke luar dari kamar Rama lalu kembali menutup pintu kamar. Fika nampak tersenyum melihat ke arah Rama hingga berhasil membuatnya salah tingkah.
“Kamu kenapa ngeliatin aku sambil senyum-senyum begitu?” Tanya Rama.
“Bener juga sih apa yang diucapin Lea, kamu melemah kalau lagi sama aku. Padahal Lea belum tau aja kalau Abangnya jago berantem.” Ucap Fika.
“Jago berantem?” Tanya Rama.
Fika minum secara pelan, “Apa perlu aku ingetin kamu lagi soal insiden pas kita SMP di mana kita pernah dipalak sama preman-preman gang? Atau kejadian pas SMA di mana kamu berantem di belakang sekolah sama Si Brengsek?”
Rama tersenyum setelah mendengar ucapan tersebut, Fika bangun dari duduknya lalu duduk di samping Rama yang ada di lantai.
“Aku belajar satu dari sekian banyak hal dari kamu...”
Rama menatap ke arah Fika.
“...bahwa kita ngga harus nunjukkin kekuatan kita setiap saat. Ada kalanya kita harus melemah untuk menurunkan ego di dalam hati kita.” Ucap Fika.
“Aku suka ngga ngerti, dari mana kamu bisa ngucapin kata-kata kayak gitu?” Tanya Rama.
Fika tersenyum, “Entah, tiba-tiba aja.”
Rama pun ikut tersenyum kemudian, mereka kembali meminum minuman buatan Lea secara perlahan.
*
Fika menghela nafasnya beberapa kali, kakinya bergoyang-goyang dengan cepat, ia nampak sangat gugup. Posisi duduknya sering kali berubah, kadang ia duduk dengan tegap dan kadang pula ia membungkukkan badan menutupi wajahnya pada meja.
“...baik, terima kasih...” Dosen menutup panggilan tersebut, “kamu kenapa keliatan gelisah banget Fik?”
“Aku juga ngga tau Bu kenapa bisa segelisah ini.” Jawabnya.
Dosen pun tersenyum, “Ngga ada yang perlu kamu gelisahin, semuanya berjalan dengan sangat baik. Ibu udah memastikan kalau kamu bisa berangkat ke Tokyo dua hari lagi, selamat ya.”
Dosen tersebut mengulurkan tangan untuk memberikan selamat, Fika menyambut tangan Dosen untuk berjabat tangan.
“Persyaratan kamu udah lengkap, jadi kamu tinggal pertimbangin apa yang akan kamu bawa ke sana dan apa yang harus kamu tinggal di sini. Ngga semuanya bisa kamu bawa, akan selalu ada yang tertinggal.” Jelas Dosen.
Fika menghela nafasnya. Sore menyambut dengan kehangatan, langit cerah menemani beberapa orang yang sedang menikmati udara di luar ruangan.
Fika berjalan dengan pelan setelah memarkirkan mobilnya di area parkir, ia memilih sebuah bangku besi panjang untuk singgah. Hamparan Danau luas ada di hadapannya, langit sore menambah keindahan untuk memanjakan matanya.
Sesekali ia melihat ke arah anak-anak yang sedang berlari-lari di tepian Danau, mereka terlihat sangat bahagia meski hanya sekedar berlari. Hal sederhana itu bisa membuat Fika tersenyum.
“Nih...”
Fika menatap ke arah samping dengan cepat. Rama meletakkan Bakpao yang ia beli di samping Fika, kemudian Rama ikut duduk di samping Fika.
“Aku mau cerita...”
Fika menatap Rama dengan seksama sambil memakan Bakpao yang Rama belikan.
“...aku diterima di salah satu perusahaan untuk bagian research and development.” Ucap Rama.
Fika tersenyum, “Aku ngga heran sih kalau kamu bisa dapet pekerjaan sesuai sama bidang yang kamu suka, tapi selamat ya Ram.”
Rama mengangguk lalu tersenyum, mereka kembali menatap ke arah hamparan Danau yang luas. Secara bergantian, Rama dan Fika memakan Bakpao milik mereka masing-masing. Dalam diam, mereka hanya melihat ke arah Danau hingga makanan habis tak bersisa. Rama membuka minuman botolan yang ia bawa, ia membuka tutup botol tersebut lalu diberikan kepada Fika.
“Makasih Ram...”
Mereka minum secara perlahan.
“...aku berangkat lusa.” Ucap Fika.
“Lusa? Aku bisa anterin kamu ke Bandara.” Sambut Rama.
Fika menghela nafasnya cukup panjang, ia sempat mengalihkan pandangannya ke arah samping lalu memejamkan matanya dengan paksa. Ia merasakan sesak dalam dada, ia mencoba untuk mengatur nafasnya secara perlahan.
“Kamu kenapa Fik?” Tanya Rama.
Fika menoleh, “Nggapapa kok Ram, aku lagi ngeliatin anak itu. Lucu banget kalau lari, rambut sama pipinya goyang-goyang.”
Rama menatap ke arah anak yang Fika maksud lalu tersenyum. Kebohongan Fika berhasil menutupi rasa sakit hati yang juga ia sembunyikan dari Rama.
*
“Aku mau ke kamar mandi dulu, udah kebelet.” Ucap Rama.
Rama meletakkan gelas di samping Fika, ia pun masuk ke dalam kamar mandi untuk menyelesaikan urusan di dalam tubuhnya. Fika hanya bisa tertawa kecil melihat Rama, ia pun bangun dari duduknya untuk kembali duduk di depan laptop miliknya yang ia tinggalkan di atas meja belajar Rama.
“Apa ini?” Tanya Fika seorang diri.
Ia melihat ke arah susunan buku Rama yang ada di atas meja. Susunan tersebut berisi cukup banyak buku tentang Kimia, mata pelajaran kesukaan Rama sejak dulu. Namun bukan itu yang menarik perhatian Fika.
Ada sebuah buku dengan cover hitam dengan penanda tali berwarna merah yang nampak dengan sangat jelas. Fika mengambil buku tersebut karena penasaran, sebuah buku yang bukan tentang Kimia namun dimiliki oleh Rama.
“Diorama dan Rahasia...”
Fika nampak heran dengan judul yang tertulis dengan tinta merah, tulisan milik Rama pun sudah sangat ia kenali. Fika mulai membaca halaman pertama dari buku itu.
“Papa, Mama, Fika sama Rama dateng nih.” Ucap Fika.
Fika meletakkan rangkaian bunga yang ia bawa di depan dua batu nisan, ia tersenyum setelah melihat bunga yang ia bawa nampak memperindah makam ke dua orang tuanya. Rama mengambil beberapa daun kering untuk disingkirkan dari atas makam Papa dan Mama.
“Fika akhirnya wisuda, sayangnya Papa sama Mama ngga bisa dateng. Jujur Fika sedih, tadi aja sampai nangis pas meluk Ibunya Rama...”
Rama mengusap pundak Fika pelan beberapa kali.
“...Tapi Fika juga seneng, akhirnya koleksi foto wisuda Fika sama Rama lengkap...”
Rama tersenyum mendengar ucapannya.
“...Tapi sekarang Fika bingung. Fika dapet tawaran untuk berangkat ke Jepang, padahal sesuai sama apa yang Fika cita-citakan. Fika ngga tau harus gimana, semoga Fika segera dapet jawaban untuk keraguan itu. Kalau gitu, Fika sama Rama pamit dulu ya. Kita mau ke tempat Ayahnya Rama.” Ucap Fika.
“Papa, Mama, Rama sama Fika pamit ya.” Ucap Rama.
Mereka menundukkan kepala seraya berdo’a agar Papa dan Mama dapat diterima di sisi terbaik Tuhan. Mereka melanjutkan perjalanan untuk naik ke atas melewati anak tangga, sebelum bukit paling atas mereka berbelok ke sisi kiri.
“Kayaknya Ibu dari sini.” Ucap Rama.
“Karena ada bunga itu?” Tanya Fika.
Ada sebuah rangkaian bunga yang masih segar di atas makan Ayah, Rama mengangguk dengan pasti setelah memeriksa rangaian bunga tersebut.
“Bunga yang dulu selalu Ayah kasih ke Ibu.” Jawab Rama.
Rama meletakkan rangkaian bunganya di samping pemberian Ibu, kemudian ia berdiri di samping Fika. Rama sempat menghela nafasnya panjang, dengan segera Fika menggenggam tangan kanan Rama.
“Ayah, Rama sama Fika dateng dengan kabar gembira. Kita udah wisuda, akhirnya perjalanan selama beberapa tahun belakangan berbuah manis...”
Tangan kanan Fika pun menggenggam tangan kanan Rama.
“...semoga kita juga siap untuk melangkah ke tahapan berikutnya. Oh iya, Lea sekarang udah punya pacar. Pasti Ayah bakalan pusing kalau masih ada...”
“Bentar...” Fika memotong ucapan Rama, “Lea udah punya pacar Ram?”
Rama mengangguk, “Kamu inget ngga sama cowo yang pernah dateng sama Lea ke Rumah kamu bawain baju aku? Itu pacarnya Lea.”
Fika menganggukkan kepalanya dengan pelan mengingat siapa orang yang dimaksud, kemudian mereka kembali menatap ke arah makam Ayah.
“Kalau gitu aku sama Fika pamit dulu ya.” Ucap Rama.
“Ayah, kita pamit dulu ya.” Ucap Fika.
Rama dan Fika kembali menundukkan kepala seraya berdo’a kepada Tuhan. Mereka meninggalkan makam Ayah lalu menaiki anak tangga untuk sampai ke bukit paling atas di mana ada sebuah pohon besar yang tumbuh di sana. Mereka pun duduk beralaskan rerumputan dan bersandar pada pohon besar, menatap ke arah Matahari di sore hari.
“Mereka pasti bangga sama kita kan Ram?” Tanya Fika.
Rama mengangguk lalu tersenyum, tangannya mengarah ke arah rambut yang menutupi sebagian kecil wajah Fika. Ia mengarahkan rambut tersebut ke belakang telinga Fika agar tidak mengganggu pandangannya, Fika ikut tersenyum kemudian.
“Kenapa kamu ngga langsung jawab ajakan Dosen kamu tadi?” Tanya Rama.
Fika menghela nafasnya, “Ternyata ngga semudah yang aku bayangin Ram. Dulu aku tuh ngebayangin kalau ada kesempatan langsung berangkat aja, eh ternyata syaratnya banyak banget.”
“Itu bukan alesan kamu nunda itu Fik.” Sambut Rama.
“Mungkin untuk itu bisa aku kerjain pelan-pelan, tapi mental aku belum ada buat melangkah ke sana. Tiba-tiba banyak keraguan yang muncul entah dari mana, aku pun sampai bingung sendiri.” Jelas Fika.
“Pelan-pelan aja, masih ada waktu dua hari untuk mikirin itu semua. Aku yakin kalau kamu udah siap banget buat berangkat ke sana.” Ucap Rama.
“Numpang ya Ram...”
Fika menyandarkan kepalanya pada pundak Rama, ia sempat menghela nafas lalu meregangkan otot-otot tangannya.
“...ada yang mau aku tanyain sih ke kamu.” Ucap Fika.
Rama bergumam singkat
“Kamu gimana kalau aku pergi?” Tanya Fika.
“Ngga ada hubungannya lah Fik.” Jawab Rama.
“Kamu sama sekali ngga ngerasa sedih kalau kita udah ngga bisa main bareng lagi?” Tanya Fika lagi.
Rama tertawa kecil, “Fika, kamu ngga inget umur kita udah 22 tahun? Masa iya kita harus main terus? Pasti akan ada saatnya kita berdua udah ngga ada waktu buat main kayak sekarang ini. Entah itu pekerjaan, entah itu hubungan kamu yang lebih serius dengan pasangan kamu nanti. Banyak banget deh yang bisa bikin kita ngga main bareng lagi sekalipun kamu masih di sini.”
Fika pun menghela nafasnya setelah mendengar penjelasan Rama. Sebuah kenyataan yang akan mereka alami nampaknya memberi pukulan ringan kepada pemikiran Fika. Ia pun meneteskan air mata dalam diam, mencoba untuk menutupi dari Rama.
Bukan karena kenyataan yang harus ia hadapi, bukan karena ia tak bisa lagi bermain dengan Rama. Berjalannya waktu membuat perasaannya yang selama ini ia tutupi nampak bertemu dengan ujungnya. Sebuah ujung yang akhirnya ia temukan setelah sekian lama, dari beberapa kemungkinan ujung-ujung akhir cerita lain.
Ia masih bisa merubah ujung cerita tersebut, seandainya saja ia mau. Kesempatan masih terbuka sangat besar, sebelum semuanya terlambat begitu saja. Dengan segera ia menghapus air matanya agar tidak nampak di mata Rama.
“Kamu ngantuk Fik?” Tanya Rama.
“Kayaknya iya deh Ram, ini aja sampai nangis gara-gara nguap terus.” Ucap Fika berbohong.
“Yaudah kita pulang aja biar kamu istirahat.” Ajak Rama.
Fika mengangguk pertanda setuju. Rama bangun dari duduknya, kemudian ia mengulurkan tangannya untuk membantu Fika bangun. Fika meraih tangan Rama lalu ia bangun dari duduknya. Mereka berjalan bersampingan menuruni anak tangga untuk kembali ke mobil yang terparkir di tepi jalan.
*
Fika nampak sibuk di depanlaptopnya, entah sudah berapa lama namun waktu sudah menunjukkan tengah malam. Ia menyandarkan tubuhnya ke bangku lalu melihat ke arah samping. Rama sedang membereskan beberapa lembaran kertas yang ada di hadapannya, ia memasukkan kertas-kertas tersebut ke dalam tempat penyimpanan.
Pintu kamar terbuka dari luar, Fika dan Rama pun menatap ke arah pintu. Lea masuk membawakan nampan berisi dua gelas kaca berisi minuman..
“Apa itu?” Tanya Rama.
“Ini adalah minuman yang aku racik sendiri...”
Lea memberikan satu gelas kepada Rama dan satu gelas lagi kepada Fika.
“...mohon berikan komentar dan masukannya.” Ucap Lea.
“Kamu bikin minuman malem-malem begini?” Tanya Rama lagi.
“Abang bawel deh, buruan dicobain.” Protes Lea.
Rama dan Fika bersamaan mencoba minuman yang dibuat oleh Lea. Rama nampak terkejut setelah mencoba minuman itu, sementara Fika meghabiskan lebih banyak dari porsi Rama.
“Apa nih Lea? Kok enak?” Tanya Fika.
“Serius enak Kak Fika?” Tanya Lea tertarik.
Fika mengangguk, “Serius, beneran enak kan Ram?”
“Bentar deh, kamu masukin vodka ya ke dalem minuman ini? Eh bukan deh, kamu pakai dry gin di minuman ini. Bener kan?” Ucap Rama.
“Loh Abang tau?” Tanya Lea.
“Jadi beneran?” Tanya Fika.
“Iya Kak Fik, aku pakai dry gin punya Abang.” Jawab Lea.
Rama melihat ke arah lemari kamarnya, “Pantesan kok botol di sana kayak ada yang hilang, tenyata ada yang diem-diem ngambil dan bereksperimen.”
Lea tertawa pelan, “Abisnya aku penasaran Bang. Berhubung aku masih belum boleh minum dan kebetulan ada Abang dan Kak Fika, jadinya aku punya kesempatan buat bikin minuman itu.”
“Kamu bisa tau resep ini dari mana?” Tanya Fika.
“Dari internet. Sebenernya aku tahu resep itu udah lama tapi baru ada kesempatan bikin hari ini. Soalnya nih Kak, kalau aku cuma buatin buat Abang pasti dia marah.”
“Marah?” Tanya Fika penasaran.
“Iya, pasti Abang marah kalau aku main ambil minuman di lemari itu. Kalau sekarang pasti ngga akan marah karena ada Kak Fika, Abang akan lemah kalau sama Kak Fika.” Jelas Lea.
“Ngomong apa sih kamu...”
Fika tertawa pelan mendengar penjelasan Lea.
“...mending kamu tidur, udah jam segini.” Ucap Rama.
Lea tertawa pelan, “Oke kalau begitu, aku pamit undur diri. Selamat menikmati minuman yang udah aku buat.”
“Makasih ya Lea.” Ucap Fika.
Lea tersenyum kemudian ke luar dari kamar Rama lalu kembali menutup pintu kamar. Fika nampak tersenyum melihat ke arah Rama hingga berhasil membuatnya salah tingkah.
“Kamu kenapa ngeliatin aku sambil senyum-senyum begitu?” Tanya Rama.
“Bener juga sih apa yang diucapin Lea, kamu melemah kalau lagi sama aku. Padahal Lea belum tau aja kalau Abangnya jago berantem.” Ucap Fika.
“Jago berantem?” Tanya Rama.
Fika minum secara pelan, “Apa perlu aku ingetin kamu lagi soal insiden pas kita SMP di mana kita pernah dipalak sama preman-preman gang? Atau kejadian pas SMA di mana kamu berantem di belakang sekolah sama Si Brengsek?”
Rama tersenyum setelah mendengar ucapan tersebut, Fika bangun dari duduknya lalu duduk di samping Rama yang ada di lantai.
“Aku belajar satu dari sekian banyak hal dari kamu...”
Rama menatap ke arah Fika.
“...bahwa kita ngga harus nunjukkin kekuatan kita setiap saat. Ada kalanya kita harus melemah untuk menurunkan ego di dalam hati kita.” Ucap Fika.
“Aku suka ngga ngerti, dari mana kamu bisa ngucapin kata-kata kayak gitu?” Tanya Rama.
Fika tersenyum, “Entah, tiba-tiba aja.”
Rama pun ikut tersenyum kemudian, mereka kembali meminum minuman buatan Lea secara perlahan.
*
Fika menghela nafasnya beberapa kali, kakinya bergoyang-goyang dengan cepat, ia nampak sangat gugup. Posisi duduknya sering kali berubah, kadang ia duduk dengan tegap dan kadang pula ia membungkukkan badan menutupi wajahnya pada meja.
“...baik, terima kasih...” Dosen menutup panggilan tersebut, “kamu kenapa keliatan gelisah banget Fik?”
“Aku juga ngga tau Bu kenapa bisa segelisah ini.” Jawabnya.
Dosen pun tersenyum, “Ngga ada yang perlu kamu gelisahin, semuanya berjalan dengan sangat baik. Ibu udah memastikan kalau kamu bisa berangkat ke Tokyo dua hari lagi, selamat ya.”
Dosen tersebut mengulurkan tangan untuk memberikan selamat, Fika menyambut tangan Dosen untuk berjabat tangan.
“Persyaratan kamu udah lengkap, jadi kamu tinggal pertimbangin apa yang akan kamu bawa ke sana dan apa yang harus kamu tinggal di sini. Ngga semuanya bisa kamu bawa, akan selalu ada yang tertinggal.” Jelas Dosen.
Fika menghela nafasnya. Sore menyambut dengan kehangatan, langit cerah menemani beberapa orang yang sedang menikmati udara di luar ruangan.
Fika berjalan dengan pelan setelah memarkirkan mobilnya di area parkir, ia memilih sebuah bangku besi panjang untuk singgah. Hamparan Danau luas ada di hadapannya, langit sore menambah keindahan untuk memanjakan matanya.
Sesekali ia melihat ke arah anak-anak yang sedang berlari-lari di tepian Danau, mereka terlihat sangat bahagia meski hanya sekedar berlari. Hal sederhana itu bisa membuat Fika tersenyum.
“Nih...”
Fika menatap ke arah samping dengan cepat. Rama meletakkan Bakpao yang ia beli di samping Fika, kemudian Rama ikut duduk di samping Fika.
“Aku mau cerita...”
Fika menatap Rama dengan seksama sambil memakan Bakpao yang Rama belikan.
“...aku diterima di salah satu perusahaan untuk bagian research and development.” Ucap Rama.
Fika tersenyum, “Aku ngga heran sih kalau kamu bisa dapet pekerjaan sesuai sama bidang yang kamu suka, tapi selamat ya Ram.”
Rama mengangguk lalu tersenyum, mereka kembali menatap ke arah hamparan Danau yang luas. Secara bergantian, Rama dan Fika memakan Bakpao milik mereka masing-masing. Dalam diam, mereka hanya melihat ke arah Danau hingga makanan habis tak bersisa. Rama membuka minuman botolan yang ia bawa, ia membuka tutup botol tersebut lalu diberikan kepada Fika.
“Makasih Ram...”
Mereka minum secara perlahan.
“...aku berangkat lusa.” Ucap Fika.
“Lusa? Aku bisa anterin kamu ke Bandara.” Sambut Rama.
Fika menghela nafasnya cukup panjang, ia sempat mengalihkan pandangannya ke arah samping lalu memejamkan matanya dengan paksa. Ia merasakan sesak dalam dada, ia mencoba untuk mengatur nafasnya secara perlahan.
“Kamu kenapa Fik?” Tanya Rama.
Fika menoleh, “Nggapapa kok Ram, aku lagi ngeliatin anak itu. Lucu banget kalau lari, rambut sama pipinya goyang-goyang.”
Rama menatap ke arah anak yang Fika maksud lalu tersenyum. Kebohongan Fika berhasil menutupi rasa sakit hati yang juga ia sembunyikan dari Rama.
*
“Aku mau ke kamar mandi dulu, udah kebelet.” Ucap Rama.
Rama meletakkan gelas di samping Fika, ia pun masuk ke dalam kamar mandi untuk menyelesaikan urusan di dalam tubuhnya. Fika hanya bisa tertawa kecil melihat Rama, ia pun bangun dari duduknya untuk kembali duduk di depan laptop miliknya yang ia tinggalkan di atas meja belajar Rama.
“Apa ini?” Tanya Fika seorang diri.
Ia melihat ke arah susunan buku Rama yang ada di atas meja. Susunan tersebut berisi cukup banyak buku tentang Kimia, mata pelajaran kesukaan Rama sejak dulu. Namun bukan itu yang menarik perhatian Fika.
Ada sebuah buku dengan cover hitam dengan penanda tali berwarna merah yang nampak dengan sangat jelas. Fika mengambil buku tersebut karena penasaran, sebuah buku yang bukan tentang Kimia namun dimiliki oleh Rama.
“Diorama dan Rahasia...”
Fika nampak heran dengan judul yang tertulis dengan tinta merah, tulisan milik Rama pun sudah sangat ia kenali. Fika mulai membaca halaman pertama dari buku itu.
ippeh22 memberi reputasi
1
Kutip
Balas