"Oh yo, Le... Bapak kemarin ke rumahnya Nindy," cerita Pak Darmo.

"Lho... ngapain Pak?" tanya Adit.

"Bapak cuma pengen kenal keluarganya saja, ternyata Ibunya Nindy itu cantik juga kayak anaknya," puji Bapaknya.

"Jadi Bapak ke sana dalam rangka mau cari Ibu baru buat aku apa nyari calon mantu sih, Pak?" tanya Adit sebal.

"Hahaha kok kamu jadi mikir ke sana?" Bapaknya Adit malah tertawa.

"Habisnya, tau aja kalau ada orang cantik. Setau Adit, Nindy udah nggak punya Ayah... jadi Bapak jangan sering - sering ke sana! Masalah deketin Nindy, biar Adit aja yang lakuin sendiri!" tutur Adit jengkel.

"Yo jangan marah - marah, to! Bapak kan cuma cerita kenyataan...," Bapaknya Adit merasa salah bicara.

Adit kemudian menimpali, "Habis ini Adit mau telepon Nindy dulu, Bapak jangan genit - genit sama Ibunya!".

"Yo wes, sip... itu baru namanya anak Bapak!" ucap Pak Darmo senang.

Setelah Adit menutup telepon dari Bapaknya, Bobby tiba - tiba masuk kamar. Niatnya menelpon Nindy diurungkannya sebentar. Sahabatnya itu masih lesu, belum pulih dari patah hatinya.

Rasanya akan sangat aneh jika Adit terang - terangan mendekati Nindy di depan Bobby. Apalagi semenjak kejadian Bobby menonjok muka Adit, dia sudah berjanji untuk tidak sering - sering menghubungi mantan pacar sahabatnya itu.

Tapi dulu Bobby melarangnya karena memang berniat akan tunangan, sedangkan kenyataannya sekarang hubungan Nindy dengan Bobby justru kandas. Jadi, Adit merasa sah - sah saja mendekati gadis itu.

Adit keluar kamar, mencari tempat yang aman untuk menelpon Nindy. Adit pergi ke warung, naik motor. Lokasinya agak jauh dari asrama. Bobby tidak akan mendengarkan teleponnya.

Adit mulai menghubungi Nindy dengan video call.

Di Semarang

HP Nindy berdering, "Adit? Tumben banget ini anak video call...," kata Nindy bermonolog.

"Halo... Adit! Apa kabar?" tanya Nindy.

"Hai, Ndy!" sapa Adit dengan menghilangkan kata 'Mbak' yang biasanya selalu dia pakai untuk memanggil Nindy.

"Eh bentar, kayak ada yang hilang deh. Kamu manggil aku apa tadi?" tanya Nindy.

"Nggak apa - apa kan kalo mulai sekarang aku panggilnya Nindy aja? Toh usia kita ga beda jauh juga," izin Adit.

"Ya, boleh - boleh aja sih... tapi tumben banget nih video call? Ada apaan? Bobby nyuruh kamu?" tanya Nindy.

"Oh... bukan kok, ngga ada hubungannya sama Bobby. Aku cuma mau nanya, Bapakku sempet ke rumahmu?" tanya Adit.

"Iya, kemarin aku kaget, Bapakmu kok bisa tau rumahku ya? Atau dikasih tau Reza lagi jangan - jangan..." tanya Nindy heran.

"Kalau itu sih aku nggak tau juga, Ndy. Aku cuma mau pesen, jangan sering biarin Bapakku ketemu Ibu kamu ya!" pinta Adit.

"Lhah kok jadi bawa - bawa ibu aku?" Nindy bingung.

"Iya, pokoknya jangan... Kalau Bapakku ke sana, kamu aja yang nemuin, Ibu kamu jangan!" begitulah ucapan permohonan Adit.

"Bentar! Aku nggak paham... apa Bapakmu naksir Ibuku?" tanya Nindy.

"Kemungkinan pasti bisa aja, Ndy. Tolong bilangin Ibumu ya, kalau Bapak aku ke sana lagi, jangan ditemuin," saran Adit.

"Ok, siap, komandan!" jawab Nindy bercanda.

" Kondisi Bobby gimana, Dit?" Nindy masih kepo dengan mantannya.

"Masih patah hati sih kayaknya, lesu banget dia, nggak semangat kayak biasanya," kata Adit.

"Kamu itu lagi dimana sih? Kayak bukan di asrama deh," tanya Nindy.

"Ya emang enggak... aku di warung ini, nggak enak mau video call kamu di kamar, soalnya ada Bobby," jawab Adit jujur.

"Ngapain nggak enak? Toh nggak ada apa - apa," kata Nindy santai.

"Ya, kamu nggak tahu aja, dulu aku sempet ditonjok Bobby sampai bikin huru - hara di koridor lantai 1. Ya gara - gara aku ketahuan telepon kamu," cerita Adit .

"Ya ampun... kapan?" Nindy kaget.

Adit bercerita kronologi kejadian hari itu dengan detail. Sontak Nindy kaget, Bobby tidak pernah cerita soal itu padanya.

Kemudian Nindy mengingat dulu wajah Bobby lebam saat video call dengannya. Dan ternyata Bobby berbohong dengan alasan habis terbentur saat latihan fisik.

"Ya ampun... aku nggak nyangka dia bisa seceroboh itu dan pake bohongin aku segala, pula," cerita Nindy ke Adit.

Tak terasa satu jam berlalu, Adit harus pulang ke asrama. Dia izin menutup telepon dan menyuruh Nindy pindah ke pesan teks saja.

"Aku tak balik ke asrama dulu, udah malem. Nanti lanjut chat aja, ya!" kata Adit.

"Ok... ok... siap laksanakan, Bapak komandan!" goda Nindy.

Sejak saat itu, Nindy dan Adit intens berkirim pesan hingga terbangun satu kedekatan yang tidak seperti dulu.

Bersambung ke Bab 56