- Beranda
- Stories from the Heart
KIDUNG DI ATAS TANAH JAWI
...
TS
breaking182
KIDUNG DI ATAS TANAH JAWI
Quote:
Menuliskan cerita yang berbau sejarah tidak gampang. Tulisan ini berdasarkan riset kecil dengan metode wawancara dengan orang yang lebih mengerti dan sumber terpercaya sebatas pengetahuan narasumber. Di samping itu kecintaan saya akan film -film kolosal, sandiwara radio era tahun 90-an tentang kerajaan - kerajaan di tanah Jawa mendorong saya untuk menulis. Tentu saja dengan keterbatasan ilmu pengetahuan yang saya miliki. Kidung Di Atas Tanah Jawi bercerita tentang perjalanan seorang pemuda bernama Arya Gading. Berlatar belakang kerajaan Pajang di bawah pemerintahan Sultan Hadiwijoyo. Cerita ini fiktif belaka. Baca dan nikmati. Salam Olahraga.........
Quote:

Quote:
Konten Sensitif
Quote:
EPISODE 1
GEGER DI PUCANG KEMBAR
gatra 1
gatra 2
gatra 3
gatra 4
gatra 5
gatra 6
gatra 7
gatra 8
gatra 9
gatra 10
gatra 11
gatra 12
gatra 13
gatra 14
gatra 15
gatra 16
gatra 17
gatra 18
gatra 19
gatra 20
gatra 21
gatra 22
gatra 23
gatra 24
gatra 25
gatra 26
gatra 27
gatra 28
gatra 29
gatra 30
gatra 31
gatra 32
gatra 33
gatra 34
gatra 35
gatra 36
gatra 37
gatra 38
gatra 39
gatra 40
gatra 41
gatra 42
gatra 43
gatra 44
gatra 45
gatra 46
gatra 47
gatra 48
gatra 49
Quote:
EPISODE 2
BARA API DI KAKI MERAPI
gatra 1
gatra 2
gatra 3
gatra 4
gatra 5
gatra 6
gatra 7
gatra 8
gatra 9
gatra 10
gatra 11
gatra 12
gatra 13
gatra 14
gatra 15
gatra 16
gatra 17
gatra 18
gatra 19
gatra 20
gatra 21
gatra 22
gatra 23
gatra 24
gatra 25
gatra 26
gatra 27
gatra 28
gatra 29
gatra 30
gatra 31
gatra 32
gatra 33
gatra 34
gatra 35
gatra 36
gatra 37
gatra 38
gatra 39
gatra 40
gatra 41
gatra 42
gatra 43
gatra 44
gatra 45
gatra 46
gatra 47
gatra 48
gatra 49
gatra 50
gatra 51
Quote:
Diubah oleh breaking182 30-12-2022 23:12
jundi666 dan 70 lainnya memberi reputasi
71
81.7K
Kutip
622
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
breaking182
#253
gatra 22
Quote:
PADEPOKAN PANDAN Arum itu ternyata benar-benar telah terbangun. Dijalan-jalan desa pun telah mulai tampak satu dua orang yang lewat tergesa-gesa. Mereka akan mencoba menjual dagangan mereka disudut desa. Sebab mereka masih belum berani berjalan terlampau jauh. Disudut desa itu telah menjadi agak ramai sejak beberapa saat yang lampau. Jual beli dan tukar menukar banyak pula terjadi.
Tiba-tiba timbullah keinginan Arya Gading untuk berjalan-jalan menyusur jalan padukuhan yang berada di sekitaran padepokan itu dan kebetulan bibinya menyiruh ke pasar untuk membeli ubo rampe reramuan jamu. Setelah perkerjaannya selesai semua. Arya Gading lantas berjalan ke arah regol. Dimuka regol beberapa orang cantrik mengangguk kepadanya.
“Akan kemana kau Gading?” bertanya salah seorang daripadanya.
“Ada keperluan yang harus aku beli di pasar. Bibi ku sedang tidak enak badan. Ada beberapa ramuan yang harus aku beli” jawab Arya Gading.
Orang itu mengangguk. Sahutnya “Silakan. Hanya saja kenapa kau sendirian saja. Biasanya Doran selalu bersamamu ”
Arya Gading tersenyum.
“ Anak itu baru dapat tugas untuk membersihkan saluran air yang sedikit mampat “
Dan diayunkannya kakinya melangkah menurut jalan itu. Sekali-sekali ia berpaling untuk mengetahui jarak yang telah ditempuhnya. Arya Gading merasa harus tetap waspada, meskipun di siang hari yang cerah sekalipun. Tiba-tiba Arya Gading terkejut ketika didengarnya sapa halus disampingnya.
“Akan pergi kemanakah kau Arya Gading sepagi ini?”
Ketika Arya Gading menoleh dilihatnya seorang gadis yang kemarin ditemuinya di pendopo dan di perigi padepokan muncul dari sebuah jalan sidatan. Karena itu maka sambil mengangguk ia menjawab pendek “Bibi menyuruhku untuk membeli ramuan di pasar”
Gadis itu, yang tak lain adalah Ratri Hening, mengerutkan keningnya. Jawaban yang terlalu pendek dan tanpa berbasa - basi.
“Oh” sahut Ratri Hening.
“Kalau begitu, apakah tidak baiknya kalau kita ke pasar bersama –masa. Kebetulan biyung juga menyuruhku untuk ke pasar. Kau pasti juga tidak akan bisa untuk menawar ramuan itu di pasar. Kalau kau tidak bisa menawar, tentu harganya akan jauh lebih mahal. Aku bantu kau untuk menawar belanjaan mu “
Arya Gading menjadi bingung. Ia sama sekali tidak terbiasa berjalan dengan seorang gadis. Apalagi gadis itu putri Mahesa Branjangan. Ada sedikit rasa sungkan dan segan yang mencengkeram hatinya.
Tetapi sebelum ia menolak gadis itu telah berkata pula “Marilah Gading. Kau akan mendapat kesan yang lengkap dari daerah ini”
Arya Gading tidak dapat berbuat lain dari mengikutinya. Ratri Hening berjalan ke arah pasar yang sudah tidak terlalu jauh lagi jaraknya. Ia senang bahwa Arya Gading mengikutinya.
“Kedatangan mu pasti akan menggembirakan para pedagang di pasar itu” berkata Ratri Hening kemudian.
“Kenapa?” bertanya Arya Gading.
“Bukankah kau telah menyelamatkan padukuhan di bawah sana dengan mengalahkan seorang gegedug rampok bernama Kebo Peteng?” jawab Ratri Hening.
Terasa dada Arya Gading berdesir. Meskipun demikian, iapun tiba-tiba merasakan suatu kebanggaan atas pujian itu. Pujian yang diucapkan oleh seorang gadis yang ramah. Ratri Hening adalah gadis yang lincah.
Ketika mereka sampai pasar, maka apa yang dikatakan oleh Ratri Hening itu benar-benar terjadi. Para pedagang dan orang yang berada di pasar itu mengaguminya. Mereka tiba-tiba saja seperti orang yang terpesona. Berdesakan mereka mengitari Arya Gading untuk sekedar dapat menyambut tangannya. Satu demi satu orang-orang di pasar itu memberikan salamnya, dan satu demi satu tangan-tangan mereka itu disambut oleh Arya Gading disertai dengan sebuah anggukan kepala dan sebuah senyuman.
Namun tak seorangpun diantara mereka yang mengetahuinya, bahwa di dalam dada anak muda itu bergolaklah kecemasan dan kekhawatiran yang dahsyat. Ratri Hening yang memperkenalkan Arya Gading itupun ikut berbangga pula. Kepada kawan-kawannya ia bercerita seperti burung sedang berkicau tentang anak muda yang bernama Arya Gading itu, seolah-olah ia melihat sendiri peristiwa-peristiwa yang dialami olehnya.
Namun beberapa gadis yang iri hati kepadanya bergumam didalam hatinya “Ah Ratri. Dahulu kau selalu berdua dengan Bagus Abangan. Sekarang, ketika datang anak muda yang lebih tampan dan sakti, kau tinggalkan anak muda yang bernama Bagus Abangan itu”
Tetapi tak seorangpun yang berani mengucapkannya. Sebab Ratri Hening adalah anak Mahesa Branjangan sekaligus cucu Ki Ageng Pandan Arum. Ketika mereka sudah puas melihat kekaguman orang-orang di pasar, maka Ratri Hening dan Arya Gading pun segera kembali ke padepokan. Juga disepanjang jalan pulang, Ratri Hening masih saja berkicau tak henti-hentinya. Namun, kini Arya Gading senang mendengarnya.
Sampai di padepokan Arya Gading segera pergi menemui Mahesa Branjangan di pringgitan. Setelah sebelumnya pulang ke pondokan untuk menyerahkan ubo rampe jamu kepada bibi nya. Sedang Ratri dengan tergesa-gesa pergi ke dapur. Ia takut terlambat dengan belanjaannya untuk mempersiapkan makan pagi.
Tetapi langkah Ratri Hening itu terhenti ketika Bagus Abangan menggamitnya “Ratri” katanya.
Ratri Hening berpaling. Dengan tergesa-gesa ia bertanya “Kenapa?”
“Dari mana kau?”
“Pasar” jawab Ratri Hening pendek.
Bagus Abangan memandangnya dengan tajam. Kemudian katanya “Dengan Arya Gading?”
Ratri Heningmemandang Bagus Abangan tidak kalah tajamnya. Jawabnya “Ya. Apa salahnya?”
Bagus Abangan mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba ia tersenyum. Katanya “Ratri, jangan marah, meskipun aku senang melihat kau bersungut-sungut. Aku hanya ingin memberi peringatan. Jangan terlalu sering bergaul dengan anak muda yang belum kau ketahui masa depannya”
Ratri Hening kemudian menarik nafas. Wajahnya kini sudah tidak tegang pula. Jawabnya “Aku hanya bertemu dengan Arya Gading di jalan, dan aku antarkan ia ke pasar di bawah sana”
Bagus Abanganpun kemudian melangkah pergi. Meskipun demikian ia masih curiga berkata “Ingat-ingatlah Ratri. Jangan terlalu rapat bergaul dengan siapapun juga. Aku kurang senang melihatnya”
Kembali wajah Ratri Heningmenjadi tegang “Apakah hakmu?”
Tetapi Bagus Abangan tidak menjawab. Berpalingpun tidak. Ia berjalan saja ke belakang padepokan dan lenyap di balik pepohonan yang rapat.
Tiba-tiba timbullah keinginan Arya Gading untuk berjalan-jalan menyusur jalan padukuhan yang berada di sekitaran padepokan itu dan kebetulan bibinya menyiruh ke pasar untuk membeli ubo rampe reramuan jamu. Setelah perkerjaannya selesai semua. Arya Gading lantas berjalan ke arah regol. Dimuka regol beberapa orang cantrik mengangguk kepadanya.
“Akan kemana kau Gading?” bertanya salah seorang daripadanya.
“Ada keperluan yang harus aku beli di pasar. Bibi ku sedang tidak enak badan. Ada beberapa ramuan yang harus aku beli” jawab Arya Gading.
Orang itu mengangguk. Sahutnya “Silakan. Hanya saja kenapa kau sendirian saja. Biasanya Doran selalu bersamamu ”
Arya Gading tersenyum.
“ Anak itu baru dapat tugas untuk membersihkan saluran air yang sedikit mampat “
Dan diayunkannya kakinya melangkah menurut jalan itu. Sekali-sekali ia berpaling untuk mengetahui jarak yang telah ditempuhnya. Arya Gading merasa harus tetap waspada, meskipun di siang hari yang cerah sekalipun. Tiba-tiba Arya Gading terkejut ketika didengarnya sapa halus disampingnya.
“Akan pergi kemanakah kau Arya Gading sepagi ini?”
Ketika Arya Gading menoleh dilihatnya seorang gadis yang kemarin ditemuinya di pendopo dan di perigi padepokan muncul dari sebuah jalan sidatan. Karena itu maka sambil mengangguk ia menjawab pendek “Bibi menyuruhku untuk membeli ramuan di pasar”
Gadis itu, yang tak lain adalah Ratri Hening, mengerutkan keningnya. Jawaban yang terlalu pendek dan tanpa berbasa - basi.
“Oh” sahut Ratri Hening.
“Kalau begitu, apakah tidak baiknya kalau kita ke pasar bersama –masa. Kebetulan biyung juga menyuruhku untuk ke pasar. Kau pasti juga tidak akan bisa untuk menawar ramuan itu di pasar. Kalau kau tidak bisa menawar, tentu harganya akan jauh lebih mahal. Aku bantu kau untuk menawar belanjaan mu “
Arya Gading menjadi bingung. Ia sama sekali tidak terbiasa berjalan dengan seorang gadis. Apalagi gadis itu putri Mahesa Branjangan. Ada sedikit rasa sungkan dan segan yang mencengkeram hatinya.
Tetapi sebelum ia menolak gadis itu telah berkata pula “Marilah Gading. Kau akan mendapat kesan yang lengkap dari daerah ini”
Arya Gading tidak dapat berbuat lain dari mengikutinya. Ratri Hening berjalan ke arah pasar yang sudah tidak terlalu jauh lagi jaraknya. Ia senang bahwa Arya Gading mengikutinya.
“Kedatangan mu pasti akan menggembirakan para pedagang di pasar itu” berkata Ratri Hening kemudian.
“Kenapa?” bertanya Arya Gading.
“Bukankah kau telah menyelamatkan padukuhan di bawah sana dengan mengalahkan seorang gegedug rampok bernama Kebo Peteng?” jawab Ratri Hening.
Terasa dada Arya Gading berdesir. Meskipun demikian, iapun tiba-tiba merasakan suatu kebanggaan atas pujian itu. Pujian yang diucapkan oleh seorang gadis yang ramah. Ratri Hening adalah gadis yang lincah.
Ketika mereka sampai pasar, maka apa yang dikatakan oleh Ratri Hening itu benar-benar terjadi. Para pedagang dan orang yang berada di pasar itu mengaguminya. Mereka tiba-tiba saja seperti orang yang terpesona. Berdesakan mereka mengitari Arya Gading untuk sekedar dapat menyambut tangannya. Satu demi satu orang-orang di pasar itu memberikan salamnya, dan satu demi satu tangan-tangan mereka itu disambut oleh Arya Gading disertai dengan sebuah anggukan kepala dan sebuah senyuman.
Namun tak seorangpun diantara mereka yang mengetahuinya, bahwa di dalam dada anak muda itu bergolaklah kecemasan dan kekhawatiran yang dahsyat. Ratri Hening yang memperkenalkan Arya Gading itupun ikut berbangga pula. Kepada kawan-kawannya ia bercerita seperti burung sedang berkicau tentang anak muda yang bernama Arya Gading itu, seolah-olah ia melihat sendiri peristiwa-peristiwa yang dialami olehnya.
Namun beberapa gadis yang iri hati kepadanya bergumam didalam hatinya “Ah Ratri. Dahulu kau selalu berdua dengan Bagus Abangan. Sekarang, ketika datang anak muda yang lebih tampan dan sakti, kau tinggalkan anak muda yang bernama Bagus Abangan itu”
Tetapi tak seorangpun yang berani mengucapkannya. Sebab Ratri Hening adalah anak Mahesa Branjangan sekaligus cucu Ki Ageng Pandan Arum. Ketika mereka sudah puas melihat kekaguman orang-orang di pasar, maka Ratri Hening dan Arya Gading pun segera kembali ke padepokan. Juga disepanjang jalan pulang, Ratri Hening masih saja berkicau tak henti-hentinya. Namun, kini Arya Gading senang mendengarnya.
Sampai di padepokan Arya Gading segera pergi menemui Mahesa Branjangan di pringgitan. Setelah sebelumnya pulang ke pondokan untuk menyerahkan ubo rampe jamu kepada bibi nya. Sedang Ratri dengan tergesa-gesa pergi ke dapur. Ia takut terlambat dengan belanjaannya untuk mempersiapkan makan pagi.
Tetapi langkah Ratri Hening itu terhenti ketika Bagus Abangan menggamitnya “Ratri” katanya.
Ratri Hening berpaling. Dengan tergesa-gesa ia bertanya “Kenapa?”
“Dari mana kau?”
“Pasar” jawab Ratri Hening pendek.
Bagus Abangan memandangnya dengan tajam. Kemudian katanya “Dengan Arya Gading?”
Ratri Heningmemandang Bagus Abangan tidak kalah tajamnya. Jawabnya “Ya. Apa salahnya?”
Bagus Abangan mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba ia tersenyum. Katanya “Ratri, jangan marah, meskipun aku senang melihat kau bersungut-sungut. Aku hanya ingin memberi peringatan. Jangan terlalu sering bergaul dengan anak muda yang belum kau ketahui masa depannya”
Ratri Hening kemudian menarik nafas. Wajahnya kini sudah tidak tegang pula. Jawabnya “Aku hanya bertemu dengan Arya Gading di jalan, dan aku antarkan ia ke pasar di bawah sana”
Bagus Abanganpun kemudian melangkah pergi. Meskipun demikian ia masih curiga berkata “Ingat-ingatlah Ratri. Jangan terlalu rapat bergaul dengan siapapun juga. Aku kurang senang melihatnya”
Kembali wajah Ratri Heningmenjadi tegang “Apakah hakmu?”
Tetapi Bagus Abangan tidak menjawab. Berpalingpun tidak. Ia berjalan saja ke belakang padepokan dan lenyap di balik pepohonan yang rapat.
Quote:
DAPUR PADEPOKAN yang berada jauh di belakang. Tampak asap putih mengepul tipis dari atas wuwungan. Asap itu merembes melalui celah –celah atap yang terbuat dari daun rumbia. Banyak persoalan dapur padepokan itu kemudian tenggelam dalam kesibukan. Semua bekerja dengan cepat dan tergesa-gesa. Tetapi Ratri Hening kali ini tidak selincah biasanya. Kadang-kadang ia duduk termenung memandangi api yang menjilat-jilat diperapian.
Sedang ditangannya masih tergenggam pisau dapur dan daging yang sedang dipotongnya. Ia baru sadar ketika beberapa orang mentrik menegurnya. Tetapi sesaat kemudian kembali ia termenung. Hatinya sedang dirisaukan oleh angan-angannya tentang anak-anak muda yang dikenalnya. Ternyata pertemuannya dengan Arya Gading itupun berkesan pula di hatinya.
Namun selalu diingatnya, senyum Bagus Abangan beberapa saat berselang. “Ratri” katanya “Jangan terlampau sering memikirkan atau bahkan bergaul dengan anak muda yang belum kau ketahui keadaan masa depannya itu”
Akhirnya Ratri Hening sampai pada suatu kesimpulan bahwa Bagus Abangan menjadi iri dan cemburu karenanya. Ratri Hening menarik nafas dalam-dalam. Katanya di dalam hati “Bukankah aku mengagumi Arya Gading seperti juga orang-orang lain mengaguminya?”
Tetapi terdengar pula dari sudut hatinya “Ah, kau dulu juga mengagumi Bagus Abangan, karena Bagus Abangan adalah orang yang paling mengagumkan di padepokan ini. Apa katamu kalau kelak datang lagi pemuda yang lebih sakti dan tampan dari Arya Gading. Apakah kau akan mengaguminya pula berlebih-lebihan dan melupakan orang-orang lain?”
“Oh” Ratri Hening memejamkan matanya. Dan tiba-tiba dilemparkannya pisaunya dan dengan tergesa-gesa ia pergi ke biliknya.
“Ratri” panggil ibunya yang terkejut melihat kelakuan anaknya itu.
“Kenapa kau?”
“Kepalaku pening” jawabnya sambil berlari.
Ibunya menarik nafas dalam-dalam. Diikutinya anaknya Ke biliknya. Dan dirabanya keningnya.
Katanya “Tidak panas Ratri”
Ratri Hening berbaring dipembaringannya sambil menengadahkan wajahnya. ketika ibunya meraba keningnya, maka katanya “Hanya pening sedikit biyung. Mungkin semalam aku kurang tidur”
Ibunya tidak bertanya lagi. Ditinggalkannya Ratri Hening sendiri didalam biliknya.
Pesannya “Beristirahatlah Ratri. Mungkin kau terlalu lelah”
Ratri Hening mengangguk. Namun ketika ibunya telah meninggalkannya, kembali angan-angannya bergolak. Bermacam-macam persoalan hilir mudik di kepalanya. Sehingga akhirnya ia menjadi benar-benar pening. Karena itu, maka sehari-harian Ratri Hening tinggal di dalam biliknya. Tak seorangpun tahu, apa yang sedang mengganggu usia remajanya. Mula-mula ia mencoba untuk tidur, namun tidak dapat. Dengan gelisahnya ia berbaring. Sekali miring ke kiri, sekali ke kanan. Kadang-kadang ia bangkit, duduk sambil bertopang dagu, tetapi sesaat kemudian direbahkannya dirinya kembali. Ratri Hening keluar dari biliknya hanya apabila datang saatnya makan.
Sedang ditangannya masih tergenggam pisau dapur dan daging yang sedang dipotongnya. Ia baru sadar ketika beberapa orang mentrik menegurnya. Tetapi sesaat kemudian kembali ia termenung. Hatinya sedang dirisaukan oleh angan-angannya tentang anak-anak muda yang dikenalnya. Ternyata pertemuannya dengan Arya Gading itupun berkesan pula di hatinya.
Namun selalu diingatnya, senyum Bagus Abangan beberapa saat berselang. “Ratri” katanya “Jangan terlampau sering memikirkan atau bahkan bergaul dengan anak muda yang belum kau ketahui keadaan masa depannya itu”
Akhirnya Ratri Hening sampai pada suatu kesimpulan bahwa Bagus Abangan menjadi iri dan cemburu karenanya. Ratri Hening menarik nafas dalam-dalam. Katanya di dalam hati “Bukankah aku mengagumi Arya Gading seperti juga orang-orang lain mengaguminya?”
Tetapi terdengar pula dari sudut hatinya “Ah, kau dulu juga mengagumi Bagus Abangan, karena Bagus Abangan adalah orang yang paling mengagumkan di padepokan ini. Apa katamu kalau kelak datang lagi pemuda yang lebih sakti dan tampan dari Arya Gading. Apakah kau akan mengaguminya pula berlebih-lebihan dan melupakan orang-orang lain?”
“Oh” Ratri Hening memejamkan matanya. Dan tiba-tiba dilemparkannya pisaunya dan dengan tergesa-gesa ia pergi ke biliknya.
“Ratri” panggil ibunya yang terkejut melihat kelakuan anaknya itu.
“Kenapa kau?”
“Kepalaku pening” jawabnya sambil berlari.
Ibunya menarik nafas dalam-dalam. Diikutinya anaknya Ke biliknya. Dan dirabanya keningnya.
Katanya “Tidak panas Ratri”
Ratri Hening berbaring dipembaringannya sambil menengadahkan wajahnya. ketika ibunya meraba keningnya, maka katanya “Hanya pening sedikit biyung. Mungkin semalam aku kurang tidur”
Ibunya tidak bertanya lagi. Ditinggalkannya Ratri Hening sendiri didalam biliknya.
Pesannya “Beristirahatlah Ratri. Mungkin kau terlalu lelah”
Ratri Hening mengangguk. Namun ketika ibunya telah meninggalkannya, kembali angan-angannya bergolak. Bermacam-macam persoalan hilir mudik di kepalanya. Sehingga akhirnya ia menjadi benar-benar pening. Karena itu, maka sehari-harian Ratri Hening tinggal di dalam biliknya. Tak seorangpun tahu, apa yang sedang mengganggu usia remajanya. Mula-mula ia mencoba untuk tidur, namun tidak dapat. Dengan gelisahnya ia berbaring. Sekali miring ke kiri, sekali ke kanan. Kadang-kadang ia bangkit, duduk sambil bertopang dagu, tetapi sesaat kemudian direbahkannya dirinya kembali. Ratri Hening keluar dari biliknya hanya apabila datang saatnya makan.
Quote:
MATAHARI di langit merayap dengan lambatnya. Seakan-akan telah jemu akan pekerjaan yang selalu dilakukan itu setiap hari. Ketika matahari itu kemudian tenggelam di balik bukit -bukit, maka warna-wana yang kelam seakan-akan turun dari langit, menyelubungi wajah bumi. Demikian lah kembali Padepokan Pandan Arum terbenam dalam lelap malam. Dan ketegangan yang tidak berkesudahan masih saja menyelimuti perguruan di bawah kaki gunung Merapi itu. Para cantrik dan Mahesa Branjangan dan para tetua pun pada akhirnya menjadi jemu pada keadaan yang tidak menentu itu. Namun tak ada lain yang dapat mereka lakukan. Mereka belum dapat meninggalkan padepokan pada keadaan yang masih tak menentu itu.
Tetapi Arya Gading tidak mengalami kejemuan karenanya. Lambat laun perkenalannya dengan Ratri Hening menjadi semakin rapat. Meskipun mereka jarang-jarang bertemu, namun setiap pertemuan diantara mereka, ternyata berkesan pula dihati masing-masing. Bahkan setiap Arya Gading melihat Ratri Hening bergolak di dadanya. Tetapi Arya Gading masih terlalu muda untuk mengenal perasaannya sendiri. Ia senang bergaul dengan Ratri Hening dan menjadi bersedih apabila dilihatnya orang lain berada di dekat gadis itu. Apalagi Bagus Abangan. Namun Bagus Abanganpun selalu berusaha untuk tetap mendapat perhatian dari gadis itu. Karena itu, pergaulan Ratri Hening dan Arya Gading sangat mengganggu perasaannya.
“Apakah Arya Gading benar-benar seorang anak muda yang kesaktiannya melampaui orang lain?” pikir Bagus Abangan.
“Sayang, aku belum pernah melihatnya. Tetapi, sekali-sekali perlu juga aku mencobanya. Tetapi seorang lawan seorang, aku tak akan gentar”
Demikianlah kemarahan Bagus Abangan itu selalu merayap-rayap di dalam dadanya. Sekali-sekali ia masih dapat menahan arus perasaannya itu, tetapi kadang-kadang hampir-hampir ia tak mampu lagi. Kadang-kadang dadanya terasa akan meledak apabila ia melihat Ratri Hening duduk di halaman bersama dengan Arya Gading.
Lambat laun, Arya Gading merasakan pula sikap yang aneh dari Bagus Abangan. Karena itu, maka timbullah kecemasan didalam hatinya. Ia sama sekali tidak akan berani membayangkan, bagaimana seandainya anak muda yang sakti mandraguna murid kesayangan Kiai Paraji Gading itu nanti marah kepadanya. Bukan hanya itu saja Arya Gading malu jika karena masalah perempuan ia akan mendapat wirang di padepokan ini.
Apa kata Ki Ageng nanti jika beliau sudah pulang? Maka betapapun perasaannya bergejolak, namun dibatasinya dirinya sendiri, untuk tidak selalu menyakiti hati Bagus Abangan. Tetapi Ratri Hening tidak melihat kecemasan yang mencengkam perasaan Arya Gading. Karena itu apabila Arya Gading tidak menampakkan dirinya, maka Ratri Heninglah yang pergi mencarinya.
Tetapi Arya Gading tidak mengalami kejemuan karenanya. Lambat laun perkenalannya dengan Ratri Hening menjadi semakin rapat. Meskipun mereka jarang-jarang bertemu, namun setiap pertemuan diantara mereka, ternyata berkesan pula dihati masing-masing. Bahkan setiap Arya Gading melihat Ratri Hening bergolak di dadanya. Tetapi Arya Gading masih terlalu muda untuk mengenal perasaannya sendiri. Ia senang bergaul dengan Ratri Hening dan menjadi bersedih apabila dilihatnya orang lain berada di dekat gadis itu. Apalagi Bagus Abangan. Namun Bagus Abanganpun selalu berusaha untuk tetap mendapat perhatian dari gadis itu. Karena itu, pergaulan Ratri Hening dan Arya Gading sangat mengganggu perasaannya.
“Apakah Arya Gading benar-benar seorang anak muda yang kesaktiannya melampaui orang lain?” pikir Bagus Abangan.
“Sayang, aku belum pernah melihatnya. Tetapi, sekali-sekali perlu juga aku mencobanya. Tetapi seorang lawan seorang, aku tak akan gentar”
Demikianlah kemarahan Bagus Abangan itu selalu merayap-rayap di dalam dadanya. Sekali-sekali ia masih dapat menahan arus perasaannya itu, tetapi kadang-kadang hampir-hampir ia tak mampu lagi. Kadang-kadang dadanya terasa akan meledak apabila ia melihat Ratri Hening duduk di halaman bersama dengan Arya Gading.
Lambat laun, Arya Gading merasakan pula sikap yang aneh dari Bagus Abangan. Karena itu, maka timbullah kecemasan didalam hatinya. Ia sama sekali tidak akan berani membayangkan, bagaimana seandainya anak muda yang sakti mandraguna murid kesayangan Kiai Paraji Gading itu nanti marah kepadanya. Bukan hanya itu saja Arya Gading malu jika karena masalah perempuan ia akan mendapat wirang di padepokan ini.
Apa kata Ki Ageng nanti jika beliau sudah pulang? Maka betapapun perasaannya bergejolak, namun dibatasinya dirinya sendiri, untuk tidak selalu menyakiti hati Bagus Abangan. Tetapi Ratri Hening tidak melihat kecemasan yang mencengkam perasaan Arya Gading. Karena itu apabila Arya Gading tidak menampakkan dirinya, maka Ratri Heninglah yang pergi mencarinya.
Diubah oleh breaking182 31-05-2022 00:33
itkgid dan 12 lainnya memberi reputasi
13
Kutip
Balas