- Beranda
- Stories from the Heart
KIDUNG DI ATAS TANAH JAWI
...
TS
breaking182
KIDUNG DI ATAS TANAH JAWI
Quote:
Menuliskan cerita yang berbau sejarah tidak gampang. Tulisan ini berdasarkan riset kecil dengan metode wawancara dengan orang yang lebih mengerti dan sumber terpercaya sebatas pengetahuan narasumber. Di samping itu kecintaan saya akan film -film kolosal, sandiwara radio era tahun 90-an tentang kerajaan - kerajaan di tanah Jawa mendorong saya untuk menulis. Tentu saja dengan keterbatasan ilmu pengetahuan yang saya miliki. Kidung Di Atas Tanah Jawi bercerita tentang perjalanan seorang pemuda bernama Arya Gading. Berlatar belakang kerajaan Pajang di bawah pemerintahan Sultan Hadiwijoyo. Cerita ini fiktif belaka. Baca dan nikmati. Salam Olahraga.........
Quote:

Quote:
Konten Sensitif
Quote:
EPISODE 1
GEGER DI PUCANG KEMBAR
gatra 1
gatra 2
gatra 3
gatra 4
gatra 5
gatra 6
gatra 7
gatra 8
gatra 9
gatra 10
gatra 11
gatra 12
gatra 13
gatra 14
gatra 15
gatra 16
gatra 17
gatra 18
gatra 19
gatra 20
gatra 21
gatra 22
gatra 23
gatra 24
gatra 25
gatra 26
gatra 27
gatra 28
gatra 29
gatra 30
gatra 31
gatra 32
gatra 33
gatra 34
gatra 35
gatra 36
gatra 37
gatra 38
gatra 39
gatra 40
gatra 41
gatra 42
gatra 43
gatra 44
gatra 45
gatra 46
gatra 47
gatra 48
gatra 49
Quote:
EPISODE 2
BARA API DI KAKI MERAPI
gatra 1
gatra 2
gatra 3
gatra 4
gatra 5
gatra 6
gatra 7
gatra 8
gatra 9
gatra 10
gatra 11
gatra 12
gatra 13
gatra 14
gatra 15
gatra 16
gatra 17
gatra 18
gatra 19
gatra 20
gatra 21
gatra 22
gatra 23
gatra 24
gatra 25
gatra 26
gatra 27
gatra 28
gatra 29
gatra 30
gatra 31
gatra 32
gatra 33
gatra 34
gatra 35
gatra 36
gatra 37
gatra 38
gatra 39
gatra 40
gatra 41
gatra 42
gatra 43
gatra 44
gatra 45
gatra 46
gatra 47
gatra 48
gatra 49
gatra 50
gatra 51
Quote:
Diubah oleh breaking182 30-12-2022 23:12
jundi666 dan 70 lainnya memberi reputasi
71
81.7K
Kutip
622
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
breaking182
#252
gatra 21
Quote:
MAHESA BRANJANGAN masih tegak seperti patung. Ia melihat orang bertutup wajah hitam itu berjalan mendekatinya. Sementara Arya Gading berdebar –debar berdiri di samping Mahesa Branjangan. Tiba-tiba Mahesa Branjangan menemukan sesuatu. Karena itu dengan tiba-tiba pula ia berkata “Baiklah kisanak, aku tidak keberatan, apa saja yang kau lakukan di tempat ini. Meskipun demikian, aku ingin bertanya kepadamu, siapa kau sebenarnya dan dimanakah kau sembunyikan kitab Lawang Pitu ?! “
Orang yang memakai penutup wajah itu mengerutkan lehernya. Kemudian terdengar ia tertawa pendek. Jawabnya “Mahesa Branjangan, apakah kau sudah pikun berulang kali aku katakan kitab itu menjadi hak ku “
“Jangan melingkar –lingkar dan berpura-pura” potong Mahesa Branjangan , “Kau tahu bahwa
bukan itu jawaban yang aku inginkan”
“He” orang itu terkejut. “Apakah jawabku salah?”
“Jangan menyangka aku seorang kanak-kanak “, sahut Mahesa Branjangan
Tetapi orang itu malahan tertawa berkepanjangan. Katanya “Hem, tentu. Kau memang bukan lagi seorang anak kecil”
Semakin lama Mahesa Branjangan menjadi semakin jengkel karenanya. Namun dicobanya mengendalikan dirinya, dan dicobanya bertanya pula “Kisanak, katakanlah kepada kami, sebenarnya siapa kau ini?”
Orang itu masih juga tertawa. Jawabnya “Marilah kita ulangi lagi pertempuran di malam itu. Saat itu kau mampu merenggut penutup wajahku. Mungkin hari ini kau lebih beruntung dan dapat mengetahui siapa sebenarnya wajah yang berada di balik kain ini ”
Arya Gading menjadi bingung. Namun ia sebenarnya menjadi sangat takut kalau Mahesa Branjangan benar-benar akan melawan orang bercadar. Tetapi ia tidak dapat berkata apa-apa. Yang terdengar kemudian adalah geram Mahesa Branjangan
“Minggirlah Gading, Biarlah orang ini aku tangkap. Mungkin ada banyak keterangan-keterangan yang dapat dikatakannya, dan dengan demikian wajahnya akan segera kita kenal.”
Mahesa Branjangan tidak perduli lagi. Cepat ia melompat untuk menangkap lengan orang bercadar. Tetapi orang itupun melangkah surut, sehingga Mahesa Branjangan tidak berhasil menangkapnya. Tetapi Mahesa Branjangan tidak membiarkannya lari, karena itu segera orang bercadar dikejarnya. Orang bercadar itupun berlari berputar-putar diantara batang-batang ilalang.
Berloncatan dari batu-batu bahkan melingkar-lingkar pohon preh. “Kenapa kau kejar-kejar aku?”
Mahesa Branjangan benar-benar menjadi marah. Karena itu ia berteriak, “Orang bercadar, aku tahu ilmu kanuragan mu sangat tinggi. Kenapa kau sekarang berlari-lari seperti keledai yang bodoh.”
Satu loncatan panjang Mahesa Branjangan langsung menyerang orang bercadar. Orang bercadar itupun kini tidak berlari-lari lagi. Ketika Mahesa Branjangan langsung menyerangnya, segera ia mengelakkan diri sambil berkata “Aku tidak ingin membuat Pandan Arum menangisi mayat anak lelakinya setelah pulang dari pengembaraannya”
Mahesa Branjangan tidak menjawab, tetapi ia menyerang kembali dengan garangnya. Orang bercadar masih saja mengelak dan menghindar. Mahesa Branjangan masih tidak mengendurkan serangannya. Ia benar-benar ingin menangkap orang bertopeng itu. Arya Gading, yang melihat Mahesa Branjangan benar-benar menyerang orang bercadar, menjadi semakin cemas. Diam –diam ia berdoa didalam hatinya, mudah-mudahan Mahesa Branjangan dapat menangkap orang bertopeng itu.
Mahesa Branjangan yang marah itu menjadi semakin marah. Karena itu, ia kini benar-benar berusaha dengan sekuat tenaganya. Setiap kali Orang bercadar menghindar, maka menyusullah serangan-serangannya berturut-turut. Bahkan kemudian gerakan Mahesa Branjangan itu menjadi semakin berat melingkar serta seperti angin pusaran ia melibat orang bercadar. Akhirnya Orang bercadarpun menjadi semakin sulit. Ia tidak dapat menghindar dan menghindar terus. Ketika serangan Mahesa Branjangan manjadi semakin cepat maka keadaannya manjadi semakin berat.
Karena itu sekali lagi ia berkata “ Mahesa Branjangan, apakah kau betul-betul akan menangkap aku?”
“Sudah aku katakan” jawab Mahesa Branjangan.
“Sekali lagi aku minta, urungkan niatmu. Akan percuma saja kau tidak akan mampu menandingi ku” minta orang bercadar itu.
Tetapi Mahesa Branjangan sama sekali tidak mau mendengar permintaan itu. Bahkan ia mendesak terus dalam tataran ilmunya yang semakin tinggi.
“Hem” terdengar kemudian orang bercadar menggeram.
“Baiklah. Kau ingin menggali kuburmu sendiri ternyata.”
Mahesa Branjangan tidak menjawab. Serangan-serangannya bahkan semakin membadai. Namun kini agaknya Orang bercadar tidak hanya menghindar terus. Tiba-tiba ia meloncat tinggi dan dengan suatu gerakan yang cepat sekali, orang itu berputar diudara. Ketika ia menggeliat, maka disentuhnya punggung Mahesa Branjangan. Sentuhan itu terasa seakan-akan sebuah dorongan yang sangat kuat, sehingga Mahesa Branjangan terhuyung-huyung beberapa langkah maju. Untunglah bahwa Mahesa Branjangan adalah seorang lelaki yang telah mumpuni dalam kanuragan. Sehingga dengan tangkasnya ia berhasil menghindarkan diri dari kemungkinan terjerumus mencium batang-batang ilalang liar yang bertebaran dilapangan yang sempit itu.
Namun meskipun demikian, betapa Mahesa Branjangan menjadi sangat terkejut. Ia tidak menyangka bahwa orang yang bercadar itu mampu bergerak sedemikian cepatnya. Lebih dari itu, terasa, bahwa kekuatan orang itu itu benar-benar menakjubkan. Tetapi meskipun demikian, Mahesa Branjangan, seorang pendekar, tidak segera bercemas hati. Ia memang merasakan keanehan lawannya, namun ia tidak mengurungkan niatnya.
Bahkan Mahesa Branjangan itu kini telah mengerahkan segala kemampuannya. Dengan cepatnya ia menyerang dan menyerang terus beruntun. Tetapi serangan-serangannya, apalagi menjatuhkan lawannya, menyentuhpun tidak. Orang bercadar benar-benar mampu bergerak secepat geraknya, bahkan ternyata kemudian bahwa kecepatan bergerak orang yang bertopeng itu dapat melampauinya. Ketika kemudian orang bercadar itu mempertahankan dirinya dan sekali-sekali menyerang juga, terasa, bahwa orang yang bertopeng itu benar-benar aneh.
Orang yang memakai penutup wajah itu mengerutkan lehernya. Kemudian terdengar ia tertawa pendek. Jawabnya “Mahesa Branjangan, apakah kau sudah pikun berulang kali aku katakan kitab itu menjadi hak ku “
“Jangan melingkar –lingkar dan berpura-pura” potong Mahesa Branjangan , “Kau tahu bahwa
bukan itu jawaban yang aku inginkan”
“He” orang itu terkejut. “Apakah jawabku salah?”
“Jangan menyangka aku seorang kanak-kanak “, sahut Mahesa Branjangan
Tetapi orang itu malahan tertawa berkepanjangan. Katanya “Hem, tentu. Kau memang bukan lagi seorang anak kecil”
Semakin lama Mahesa Branjangan menjadi semakin jengkel karenanya. Namun dicobanya mengendalikan dirinya, dan dicobanya bertanya pula “Kisanak, katakanlah kepada kami, sebenarnya siapa kau ini?”
Orang itu masih juga tertawa. Jawabnya “Marilah kita ulangi lagi pertempuran di malam itu. Saat itu kau mampu merenggut penutup wajahku. Mungkin hari ini kau lebih beruntung dan dapat mengetahui siapa sebenarnya wajah yang berada di balik kain ini ”
Arya Gading menjadi bingung. Namun ia sebenarnya menjadi sangat takut kalau Mahesa Branjangan benar-benar akan melawan orang bercadar. Tetapi ia tidak dapat berkata apa-apa. Yang terdengar kemudian adalah geram Mahesa Branjangan
“Minggirlah Gading, Biarlah orang ini aku tangkap. Mungkin ada banyak keterangan-keterangan yang dapat dikatakannya, dan dengan demikian wajahnya akan segera kita kenal.”
Mahesa Branjangan tidak perduli lagi. Cepat ia melompat untuk menangkap lengan orang bercadar. Tetapi orang itupun melangkah surut, sehingga Mahesa Branjangan tidak berhasil menangkapnya. Tetapi Mahesa Branjangan tidak membiarkannya lari, karena itu segera orang bercadar dikejarnya. Orang bercadar itupun berlari berputar-putar diantara batang-batang ilalang.
Berloncatan dari batu-batu bahkan melingkar-lingkar pohon preh. “Kenapa kau kejar-kejar aku?”
Mahesa Branjangan benar-benar menjadi marah. Karena itu ia berteriak, “Orang bercadar, aku tahu ilmu kanuragan mu sangat tinggi. Kenapa kau sekarang berlari-lari seperti keledai yang bodoh.”
Satu loncatan panjang Mahesa Branjangan langsung menyerang orang bercadar. Orang bercadar itupun kini tidak berlari-lari lagi. Ketika Mahesa Branjangan langsung menyerangnya, segera ia mengelakkan diri sambil berkata “Aku tidak ingin membuat Pandan Arum menangisi mayat anak lelakinya setelah pulang dari pengembaraannya”
Mahesa Branjangan tidak menjawab, tetapi ia menyerang kembali dengan garangnya. Orang bercadar masih saja mengelak dan menghindar. Mahesa Branjangan masih tidak mengendurkan serangannya. Ia benar-benar ingin menangkap orang bertopeng itu. Arya Gading, yang melihat Mahesa Branjangan benar-benar menyerang orang bercadar, menjadi semakin cemas. Diam –diam ia berdoa didalam hatinya, mudah-mudahan Mahesa Branjangan dapat menangkap orang bertopeng itu.
Mahesa Branjangan yang marah itu menjadi semakin marah. Karena itu, ia kini benar-benar berusaha dengan sekuat tenaganya. Setiap kali Orang bercadar menghindar, maka menyusullah serangan-serangannya berturut-turut. Bahkan kemudian gerakan Mahesa Branjangan itu menjadi semakin berat melingkar serta seperti angin pusaran ia melibat orang bercadar. Akhirnya Orang bercadarpun menjadi semakin sulit. Ia tidak dapat menghindar dan menghindar terus. Ketika serangan Mahesa Branjangan manjadi semakin cepat maka keadaannya manjadi semakin berat.
Karena itu sekali lagi ia berkata “ Mahesa Branjangan, apakah kau betul-betul akan menangkap aku?”
“Sudah aku katakan” jawab Mahesa Branjangan.
“Sekali lagi aku minta, urungkan niatmu. Akan percuma saja kau tidak akan mampu menandingi ku” minta orang bercadar itu.
Tetapi Mahesa Branjangan sama sekali tidak mau mendengar permintaan itu. Bahkan ia mendesak terus dalam tataran ilmunya yang semakin tinggi.
“Hem” terdengar kemudian orang bercadar menggeram.
“Baiklah. Kau ingin menggali kuburmu sendiri ternyata.”
Mahesa Branjangan tidak menjawab. Serangan-serangannya bahkan semakin membadai. Namun kini agaknya Orang bercadar tidak hanya menghindar terus. Tiba-tiba ia meloncat tinggi dan dengan suatu gerakan yang cepat sekali, orang itu berputar diudara. Ketika ia menggeliat, maka disentuhnya punggung Mahesa Branjangan. Sentuhan itu terasa seakan-akan sebuah dorongan yang sangat kuat, sehingga Mahesa Branjangan terhuyung-huyung beberapa langkah maju. Untunglah bahwa Mahesa Branjangan adalah seorang lelaki yang telah mumpuni dalam kanuragan. Sehingga dengan tangkasnya ia berhasil menghindarkan diri dari kemungkinan terjerumus mencium batang-batang ilalang liar yang bertebaran dilapangan yang sempit itu.
Namun meskipun demikian, betapa Mahesa Branjangan menjadi sangat terkejut. Ia tidak menyangka bahwa orang yang bercadar itu mampu bergerak sedemikian cepatnya. Lebih dari itu, terasa, bahwa kekuatan orang itu itu benar-benar menakjubkan. Tetapi meskipun demikian, Mahesa Branjangan, seorang pendekar, tidak segera bercemas hati. Ia memang merasakan keanehan lawannya, namun ia tidak mengurungkan niatnya.
Bahkan Mahesa Branjangan itu kini telah mengerahkan segala kemampuannya. Dengan cepatnya ia menyerang dan menyerang terus beruntun. Tetapi serangan-serangannya, apalagi menjatuhkan lawannya, menyentuhpun tidak. Orang bercadar benar-benar mampu bergerak secepat geraknya, bahkan ternyata kemudian bahwa kecepatan bergerak orang yang bertopeng itu dapat melampauinya. Ketika kemudian orang bercadar itu mempertahankan dirinya dan sekali-sekali menyerang juga, terasa, bahwa orang yang bertopeng itu benar-benar aneh.
Quote:
DENGAN DEMIKIAN maka perkelahian itu menjadi semakin lama semakin cepat. Mahesa Branjangan kini telah benar-benar mempergunakan ilmunya yang paling tinggi yang dimilikinya. Karena itu, maka geraknyapun menjadi semakin garang dan cepat. Kedua tangannya bergerak-gerak menyerang ke segenap tubuh lawannya. Sedang kedua kakinya yang kokoh itu sekali dipergunakannya untuk meloncat-loncat namun tiba-tiba tumitnya menyambar lambung.
Namun betapa ia berjuang, tetapi ia menyadarinya, bahwa apabila demikian untuk seterusnya, pekerjaannya tidak akan selesai. Karena itu, maka meskipun ia tidak berhasrat membunuh lawannya, namun ia ingin mempengaruhinya dan kemudian melemahkan perlawanannya. Ketika mereka menjadi semakin cepat bergerak tiba-tiba Mahesa Branjangan melangkah surut, dan tiba-tiba pula ditangannya telah tergenggam sebilah keris. Keris berluk tiga belas dan tak begitu tajam, namun runcing ujungnya malampui ujung jarum.
Orang bercadar terkejut melihat keris itu, karena itu iapun meloncat mundur. Bahkan Arya Gading yang mengikuti perkelahian itu dengan ketegangan didalamnya terkejut pula. Apakah Mahesa Branjangan benar-benar akan bertempur mati-matian?
Yang terdengar kemudian adalah suara orang bercadar,“Mahesa Branjangan, bagus kau cabut keris mu. Kenapa tidak sedari tadi he?!”
“Aku tidak dapat menangkapmu tanpa senjata. Kau mampu bergerak selincah burung sikatan. Karena itu, sebaiknya kau tidak usah melawan, supaya aku tidak melukaimu”
“Hem” orang bercadar menarik nafas. “Baiklah ita bermain-main kembali. Apakah kau sudah lelah?”
Mahesa Branjangan mengerutkan keningnya. Ia melihat beberapa kelebihan lawannya. Apalagi ketika disadarinya, bahwa nafas orang bercadar itu masih segar, sesegar pada saat dilihatnya untuk pertama kalinya.
“Gila”, umpat Mahesa Branjangan didalam hatinya.
“Apakah orang ini mempunyai nafas rangkap, atau memiliki sarang angina didalam dadanya, sehingga nafasnya tak akan mengganggu”
Namun meskipun demikian, ia sudah bertekad, menangkap orang itu, orang yang banyak menyimpan teka-teki didalam dirinya. Karena itu Mahesa Branjangan tidak menyarungkan kerisnya. Bahkan ia melangkah maju sambil mengacungkan kerisnya kedada orang bercadar.
Katanya “Kisanak, jangan memaksa aku mempergunakan keris ini. Ikutlah aku, dan tanggalkan topengmu itu supaya aku dapat mengenal wajahmu”
Orang bercadar masih tegak ditempatnya, seakan-akan kakinya jauh menghunjam kepusat bumi. Dipandangnya Mahesa Branjangan dengan seksama, seakan-akan ingin dilihatnya isi
dadanya. Tetapi sesaat kemudian ia berpaling kepada Arya Gading.
Katanya sambil tertawa “Anak muda, apakah kau tidak ingin turut serta mengeroyokku?”
Dada Arya Gading berdesir, dan jantung Mahesa Branjangan pun berguncang. Ia tidak menyangka bahwa orang bercadar itu memandangnya dengan sebelah mata. Sekarang orang bercadar itulah yang mendahului menyerang. Mahesa Branjangan terkejut. Ia mengelak kesamping dan dengan gerak naluriah, kerisnyapun berputar dan membalas serangan itu dengan serangan pula. Kini keduanya bertempur pula dengan cepatnya. Orang bercadar itu kini telah mempergunakan senjata anehnya
dengan cara yang aneh pula.
Mencabut sehelai ilalang dan mempergunakannya sebagai senjata. Tiba-tiba orang bertopeng itu berteriak nyaring “Nah, kau dapat aku kenai Mahesa Branjangan”
Terasa sesuatu menyengat pundaknya. Meskipun yang mengenai itu ternyata hanya ujung daun ilalang, namun sakitnya bukan kepalang. Sehingga Mahesa Branjangan itu melontar surut.
“Nah, bayangkan, bagaimanakah kira-kira kalau senjataku ini berujung runcing seruncing kerismu atau seruncing tombak Kiai Pleret Sultan Hadiwijaya”
Mahesa Branjangan tidak sempat berpikir terlalu panjang, sebab orang bercadar itu itu telah menyerangnya pula.
Namun betapa ia berjuang, tetapi ia menyadarinya, bahwa apabila demikian untuk seterusnya, pekerjaannya tidak akan selesai. Karena itu, maka meskipun ia tidak berhasrat membunuh lawannya, namun ia ingin mempengaruhinya dan kemudian melemahkan perlawanannya. Ketika mereka menjadi semakin cepat bergerak tiba-tiba Mahesa Branjangan melangkah surut, dan tiba-tiba pula ditangannya telah tergenggam sebilah keris. Keris berluk tiga belas dan tak begitu tajam, namun runcing ujungnya malampui ujung jarum.
Orang bercadar terkejut melihat keris itu, karena itu iapun meloncat mundur. Bahkan Arya Gading yang mengikuti perkelahian itu dengan ketegangan didalamnya terkejut pula. Apakah Mahesa Branjangan benar-benar akan bertempur mati-matian?
Yang terdengar kemudian adalah suara orang bercadar,“Mahesa Branjangan, bagus kau cabut keris mu. Kenapa tidak sedari tadi he?!”
“Aku tidak dapat menangkapmu tanpa senjata. Kau mampu bergerak selincah burung sikatan. Karena itu, sebaiknya kau tidak usah melawan, supaya aku tidak melukaimu”
“Hem” orang bercadar menarik nafas. “Baiklah ita bermain-main kembali. Apakah kau sudah lelah?”
Mahesa Branjangan mengerutkan keningnya. Ia melihat beberapa kelebihan lawannya. Apalagi ketika disadarinya, bahwa nafas orang bercadar itu masih segar, sesegar pada saat dilihatnya untuk pertama kalinya.
“Gila”, umpat Mahesa Branjangan didalam hatinya.
“Apakah orang ini mempunyai nafas rangkap, atau memiliki sarang angina didalam dadanya, sehingga nafasnya tak akan mengganggu”
Namun meskipun demikian, ia sudah bertekad, menangkap orang itu, orang yang banyak menyimpan teka-teki didalam dirinya. Karena itu Mahesa Branjangan tidak menyarungkan kerisnya. Bahkan ia melangkah maju sambil mengacungkan kerisnya kedada orang bercadar.
Katanya “Kisanak, jangan memaksa aku mempergunakan keris ini. Ikutlah aku, dan tanggalkan topengmu itu supaya aku dapat mengenal wajahmu”
Orang bercadar masih tegak ditempatnya, seakan-akan kakinya jauh menghunjam kepusat bumi. Dipandangnya Mahesa Branjangan dengan seksama, seakan-akan ingin dilihatnya isi
dadanya. Tetapi sesaat kemudian ia berpaling kepada Arya Gading.
Katanya sambil tertawa “Anak muda, apakah kau tidak ingin turut serta mengeroyokku?”
Dada Arya Gading berdesir, dan jantung Mahesa Branjangan pun berguncang. Ia tidak menyangka bahwa orang bercadar itu memandangnya dengan sebelah mata. Sekarang orang bercadar itulah yang mendahului menyerang. Mahesa Branjangan terkejut. Ia mengelak kesamping dan dengan gerak naluriah, kerisnyapun berputar dan membalas serangan itu dengan serangan pula. Kini keduanya bertempur pula dengan cepatnya. Orang bercadar itu kini telah mempergunakan senjata anehnya
dengan cara yang aneh pula.
Mencabut sehelai ilalang dan mempergunakannya sebagai senjata. Tiba-tiba orang bertopeng itu berteriak nyaring “Nah, kau dapat aku kenai Mahesa Branjangan”
Terasa sesuatu menyengat pundaknya. Meskipun yang mengenai itu ternyata hanya ujung daun ilalang, namun sakitnya bukan kepalang. Sehingga Mahesa Branjangan itu melontar surut.
“Nah, bayangkan, bagaimanakah kira-kira kalau senjataku ini berujung runcing seruncing kerismu atau seruncing tombak Kiai Pleret Sultan Hadiwijaya”
Mahesa Branjangan tidak sempat berpikir terlalu panjang, sebab orang bercadar itu itu telah menyerangnya pula.
Quote:
ARYA GADING yang sudah bingung dan khawatir menjadi bertambah bingung. Tetapi ia memperhatikan pula pertempuran itu. Orang bercadar itu dengan sehelai daun ilalang ditangan, dan Mahesa Branjangan dengan sebuah keris yang menakutkan. Pertempuran itu semakin lama mejadi semakin seru. Daun ilalang orang bercadar itu bergerak dengan cepatnya, menyambar dari segala arah. Ujung daun yang mustinya lemas itu mejadi liat seperti ujung cambuk sesekali mematuk tubuh Mahesa Branjangan tanpa dapat dihindari. Semakin lama menjadi semakin sering. Meskipun Mahesa Branjangan berusaha sepenuh tenaga menghindarinya.
Karena itu, maka getar didalam dada Mahesa Branjanganpun semakin lama menjadi semakin cepat. Ia kini tidak mau terbelengu oleh perasaan yang tak dimengertinya. Dengan demikian maka nafsunya untuk bertempur mati-matian kini kembali merayapi dadanya. Sehingga oleh karenanya, maka kerisnyapun bergerak semakin cepat, secepat baling-baling ditiup angin musim kesanga. Arya Gading melihat pertempuran itu dengan jantung yang berdentang-dentang. Pemuda itu mulai mencemaskan nasib Mahesa Branjangan karena beberapa kali ia melihat lawannya berhasil mendesak Mahesa Branjangan sehingga lelaki itu meloncat surut.
Bahkan kemudian pertempuran itu terasa sangat menarik hatinya. Dengan penuh gairah ia memperhatikan setiap gerak dari mereka berdua. Ia mengagumi ketangkasan Mahesa Branjangan, namun ia heran melihat kelincahan orang bercadar itu. Dua kali Arya Gading dibuat babak belur oleh orang bercadar itu. Dan kini Arya Gading semakin heran sehelai daun ilalang yang tampaknya sama sekali tak berarti itu ternyata menjadi senjata yang berbahaya di tangannya.
Setapak demi setapak perkelahian itu berkisar dari satu titik ketitik yang lain. Namun Arya Gading pun ikut berkisa-kisar pula. Sekali ia terpaksa menahan napas apabila keris Mahesa Branjangan menyambar dengan dahsyatnya, sedahsyat elang menyambar mangsanya. Namun wajahnyapun menjadi tegang, apabila ia melihat Mahesa Branjangan menyeringai kesakitan apabila daun ilalang orang bertopeng itu menyentuh tubuhnya.
“Hem” Arya Gading menarik nafas dalam-dalam. “Kalau saja aku mampu berbuat seperti mereka itu” gumamnya didalam hati.
Namun tiba-tiba Arya Gading terkejut ketika ia melihat Mahesa Branjangan melontar mundur. Sekali, dua kali dan orang bercadar itu mendorongnya terus. Bahkan kemudian dengan tidak disangka-sangka, kaki orang bertopeng itu berhasil menyambar pergelangan tangan Mahesa Branjangan sehingga kerisnya tergetar. Hampir saja keris itu meluncur dari tangannya. Gigi Mahesa Branjangan gemeretak. Kini ia benar-benar marah. Karena itu tandang grayangnyapun menjadi semakin garang. Gerak kerisnyapun menjadi semakin cepat, sehingga yang tampak kemudian seakan-akan kabut putih yang bergulung-guliung melanda orang bertopeng itu.
Kini Mahesa Branjanganlah yang mendesak maju. Orang bercadar itu terpaksa meloncat surut. Bahkan akhirnya orang bertopeng itu tiba-tiba tersandar pada pohon preh yang berada dibelakangnya. Mahesa Branjangan tidak membuang waktu lebih lama lagi. Kerisnya cepat meluncur kearah orang bercadar itu. Mahesa Branjangan yang merasa dirinya dipermainkan itu, menusuk lawannya dengan sekuat tenaganya, meskipun kerisnya tidak mengarah dada.
Karena itu, maka getar didalam dada Mahesa Branjanganpun semakin lama menjadi semakin cepat. Ia kini tidak mau terbelengu oleh perasaan yang tak dimengertinya. Dengan demikian maka nafsunya untuk bertempur mati-matian kini kembali merayapi dadanya. Sehingga oleh karenanya, maka kerisnyapun bergerak semakin cepat, secepat baling-baling ditiup angin musim kesanga. Arya Gading melihat pertempuran itu dengan jantung yang berdentang-dentang. Pemuda itu mulai mencemaskan nasib Mahesa Branjangan karena beberapa kali ia melihat lawannya berhasil mendesak Mahesa Branjangan sehingga lelaki itu meloncat surut.
Bahkan kemudian pertempuran itu terasa sangat menarik hatinya. Dengan penuh gairah ia memperhatikan setiap gerak dari mereka berdua. Ia mengagumi ketangkasan Mahesa Branjangan, namun ia heran melihat kelincahan orang bercadar itu. Dua kali Arya Gading dibuat babak belur oleh orang bercadar itu. Dan kini Arya Gading semakin heran sehelai daun ilalang yang tampaknya sama sekali tak berarti itu ternyata menjadi senjata yang berbahaya di tangannya.
Setapak demi setapak perkelahian itu berkisar dari satu titik ketitik yang lain. Namun Arya Gading pun ikut berkisa-kisar pula. Sekali ia terpaksa menahan napas apabila keris Mahesa Branjangan menyambar dengan dahsyatnya, sedahsyat elang menyambar mangsanya. Namun wajahnyapun menjadi tegang, apabila ia melihat Mahesa Branjangan menyeringai kesakitan apabila daun ilalang orang bertopeng itu menyentuh tubuhnya.
“Hem” Arya Gading menarik nafas dalam-dalam. “Kalau saja aku mampu berbuat seperti mereka itu” gumamnya didalam hati.
Namun tiba-tiba Arya Gading terkejut ketika ia melihat Mahesa Branjangan melontar mundur. Sekali, dua kali dan orang bercadar itu mendorongnya terus. Bahkan kemudian dengan tidak disangka-sangka, kaki orang bertopeng itu berhasil menyambar pergelangan tangan Mahesa Branjangan sehingga kerisnya tergetar. Hampir saja keris itu meluncur dari tangannya. Gigi Mahesa Branjangan gemeretak. Kini ia benar-benar marah. Karena itu tandang grayangnyapun menjadi semakin garang. Gerak kerisnyapun menjadi semakin cepat, sehingga yang tampak kemudian seakan-akan kabut putih yang bergulung-guliung melanda orang bertopeng itu.
Kini Mahesa Branjanganlah yang mendesak maju. Orang bercadar itu terpaksa meloncat surut. Bahkan akhirnya orang bertopeng itu tiba-tiba tersandar pada pohon preh yang berada dibelakangnya. Mahesa Branjangan tidak membuang waktu lebih lama lagi. Kerisnya cepat meluncur kearah orang bercadar itu. Mahesa Branjangan yang merasa dirinya dipermainkan itu, menusuk lawannya dengan sekuat tenaganya, meskipun kerisnya tidak mengarah dada.
Quote:
NAMUN APABILA Orang bercadar itu tidak mampu menghindari kali ini, maka pundaknya pasti akan tersobek. Melihat peristiwa itu, Arya Gading terkejut sehingga ia pun meloncat beberapa langkah maju. Namun ia tak akan dapat berbuat apapun. Yang dilihatnya keris Mahesa Branjangan yang runcing itu mematuk dengan garangnya.Tetapi mata Arya Gading itu pun terbeliak. Dengan mulut yang ternganga ia melihat, betapa orang bercadar itu itu kemudian berdiri tegak sambil tertawa berkepanjangan.
Katanya “Ah, tenagamu memang luar biasa Mahesa Branjangan. Tetapi kau sekarang pasti akan menemui kesulitan untuk mencabut kerismu itu”
“Setan!!” terdengar Mahesa Branjangan mengumpat. Dengan sekuat tenaga ia berusaha mencabut kerisnya yang tertancap pada pohon preh itu. Ternyata orang bercadar itu mampu mengelakkan diri dengan cepatnya, sehingga keris Mahesa Branjangan yang mematuknya itu langsung mengenai pohon yang disandarinya.
“Aku dapat bertempur tanpa keris”, geram Mahesa Branjangan dengan wajah yang membara.
“Jangan” jawab Orang bercadar itu “Cabutlah kerismu. Aku menunggu”
Mahesa Branjangan masih berusaha sekuat tenaga mencabut kerisnya. Namun ia masih mengumpat didalam hatinya. Ternyata keris yang runcing itu telah membenam dalam sekali. Tenaganya benar-benar telah dicurahkan untuk menusukkan keris itu. Karena itu, maka sekarang, betapa sukarnya untuk mencabutnya.
Beberapa kali Mahesa Branjangan menggeram. Tetapi kemudian orang bercadar itu berkata, Kalau hanya mencabut keris itu kau tidak sanggup. Lupakan saja untuk menangkapku “
Mahesa Branjangan tidak menjawab. Tetap ia menggeram. Terdengar giginya gemeretak. Namun ia masih tegak ditempatnya.
“Mahesa Branjangan, kita akhiri pertempuran ini. Nah, berlatihlah terus karena lain kali nyawa mu yang akan aku ambil”
Kemudian mereka berdua, Mahesa Branjangan dan Arya Gading melihat, orang bertopeng itu berjalan seenaknya meninggalkan mereka. Lewat bukit kecil itu, dan kemudian hilang dibalik batang-batang ilalang yang tumbuh dengan liarnya. Sesaat kemudian mereka saling berdiam diri. Mereka masih memandang kearah Orang bercadar itu lenyap dibalik batang-batang ilalang.
“Gading” berkata Mahesa Branjangan kemudian. “Kita akhiri latihan ini. Marilah kita kembali ”
Arya Gading mengangguk. Dan diikutinya Mahesa Branjangan meninggalkan tanah lapang yang sempit itu. Mereka berjalan berurutan diatas pematang, kemudian setelah melangkahi parit mereka berjalan menyusur jalan desa menuju Padepokan Pandan Arum. Awan dilangit semakin lama menjadi semakin kelam. Satu-satu guruh dilangit meledak seperti hendak meruntuhkan gunung Merapi yang berdiri tegak menjulang. Mahesa Branjangan dan Arya Gading mempercepat langkah mereka. Mereka lebih senang tidur dipringgitan padepokan daripada basah kuyup dijalanan. Beberapa orang cantrik yang duduk di regol halaman di samping padepokan itupun berdiri ketika mereka melihat Mahesa Branjangan memasuki pintu regol.
“Selamat malam kakang”, sapa salah seorang cantrik.
Mahesa Branjangan menganggukkan kepalanya. Ketika ia akan menjawab, dilihatnya Kuda Merta menggeliat sambil bergumam “Apakah kau baru datang Mahesa Branjangan?”
“Ya paman” jawab Mahesa Branjangan.
“Silakan, aku lebih senang tidur disini. Udara terlalu panas”, berkata Kuda Merta itu pula.
“Langit kelam kakang” sahut Mahesa Branjangan. “Agaknya sebentar lagi hujan akan turun”
“Agaknya demikian” jawab Kuda Merta “Nah, beristirahatlah”
Mahesa Branjangan itupun kemudian berjalan bersama-sama dengan Arya Gading naik ke pendapa. Bersama Arya Gading Mahesa Branjangan langsung kepringgitan.
“Kau lelah Gading?” berkata Mahesa Branjangan kemudian, “ Pulang dan tidurlah. Mungkin bibi mu juga tengah menunggu mu”
“ Baiklah kakang, aku pamit dulu “
Lantas Arya Gading berjalan gontai menuju kea rah pondokannya yang berada di belakang padepokan. Tubuh pemuda itu segera lenyap di telan gelapnya malam.
Katanya “Ah, tenagamu memang luar biasa Mahesa Branjangan. Tetapi kau sekarang pasti akan menemui kesulitan untuk mencabut kerismu itu”
“Setan!!” terdengar Mahesa Branjangan mengumpat. Dengan sekuat tenaga ia berusaha mencabut kerisnya yang tertancap pada pohon preh itu. Ternyata orang bercadar itu mampu mengelakkan diri dengan cepatnya, sehingga keris Mahesa Branjangan yang mematuknya itu langsung mengenai pohon yang disandarinya.
“Aku dapat bertempur tanpa keris”, geram Mahesa Branjangan dengan wajah yang membara.
“Jangan” jawab Orang bercadar itu “Cabutlah kerismu. Aku menunggu”
Mahesa Branjangan masih berusaha sekuat tenaga mencabut kerisnya. Namun ia masih mengumpat didalam hatinya. Ternyata keris yang runcing itu telah membenam dalam sekali. Tenaganya benar-benar telah dicurahkan untuk menusukkan keris itu. Karena itu, maka sekarang, betapa sukarnya untuk mencabutnya.
Beberapa kali Mahesa Branjangan menggeram. Tetapi kemudian orang bercadar itu berkata, Kalau hanya mencabut keris itu kau tidak sanggup. Lupakan saja untuk menangkapku “
Mahesa Branjangan tidak menjawab. Tetap ia menggeram. Terdengar giginya gemeretak. Namun ia masih tegak ditempatnya.
“Mahesa Branjangan, kita akhiri pertempuran ini. Nah, berlatihlah terus karena lain kali nyawa mu yang akan aku ambil”
Kemudian mereka berdua, Mahesa Branjangan dan Arya Gading melihat, orang bertopeng itu berjalan seenaknya meninggalkan mereka. Lewat bukit kecil itu, dan kemudian hilang dibalik batang-batang ilalang yang tumbuh dengan liarnya. Sesaat kemudian mereka saling berdiam diri. Mereka masih memandang kearah Orang bercadar itu lenyap dibalik batang-batang ilalang.
“Gading” berkata Mahesa Branjangan kemudian. “Kita akhiri latihan ini. Marilah kita kembali ”
Arya Gading mengangguk. Dan diikutinya Mahesa Branjangan meninggalkan tanah lapang yang sempit itu. Mereka berjalan berurutan diatas pematang, kemudian setelah melangkahi parit mereka berjalan menyusur jalan desa menuju Padepokan Pandan Arum. Awan dilangit semakin lama menjadi semakin kelam. Satu-satu guruh dilangit meledak seperti hendak meruntuhkan gunung Merapi yang berdiri tegak menjulang. Mahesa Branjangan dan Arya Gading mempercepat langkah mereka. Mereka lebih senang tidur dipringgitan padepokan daripada basah kuyup dijalanan. Beberapa orang cantrik yang duduk di regol halaman di samping padepokan itupun berdiri ketika mereka melihat Mahesa Branjangan memasuki pintu regol.
“Selamat malam kakang”, sapa salah seorang cantrik.
Mahesa Branjangan menganggukkan kepalanya. Ketika ia akan menjawab, dilihatnya Kuda Merta menggeliat sambil bergumam “Apakah kau baru datang Mahesa Branjangan?”
“Ya paman” jawab Mahesa Branjangan.
“Silakan, aku lebih senang tidur disini. Udara terlalu panas”, berkata Kuda Merta itu pula.
“Langit kelam kakang” sahut Mahesa Branjangan. “Agaknya sebentar lagi hujan akan turun”
“Agaknya demikian” jawab Kuda Merta “Nah, beristirahatlah”
Mahesa Branjangan itupun kemudian berjalan bersama-sama dengan Arya Gading naik ke pendapa. Bersama Arya Gading Mahesa Branjangan langsung kepringgitan.
“Kau lelah Gading?” berkata Mahesa Branjangan kemudian, “ Pulang dan tidurlah. Mungkin bibi mu juga tengah menunggu mu”
“ Baiklah kakang, aku pamit dulu “
Lantas Arya Gading berjalan gontai menuju kea rah pondokannya yang berada di belakang padepokan. Tubuh pemuda itu segera lenyap di telan gelapnya malam.
Diubah oleh breaking182 31-05-2022 00:27
pulaukapok dan 14 lainnya memberi reputasi
15
Kutip
Balas