- Beranda
- Stories from the Heart
JANJI? (MINI SERIES)
...
![beavermoon](https://s.kaskus.id/user/avatar/2015/10/10/avatar8270809_8.gif)
![Avatar border](https://s.kaskus.id/images/avatarborder/1.gif)
TS
beavermoon
JANJI? (MINI SERIES)
![JANJI? (MINI SERIES)](https://s.kaskus.id/images/2021/11/29/8270809_202111290417520151.png)
Pernahkah kalian jatuh cinta? Pernahkah kalian menyembunyikan perasaan kepada orang yang kalian suka? Kenapa kalian menyembunyikan hal itu? Bukankah lebih baik untuk mengutarakannya?
Fika dan Rama akan menemani perjalanan kalian dalam mencari tahu jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas. Bersyukurlah jika kalian dapat menemukan jawabannya, namun jika tidak?
Spoiler for Episode:
Diubah oleh beavermoon 16-06-2022 12:03
![ippeh22](https://s.kaskus.id/user/avatar/2017/02/06/avatar9575917_1.gif)
![kuda.unta](https://s.kaskus.id/user/avatar/2015/03/09/avatar7742361_18.gif)
![ndoro_mant0](https://s.kaskus.id/user/avatar/2008/02/20/avatar404250_9.gif)
ndoro_mant0 dan 7 lainnya memberi reputasi
4
3.1K
Kutip
40
Balasan
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
![Stories from the Heart](https://s.kaskus.id/r200x200/ficon/image-51.png)
Stories from the Heart![KASKUS Official KASKUS Official](https://s.kaskus.id/kaskus-next/next-assets/images/icon-official-badge.svg)
31.6KThread•43KAnggota
Tampilkan semua post
![beavermoon](https://s.kaskus.id/user/avatar/2015/10/10/avatar8270809_8.gif)
![Avatar border](https://s.kaskus.id/images/avatarborder/1.gif)
TS
beavermoon
#25
Episode 22
Spoiler for Episode 22:
Rama menyalakan sebatang rokok, asap pun berhembus dari dalam mulutnya. Ia kembali melihat jam tangan yang ia kenakan, kemudian ia menatap ke arah dalam. Terdengar suara langkah kaki berbalut heelsmendekat, Rama terdiam beberapa saat menatap Fika.
“Kamu kenapa Ram?” Tanya Fika heran.
“Terakhir aku liat kamu dandan kayak gini tuh SMA, pas kita perpisahan. Pangling aja sih.” Jawab Rama.
Fika berdandan dengan kebaya yang ia senadakan warnanya dengan kemeja batik yang Rama kenakan. Kebaya berlengan pendek berwarna merah dengan kain batik sebagai bawahan, rambutnya yang biasa terurai panjang kini terikat menyimpul, dan heels yang terakhir ia kenakan saat SMA berhasil membuat Rama pangling melihatnya.
“Aneh ya Ram?” Tanya Fika.
“Cantik...”
Fika merona mendengar apa yang diucapkan Rama.
“...tapi dandannya lama, ayo buruan nanti kita bisa terlambat.” Ucap Rama.
Fika tersenyum lalu memukul lengan Rama pelan, kemudian mereka meninggalkan rumah menuju mobil Rama yang terparkir di tepi jalan. Mereka masuk ke dalam mobil dan mobil pun bergerak meninggalkan rumah pada sore hari ini.
Fika menyalakan radio untuk mendengarkan lagu selagi Rama fokus untuk mengemudi. Ia kembali membaca undangan yang diberikan Dara beberapa hari lalu.
“Kak Dara ternyata anak tunggal juga.” Ucap Fika.
“Emang iya ya?” Tanya Rama.
Fika menunjukkan undangan tersebut, “Aku juga baru tau pas baca undangan ini lagi. Aku kira dia itu anak pertama, soalnya pas denger dia ngomong kayak lagi ngomong sama Kakak aku sendiri. Padahal aku anak tunggal juga.”
“Bagus dong kalau dia bisa kayak gitu, dan harusnya kamu juga bisa kayak dia.” Ucap Rama.
Fika mengangguk setuju. Jalanan di akhir pekan pada sore hari sudah pasti tidak akan bersahabat, sudah terjadi penumpukan kendaraan entah sedari kapan.
“Tuh kan, untung aja kita udah berangkat.” Ucap Rama.
Fika hanya bisa tersenyum ke arah Rama. Beberapa saat berlalu hingga akhirnya mobil masuk ke dalam sebuah area gedung. Mobil sudah terparkir di antara deretan mobil-mobil yang lain, Fika dan Rama ke luar dari dalam mobil. Fika menyempatkan diri untuk melihat ke arah kaca jendela, memastikan semuanya baik-baik saja.
“Udah cantik Fik.” Sahut Rama.
Fika kembali tersenyum kepada Rama. Mereka pun berjalan berdampingan untuk masuk ke dalam gedung. Antrean kecil terjadi di pintu masuk untuk mengisi daftar kehadiran, akhirnya Rama mengisi daftar kehadiran di sebuah buku besar. Fika menerima cindera mata yang diberikan oleh penerima tamu.
“Terima kasih.” Ucap Fika.
“Kalian berdua cocok banget, apa emang udah menikah?” Tanya salah satu penerima tamu.
“Cocok?” Tanya Fika.
“Iya, kalian berdua cocok banget.” Jawabnya.
“Terima kasih...” Rama menggenggam tangan Fika “kami masuk dulu ya.”
Mereka masuk ke dalam gedung bergandengan tangan, Fika hanya bisa mengikuti apa yang dilakukan Rama. Mereka sedang melihat-lihat ke arah sekeliling, kemudian mereka berjalan menuju meja yang belum terisi. Belum sempat mereka mengisi meja tersebut, sudah ada orang lain yang lebih dulu mengisi meja kosong itu. Fika menarik tangan Rama untuk menghentikan langkahnya hingga ia berbalik menatap Fika.
“Berdiri aja Ram, nggapapa.” Ucap Fika.
Rama mengangguk, bersamaan dengan itu pula terdengar suara lagu yang mengiringi acara pernikahan. Terdengar riuh tamu undangan ketika mempelai pria dan wanita memasuki gedung, Dara dan Suaminya berjalan dengan pelan melewati tamu undangan yang memberikan sambutan kepada mereka.
Rama tersadar bahwa ia masih menggenggam tangan Fika, ia ingin bertepuk tangan ketika Dara dan Suaminya lewat di hadapan mereka. Dara dan Suaminya pun melewati mereka, ia nampak tersenyum bahagia begitu juga dengan suaminya. Rama pun melambaikan tangannya mengikuti Fika, ia membatalkan niatnya untuk bertepuk tangan. Genggaman Fika tidak membiarkan tangannya terlepas begitu saja.
Dara dan Suaminya sudah berdiri di altar pernikahan, seorang pendeta pun berdiri di antara mereka. Satu demi satu janji pernikahan diucapkan secara bergantian, mengikat mereka dalam janji suci untuk sehidup semati.
“Saya, Alexandria Dara Montera. Saya memilih engkau menjadi suami saya. Saya berjanji setia kepadamu dalam untung dan malang, di waktu sehat dan sakit, dan saya mau mencintai dan menghormati engkau seumur hidup.” Ucap Dara.
“Silahkan untuk memasangkan cincin di jari suami dan istri anda..”
Dara dan Suaminya saling memasangkan cincin di jari manis mereka, kemudian mereka menutup acara janji pernikahan dengan berciuman. Tepuk tangan tamu undangan pun datang silih berganti, Rama pun tersenyum lalu menatap ke arah Fika.
“Fik, kamu...”
Fika menatap ke arah Rama, ia tersenyum dengan air mata yang menetes di pipinya. Dengan cepat Rama mengusap air mata Fika dengan jari tangannya, Fika pun memeluk Rama.
“Ram, kamu inget sama janji kamu kan?” Tanya Fika.
“Janji ya, kapan pun aku butuh kamu akan selalu ada...”
Rama mengangguk dengan pasti.
“...sampai aku menikah nanti, kamu akan selalu ada buat aku?” Tanya Fika.
“Janji.”
Rama mendekap Fika dengan hangat, ia mengusap punggung Fika secara perlahan-lahan. Mereka kembali menatap ke arah Dara dan juga Suaminya yang sedang tersenyum bahagia menikmati acara yang masih berjalan.
Acara berlanjut dengan ramah tamah dengan tamu undangan, Fika dan Rama sudah berada di dalam antrean untuk memberikan selamat kepada kedua mempelai.
“Fika... Rama...”
Rama dan Fika berjalan mendekat ke arahnya, ia pun memeluk Fika sementara Rama berjabat tangan dengan mempelai Pria sambil mengucapkan selamat.
“Sayang, ini dua orang yang pernah aku ceritain ke kamu.” Ucap Dara.
“Oalah, kalian yang ketemu di SMA itu?” Tanya Suaminya.
Rama mengangguk, “Kak Dara cerita apa ya soal kita?”
“Kalian ini temen dari TK sampai terakhir ketemu Dara berarti SMA, dan sekarang kalian udah kuliah atau udah selesai dan masih temenan juga.” Jawabnya.
“Oh, iya bener.” Sahut Rama.
“Kak Dara, selamat ya atas pernikahannya. Semoga semua yang terbaik buat Kak Dara dan Suami. Aku seneng banget ngeliatnya dari tadi.” Ucap Fika.
“Terima kasih ya Fik...” Dara membisik, “semoga kamu juga bisa bahagia ya.”
Fika mengangguk secara perlahan, secara bergantian mereka mengucapkan selamat. Mereka sempat berfoto bersama beberapa kali, hingga akhirnya Rama dan Fika turun meninggalkan mereka berdua.
“Kamu mau makan apa Fik?” Tanya Rama.
“Gimana kalau kita makan itu...”
Fika menunjuk ke salah satu pilihan makanan, ia meraih tangan Rama lalu menggenggamnya dengan erat.
“...Ayo Ram, nanti keburu ramai.” Ajak Fika.
Rama pun mengikuti ke mana Fika mengajaknya. Mereka mengambil dua porsi makanan lalu sedikit menjauh dari tempat tersebut. Secara perlahan mereka mulai makan, sesekali mereka melihat ke arah sekeliling.
“Temen-temennya Kak Dara sama Suaminya banyak juga ya Ram.” Ucap Fika.
“Wajar aja lah Fik...”
Rama melihat ada makanan yang tersisa di bibir Fika, ia pun mengusap makanan tersebut dengan jari tangannya.
“...mereka emang kerja di tempat yang banyak kenalan.” Jawab Rama.
Beberapa saat berlalu, mereka pun akhirnya meninggalkan gedung dan kembali masuk ke dalam mobil. Setelah menunggu antrean ke luar, mobil pun bergerak untuk kembali ke Rumah pada malam hari ini.
“Ram, kalau kamu nikah bakalan ngundang banyak orang ngga?” Tanya Fika.
“Aku belum kepikiran sih...” Rama menatap Fika, “kamu udah ngebayangin gimana?”
Fika berfikir sejenak, “Aku tuh ngebayanginnya kalau nanti aku nikah, yang dateng jangan banyak-banyak. Udah gitu nikahnya ngga di gedung, tapi lebih ke arah pesta kebun gitu yang ngga terlalu kaku. Udah gitu bajunya bebas mau pakai apa aja, jadi lebih santai aja.”
Rama mengangguk menanggapi penjelasan Fika. Mobil terus melaju di antara keramaian pada malam hari, hingga membutuhkan beberapa waktu tambahan untuk mereka kembali tiba.
Rama ke luar dari mobil setelah memarkirkan mobilnya di depan garasi, ia berjalan masuk mengikuti Fika yang sudah terlebih dahulu masuk. Ia melepas sepatu lalu duduk di bangku halaman depan.
“Rama...” Teriak Fika dari dalam, “tolongin bentar deh.”
“Baru juga duduk...” Rama bangun dari duduknya, “iya bentar.”
Rama masuk ke dalam setelah menutup pintu. Ia berjalan dengan santai menaiki anak tangga menuju kamar Fika dengan pintu yang sedikit terbuka.
“Kenapa Fik?” Tanya Rama dari luar.
“Masuk aja Ram.” Sahut Fika.
“Kamu kan lagi ganti baju.” Ucap Rama.
“Itu dia masalahnya...”
Rama berfikir sejenak, kemudian ia masuk ke dalam kamar dan menemukan Fika yang sedang menghadap ke arah cermin.
“Kenapa Fik?” Tanya Rama sekali lagi.
“Ristleting kebaya aku nyangkut Ram, tolong dong.” Ucapnya.
Rama melihat ke arah ritsleting yang ada di belakang, benar saja ada kain yang menyangkut di antara gerigi hingga menyebabkan sulit untuk terbuka. Rama menarik ritsleting ke atas untuk memeriksa kain yang tersangkut, ia sedikit menarik kebaya Fika lalu menurunkan ritsleting dengan cepat. Kain yang semula menyangkut pun berhasil ke luar hingga ritsleting mudah untuk ditarik hingga ke bawah.
“Nah, udah bisa nih Fik.” Ucap Rama.
“Makasih ya Ram...” Fika membalikkan badanya ke arah Rama, “kamu tunggu di balkon aja.”
Rama berjalan ke luar menuju balkon sementara Fika bergegas menuju kamar mandi untuk mengganti pakaian. Beberapa saat berlalu, Fika ke luar dari dalam kamar mandi dan menemukan Rama yang sedang memainkan handphone di balkon.
“Kamu lagi ngapain Ram?” Tanya Fika.
Rama kembali masuk, “Aku lagi baca-baca aja apa yang lagi ramai sekarang, ini contohnya kayak ada orang yang tiba-tiba ngomongin tentang persahabatan.”
“Maksudnya gimana?...” Fika duduk di atas tempat tidur, “coba ceritain Ram aku mau denger.”
Rama pun duduk di samping Fika, “Jadi katanya tuh ngga ada persahabatan yang murni antara laki-laki dan perempuan, salah satu dari mereka pasti ada yang menaruh rasa. Tapi, banyak juga yang komentar kalau mereka bisa sahabatan murni tanpa ada perasaan satu sama lain. Eh malah adu argumen ngga sehat, jadinya ramai deh.”
“Tapi jujur deh Ram...”
Rama menatap ke arah Fika.
“...kamu pernah ngga sih suka sama aku?”
*
“Apakah kamu pernah menyukai sahabatmu sendiri?” Tanya Rama.
“Pernah...”
Rama menatap ke arah Fika dengan heran.
“...maksudnya bukan kamu. Dulu pas SD tuh aku pernah punya sahabat juga, kamu inget sama yang namanya Jehan ngga?” Ucap Fika.
“Oh Jehan Galah?” Tanya Rama.
Fika sempat tertawa, “Iya Jehan Galah, yang orangnya tinggi banget kayak galah. Dulu aku nganggep dia itu sahabat aku juga, dan aku pernah suka sama dia. Tapi ternyata ya cuma suka-sukaan doang bukan yang serius banget.”
Rama mengangguk pelan.
“Kalau kamu sendiri pernah suka sama sahabat kamu? Seinget aku tuh kamu punya sahabat lain selain aku pas SD juga, si Felin.” Ucap Fika.
“Felin bukan sahabat aku lah Fik, itu cuma temen biasa aja. Definisi sahabat buat aku tuh bukan cuma sekedar orang yang bisa diajak cerita ini itu doang.” Jawab Rama.
“Terus definisi sahabat buat kamu apa?” Tanya Fika.
Rama merebahkan dirinya sambil membentangkan tangan. Fika pun ikut merebahkan diri dan menjadikan lengan Rama menjadi bantalan kepalanya.
“Sahabat itu tuh orang yang bisa kita percaya. Bukan cuma cerita aja, tapi janji-janji dan ucapannya juga bisa kita percaya. Terkadang orang-orang terlalu mudah untuk menjadikan seseorang jadi sahabat...”
Fika menatap ke arah Rama.
“...hanya karena cuma gampang di ajak cerita. Padahal buat aku, sahabat lebih dari itu.” Jelas Rama.
“Kalau dari penjelasan kamu, dulu berarti Jehan Galah bukan sahabat aku sih.” Ucap Fika.
“Ya kamu ngga perlu setuju sama apa yang jadi pendapat aku, kamu juga boleh punya pendapat lain. Kalau semua orang satu pemikiran, yang ada dunia ini malah jadi hambar.” Jawab Rama.
“Bukannya karena beda ini kita jadi ngga hidup rukun Ram?” Tanya Fika.
“Rukun atau ngga sih bukan karena beda Fik...”
Rama menatap ke arah Fika yang masih memandangnya.
“...tapi karena kita ngga bisa nerima perbedaan keberagaman itu, makanya kesannya jadi ngga rukun karena beda.” Jawab Rama.
“Kadang aku suka mikir deh Ram, kenapa kamu bisa aja jawab pertanyaan yang menurut aku susah dan jawabannya itu bisa bikin aku puas dan ngga akan nanya lagi.” Tanya Fika.
Rama berfikir sejenak, “Ngga tau sih, apa yang ada di kepala aja langsung aku ucapin. Ngga selalu bener juga sih, kadang kamu juga protes sama apa yang aku ucapin.”
“Bener juga sih.” Ucap Fika.
Rama menatap langit-langit kamar sementara Fika masih memandanginya dalam diam. Terdengar suara hujan cukup deras yang mulai turun pada malam hari ini, jendela yang terbuka membuat mereka dapat mendengar hujan dengan sangat jelas.
“Ram...”
Suara Fika yang pelan tidak membuat Rama menatapnya karena tertutup dengan suara hujan dari luar.
“...yang aku maksud itu kamu.”
Suara petir pun terdengar dengan jelas bersama kilatan cahaya yang nampak di pandangan mata, menghapus semua kejujuran yang terungkap dari hati yang paling dalam.
“Kamu kenapa Ram?” Tanya Fika heran.
“Terakhir aku liat kamu dandan kayak gini tuh SMA, pas kita perpisahan. Pangling aja sih.” Jawab Rama.
Fika berdandan dengan kebaya yang ia senadakan warnanya dengan kemeja batik yang Rama kenakan. Kebaya berlengan pendek berwarna merah dengan kain batik sebagai bawahan, rambutnya yang biasa terurai panjang kini terikat menyimpul, dan heels yang terakhir ia kenakan saat SMA berhasil membuat Rama pangling melihatnya.
“Aneh ya Ram?” Tanya Fika.
“Cantik...”
Fika merona mendengar apa yang diucapkan Rama.
“...tapi dandannya lama, ayo buruan nanti kita bisa terlambat.” Ucap Rama.
Fika tersenyum lalu memukul lengan Rama pelan, kemudian mereka meninggalkan rumah menuju mobil Rama yang terparkir di tepi jalan. Mereka masuk ke dalam mobil dan mobil pun bergerak meninggalkan rumah pada sore hari ini.
Fika menyalakan radio untuk mendengarkan lagu selagi Rama fokus untuk mengemudi. Ia kembali membaca undangan yang diberikan Dara beberapa hari lalu.
“Kak Dara ternyata anak tunggal juga.” Ucap Fika.
“Emang iya ya?” Tanya Rama.
Fika menunjukkan undangan tersebut, “Aku juga baru tau pas baca undangan ini lagi. Aku kira dia itu anak pertama, soalnya pas denger dia ngomong kayak lagi ngomong sama Kakak aku sendiri. Padahal aku anak tunggal juga.”
“Bagus dong kalau dia bisa kayak gitu, dan harusnya kamu juga bisa kayak dia.” Ucap Rama.
Fika mengangguk setuju. Jalanan di akhir pekan pada sore hari sudah pasti tidak akan bersahabat, sudah terjadi penumpukan kendaraan entah sedari kapan.
“Tuh kan, untung aja kita udah berangkat.” Ucap Rama.
Fika hanya bisa tersenyum ke arah Rama. Beberapa saat berlalu hingga akhirnya mobil masuk ke dalam sebuah area gedung. Mobil sudah terparkir di antara deretan mobil-mobil yang lain, Fika dan Rama ke luar dari dalam mobil. Fika menyempatkan diri untuk melihat ke arah kaca jendela, memastikan semuanya baik-baik saja.
“Udah cantik Fik.” Sahut Rama.
Fika kembali tersenyum kepada Rama. Mereka pun berjalan berdampingan untuk masuk ke dalam gedung. Antrean kecil terjadi di pintu masuk untuk mengisi daftar kehadiran, akhirnya Rama mengisi daftar kehadiran di sebuah buku besar. Fika menerima cindera mata yang diberikan oleh penerima tamu.
“Terima kasih.” Ucap Fika.
“Kalian berdua cocok banget, apa emang udah menikah?” Tanya salah satu penerima tamu.
“Cocok?” Tanya Fika.
“Iya, kalian berdua cocok banget.” Jawabnya.
“Terima kasih...” Rama menggenggam tangan Fika “kami masuk dulu ya.”
Mereka masuk ke dalam gedung bergandengan tangan, Fika hanya bisa mengikuti apa yang dilakukan Rama. Mereka sedang melihat-lihat ke arah sekeliling, kemudian mereka berjalan menuju meja yang belum terisi. Belum sempat mereka mengisi meja tersebut, sudah ada orang lain yang lebih dulu mengisi meja kosong itu. Fika menarik tangan Rama untuk menghentikan langkahnya hingga ia berbalik menatap Fika.
“Berdiri aja Ram, nggapapa.” Ucap Fika.
Rama mengangguk, bersamaan dengan itu pula terdengar suara lagu yang mengiringi acara pernikahan. Terdengar riuh tamu undangan ketika mempelai pria dan wanita memasuki gedung, Dara dan Suaminya berjalan dengan pelan melewati tamu undangan yang memberikan sambutan kepada mereka.
Rama tersadar bahwa ia masih menggenggam tangan Fika, ia ingin bertepuk tangan ketika Dara dan Suaminya lewat di hadapan mereka. Dara dan Suaminya pun melewati mereka, ia nampak tersenyum bahagia begitu juga dengan suaminya. Rama pun melambaikan tangannya mengikuti Fika, ia membatalkan niatnya untuk bertepuk tangan. Genggaman Fika tidak membiarkan tangannya terlepas begitu saja.
Dara dan Suaminya sudah berdiri di altar pernikahan, seorang pendeta pun berdiri di antara mereka. Satu demi satu janji pernikahan diucapkan secara bergantian, mengikat mereka dalam janji suci untuk sehidup semati.
“Saya, Alexandria Dara Montera. Saya memilih engkau menjadi suami saya. Saya berjanji setia kepadamu dalam untung dan malang, di waktu sehat dan sakit, dan saya mau mencintai dan menghormati engkau seumur hidup.” Ucap Dara.
“Silahkan untuk memasangkan cincin di jari suami dan istri anda..”
Dara dan Suaminya saling memasangkan cincin di jari manis mereka, kemudian mereka menutup acara janji pernikahan dengan berciuman. Tepuk tangan tamu undangan pun datang silih berganti, Rama pun tersenyum lalu menatap ke arah Fika.
“Fik, kamu...”
Fika menatap ke arah Rama, ia tersenyum dengan air mata yang menetes di pipinya. Dengan cepat Rama mengusap air mata Fika dengan jari tangannya, Fika pun memeluk Rama.
“Ram, kamu inget sama janji kamu kan?” Tanya Fika.
“Janji ya, kapan pun aku butuh kamu akan selalu ada...”
Rama mengangguk dengan pasti.
“...sampai aku menikah nanti, kamu akan selalu ada buat aku?” Tanya Fika.
“Janji.”
Rama mendekap Fika dengan hangat, ia mengusap punggung Fika secara perlahan-lahan. Mereka kembali menatap ke arah Dara dan juga Suaminya yang sedang tersenyum bahagia menikmati acara yang masih berjalan.
Acara berlanjut dengan ramah tamah dengan tamu undangan, Fika dan Rama sudah berada di dalam antrean untuk memberikan selamat kepada kedua mempelai.
“Fika... Rama...”
Rama dan Fika berjalan mendekat ke arahnya, ia pun memeluk Fika sementara Rama berjabat tangan dengan mempelai Pria sambil mengucapkan selamat.
“Sayang, ini dua orang yang pernah aku ceritain ke kamu.” Ucap Dara.
“Oalah, kalian yang ketemu di SMA itu?” Tanya Suaminya.
Rama mengangguk, “Kak Dara cerita apa ya soal kita?”
“Kalian ini temen dari TK sampai terakhir ketemu Dara berarti SMA, dan sekarang kalian udah kuliah atau udah selesai dan masih temenan juga.” Jawabnya.
“Oh, iya bener.” Sahut Rama.
“Kak Dara, selamat ya atas pernikahannya. Semoga semua yang terbaik buat Kak Dara dan Suami. Aku seneng banget ngeliatnya dari tadi.” Ucap Fika.
“Terima kasih ya Fik...” Dara membisik, “semoga kamu juga bisa bahagia ya.”
Fika mengangguk secara perlahan, secara bergantian mereka mengucapkan selamat. Mereka sempat berfoto bersama beberapa kali, hingga akhirnya Rama dan Fika turun meninggalkan mereka berdua.
“Kamu mau makan apa Fik?” Tanya Rama.
“Gimana kalau kita makan itu...”
Fika menunjuk ke salah satu pilihan makanan, ia meraih tangan Rama lalu menggenggamnya dengan erat.
“...Ayo Ram, nanti keburu ramai.” Ajak Fika.
Rama pun mengikuti ke mana Fika mengajaknya. Mereka mengambil dua porsi makanan lalu sedikit menjauh dari tempat tersebut. Secara perlahan mereka mulai makan, sesekali mereka melihat ke arah sekeliling.
“Temen-temennya Kak Dara sama Suaminya banyak juga ya Ram.” Ucap Fika.
“Wajar aja lah Fik...”
Rama melihat ada makanan yang tersisa di bibir Fika, ia pun mengusap makanan tersebut dengan jari tangannya.
“...mereka emang kerja di tempat yang banyak kenalan.” Jawab Rama.
Beberapa saat berlalu, mereka pun akhirnya meninggalkan gedung dan kembali masuk ke dalam mobil. Setelah menunggu antrean ke luar, mobil pun bergerak untuk kembali ke Rumah pada malam hari ini.
“Ram, kalau kamu nikah bakalan ngundang banyak orang ngga?” Tanya Fika.
“Aku belum kepikiran sih...” Rama menatap Fika, “kamu udah ngebayangin gimana?”
Fika berfikir sejenak, “Aku tuh ngebayanginnya kalau nanti aku nikah, yang dateng jangan banyak-banyak. Udah gitu nikahnya ngga di gedung, tapi lebih ke arah pesta kebun gitu yang ngga terlalu kaku. Udah gitu bajunya bebas mau pakai apa aja, jadi lebih santai aja.”
Rama mengangguk menanggapi penjelasan Fika. Mobil terus melaju di antara keramaian pada malam hari, hingga membutuhkan beberapa waktu tambahan untuk mereka kembali tiba.
Rama ke luar dari mobil setelah memarkirkan mobilnya di depan garasi, ia berjalan masuk mengikuti Fika yang sudah terlebih dahulu masuk. Ia melepas sepatu lalu duduk di bangku halaman depan.
“Rama...” Teriak Fika dari dalam, “tolongin bentar deh.”
“Baru juga duduk...” Rama bangun dari duduknya, “iya bentar.”
Rama masuk ke dalam setelah menutup pintu. Ia berjalan dengan santai menaiki anak tangga menuju kamar Fika dengan pintu yang sedikit terbuka.
“Kenapa Fik?” Tanya Rama dari luar.
“Masuk aja Ram.” Sahut Fika.
“Kamu kan lagi ganti baju.” Ucap Rama.
“Itu dia masalahnya...”
Rama berfikir sejenak, kemudian ia masuk ke dalam kamar dan menemukan Fika yang sedang menghadap ke arah cermin.
“Kenapa Fik?” Tanya Rama sekali lagi.
“Ristleting kebaya aku nyangkut Ram, tolong dong.” Ucapnya.
Rama melihat ke arah ritsleting yang ada di belakang, benar saja ada kain yang menyangkut di antara gerigi hingga menyebabkan sulit untuk terbuka. Rama menarik ritsleting ke atas untuk memeriksa kain yang tersangkut, ia sedikit menarik kebaya Fika lalu menurunkan ritsleting dengan cepat. Kain yang semula menyangkut pun berhasil ke luar hingga ritsleting mudah untuk ditarik hingga ke bawah.
“Nah, udah bisa nih Fik.” Ucap Rama.
“Makasih ya Ram...” Fika membalikkan badanya ke arah Rama, “kamu tunggu di balkon aja.”
Rama berjalan ke luar menuju balkon sementara Fika bergegas menuju kamar mandi untuk mengganti pakaian. Beberapa saat berlalu, Fika ke luar dari dalam kamar mandi dan menemukan Rama yang sedang memainkan handphone di balkon.
“Kamu lagi ngapain Ram?” Tanya Fika.
Rama kembali masuk, “Aku lagi baca-baca aja apa yang lagi ramai sekarang, ini contohnya kayak ada orang yang tiba-tiba ngomongin tentang persahabatan.”
“Maksudnya gimana?...” Fika duduk di atas tempat tidur, “coba ceritain Ram aku mau denger.”
Rama pun duduk di samping Fika, “Jadi katanya tuh ngga ada persahabatan yang murni antara laki-laki dan perempuan, salah satu dari mereka pasti ada yang menaruh rasa. Tapi, banyak juga yang komentar kalau mereka bisa sahabatan murni tanpa ada perasaan satu sama lain. Eh malah adu argumen ngga sehat, jadinya ramai deh.”
“Tapi jujur deh Ram...”
Rama menatap ke arah Fika.
“...kamu pernah ngga sih suka sama aku?”
*
“Apakah kamu pernah menyukai sahabatmu sendiri?” Tanya Rama.
“Pernah...”
Rama menatap ke arah Fika dengan heran.
“...maksudnya bukan kamu. Dulu pas SD tuh aku pernah punya sahabat juga, kamu inget sama yang namanya Jehan ngga?” Ucap Fika.
“Oh Jehan Galah?” Tanya Rama.
Fika sempat tertawa, “Iya Jehan Galah, yang orangnya tinggi banget kayak galah. Dulu aku nganggep dia itu sahabat aku juga, dan aku pernah suka sama dia. Tapi ternyata ya cuma suka-sukaan doang bukan yang serius banget.”
Rama mengangguk pelan.
“Kalau kamu sendiri pernah suka sama sahabat kamu? Seinget aku tuh kamu punya sahabat lain selain aku pas SD juga, si Felin.” Ucap Fika.
“Felin bukan sahabat aku lah Fik, itu cuma temen biasa aja. Definisi sahabat buat aku tuh bukan cuma sekedar orang yang bisa diajak cerita ini itu doang.” Jawab Rama.
“Terus definisi sahabat buat kamu apa?” Tanya Fika.
Rama merebahkan dirinya sambil membentangkan tangan. Fika pun ikut merebahkan diri dan menjadikan lengan Rama menjadi bantalan kepalanya.
“Sahabat itu tuh orang yang bisa kita percaya. Bukan cuma cerita aja, tapi janji-janji dan ucapannya juga bisa kita percaya. Terkadang orang-orang terlalu mudah untuk menjadikan seseorang jadi sahabat...”
Fika menatap ke arah Rama.
“...hanya karena cuma gampang di ajak cerita. Padahal buat aku, sahabat lebih dari itu.” Jelas Rama.
“Kalau dari penjelasan kamu, dulu berarti Jehan Galah bukan sahabat aku sih.” Ucap Fika.
“Ya kamu ngga perlu setuju sama apa yang jadi pendapat aku, kamu juga boleh punya pendapat lain. Kalau semua orang satu pemikiran, yang ada dunia ini malah jadi hambar.” Jawab Rama.
“Bukannya karena beda ini kita jadi ngga hidup rukun Ram?” Tanya Fika.
“Rukun atau ngga sih bukan karena beda Fik...”
Rama menatap ke arah Fika yang masih memandangnya.
“...tapi karena kita ngga bisa nerima perbedaan keberagaman itu, makanya kesannya jadi ngga rukun karena beda.” Jawab Rama.
“Kadang aku suka mikir deh Ram, kenapa kamu bisa aja jawab pertanyaan yang menurut aku susah dan jawabannya itu bisa bikin aku puas dan ngga akan nanya lagi.” Tanya Fika.
Rama berfikir sejenak, “Ngga tau sih, apa yang ada di kepala aja langsung aku ucapin. Ngga selalu bener juga sih, kadang kamu juga protes sama apa yang aku ucapin.”
“Bener juga sih.” Ucap Fika.
Rama menatap langit-langit kamar sementara Fika masih memandanginya dalam diam. Terdengar suara hujan cukup deras yang mulai turun pada malam hari ini, jendela yang terbuka membuat mereka dapat mendengar hujan dengan sangat jelas.
“Ram...”
Suara Fika yang pelan tidak membuat Rama menatapnya karena tertutup dengan suara hujan dari luar.
“...yang aku maksud itu kamu.”
Suara petir pun terdengar dengan jelas bersama kilatan cahaya yang nampak di pandangan mata, menghapus semua kejujuran yang terungkap dari hati yang paling dalam.
0
Kutip
Balas