- Beranda
- Stories from the Heart
JANJI? (MINI SERIES)
...
TS
beavermoon
JANJI? (MINI SERIES)

Pernahkah kalian jatuh cinta? Pernahkah kalian menyembunyikan perasaan kepada orang yang kalian suka? Kenapa kalian menyembunyikan hal itu? Bukankah lebih baik untuk mengutarakannya?
Fika dan Rama akan menemani perjalanan kalian dalam mencari tahu jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas. Bersyukurlah jika kalian dapat menemukan jawabannya, namun jika tidak?
Spoiler for Episode:
Diubah oleh beavermoon 16-06-2022 19:03
ndoro_mant0 dan 7 lainnya memberi reputasi
4
3.3K
Kutip
40
Balasan
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
beavermoon
#24
Episode 21
Spoiler for Episode 21:
Fika sedang berada di halaman depan Gedung Jurusan, ia sedang duduk di anak tangga bersama Dosen pembimbingnya yang sedang memeriksa lembaran-lembaran kertas yang sudah Fika berikan.
“...Tulisannya udah rapi, materinya udah bagus, mungkin kamu butuh tambahan buat referensi pembanding aja Fik. Kalau dilihat-lihat ada yang kurang dari pembandingnya.” Jelas Dosen.
“Pembandingnya mending disatu bidang yang sama biar relevan atau bidang yang beda Bu?” Tanya Fika.
“Ngga mesti satu bidang, kamu bisa narik satu garis lagi kalau emang kejadiannya seperti itu. Kalau semisal kamu cari yang sama biar relevan, nilai laporan kamu akan semakin kurang karena ada pembanding lain...”
Fika mencatat di buku apa yang ia dengar.
“...kalau saran Ibu sih mending yang beda aja Fik, bikin variabel baru.” Jawab Dosen.
Dosen mengembalikan kertas tersebut, Fika memasukkan kertas tersebut ke dalam tas yang ia kenakan. Dosen mengambil sebatang rokok dari bungkusnya lalu menyalakan rokok tersebut.
“Ibu tertarik baca tulisan kamu...”
Fika menatap ke arah Dosen tersebut.
“...ada potensi besar buat masuk ke salah satu rubrik kenalan Ibu di Jepang. Kalau kamu mau dan bersedia, Ibu bisa bantuin kamu.” Ucap Dosen.
“Serius Bu? Kayaknya tulisan saya biasa aja, malah tulisan Tessa lebih menjual menurut saya.” Sahut Fika.
“Ibu setuju soal tulisan Tessa yang lebih menjual, tapi kamu liat deh ke sana...”
Fika menatap ke arah di mana Dosen menunjuk ke arah bunga-bunga yang sengaja diletakkan di tepi jalan. Bunga-bunga itu berfungsi untuk memperindah Gedung Jurusan.
“...mana menurut kamu bunga yang paling bagus?” Tanya Dosen.
Fika melihat dengan seksama, “Saya suka yang warna merah Bu, keliatannya paling bagus di antara yang lain.”
“Terus menurut kamu bunga-bunga selain yang merah ngga berfungsi sebagaimana mestinya karena ngga bagus?...”
Fika kembali menatap ke arah Dosen yang sudah terlebih dahulu menatap ke arahnya. Dosen mengembuskan asap rokok dari mulutnya lalu tersenyum kepada Fika.
“...Ada kalanya kita ngga sadar kalau potensi sekecil apapun itu ada, sayangnya semuanya tertutup dengan yang punya potensi besar. Bunga yang merah punya potensi paling besar, terus bunga kuning di sampingnya juga punya potensi. Sama kayak kamu yang punya potensi di tempatnya, jadi jangan terlalu mikirin tulisan kamu ngga sebagus tulisan orang lain.” Jelas Dosen.
Fika mengangguk beberapa kali setelah mendengar penjelasannya. Dosen mematikan rokok ke dalam tempat sampah kemudian berdiri, Fika pun ikut berdiri setelahnya.
“Mungkin saat ini kamu masih ragu, kalau suatu saat kamu berubah pikiran kabarin Ibu aja.” Ucap Dosen.
Fika mengangguk, Dosen tersebut meninggalkan Fika untuk kembali masuk ke dalam Gedung. Fika berjalan menuju parkiran di mana mobilnya berada, ia sempat mengeluarkan handphoneuntuk sekedar melihat-lihat. Ia menemukan sebuah pesan masuk dari Rama.
“Kamu selesai jam berapa? Aku tunggu di Coffee Shop pertigaan.”
Fika masuk ke dalam mobil lalu ia meninggalkan Kampus pada siang hari ini. Ia mencoba menghubungi Rama untuk memastikan apakah ia masih berada di sana atau tidak.
“Halo, kamu di mana?” Tanya Rama.
“Aku baru ke luar dari Gedung, kamu masih di sana Ram?” Tanya Fika.
“Siapa Ram?...”
Fika mendengar ada suara orang lain yang sedang bersama dengan Rama.
“Kamu ke sini ya, ada yang mau aku kenalin.” Ucap Rama.
Rama memutuskan panggilannya begitu saja. Fika nampak kebingungan dengan apa yang dimaksud dengan Rama mengajaknya berkenalan dengan seseorang yang entah siapa.
“Pacarnya? Ngga mungkin.” Ucap Fika seorang diri.
Jalanan mulai memadat tidak seperti biasanya hingga membuat mobil yang dikendarai Fika bergerak secara perlahan-lahan. Kuku jari tangannya mengetuk setir mobil beberapa kali, Fika nampak tidak sabar untuk segera tiba.
“Apa beneran pacarnya? Jangan-jangan selama ini dia bohong kalau ngga deket sama siapa-siapa...”
Fika gusar dengan apa yang ada di dalam pikirannya saat ini.
“...jadi ciuman kemarin percuma? Ini kenapa jalanan macet sih, ngga kayak biasanya.” Ucapnya seorang diri.
Beberapa saat diperjalanan, akhirnya Fika memarkirkan mobilnya di tempat yang sudah dijanjikan. Setelah ke luar dari mobil, ia melihat motor Rama yang sudah terparkir di sana. Fika beranjak masuk, ia dapat melihat Rama yang sedang duduk di ruang terbuka.
Di hadapannya sudah duduk perempuan yang sedang seru berbincang dengannya, secara perlahan Fika berjalan mendekat ke arah mereka. Rama melihat kedatangan Fika, ia melambaikan tangan seraya tersenyum. Namun, perempuan yang ada di depannya tidak membalikkan badan hingga Fika belum mengetahui siapa dia.
“Fik, aku mau kenalin ke kamu...”
Rama menarik tangan Fika, ia pun berdiri di hadapan perempuan tersebut.
“Kak Dara...”
Dara tersenyum menatap Fika, ia bangun dari duduknya lalu mereka berpelukan. Dara melepas pelukannya, namun Fika masih menggenggam tangannya seperti tidak percaya.
“Kak Dara berubah banget penampilannya, aku sampai ngga ngenalin tadi.” Ucap Fika.
Penampilan Dara memang berubah jika dibandingkan beberapa tahun lalu, saat ini rambutnya dibiarkan tumbuh panjang hingga sepunggung dan hampir sama dengan panjang rambut Fika.
“Kayaknya aku cuma panjangin rambut aja, sisanya masih sama Fik. Gimana kabar kamu?” Ucapnya.
“Baik kok, Kak Dara sendiri gimana? Kok bisa aja di sini?” Tanya Fika penasaran.
“Eh, kamu mau mesen minum ngga?” Tanya Rama.
“Pesenin dong Ram, kayak biasa aja.” Ucap Fika.
Rama memandang malas ke arahnya, kemudian ia bangun dari duduk lalu meninggalkan mereka untuk memesan minuman ke dalam.
“Masih Fik?” Tanya Dara.
FIka tahu ke mana arah pertanyaan Dara, karena Dara menjadi salah satu orang yang tahu tentang perasaannya terhadap Rama. Ia pun mengangguk secara perlahan.
“Yang bisa aku kasih tau ke Kak Dara sih, aku udah pernah nyatain perasaan aku ke Rama...”
Dara nampak terkejut dengan ucapan Fika.
“...sayangnya saat itu Rama lagi tidur Kak. Setelah aku nyatain perasaan aku ke dia, aku sempet cium dia.” Ucap Fika.
“Serius kamu cium dia?” Tanya Dara terkejut.
Fika kembali mengangguk, “Setelah itu ngga ada yang berubah antara aku sama dia. Sampai detik ini semuanya berjalan normal seperti biasa aja Kak.”
“Wah, kamu bener-bener ya...”
Rama kembali datang sekembalinya memesan minuman dari dalam, Fika memberikan isyarat dengan mata kepada Dara bahwa Rama sudah kembali.
“...Jadi aku ke sini itu karena ada beberapa urusan lah.” Jawab Dara.
Rama kembali duduk di samping Fika.
“Gimana skripsi kamu Fik?” Tanya Dara.
“Sejauh ini sih baik-baik aja Kak, cuma butuh beberapa tambahan referensi aja. Eh iya, Kak Dara di sini sampai kapan Kak? Kalau lama kayaknya bisa kita ajak kemah.” Ucap Fika.
Rama mengangguk, “Bener juga, mumpung masih ada waktu buat santai sebelum bener-bener sibuk nanti.”
“Jadi kalau aku boleh cerita, tujuan aku ke sini itu mau ngasih sesuatu ke kalian. Kalian bukan orang asing buat aku, jadi aku harus ngasih ke kalian.” Jawabnya.
Dara membuka tas yang ia bawa, kemudian ia mengambil barang lalu meletakkan barang tersebut di hadapan Rama dan juga Fika. Mereka mendekat untuk melihat apa yang tertulis di sana.
“Kak Dara mau nikah?” Tanya Rama.
Mereka menatap ke arah Dara secara bersamaan, Dara hanya bisa tersenyum untuk menjawab tatapan mereka. Fika kembali bangun dari duduknya untuk memeluk Dara, ia senang mendapatkan kabar bahagia setelah beberapa tahun tidak bertemu.
“Selamat ya Kak Dara.” Ucap Fika.
“Makasih ya Fik.” Jawabnya.
Rama masih memandangi undangan yang ada di hadapannya.
“Bentar deh, jadi Kak Dara bakalan nikah di sini?” Tanya Rama.
Dara mengangguk, “Hari Minggu besok aku akan nikah. Mungkin emang semesta mendukung kali ya. Rencananya aku mau nikah di sini, dan ternyata aku dipindah tugas juga ke sini.”
“Siapa Kak calon suaminya? Satu bidang sama Kak Dara juga?” Tanya Fika.
“Ngga sih, dia itu salah satu pasien yang pernah aku rawat beberapa tahun lalu.” Jawab Dara.
“Serius? Kok romantis banget sih.” Ucap Fika.
“Romantis?” Tanya Rama heran.
“Iya lah Ram. Bayangin aja, gimana orang yang dulu pernah ngerawat kamu sekarang jadi orang yang akan hidup berdampingan dengan kamu? Romantis tau.” Jelas Fika.
“Aku setuju kalau itu disebut takdir, tapi kalau romantis kayaknya ngga deh Fik.” Sanggah Rama.
“Rama, aku jelasin nih ya. Romantis itu udah bukan lagi tentang ngasih bunga, ngasih hadiah, atau pegangan tangan ke mana-mana.Tapi, romantis itu lebih ke arah gimana kita bisa apresiasi orang yang udah pernah berpengaruh sama hidup kita...”
Dara tersenyum melihat mereka berdua.
“...kayak calon suaminya Kak Dara setelah dia dirawat sama Kak Dara, dia masih nyari Kak Dara untuk berhubungan serius hingga akhirnya ngajak nikah. Padahal dia bisa dengan mudahnya nyari cewe yang deket. Itu yang disebut romantis.” Jelas Fika.
“Itu tetep namanya takdir Fik. Kita ngga pernah tau apa calon suaminya Kak Dara pernah berhubungan sama cewe lain sebelum ketemu sama Kak Dara lagi apa ngga.” Sambut Rama.
“Udah udah...”
Rama dan Fika kembali menatap Dara.
“...apapun itu sebutannya, aku bisa terima kok. Kalian kenapa jadi berdebat serius kayak gini.” Ucap Dara.
Fika tersenyum malu mendengar ucapan Dara, kemudian ia memukul lengan Rama pelan seperti biasa. Minuman yang dipesan pun sudah tersaji di meja mereka.
“Kalian bisa dateng atau ada acara lain?” Tanya Dara.
“Bisa kok Kak, sekalipun ada acara lain juga pasti bisa dateng. Lagian tempatnya juga deket kok.” Jawab Fika.
Rama mengangguk mengikuti jawaban Fika, tak lama berselang handphonenya berdering. Rama menjawab panggilan tersebut tanpa menjauh dari mereka berdua. Tidak membutuhkan waktu lama untuk menyudahi panggilan tersebut.
“Kayaknya aku harus ninggalin kalian berdua, ada panggilan mendadak dari Kampus...” Rama bangun dari duduk, “Kak Dara aku tinggal ya, minumannya udah aku bayarin semua.”
“Loh serius Ram?” Tanya Dara.
Rama mengangguk. “Fik, aku tinggal ya.”
Fika mengangguk, Rama berjalan menjauh dari mereka lalu tak lagi nampak dari pandangan.
“Jadi ngga ada apa-apa setelah kejadian itu Fik?” Tanya Dara.
Fika mengangguk, “Aku pikir akan ada yang berubah antara aku sama dia Kak, kenyataannya semua berjalan begitu aja. Aku sempet mikir, apa iya aku harus nanya Rama soal kejadian itu. Tapi aku ngga berani.”
“Aku jadi penasaran, apa sebenernya dia tau ya Fik? Tapi dia pura-pura selama ini?” Tanya Dara penasaran.
Fika menghela nafasnya, “Rama tetep Rama Kak, ngga ada sedikit pun yang berubah.”
“Kamu juga ngga berubah kan masih suka sama dia?” Tanya Dara.
Fika tersenyum menjawab pertanyaan tersebut.
“Aku cuma bisa dukung apa yang menurut kamu bener Fik, karena semuanya cuma kamu yang tau dan kamu yang ngerasain. Apapun hasilnya nanti, aku akan dukung kamu.” Ucap Dara.
Fika kembali tersenyum untuk ke sekian kalinya, mereka melanjutkan perbincangan santai setelah beberapa tahun tidak bertemu. Sore menjelang, Fika sudah kembali mengendarai mobil setelah mengantarkan Dara. Ia sedang dalam perjalanan pulang menuju Rumah.
Ting! Ia sempat melihat pesan di handphone namun tidak membalasnya, ia melanjutkan perjalanan di sore yang akan segera berganti menjadi malam. Akhirnya Fika tiba di Rumah, ia memasukkan mobil ke dalam garasi. Tak lama berselang Rama datang mengendarai motornya.
“Kak Dara kamu anterin pulang?” Tanya Rama.
“Iya, kamu tadi jemput dia juga kan?” Ucap Fika.
Rama mengangguk, mereka pun masuk ke dalam Rumah. Beberapa saat berlalu, Rama sudah berbaring di lantai beralaskan karpet di dalam kamar Fika. Ia sedang melihat-lihat media sosial dari handphonenya. Fika pun masuk ke dalam kamar sekembalinya dari dapur.
“Ram, kamu mau makan apa?” Tanya Fika
“Aku ikut kamu aja lah...” Rama melihat ke arah Fika, “eh iya, kamu mau bantuin isi kuisioner ngga?”
Rama mengubah posisinya menjadi tengkurap, Fika pun mengikuti di sampingnya. Ia melihat ke arah handphone Rama, ada beberapa pertanyaan yang terlihat di sana.
“Kuisioner apa Ram?” Tanya Fika.
“Anak-anak psikologi lagi butuh riset untuk laki-laki dan perempuan seumuran kita. Tadi aku diminta buat bantuin, kamu juga bisa bantuin.” Jawabnya.
“Boleh kok, ayo mulai.” Ucap Fika.
Rama membagikan kuisioner kepada Fika, mereka mulai mengisi nama mereka di handphone masing-masing.
“Apakah kamu pernah pacaran?” Tanya Fika.
“Pertanyaannya kenapa begini ya?” Tanya Rama.
Fika menggeleng, “Mungkin lagi ada riset tentang hubungan antara dua orang kali Ram, atau mereka lagi pelajarin tentang psikologis orang yang lagi jatuh cinta.”
“Bisa jadi sih, yaudah kamu jawab pernah karena kamu pernah pacaran.” Ucap Rama.
Fika dan Rama mengisi sesuai dengan pengalaman mereka.
“Apakah kamu pernah menyukai sahabatmu sendiri?” Tanya Rama.
“Pernah...”
Rahasia demi rahasia mungkin bisa saja disimpan sebagaimana caranya, sampai akhirnya rahasia itu terkuak dengan sendirinya.
“...Tulisannya udah rapi, materinya udah bagus, mungkin kamu butuh tambahan buat referensi pembanding aja Fik. Kalau dilihat-lihat ada yang kurang dari pembandingnya.” Jelas Dosen.
“Pembandingnya mending disatu bidang yang sama biar relevan atau bidang yang beda Bu?” Tanya Fika.
“Ngga mesti satu bidang, kamu bisa narik satu garis lagi kalau emang kejadiannya seperti itu. Kalau semisal kamu cari yang sama biar relevan, nilai laporan kamu akan semakin kurang karena ada pembanding lain...”
Fika mencatat di buku apa yang ia dengar.
“...kalau saran Ibu sih mending yang beda aja Fik, bikin variabel baru.” Jawab Dosen.
Dosen mengembalikan kertas tersebut, Fika memasukkan kertas tersebut ke dalam tas yang ia kenakan. Dosen mengambil sebatang rokok dari bungkusnya lalu menyalakan rokok tersebut.
“Ibu tertarik baca tulisan kamu...”
Fika menatap ke arah Dosen tersebut.
“...ada potensi besar buat masuk ke salah satu rubrik kenalan Ibu di Jepang. Kalau kamu mau dan bersedia, Ibu bisa bantuin kamu.” Ucap Dosen.
“Serius Bu? Kayaknya tulisan saya biasa aja, malah tulisan Tessa lebih menjual menurut saya.” Sahut Fika.
“Ibu setuju soal tulisan Tessa yang lebih menjual, tapi kamu liat deh ke sana...”
Fika menatap ke arah di mana Dosen menunjuk ke arah bunga-bunga yang sengaja diletakkan di tepi jalan. Bunga-bunga itu berfungsi untuk memperindah Gedung Jurusan.
“...mana menurut kamu bunga yang paling bagus?” Tanya Dosen.
Fika melihat dengan seksama, “Saya suka yang warna merah Bu, keliatannya paling bagus di antara yang lain.”
“Terus menurut kamu bunga-bunga selain yang merah ngga berfungsi sebagaimana mestinya karena ngga bagus?...”
Fika kembali menatap ke arah Dosen yang sudah terlebih dahulu menatap ke arahnya. Dosen mengembuskan asap rokok dari mulutnya lalu tersenyum kepada Fika.
“...Ada kalanya kita ngga sadar kalau potensi sekecil apapun itu ada, sayangnya semuanya tertutup dengan yang punya potensi besar. Bunga yang merah punya potensi paling besar, terus bunga kuning di sampingnya juga punya potensi. Sama kayak kamu yang punya potensi di tempatnya, jadi jangan terlalu mikirin tulisan kamu ngga sebagus tulisan orang lain.” Jelas Dosen.
Fika mengangguk beberapa kali setelah mendengar penjelasannya. Dosen mematikan rokok ke dalam tempat sampah kemudian berdiri, Fika pun ikut berdiri setelahnya.
“Mungkin saat ini kamu masih ragu, kalau suatu saat kamu berubah pikiran kabarin Ibu aja.” Ucap Dosen.
Fika mengangguk, Dosen tersebut meninggalkan Fika untuk kembali masuk ke dalam Gedung. Fika berjalan menuju parkiran di mana mobilnya berada, ia sempat mengeluarkan handphoneuntuk sekedar melihat-lihat. Ia menemukan sebuah pesan masuk dari Rama.
“Kamu selesai jam berapa? Aku tunggu di Coffee Shop pertigaan.”
Fika masuk ke dalam mobil lalu ia meninggalkan Kampus pada siang hari ini. Ia mencoba menghubungi Rama untuk memastikan apakah ia masih berada di sana atau tidak.
“Halo, kamu di mana?” Tanya Rama.
“Aku baru ke luar dari Gedung, kamu masih di sana Ram?” Tanya Fika.
“Siapa Ram?...”
Fika mendengar ada suara orang lain yang sedang bersama dengan Rama.
“Kamu ke sini ya, ada yang mau aku kenalin.” Ucap Rama.
Rama memutuskan panggilannya begitu saja. Fika nampak kebingungan dengan apa yang dimaksud dengan Rama mengajaknya berkenalan dengan seseorang yang entah siapa.
“Pacarnya? Ngga mungkin.” Ucap Fika seorang diri.
Jalanan mulai memadat tidak seperti biasanya hingga membuat mobil yang dikendarai Fika bergerak secara perlahan-lahan. Kuku jari tangannya mengetuk setir mobil beberapa kali, Fika nampak tidak sabar untuk segera tiba.
“Apa beneran pacarnya? Jangan-jangan selama ini dia bohong kalau ngga deket sama siapa-siapa...”
Fika gusar dengan apa yang ada di dalam pikirannya saat ini.
“...jadi ciuman kemarin percuma? Ini kenapa jalanan macet sih, ngga kayak biasanya.” Ucapnya seorang diri.
Beberapa saat diperjalanan, akhirnya Fika memarkirkan mobilnya di tempat yang sudah dijanjikan. Setelah ke luar dari mobil, ia melihat motor Rama yang sudah terparkir di sana. Fika beranjak masuk, ia dapat melihat Rama yang sedang duduk di ruang terbuka.
Di hadapannya sudah duduk perempuan yang sedang seru berbincang dengannya, secara perlahan Fika berjalan mendekat ke arah mereka. Rama melihat kedatangan Fika, ia melambaikan tangan seraya tersenyum. Namun, perempuan yang ada di depannya tidak membalikkan badan hingga Fika belum mengetahui siapa dia.
“Fik, aku mau kenalin ke kamu...”
Rama menarik tangan Fika, ia pun berdiri di hadapan perempuan tersebut.
“Kak Dara...”
Dara tersenyum menatap Fika, ia bangun dari duduknya lalu mereka berpelukan. Dara melepas pelukannya, namun Fika masih menggenggam tangannya seperti tidak percaya.
“Kak Dara berubah banget penampilannya, aku sampai ngga ngenalin tadi.” Ucap Fika.
Penampilan Dara memang berubah jika dibandingkan beberapa tahun lalu, saat ini rambutnya dibiarkan tumbuh panjang hingga sepunggung dan hampir sama dengan panjang rambut Fika.
“Kayaknya aku cuma panjangin rambut aja, sisanya masih sama Fik. Gimana kabar kamu?” Ucapnya.
“Baik kok, Kak Dara sendiri gimana? Kok bisa aja di sini?” Tanya Fika penasaran.
“Eh, kamu mau mesen minum ngga?” Tanya Rama.
“Pesenin dong Ram, kayak biasa aja.” Ucap Fika.
Rama memandang malas ke arahnya, kemudian ia bangun dari duduk lalu meninggalkan mereka untuk memesan minuman ke dalam.
“Masih Fik?” Tanya Dara.
FIka tahu ke mana arah pertanyaan Dara, karena Dara menjadi salah satu orang yang tahu tentang perasaannya terhadap Rama. Ia pun mengangguk secara perlahan.
“Yang bisa aku kasih tau ke Kak Dara sih, aku udah pernah nyatain perasaan aku ke Rama...”
Dara nampak terkejut dengan ucapan Fika.
“...sayangnya saat itu Rama lagi tidur Kak. Setelah aku nyatain perasaan aku ke dia, aku sempet cium dia.” Ucap Fika.
“Serius kamu cium dia?” Tanya Dara terkejut.
Fika kembali mengangguk, “Setelah itu ngga ada yang berubah antara aku sama dia. Sampai detik ini semuanya berjalan normal seperti biasa aja Kak.”
“Wah, kamu bener-bener ya...”
Rama kembali datang sekembalinya memesan minuman dari dalam, Fika memberikan isyarat dengan mata kepada Dara bahwa Rama sudah kembali.
“...Jadi aku ke sini itu karena ada beberapa urusan lah.” Jawab Dara.
Rama kembali duduk di samping Fika.
“Gimana skripsi kamu Fik?” Tanya Dara.
“Sejauh ini sih baik-baik aja Kak, cuma butuh beberapa tambahan referensi aja. Eh iya, Kak Dara di sini sampai kapan Kak? Kalau lama kayaknya bisa kita ajak kemah.” Ucap Fika.
Rama mengangguk, “Bener juga, mumpung masih ada waktu buat santai sebelum bener-bener sibuk nanti.”
“Jadi kalau aku boleh cerita, tujuan aku ke sini itu mau ngasih sesuatu ke kalian. Kalian bukan orang asing buat aku, jadi aku harus ngasih ke kalian.” Jawabnya.
Dara membuka tas yang ia bawa, kemudian ia mengambil barang lalu meletakkan barang tersebut di hadapan Rama dan juga Fika. Mereka mendekat untuk melihat apa yang tertulis di sana.
“Kak Dara mau nikah?” Tanya Rama.
Mereka menatap ke arah Dara secara bersamaan, Dara hanya bisa tersenyum untuk menjawab tatapan mereka. Fika kembali bangun dari duduknya untuk memeluk Dara, ia senang mendapatkan kabar bahagia setelah beberapa tahun tidak bertemu.
“Selamat ya Kak Dara.” Ucap Fika.
“Makasih ya Fik.” Jawabnya.
Rama masih memandangi undangan yang ada di hadapannya.
“Bentar deh, jadi Kak Dara bakalan nikah di sini?” Tanya Rama.
Dara mengangguk, “Hari Minggu besok aku akan nikah. Mungkin emang semesta mendukung kali ya. Rencananya aku mau nikah di sini, dan ternyata aku dipindah tugas juga ke sini.”
“Siapa Kak calon suaminya? Satu bidang sama Kak Dara juga?” Tanya Fika.
“Ngga sih, dia itu salah satu pasien yang pernah aku rawat beberapa tahun lalu.” Jawab Dara.
“Serius? Kok romantis banget sih.” Ucap Fika.
“Romantis?” Tanya Rama heran.
“Iya lah Ram. Bayangin aja, gimana orang yang dulu pernah ngerawat kamu sekarang jadi orang yang akan hidup berdampingan dengan kamu? Romantis tau.” Jelas Fika.
“Aku setuju kalau itu disebut takdir, tapi kalau romantis kayaknya ngga deh Fik.” Sanggah Rama.
“Rama, aku jelasin nih ya. Romantis itu udah bukan lagi tentang ngasih bunga, ngasih hadiah, atau pegangan tangan ke mana-mana.Tapi, romantis itu lebih ke arah gimana kita bisa apresiasi orang yang udah pernah berpengaruh sama hidup kita...”
Dara tersenyum melihat mereka berdua.
“...kayak calon suaminya Kak Dara setelah dia dirawat sama Kak Dara, dia masih nyari Kak Dara untuk berhubungan serius hingga akhirnya ngajak nikah. Padahal dia bisa dengan mudahnya nyari cewe yang deket. Itu yang disebut romantis.” Jelas Fika.
“Itu tetep namanya takdir Fik. Kita ngga pernah tau apa calon suaminya Kak Dara pernah berhubungan sama cewe lain sebelum ketemu sama Kak Dara lagi apa ngga.” Sambut Rama.
“Udah udah...”
Rama dan Fika kembali menatap Dara.
“...apapun itu sebutannya, aku bisa terima kok. Kalian kenapa jadi berdebat serius kayak gini.” Ucap Dara.
Fika tersenyum malu mendengar ucapan Dara, kemudian ia memukul lengan Rama pelan seperti biasa. Minuman yang dipesan pun sudah tersaji di meja mereka.
“Kalian bisa dateng atau ada acara lain?” Tanya Dara.
“Bisa kok Kak, sekalipun ada acara lain juga pasti bisa dateng. Lagian tempatnya juga deket kok.” Jawab Fika.
Rama mengangguk mengikuti jawaban Fika, tak lama berselang handphonenya berdering. Rama menjawab panggilan tersebut tanpa menjauh dari mereka berdua. Tidak membutuhkan waktu lama untuk menyudahi panggilan tersebut.
“Kayaknya aku harus ninggalin kalian berdua, ada panggilan mendadak dari Kampus...” Rama bangun dari duduk, “Kak Dara aku tinggal ya, minumannya udah aku bayarin semua.”
“Loh serius Ram?” Tanya Dara.
Rama mengangguk. “Fik, aku tinggal ya.”
Fika mengangguk, Rama berjalan menjauh dari mereka lalu tak lagi nampak dari pandangan.
“Jadi ngga ada apa-apa setelah kejadian itu Fik?” Tanya Dara.
Fika mengangguk, “Aku pikir akan ada yang berubah antara aku sama dia Kak, kenyataannya semua berjalan begitu aja. Aku sempet mikir, apa iya aku harus nanya Rama soal kejadian itu. Tapi aku ngga berani.”
“Aku jadi penasaran, apa sebenernya dia tau ya Fik? Tapi dia pura-pura selama ini?” Tanya Dara penasaran.
Fika menghela nafasnya, “Rama tetep Rama Kak, ngga ada sedikit pun yang berubah.”
“Kamu juga ngga berubah kan masih suka sama dia?” Tanya Dara.
Fika tersenyum menjawab pertanyaan tersebut.
“Aku cuma bisa dukung apa yang menurut kamu bener Fik, karena semuanya cuma kamu yang tau dan kamu yang ngerasain. Apapun hasilnya nanti, aku akan dukung kamu.” Ucap Dara.
Fika kembali tersenyum untuk ke sekian kalinya, mereka melanjutkan perbincangan santai setelah beberapa tahun tidak bertemu. Sore menjelang, Fika sudah kembali mengendarai mobil setelah mengantarkan Dara. Ia sedang dalam perjalanan pulang menuju Rumah.
Ting! Ia sempat melihat pesan di handphone namun tidak membalasnya, ia melanjutkan perjalanan di sore yang akan segera berganti menjadi malam. Akhirnya Fika tiba di Rumah, ia memasukkan mobil ke dalam garasi. Tak lama berselang Rama datang mengendarai motornya.
“Kak Dara kamu anterin pulang?” Tanya Rama.
“Iya, kamu tadi jemput dia juga kan?” Ucap Fika.
Rama mengangguk, mereka pun masuk ke dalam Rumah. Beberapa saat berlalu, Rama sudah berbaring di lantai beralaskan karpet di dalam kamar Fika. Ia sedang melihat-lihat media sosial dari handphonenya. Fika pun masuk ke dalam kamar sekembalinya dari dapur.
“Ram, kamu mau makan apa?” Tanya Fika
“Aku ikut kamu aja lah...” Rama melihat ke arah Fika, “eh iya, kamu mau bantuin isi kuisioner ngga?”
Rama mengubah posisinya menjadi tengkurap, Fika pun mengikuti di sampingnya. Ia melihat ke arah handphone Rama, ada beberapa pertanyaan yang terlihat di sana.
“Kuisioner apa Ram?” Tanya Fika.
“Anak-anak psikologi lagi butuh riset untuk laki-laki dan perempuan seumuran kita. Tadi aku diminta buat bantuin, kamu juga bisa bantuin.” Jawabnya.
“Boleh kok, ayo mulai.” Ucap Fika.
Rama membagikan kuisioner kepada Fika, mereka mulai mengisi nama mereka di handphone masing-masing.
“Apakah kamu pernah pacaran?” Tanya Fika.
“Pertanyaannya kenapa begini ya?” Tanya Rama.
Fika menggeleng, “Mungkin lagi ada riset tentang hubungan antara dua orang kali Ram, atau mereka lagi pelajarin tentang psikologis orang yang lagi jatuh cinta.”
“Bisa jadi sih, yaudah kamu jawab pernah karena kamu pernah pacaran.” Ucap Rama.
Fika dan Rama mengisi sesuai dengan pengalaman mereka.
“Apakah kamu pernah menyukai sahabatmu sendiri?” Tanya Rama.
“Pernah...”
Rahasia demi rahasia mungkin bisa saja disimpan sebagaimana caranya, sampai akhirnya rahasia itu terkuak dengan sendirinya.
ippeh22 memberi reputasi
1
Kutip
Balas