- Beranda
- Stories from the Heart
Parang Maya : Perang Santet Di Tanah Dayak
...
TS
benbela
Parang Maya : Perang Santet Di Tanah Dayak

Assalammualaikum wrwb.
Setelah cukup lama vakum, saya akhirnya balik lagi dengan cerita baru. Tentu saja, saya kembali dengan cerita horor / mistis dengan latar Kalimantan.
Pada cerita kali ini, saya akan berbagi cerita tentang pengalaman seorang transmigran asal Jawa Tengah yang mengalami berbagai peristiwa mistis di tanah Kalimantan. Tidak tanggung-tanggung, transmigran tersebut menceritakan tentang pengalamannya menghadapi santet orang Dayak yang mematikan.
Semoga para reader bisa cukup sabar mengikuti thread ini, karena ceritanya akan saya jabarkan dari awal mula kejadian hingga bagian akhir yang cukup tragis.
Selamat membaca.
Quote:
Update teratur tiap malam Senen dan malam Jumat pukul 19.00. wib
Quote:
Dilarang keras untuk memproduksi ulang cerita ini baik dalam bentuk tulisan, audio, visual, atau gabungan salah satu atau semua di antaranya tanpa perjanjian tertulis. Terima kasih
Quote:
Bab 1 : Belom Bahadat
"Belom Bahadat", dua kata yang merupakan ungkapan orang Dayak untuk selalu menjaga sikap dan perilaku di tanah Kalimantan. Tanah keramat yang kental akan adat istiadat, hutan belantara, sungai besar, binatang buas, serta hal-hal mistis di luar nalar.
Ungkapan itu pula yang membuat orang tuaku berhasil bertahan sejak memutuskan meninggalkan tanah kelahiran di pulau Jawa, untuk memperbaiki nasib dengan menjadi transmigran di Kalimantan pada awal 80an.
"Prapto, ne wis ra betah, mulih wae. Dadio buruh atawa tukang becak yo ora opo-opo. Mangan ra mangan sing penting kumpul," ucap pakde pada bapak, sewaktu kami pulang kampung setelah lima tahun tidak ada kabar.
Namun, bapak hanya tersenyum. Kata bapak, selama di perantauan kehidupan kami baik-baik saja. Tidak ada hal-hal buruk seperti yang dikhawatirkan orang-orang di kampung halaman.
"Sing penting belom bahadat, mas. Jaga sikap dan perilaku, Insha Allah kita akan baik-baik saja dimanapun berada," kata bapak.
Apa yang disampaikan bapak tidak sepenuhnya salah. Memang, sejak SD di Kalampangan hingga menamatkan pendidikan keguruan di Palangkaraya, tidak ada permasalahan berarti yang kami hadapi.
Hingga kemudian aku menjadi guru sebuah SD di pedalaman, tepatnya di hulu sungai Barito. Di sinilah pertama kali aku bersentuhan dengan betapa mistisnya tanah Kalimantan, sebuah peristiwa mengerikan yang berhubungan dengan dunia arwah. Tidak hanya menyaksikan, tapi kualami sendiri hingga membuatku dihantui ketakutan dan trauma sampai detik ini.
Tragedi ini kualami pada awal tahun 2000an, tepat dua tahun lebih sedikit ketika aku menjadi pengajar muda di desa Petak Gantung. Sebuah desa yang berada di daerah perbukitan dan dikelilingi hutan rimba.
Semua bermula pada suatu sore, saat
aku sedang bermain volly dengan para pemuda desa. Seorang bocah kecil berumur sekitar 10 tahun, terlihat berlari di atas rerumputan halaman sekolah lalu menerobos kerumunan penonton yang riuh.
Dengan menenteng es teh dalam wadah plastik gula dan nafas terengah, bocah itu segera berteriak dari pinggir lapangan.
"Pak...! Pak Kasno...!"
Berulang-ulang bocah itu berteriak tapi suaranya kalah dengan keributan penonton yang tegang. Setelah beberapa saat, baru kudari kalau ia memanggil namaku.
"Ada apa, Gau?" tanyaku sambil menyeka keringat.
Bocah ini adalah Agau, muridku yang duduk di bangku kelas 4 SD.
"Dipanggil ayah, disuruh ke rumah. Sekarang!"
"Ayahmu? Tumben."
Yang dimaksud adalah pak Salundik, ayahnya si Agau sekaligus kepala sekolah tempatku mengajar. Setahun terakhir hubunganku dengan pak Salundik merenggang.
Semua berawal dari datangnya seorang guru muda perempuan bernama Sarunai. Gadis muda berambut lurus itu, kemudian menjadi dekat denganku. Namun, pak Salundik sepertinya tidak suka aku dekat dengan anaknya.
"Baik, Gau. Aku ke rumah setelah ganti pakaian."
Agau kemudian berlalu, biasanya sore seperti ini pergi ke sungai bersama teman-temannya. Aku lantas ke rumah dinas di belakang sekolah, mengganti pakaian olah raga dengan baju biasa.
*****
Kupacu sepeda motor melewati jalan desa yang masih berupa tanah merah. Motor beberapa kali terhentak karena jalan yang tidak rata. Di depan rumah-rumah penduduk, berdiri patung berbentuk manusia terbuat dari kayu ulin yang disebut Sapundu, serta rumah kecil yang dinamakan Sandung.
Sapundu, merupakan bentuk penghormatan pada leluhur atau anggota keluarga yang telah meninggal. Konon, pada jaman dahulu patung Sapundu digunakan untuk mengikat kurban manusia, sebagai persembahan pada orang yang meninggal. Kurban manusia itu merupakan tawanan dari hasil berperang dengan suku atau kampung lainnya.
Sedangkan Sandung, digunakan sebagai tempat menyimpan kerangka tulang belulang orang yang telah meninggal. Di dalam Sandung, diletakkan berbagai sajen berupa kayu gaharu bakar, kopi, rokok, daging babi dan ayam, tuak baram, aneka kue dan hidangan lain. Pagi hari dipersembahkan, malam hari sudah menghilang. Entah siapa yang mengambil, aku tidak mau cari perkara.
Memang, desa ini masih kental akan adat istiadat warisan leluhur. Selain itu, sebagian besar penduduk menganut kepercayaan lama yang disebut Kaharingan. Sebuah kepercayaan yang telah ada jauh sebelum agama-agama besar masuk ke negeri ini.
Setelah beberapa menit, motorku akhirnya tiba di pekarangan rumah pak Salundik. Rumahnya berbentuk panggung, dengan halaman yang cukup luas dan ditanami tebu hitam berbaris rapi di balik pagar. Sebuah Sapundu berwujud wanita berdiri tegak, mendiang istrinya pak Salundik.
Di teras, terlihat tiga orang lelaki tengah bercengkrama. Dua orang sudah separuh baya, dan seorang lagi masih muda. Pria dengan perawakan berisi sudah sangat kukenal, pak Salundik. Pria yang duduk di hadapannya, wajahnya tak pernah kulihat di desa ini. Sedangkan yang muda, bisa jadi anaknya bapak itu.
Mendadak perasaanku menjadi tidak nyaman. Sepertinya pak Salundik hendak mengenalkanku pada calon besan dan menantunya.
Cilaka, batinku. Dalam beberapa minggu kedepan aku akan terpuruk dalam sakitnya penderitaan asmara.
Tapi aku tak gentar, apapun akan kuhadapi agar Sarunai menjadi jodohku.
Begitu melihatku datang, tiga pria tadi bergegas menuruni tangga dengan wajah lega. Segera kuparkir motor dibawah pohon jambu dan bergegas menghampiri mereka yang sepertinya tidak sabar menunggu.
"Kasno, antar saya ke seberang, ya!?" seloroh pak Salundik tanpa basa basi.
"I-inggih pak," jawabku terbata.
"Motorku sedang rusak, jadi aku minta tolong antarkan ke desa seberang, desa Sei Bahandang."
"Inggih pak, tidak masalah."
Rupanya bapak-bapak tadi adalah tamunya pak Salundik. Yang tua namanya pak Gerson, mantan pambakal(kepala desa) yang gagal kembali menjabat pada pilkades lalu. Sedangkan si pria muda adalah tukang ojek yang mengantarnya dari ibukota kecamatan.
"Bang Kasno !"
Aku tersentak saat suara merdu nan manja memanggil dari teras. Berpegangan pada pagar, gadis itu tersenyum malu-malu polos.
Sarunai!
Rambutnya yang hitam lurus tergerai, bergoyang pelan tertiup angin. Kurasakan tubuhku panas dingin, saat matanya yang tajam menatap ke arahku.
"Bang Kasno, jangan melamun!"
"Eh, iya dek... Ada apa?"
"Nanti pulang dari kecamatan, bawain martabak ya."
"Iya dek, tenang aja. Kubawakan yang paling besar buat dek Sarunai," balasku seraya menebar senyum.
"Ehm..."
Pak Salundik berdehem cukup keras. Sepertinya gusar melihat kemesraanku dan anaknya.
"Sarunai, ambilkan tas rotanku. Masukkan senter, sepertinya kami pulang malam," perintah pak Salundik pada Sarunai.
*****
Dua buah sepeda motor pergi meninggalkan desa, menuju ibukota kecamatan melewati jalan yang membelah belantara. Sepanjang jalan, pohon-pohon besar berdiri tegak, tinggi menjulang di kiri dan kanan.
Sesekali terdengar bunyi klakson yang sangat nyaring dari depan, menandakan truck kayu logging akan lewat.
Duduk di boncengan, kata Pak Salundik, ia dimintai tolong untuk mengobati anaknya pak Gerson yang sakit sejak enam bulan terakhir. Gara-gara anaknya sakit, pak Gerson sampai memutuskan mundur dari pemilihan pambakal dan fokus demi kesembuhan sang anak.
Pak Gerson bahkan pernah membawa putrinya berobat sampai ke rumah sakit di Banjarmasin, tapi tidak ada hasil. Dan pak Salundik adalah orang pintar ketiga yang diminta untuk menyembuhkan anaknya. Memang, pak Salundik dikenal sebagai orang yang mengerti perihal gaib, kendati menolak disebut dukun.
"Tadi kata pak Gerson, anak perempuannya sakit aneh. Suka mengamuk dan berteriak-teriak setelah matahari terbenam. Ia juga suka melempar barang-barang di rumah. Yang paling aneh, anaknya hanya mau makan ayam mentah yang masih berdarah."
Aku yang awalnya tidak tertarik, menjadi penasaran ketika mendengar ada orang makan ayam hidup-hidup.
"Ayam mentah masih berdarah? Ayam hidup, pak?"
"Iya...Sungguh aneh. Gadis kecil usia 10 tahun, selama enam bulan ini menolak makan nasi layaknya manusia normal. Ia hanya mau makan ayam mentah yang masih berdarah. Sungguh gadis yang malang," keluh pak Salundik.
Sulit kubayangkan ada gadis kecil berperilaku liar bagai hewan buas. Firasatku mengatakan, anaknya pak Gerson kena gangguan mahluk halus.
"Terus pak, apa kata pak Gerson lagi?"
Pak Salundik diam, membenarkan duduknya karena motor kembali terhentak-hentak. Jalanan tanah liat membuatku harus ekstra hati-hati agar tidak tergelincir. Apalagi di sisi kiri berupa jurang yang sangat dalam.
"Kata pak Gerson, anaknya kemungkinan kena parang maya. Sebenarnya aku malas bila harus berurusan dengan parang maya, terlalu beresiko."
"Pa-parang maya? Maksudnya, santet?"
"Iya, bisa dibilang semacam santet. Salah penanganan, bisa-bisa malah menyasar yang menyembuhkan. Karena itulah, sudah lebih dari 20 tahun ini aku tidak mau berurusan dengan parang maya. Hanya saja, bila benar terkena parang maya, sepertinya ada yang janggal."
"Janggal, maksudnya janggal bagaimana, pak," tanyaku penasaran.
"Parang maya berbeda dengan karuhei atau pun pulih. Karuhei akan membuat orang jadi linglung, sedangkan pulih membuat tubuh membusuk dan penuh belatung.
Jika benar terkena parang maya, harusnya anaknya sudah meninggal di hari ke 40. Sangat aneh anak itu bisa bertahan selama 6 bulan. Oleh karena itu aku penasaran, seperti ada sesuatu yang mendorongku untuk ke sana. Mungkin saja...."
Kalimat pak Salundik tertahan, seperti ada yang disembunyikan.
Kupacu motor lebih cepat, agar tidak terlalu jauh dengan ojeknya pak Gerson di depan. Setelah melewati mess perusahaan kayu yang terbengkalai, kami melewati telaga jimat. Sebuah telaga angker yang memiliki air jernih dan tenang, serta dikelilingi pohon pisang bangkaran.
Di depan telaga, di bawah pohon besar, berdiri sebuah sandung yang ditutupi kain kuning. Penanda bahwa daerah tersebut kawasan keramat dan ada penunggunya.
Entah kenapa seketika aku merasa tengkuk terasa hangat, seperti ada yang meniup.
"Mungkin saja, ini adalah cara agar kau tak lagi mendekati putriku," tutur pak Salundik seraya menepuk pundakku tiga kali.
...bersambung...
Quote:
Jangan lupa saya di karyakarsa.com
Chapter 2 udah bisa dibaca di sana yak 😁
https://karyakarsa.com/benbela/p-147629
Diubah oleh benbela 22-05-2022 19:17
bauplunk dan 107 lainnya memberi reputasi
106
46.6K
Kutip
433
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52.1KAnggota
Tampilkan semua post
TS
benbela
#58
Quote:
Bab 3 : Jiwa Yang Hilang
"Besar juga nyalimu, Salundik. Rupanya, banyak juga "baju" yang kau bawa ke sini," kata lelaki itu dengan mata melotot.
Tak gentar, pak Salundik balas melotot.
"Dengar, aku tidak mengenalmu dan kemari bukan ingin cari perkara. Tapi kau tahu siapa namaku, artinya kau tahu siapa aku. Setetes saja darahku mengalir di sini, maka akan kupastikan desa ini sesuai namanya, desa sungai darah. Kurasa, kau tak ingin berurusan dengan para Sangiang!"
Mendengar kata Sangiang, lelaki itu mendadak berubah sikap. Ia tampak gentar dan ragu. Para lelaki yang tadi mengelilingi kami juga mulai hilang keberanian.
"Dehen, sudahlah!" sergah pak Gerson, "kau sudah dapatkan yang kau inginkan, biarkan aku mengurus keluargaku."
Pak Gerson menarik tanganku dan pak Salundik, dibawanya kami menjauh. Para lelaki yang tadi mengelilingi segera menyingkir.
Terburu, kami melangkah menyusuri jalan desa yang hanya berupa tanah liat. Aku mencuri pandang ke belakang, rupanya para lelaki tadi masih mengawasi kami dengan tatapan bermusuhan.
"Siapa pria tadi?" tanya pak Salundik sembari mengatur nafas.
"Dehen, pambakal terpilih desa ini. Dia saingan terberatku pada pemilihan kades yang lalu," decak pak Gerson sembari melangkah.
"Lelaki itu...," sambung pak Salundik, "sudahlah, perkara gaib susah dibuktikan."
Kami terus melangkah menyusuri jalan desa, melewati barisan sapundu dan sandung menuju rumah pak Gerson. Jujur, sebenarnya aku masih penasaran dengan apa yang hendak disampaikan pak Salundik.
*****
Hari semakin petang saat kami menginjakkan kaki di pekarangan rumah pak Gerson. Firasatku mengatakan ada sesuatu yang janggal, tapi sulit kuungkapkan dengan kata.
Yang kulihat secara kasat mata, hanyalah pekarangan yang ditumbuhi rumput liar tak terpotong rapi. Beberapa tanaman telah kering dan layu. Selain itu juga ada sebuah galian persegi, sepertinya bekas kolam ikan.
Yang paling aneh, rumah tetangga di kiri dan kanan tampak kosong. Perkiraanku sengaja ditinggalkan, karena rumah itu penuh debu dan sarang laba-laba. Aku bergidik ngeri, karena rumah-rumah kosong itu terlihat menyeramkan.
Pak Salundik mendadak berjongkok, dibiarkannya pak Gerson pak Gerson melangkah terlebih dahulu ke dalam rumah. Telapak tangannya menyapu-nyapu tanah lalu menggenggamnya. Tanah di tangan ia remas-remas dan pandangan ia edarkan ke sekeliling.
"Kasno!"
Aku terlonjak kaget sewaktu ia memanggilku. Aku terpaksa menghentikan langkah dan berdiri di sampingnya.
"Kasno, omah iki wingit. Mengko tutke opo sing tak lakoni. Ngerti!?""
Keherananku semakin menjadi-jadi begitu mengetahui pak Salundik bisa berbahasa Jawa. Namun yang lebih membingungkan adalah maksud ucapannya. Belum sempat terjawab kegundahanku, ia sudah menapakkan kaki di teras rumah pak Gerson.
*****
Begitu masuk rumah, pak Gerson mengenalkan kami pada istrinya, seorang wanita berusia sekitar 40an tahun. Wajahnya kusut karena sedih, matanya sembab karena banyak menangis, dan tubuhnya kurus karena hilang nafsu makan. Jelas sekali ibu malang ini banyak beban pikiran.
Selain itu juga ada ibu mertuanya, seorang nenek-nenek yang kelihatan masih lincah. Aku merasa ada yang mengganjal saat ia menatapku dengan sorot mata aneh. Ia tertegun selama beberapa detik sampai akhirnya menarik tanggannya setelah bersalaman.
Yang terakhir adalah adik iparnya. Lelaki muda berusia sekitar awal 20an tahun.
"Ini adik iparku, namanya Ukar. Sudah tiga bulan ia menganggur. Dahulu, ia bekerja di kantor desa sebagai juru ketik. Tapi sejak Dehen jadi pambakal, ia diberhentikan begitu saja.
Sekarang ia bantu-bantu di ladang, sembari menunggu panggilan kerja dari perusahaan batu bara. Terserahlah jadi apa, jadi tukang sapu juga tidak masalah asal tidak menganggur."
Kulirik, Ukar tertunduk lesu. Gurat wajahnya menunjukkan kesedihan mendalam.
Kata pak Gerson, sekarang perangkat desa diisi oleh orang-orangnya Dehen. Semua pegawai terdahulu diberhentikan, kecuali Sekdes yang merupakan PNS dan ditunjuk langsung oleh bupati.
Kami kemudian dipersilahkan duduk di ruang tamu, menanti hidangan yang akan disuguhkan. Masih kata pak Gerson, dirumah itu hanya ada mereka berlima. Putrinya yang bungsu ada di kamar belakang karena sakit.
Dua anak perempuannya bekerja di ibukota propinsi, dan yang laki-laki bekerja di salah satu perusahaan tambang. Sedangkan bapak mertuanya baru meninggal dua bulan lalu.
"Seiring sakitnya Bawi, bapak mertua saya juga ikutan sakit. Tubuhnya tidak bertahan setelah sering muntah darah," ungkap pak Gerson dengan nada sedih.
"Silahkan diminum seadanya," tawar istri pak Gerson.
Saat menyodorkan gelas kopi, kulihat tangannya yang putih penuh bekas luka gores.
"Ini ulah si Bawi," jelasnya.
Aku hanya mengangguk walau belum sepenuhnya mengerti.
Pak Salundik meraih gelas kopi di depannya. Tapak tangan kanan tiba-tiba ia tangkupkan di bibir gelas kopi yang masih panas.
"Biar cepat dingin," terang pak Salundik sembari tersenyum.
Pak Gerson hanya mengangguk-angguk melihat sikapnya yang tidak biasa.
Setelah beberapa saat, pak Salundik mencelupkan jari telunjuk ke kopi panas tadi lalu ia oleskan ke tapak tangan kiri. Olesan kopi di tapak tangan kiri lalu ia jilat, sungguh ganjil.
"Ternyata kopinya memang nikmat, pasti hasil kebun sendiri. Ayo, Kasno, dicoba kopinya."
Aku segera paham maksud pak Salundik. Kopi langsung kutuangkan dalam piring kecil, lalu kusruput dengan santai.
"Kata orang, pamali menolak kopi. Nanti bisa kepuhunan, he...he..he.."ujarku.
Ternyata, kopi buatan istrinya pak Gerson memang nikmat. Tapi yang aneh, pak Salundik justru melotot ke arahku. Memang orang tua yang aneh!
*****
Hari sudah sepenuhnya gelap dan adzan magrin sayup-sayup terdengar dari desa di seberang sungai. Jangkrik , karariang, burung kedasih dan berbagai satwa malam mulai berisik dari hutan yang ada di belakang rumah.
Memang, ciri khas pedesaan di Kalimantan berada di pinggiran sungai. Di depan rumah membentang sungai besar, dan di belakang rumah terhampar hutan belantara yang luas.
Ukar menyalakan lampu strongking, lalu menggantungnya di ruang tengah. Seisi rumah seketika terang benderang tak ubahnya pasar malam. Kata pak Gerson, malam ini giliran listrik padam di desanya, hal yang lumrah di Kalimantan.
Itupun syukur teraliri listrik, meski tiga hari menyala dan sehari padam. Tidak sedikit desa lain yang belum bisa menikmati jaringan listrik PLN, meski negara ini telah merdeka puluhan tahun silam.
Usai menikmati kopi hangat dan singkong goreng, kami diajak ke kamar anaknya pak Gerson yang sakit. Sebenarnya aku malas beranjak karena masih ingin menikmati hidangan yang disajikan. Akan tetapi, lantaran ingin tahu kuikuti mereka menuju kamar yang dekat dengan dapur.
Aku tercenung saat melihat ada beberapa daun sawang digantung di atas pintu kamar. Daun berwarna merah itu berjejer rapi dengan tanda palang dari kapur sirih.
Setelah membuka pintu, istri pak Gerson menyalakan lampu teplok dan digantung di dinding. Aku merasa jijik karena kamar ini begitu bau dan jorok, penuh bulu berserakan dan kotoran ayam kering di mana-mana. Seekor ayam muda terlihat meringkuk dengan salah satu kaki yang terikat tali rapia.
Refleks, aku memencet hidung karena tidak tahan dengan bau pesing yang menyengat. Pak Salundik menendang kakiku, hingga terpaksa aku bernafas menggunakan mulut.
Selain itu, kamarnya juga sangat pengab karena minim sirkulasi udara. Beberapa palang kayu dipaku tidak beraturan pada jendela yang sepertinya jebol.
Berdiri di depan pintu, aku merasa miris dengan apa yang dilihat.
Di depan kami, terpampang sebuah kelambu lusuh. Samar-samar terlihat siluet gadis kecil di dalam situ, hanya duduk mematung dengan pandangan kosong.
Ukar menyingkap kelambu, mengangkat tiap tirainya ke atas.
Tampaklah seorang gadis kecil berusia sekitar 10 tahun dengan kondisi mengenaskan.
"Inilah putriku, si Bawi. Semoga pahari Salundik bisa membantu," kata pak Gerson dengan nada sedih. Bola matanya menyimpan duka yang mendalam.
Badan gadis kecil itu dekil, tubuhnya kurus, rambutnya acak-acakan dan wajahnya pucat seperti mayat. Saat melihat kedua kakinya, hatiku rasanya miris.
Kedua kakinya dipasung dengan balok kayu ulin. Di balok kayu itu, terdapat dua lubang tempatnya menjulurkan kaki dan diikat dengan tali haduk, tali terbuat dari jalinan sabut kelapa.
Demi melihat itu, tanpa sadar aku ikut meneteskan air mata. Sungguh berat derita yang harus ditanggung gadis kecil ini. Entah peristiwa mengerikan apa yang sedang dihadapinya.
Saat dipanggil, gadis kecil itu tidak merespon. Sorot matanya kosong, menatap lurus ke arah langit-langit kamar.
Tidak perlu mata batin, orang biasa sepertiku pun akan langsung tahu bahwa gadis kecil ini bukan lagi Bawi. Sepertinya, rohnya ada di suatu tempat di hutan sana, sendirian dan ketakutan.
Bulir demi bulir air mata mengalir tanpa henti di sudut pipinya yang mungil. Mulutnya juga terus mengucap sesuatu tanpa suara. Kubaca, gerak bibirnya mengucapkan kata tolong berulang-ulang.
...bersambung...
Sampai jumpa di malam senin yak. Jangan lupa dukung saya di
https://karyakarsa.com/benbela/peran...h-dayak-bab-56
Makasih

bauplunk dan 56 lainnya memberi reputasi
57
Kutip
Balas
Tutup