- Beranda
- Stories from the Heart
JANJI? (MINI SERIES)
...
TS
beavermoon
JANJI? (MINI SERIES)
Pernahkah kalian jatuh cinta? Pernahkah kalian menyembunyikan perasaan kepada orang yang kalian suka? Kenapa kalian menyembunyikan hal itu? Bukankah lebih baik untuk mengutarakannya?
Fika dan Rama akan menemani perjalanan kalian dalam mencari tahu jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas. Bersyukurlah jika kalian dapat menemukan jawabannya, namun jika tidak?
Spoiler for Episode:
Diubah oleh beavermoon 16-06-2022 12:03
ndoro_mant0 dan 7 lainnya memberi reputasi
4
3.1K
Kutip
40
Balasan
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
31.6KThread•43KAnggota
Tampilkan semua post
TS
beavermoon
#19
Episode 17
Spoiler for Episode 17:
Ada kalanya kita melihat permukaan laut yang tenang, ditemani angin semilir yang menyejukkan. Namun di bawahnya menyimpan banyak misteri, seperti gulungan ombak bawah laut yang ganas dan sama sekali tidak terlihat. Begitulah hidup, nampak baik-baik saja. Namun dengan seketika, Tuhan bisa merubah itu semua dalam waktu sekejap mata.
Rama berlari dengan kencang menuju Garasi, ia mengeluarkan motornya dari dalam lalu mengemudikan motor tersebut sesegera mungkin meninggalkan Rumah. Beberapa menit berlalu, Rama menghentikan motornya untuk membuka gerbang Rumah Fika. Rama berlari dengan cepat untuk masuk ke dalam kemudian membuka pintu.
“Fika...”
Rama berjalan cepat ke arah Fika yang sudah terduduk di lantai lalu bersandar pada dinding, air matanya sudah tak terbendung entah dari kapan.
“Fik... Fika...”
Fika menatap ke arah Rama, tangisnya semakin menjadi hingga ia memeluknya. Rama hanya bisa diam, membiarkan Fika yang sedang meluapkan kesedihannya.
“Rama...”
Dengan sengaja Rama diam.
“...Papa udah ngga ada Ram. Papa udah pergi niggalin aku sendirian di sini. Papa jahat Ram, Papa jahat!” Ucap Fika.
Rama mengusap pundak Fika beberapa kali, mencoba untuk menenangkan Fika yang sedang kalut dalam kesedihannya. Tangisannya tak kunjung reda, beberapa kali Rama hanya bisa menghela nafasnya.
“Telah terjadi kecelakaan di Jalan Asia Afrika pada tanggal 19 dini hari. Kecelakaan tersebut melibatkan satu mobil SUV dan satu truk, dilaporan bahwa pengendara mobil SUV tidak dapat diselamatkan nyawanya saat dilarikan ke Rumah Sakit...”
Rama berjalan dengan pelan sambil menuntun Fika bersama dengan beberapa orang lain. Mereka pun menghentikan langkahnya di depan sebuah galian lubang beserta peti mati yang baru saja diturunkan. Fika sama sekali tidak berhenti untuk menangisi kepergian Papa, kesedihannya sudah tidak dapat ia bendung lagi.
Peti pun secara perlahan diletakkan di dalam galian tanah dengan tali tambang, tali pun kembali ditarik setelah peti menyentuh dasar galian. Beberapa orang kembali memasukkan tanah untuk menutupi lubang berisi peti mati. Fika sudah tak kuat lagi, ia memejamkan matanya dalam dekapan Rama.
Tanah sudah menggunung, papan sudah tertancap dengan tegak ke dalam tanah. Tertulis dengan jelas sebuah nama, yang sudah pergi meninggalkan mereka. Satu persatu orang-orang yang datang meletakkan bunga di atas gundukan tanah, mendo’akan agar pemiliknya tenang di alam lain. Setelah meletakkan bunga, Tessa pun mengampiri Fika yang masih didekap Rama.
“Fik, gue balik duluan ya. Kalau lo butuh apa-apa, kabarin aja jangan sungkan.” Ucap Tessa.
“Makasih ya Tes, sekali lagi makasih.” Jawab Rama.
Tessa memaklumi jika Rama yang menanggapi ucapannya, ia pun pergi setelah berpamitan dengan Rama. Tersisalah mereka berdua, dalam keheningan pada pagi hari ini.
“Kamu masih mau di sini?” Tanya Rama.
Fika hanya diam, perlahan-lahan Rama menuntun Fika mendekat ke arah papan. Badannya mulai tegak, Fika ikut meletakkan setangkai bunga di atas gundukan tanah tersebut.
“Pa, Fika pulang dulu ya. Fika bakalan sering ke sini buat jenguk Papa. Sekarang Papa udah bisa temenin Mama setiap hari, Papa udah ngga perlu khawatir sama Mama, akhirnya kalian bisa berdua terus.” Ucap Fika.
“Kita pamit ya Pa. Ayo Fik.” Ucap Rama.
Rama kembali menuntun Fika berjalan pelan meninggalkan tempat peristirahatan Papa.
Fika duduk di lantai beralaskan karpet, bersandar pada tepian tempat tidur, memegang sebuah bingkai foto dirinya bersama Papa dan juga Mama. Kesedihannya masih belum juga sirna, air matanya masih mengalir melewati pipinya.
Pintu terbuka dari luar, Rama kembali masuk membawakan secangkir teh panas kesukaan Fika. Ia meletakkan cangkir tersebut di atas meja, kemudian ia duduk di samping Fika. Rama terdiam sesaat melihat Fika yang masih menangis sesenggukan.
“Udah, ngga usah nangis lagi...”
Ucapan Rama membuat tangisan Fika semakin menjadi.
“...malah tambah keras nangisnya.” Ucap Rama.
Fika melepas bingkai foto yang ia genggam sedari tadi.Plak! Pukulan pelan berhasil mengenai lengan Rama sekalipun ia tidak melihat ke arah Rama.
“Kamu ngga peka...”
Fika pun menatap Rama dan masih menangis.
“...aku lagi sedih... malah disuruh diem... Kapan kamu mau punya pacar kalau kayak gitu?” Ucap Fika.
Rama menghela nafas, “Kapan aku pernah bener di mata kamu.”
Gerimis pun turun menemani sore hari ini. Rama sempat melihat ke luar jendela, ia kembali menatap ke arah Fika.
“Kamu mau sampai kapan nangis kayak gitu? Kamu ngga kasihan sama Papa?...”
Air mata masih menetes melewati pipi Fika.
“...ini udah hari ke berapa kamu nangis terus sampai aku aja udah ngga inget. Papa udah tenang di sana, kalau kamu masih nangis terus kasihan dia.” Ucap Rama.
“Aku masih ngga terima aja Ram.” Jawabnya.
“Aku paham Fik, aku juga pernah kehilangan Ayah.” Ucap Rama lagi.
“Tapi kamu masih punya Ibu sama Lea, aku udah ngga punya siapa-siapa lagi Ram.”
Fika kembali menangis entah untuk ke sekian kalinya, rasa sedih masih sangat membekas di hatinya. Kepergian Papa menjadi pukulan keras baginya setelah beberapa tahun lalu ia sudah lebih dahulu kehilangan Mama.
“Terus kamu anggep aku ini apa?...”
Seketika Fika menghentikan tangisannya, air matanya sesekali berlinang.
“...aku masih ada di sini. Aku ngga akan ke mana-mana, aku akan selalu ada buat nemenin kamu kapan pun kamu butuh. Jangan bilang kamu udah ngga punya siapa-siapa lagi.” Jelas Rama.
Gerimis berhenti begitu saja.
“Janji ya, kapan pun aku butuh kamu akan selalu ada...”
Rama mengangguk dengan pasti.
“...sampai aku menikah nanti, kamu akan selalu ada buat aku?” Tanya Fika.
“Janji...”
Hujan deras pun datang begitu saja setelah gerimis sempat mereda. Angin yang kencang pun sesekali berhasil membawa hujan ke arah jendela.
“...udah jangan nangis lagi, makin jelek.” Ucap Rama.
Fika mengangguk pelan, ia menunduk seraya mengusap air mata di pipinya. Rama dapat mendengar dengan jelas helaan nafas Fika, ia dapat merasakan bahwa pasti sangat melelahkan untuk menangis tanpa henti selama beberapa hari.
“Ngomong-ngomong, kamu anggep aku apa tadi sampai mikir kayak gitu? Apa aku ngga penting di hidup kamu? Kamu pikir aku cuma numpang lewat kayak tai kebo?” Tanya Rama.
Fika tertawa pelan, “Ngga lucu.”
“Nah itu ketawa...” Rama juga tertawa pelan, “kayaknya aku punya bakat jadi komedian nih.”
Fika kembali tertawa pelan, ia pun menatap ke arah Rama yang sudah menatapnya entah dari kapan. Fika sempat melempar senyum kecil ke arah Rama.
“Makasih ya Ram.” Ucapnya.
Rama mengangguk, “Udah sekarang kamu minum teh dulu, aku udah bikinin susah-susah.”
Fika menyandarkan kepalanya di bahu Rama.
“Numpang ya Ram. Apa susahnya bikin teh celup gitu doang, tinggal siram pakai air panas selesai. Kalau kamu bikinin aku teh yang di dalem toples baru itu sedikit ribet.” Jawab Fika.
“Bener juga sih. Mending kamu minum teh dulu, abis itu kita makan. Ibu bawain makanan banyak banget tadi buat kamu.” Ucap Rama.
“Aku jadi ngga enak harus ngerepotin banyak orang Ram.” Sahut Fika.
“Ngga ada yang namanya ngerepotin kalau orang itu dengan sukarela mau bantuin kamu, kecuali orang itu kerjaannya ngedumel terus sampai beberapa hari ke depan.” Jawab Rama.
“Bener juga sih.” Ucap Fika singkat.
Suasana kamar mendadak hening, hanya terdengar hujan deras yang berasal dari luar. Beberapa saat berlalu, Rama melihat ke arah Fika. Seketika ia tersenyum setelah mengetahui Fika terlelap dalam tidur bersandar pada bahunya.
Rama mengambil cangkir yang berada di atas meja secara perlahan agar tidak membangunkan Fika, ia pun meminum teh yang sudah tidak terlalu panas lagi kemudian menghela nafas cukup panjang.
Waktu terus berjalan seperti biasa, Fika pun membuka matanya. Beberapa kali ia mengedipkan matanya sampai matanya kembali fokus, ia masih berada di dalam kamarnya. Tubuhnya sudah berbaring di atas tempat tidur, ia melihat ke arah lantai namun tidak menemukan Rama di sana.
Pandangannya beralih menuju jendela di mana malam sudah tiba entah sedari kapan. Ia pun juga menemukan Rama yang sedang berdiri menatap ke arah depan entah sejak kapan. Rama terlihat sedang menghembuskan asap rokok dari mulutnya, kemudian ia berjalan masuk ke dalam kamar.
“Udah bangun ternyata...”
Rama mendekat lalu duduk di samping Fika.
“...kamu mau ngapain dulu? Mandi, makan, atau mau tidur lagi?” Tanya Rama.
Tanpa diduga perut Fika berbunyi, dengan cepat ia memeluk Rama lalu memendamkan wajahnya karena malu. Rama menahan tawa sekuat tenaga, namun akhirnya ia kalah juga. Pelukan Fika semakin erat setelah mendengar tawa Rama, sesekali ia juga memukul punggung Rama pelan.
“Ayo kita makan dulu, kasihan perut kamu udah meronta-ronta.” Ucap Rama disela-sela tawanya.
Pelukannya mulai melemah, ia menatap ke arah Rama yang sudah terlebih dahulu menatapnya. Rama pun bangun dari duduknya, kemudian ia membungkukkan badannya di sebelah tempat tidur.
“Kamu ngapain Ram?” Tanya Fika.
“Kamu mau aku gendong ke bawah apa ngga? Kalau mau ayo naik.” Jawabnya.
Fika mendekat ke arah Rama lalu naik ke atas punggungnya, setelah dirasa aman Rama pun berjalan menuju lantai bawah. Setibanya di bawah, Fika duduk di bangku sementara Rama mempersiapkan makanan yang sudah diberikan Ibu. Beberapa lauk tersaji di hadapan Fika, Rama memberikan satu piring nasi kepadanya.
“Lea bantuin Ibu masak juga?” Tanya Fika.
Rama mengangguk, “Bakatnya Ibu kayaknya nurun ke dia deh, modelnya kayak kamu gitu emang suka masak. Jadi gampang deh buat bantuin Ibu.”
Rama pun selesai mempersiapkan, kemudian ia duduk di samping Fika. Mereka pun berdo’a, kemudian memulai kegiatan makan malam. Beberapa saat berlalu, Rama sedang membersikan alat makan yang telah mereka gunakan.
“Iya Bu, aku makasih banget ya udah dibawain makanan banyak banget...”
Fika sedang menghubungi Ibu lewat handphone pada malam ini.
“...iya Bu, sekali lagi makasih banyak ya udah mau bantuin aku.” Jawab Fika.
Rama mendekat, “Bu, aku pulang lusa ya. Bilang sama Lea kalau mau dibantuin dateng ke sini aja”
Fika mengangguk menyampaikan persetujuan Ibu dari panggilan tersebut, Rama beralih menuju meja makan untuk membersihkan meja tersebut.
“...Iya Bu, pasti. Sekali lagi makasih banyak ya Bu.” Jawab Fika.
Panggilan pun selesai, Fika beranjak menuju dapur untuk membuat teh panas.
“Kamu mau ngga Ram?” Tanya Fika.
Rama mengangguk sambil menatap ke arahnya. Fika memasukkan air panas ke dalam dua cangkir yang sudah berisi teh, ia pun membawa cangkir tersebut naik ke atas kamar di susul Rama dari belakang.
“Ngomong-ngomong, teh yang kamu buat tadi mana Ram?” Tanya Fika.
“Aku minum lah...” Rama menutup pintu, “kasihan banget tehnya udah dibuat pas panas-panas malah kamu tinggal tidur, aku minum aja biar dia seneng.”
Fika tertawa pelan mendengar cerita Rama, mereka beranjak menuju balkon. Fika dibuat takjub dengan langit pada malam ini hingga ia menatap lebih lama dari biasanya.
“Padahal tadi hujan deres, sekarang Bulan sama Bintang keliatan jelas banget.” Ucapnya.
Rama berdiri di samping Fika, “Aku pernah baca entah dari mana lupa. Katanya setelah badai yang menyeraman akan selalu muncul pelangi yang indah. Berhubung tadi hujannya sore, jadi pelanginya berubah jadi hamparan Bintang yang terang bersama Bulan.”
FIka menatap heran, “Kamu sebenernya itu kuliah jurusan Kimia atau Sastra sih Ram? Kenapa kamu bisa kepikiran atau baca tulisan kayak gitu?”
“Emang aku ngga boleh baca buku kayak gitu?...”
Rama menghembuskan asap rokok dari mulutnya.
“...aku juga manusia Fik, bisa bosen sama apa yang aku suka. Jadi aku juga baca buku-buku lain dan tiba-tiba inget kata-kata itu.” Jelas Rama.
Fika tersenyum mendengarkan penjelasan Rama, kemudian mereka sama-sama menatap ke arah langit yang cerah setelah hujan deras.
“Kamu juga harus bisa kayak langit malam ini Fik...”
Fika pun mengalihkan padangannya ke arah Rama.
“...setelah kamu bersedih karena kehilangan, kamu harus bisa bangkit dan bersinar seperti dulu lagi. Bukan maksud aku buat menggurui kamu sih, cuma memang kenyataannya harus seperti itu...”
Fika mendekat ke arah Rama setelah ia mematikan rokoknya.
“...butuh waktu itu pasti, kamu juga tau aku pun dulu begitu. Kamu harus kuatin diri kamu untuk menghadapi esok hari yang entah akan muncul apa.” Jelas Rama.
Fika kembali menyandarkan kepalanya di bahu Rama, ke dua tangannya memeluk lengan kiri Rama yang selalu menjadi sasaran pukulan pelannya.
“Makasih ya Ram udah mau ngingetin, emang bener sih aku harus bisa bangkit lagi. Papa pasti juga ngga mau kalau aku harus sedih terus, dia mau aku tetep bahagia sekalipun tanpa dia, bener ngga?” Ucap Fika.
“Bener...”
Mereka terdiam memandangi langit pada malam ini.
“...kamu ngga mau sekalian minta maaf?” Ucap Rama.
“Maaf? Minta maaf ke siapa?” Tanya Fika bingung.
“Sama lengan yang lagi kamu peluk, dia udah jadi sasaran pukulan kamu dari SD. Sekarang kamu malah meluk-meluk dia.” Jawab Rama.
Fika pun tertawa lepas, “Maafin aku ya lengan kiri Rama udah jadi sasaran pukulan aku dari dulu, aku yakin kamu pasti lengan yang pemaaf.”
Mereka pun tertawa bersama-sama. Hidup harus terus berlanjut sekalipun kesedihan terus menyelimuti. Memang butuh waktu, entah berapa lama. Secara perlahan namun pasti, kembali seperti dulu kala.
“Fik, kamu udah berapa lama ngga keramas?”
Plak!
*
Rama melihat sebuah buku yang ada di atas meja, secara perlahan ia mengambil buku tersebut tanpa membangunkan Fika yang sudah terlelap di bahunya. Buku pun berhasil ia ambil, secara acak ia membuka halaman dari buku tersebut.
“Setelah badai yang menyeramkan, akan selalu muncul pelangi yang indah. Bukan warna-warni melengkung, pelangimu akan jauh lebih indah dari yang selama ini kamu bayangkan.”
Rama berlari dengan kencang menuju Garasi, ia mengeluarkan motornya dari dalam lalu mengemudikan motor tersebut sesegera mungkin meninggalkan Rumah. Beberapa menit berlalu, Rama menghentikan motornya untuk membuka gerbang Rumah Fika. Rama berlari dengan cepat untuk masuk ke dalam kemudian membuka pintu.
“Fika...”
Rama berjalan cepat ke arah Fika yang sudah terduduk di lantai lalu bersandar pada dinding, air matanya sudah tak terbendung entah dari kapan.
“Fik... Fika...”
Fika menatap ke arah Rama, tangisnya semakin menjadi hingga ia memeluknya. Rama hanya bisa diam, membiarkan Fika yang sedang meluapkan kesedihannya.
“Rama...”
Dengan sengaja Rama diam.
“...Papa udah ngga ada Ram. Papa udah pergi niggalin aku sendirian di sini. Papa jahat Ram, Papa jahat!” Ucap Fika.
Rama mengusap pundak Fika beberapa kali, mencoba untuk menenangkan Fika yang sedang kalut dalam kesedihannya. Tangisannya tak kunjung reda, beberapa kali Rama hanya bisa menghela nafasnya.
“Telah terjadi kecelakaan di Jalan Asia Afrika pada tanggal 19 dini hari. Kecelakaan tersebut melibatkan satu mobil SUV dan satu truk, dilaporan bahwa pengendara mobil SUV tidak dapat diselamatkan nyawanya saat dilarikan ke Rumah Sakit...”
Rama berjalan dengan pelan sambil menuntun Fika bersama dengan beberapa orang lain. Mereka pun menghentikan langkahnya di depan sebuah galian lubang beserta peti mati yang baru saja diturunkan. Fika sama sekali tidak berhenti untuk menangisi kepergian Papa, kesedihannya sudah tidak dapat ia bendung lagi.
Peti pun secara perlahan diletakkan di dalam galian tanah dengan tali tambang, tali pun kembali ditarik setelah peti menyentuh dasar galian. Beberapa orang kembali memasukkan tanah untuk menutupi lubang berisi peti mati. Fika sudah tak kuat lagi, ia memejamkan matanya dalam dekapan Rama.
Tanah sudah menggunung, papan sudah tertancap dengan tegak ke dalam tanah. Tertulis dengan jelas sebuah nama, yang sudah pergi meninggalkan mereka. Satu persatu orang-orang yang datang meletakkan bunga di atas gundukan tanah, mendo’akan agar pemiliknya tenang di alam lain. Setelah meletakkan bunga, Tessa pun mengampiri Fika yang masih didekap Rama.
“Fik, gue balik duluan ya. Kalau lo butuh apa-apa, kabarin aja jangan sungkan.” Ucap Tessa.
“Makasih ya Tes, sekali lagi makasih.” Jawab Rama.
Tessa memaklumi jika Rama yang menanggapi ucapannya, ia pun pergi setelah berpamitan dengan Rama. Tersisalah mereka berdua, dalam keheningan pada pagi hari ini.
“Kamu masih mau di sini?” Tanya Rama.
Fika hanya diam, perlahan-lahan Rama menuntun Fika mendekat ke arah papan. Badannya mulai tegak, Fika ikut meletakkan setangkai bunga di atas gundukan tanah tersebut.
“Pa, Fika pulang dulu ya. Fika bakalan sering ke sini buat jenguk Papa. Sekarang Papa udah bisa temenin Mama setiap hari, Papa udah ngga perlu khawatir sama Mama, akhirnya kalian bisa berdua terus.” Ucap Fika.
“Kita pamit ya Pa. Ayo Fik.” Ucap Rama.
Rama kembali menuntun Fika berjalan pelan meninggalkan tempat peristirahatan Papa.
Fika duduk di lantai beralaskan karpet, bersandar pada tepian tempat tidur, memegang sebuah bingkai foto dirinya bersama Papa dan juga Mama. Kesedihannya masih belum juga sirna, air matanya masih mengalir melewati pipinya.
Pintu terbuka dari luar, Rama kembali masuk membawakan secangkir teh panas kesukaan Fika. Ia meletakkan cangkir tersebut di atas meja, kemudian ia duduk di samping Fika. Rama terdiam sesaat melihat Fika yang masih menangis sesenggukan.
“Udah, ngga usah nangis lagi...”
Ucapan Rama membuat tangisan Fika semakin menjadi.
“...malah tambah keras nangisnya.” Ucap Rama.
Fika melepas bingkai foto yang ia genggam sedari tadi.Plak! Pukulan pelan berhasil mengenai lengan Rama sekalipun ia tidak melihat ke arah Rama.
“Kamu ngga peka...”
Fika pun menatap Rama dan masih menangis.
“...aku lagi sedih... malah disuruh diem... Kapan kamu mau punya pacar kalau kayak gitu?” Ucap Fika.
Rama menghela nafas, “Kapan aku pernah bener di mata kamu.”
Gerimis pun turun menemani sore hari ini. Rama sempat melihat ke luar jendela, ia kembali menatap ke arah Fika.
“Kamu mau sampai kapan nangis kayak gitu? Kamu ngga kasihan sama Papa?...”
Air mata masih menetes melewati pipi Fika.
“...ini udah hari ke berapa kamu nangis terus sampai aku aja udah ngga inget. Papa udah tenang di sana, kalau kamu masih nangis terus kasihan dia.” Ucap Rama.
“Aku masih ngga terima aja Ram.” Jawabnya.
“Aku paham Fik, aku juga pernah kehilangan Ayah.” Ucap Rama lagi.
“Tapi kamu masih punya Ibu sama Lea, aku udah ngga punya siapa-siapa lagi Ram.”
Fika kembali menangis entah untuk ke sekian kalinya, rasa sedih masih sangat membekas di hatinya. Kepergian Papa menjadi pukulan keras baginya setelah beberapa tahun lalu ia sudah lebih dahulu kehilangan Mama.
“Terus kamu anggep aku ini apa?...”
Seketika Fika menghentikan tangisannya, air matanya sesekali berlinang.
“...aku masih ada di sini. Aku ngga akan ke mana-mana, aku akan selalu ada buat nemenin kamu kapan pun kamu butuh. Jangan bilang kamu udah ngga punya siapa-siapa lagi.” Jelas Rama.
Gerimis berhenti begitu saja.
“Janji ya, kapan pun aku butuh kamu akan selalu ada...”
Rama mengangguk dengan pasti.
“...sampai aku menikah nanti, kamu akan selalu ada buat aku?” Tanya Fika.
“Janji...”
Hujan deras pun datang begitu saja setelah gerimis sempat mereda. Angin yang kencang pun sesekali berhasil membawa hujan ke arah jendela.
“...udah jangan nangis lagi, makin jelek.” Ucap Rama.
Fika mengangguk pelan, ia menunduk seraya mengusap air mata di pipinya. Rama dapat mendengar dengan jelas helaan nafas Fika, ia dapat merasakan bahwa pasti sangat melelahkan untuk menangis tanpa henti selama beberapa hari.
“Ngomong-ngomong, kamu anggep aku apa tadi sampai mikir kayak gitu? Apa aku ngga penting di hidup kamu? Kamu pikir aku cuma numpang lewat kayak tai kebo?” Tanya Rama.
Fika tertawa pelan, “Ngga lucu.”
“Nah itu ketawa...” Rama juga tertawa pelan, “kayaknya aku punya bakat jadi komedian nih.”
Fika kembali tertawa pelan, ia pun menatap ke arah Rama yang sudah menatapnya entah dari kapan. Fika sempat melempar senyum kecil ke arah Rama.
“Makasih ya Ram.” Ucapnya.
Rama mengangguk, “Udah sekarang kamu minum teh dulu, aku udah bikinin susah-susah.”
Fika menyandarkan kepalanya di bahu Rama.
“Numpang ya Ram. Apa susahnya bikin teh celup gitu doang, tinggal siram pakai air panas selesai. Kalau kamu bikinin aku teh yang di dalem toples baru itu sedikit ribet.” Jawab Fika.
“Bener juga sih. Mending kamu minum teh dulu, abis itu kita makan. Ibu bawain makanan banyak banget tadi buat kamu.” Ucap Rama.
“Aku jadi ngga enak harus ngerepotin banyak orang Ram.” Sahut Fika.
“Ngga ada yang namanya ngerepotin kalau orang itu dengan sukarela mau bantuin kamu, kecuali orang itu kerjaannya ngedumel terus sampai beberapa hari ke depan.” Jawab Rama.
“Bener juga sih.” Ucap Fika singkat.
Suasana kamar mendadak hening, hanya terdengar hujan deras yang berasal dari luar. Beberapa saat berlalu, Rama melihat ke arah Fika. Seketika ia tersenyum setelah mengetahui Fika terlelap dalam tidur bersandar pada bahunya.
Rama mengambil cangkir yang berada di atas meja secara perlahan agar tidak membangunkan Fika, ia pun meminum teh yang sudah tidak terlalu panas lagi kemudian menghela nafas cukup panjang.
Waktu terus berjalan seperti biasa, Fika pun membuka matanya. Beberapa kali ia mengedipkan matanya sampai matanya kembali fokus, ia masih berada di dalam kamarnya. Tubuhnya sudah berbaring di atas tempat tidur, ia melihat ke arah lantai namun tidak menemukan Rama di sana.
Pandangannya beralih menuju jendela di mana malam sudah tiba entah sedari kapan. Ia pun juga menemukan Rama yang sedang berdiri menatap ke arah depan entah sejak kapan. Rama terlihat sedang menghembuskan asap rokok dari mulutnya, kemudian ia berjalan masuk ke dalam kamar.
“Udah bangun ternyata...”
Rama mendekat lalu duduk di samping Fika.
“...kamu mau ngapain dulu? Mandi, makan, atau mau tidur lagi?” Tanya Rama.
Tanpa diduga perut Fika berbunyi, dengan cepat ia memeluk Rama lalu memendamkan wajahnya karena malu. Rama menahan tawa sekuat tenaga, namun akhirnya ia kalah juga. Pelukan Fika semakin erat setelah mendengar tawa Rama, sesekali ia juga memukul punggung Rama pelan.
“Ayo kita makan dulu, kasihan perut kamu udah meronta-ronta.” Ucap Rama disela-sela tawanya.
Pelukannya mulai melemah, ia menatap ke arah Rama yang sudah terlebih dahulu menatapnya. Rama pun bangun dari duduknya, kemudian ia membungkukkan badannya di sebelah tempat tidur.
“Kamu ngapain Ram?” Tanya Fika.
“Kamu mau aku gendong ke bawah apa ngga? Kalau mau ayo naik.” Jawabnya.
Fika mendekat ke arah Rama lalu naik ke atas punggungnya, setelah dirasa aman Rama pun berjalan menuju lantai bawah. Setibanya di bawah, Fika duduk di bangku sementara Rama mempersiapkan makanan yang sudah diberikan Ibu. Beberapa lauk tersaji di hadapan Fika, Rama memberikan satu piring nasi kepadanya.
“Lea bantuin Ibu masak juga?” Tanya Fika.
Rama mengangguk, “Bakatnya Ibu kayaknya nurun ke dia deh, modelnya kayak kamu gitu emang suka masak. Jadi gampang deh buat bantuin Ibu.”
Rama pun selesai mempersiapkan, kemudian ia duduk di samping Fika. Mereka pun berdo’a, kemudian memulai kegiatan makan malam. Beberapa saat berlalu, Rama sedang membersikan alat makan yang telah mereka gunakan.
“Iya Bu, aku makasih banget ya udah dibawain makanan banyak banget...”
Fika sedang menghubungi Ibu lewat handphone pada malam ini.
“...iya Bu, sekali lagi makasih banyak ya udah mau bantuin aku.” Jawab Fika.
Rama mendekat, “Bu, aku pulang lusa ya. Bilang sama Lea kalau mau dibantuin dateng ke sini aja”
Fika mengangguk menyampaikan persetujuan Ibu dari panggilan tersebut, Rama beralih menuju meja makan untuk membersihkan meja tersebut.
“...Iya Bu, pasti. Sekali lagi makasih banyak ya Bu.” Jawab Fika.
Panggilan pun selesai, Fika beranjak menuju dapur untuk membuat teh panas.
“Kamu mau ngga Ram?” Tanya Fika.
Rama mengangguk sambil menatap ke arahnya. Fika memasukkan air panas ke dalam dua cangkir yang sudah berisi teh, ia pun membawa cangkir tersebut naik ke atas kamar di susul Rama dari belakang.
“Ngomong-ngomong, teh yang kamu buat tadi mana Ram?” Tanya Fika.
“Aku minum lah...” Rama menutup pintu, “kasihan banget tehnya udah dibuat pas panas-panas malah kamu tinggal tidur, aku minum aja biar dia seneng.”
Fika tertawa pelan mendengar cerita Rama, mereka beranjak menuju balkon. Fika dibuat takjub dengan langit pada malam ini hingga ia menatap lebih lama dari biasanya.
“Padahal tadi hujan deres, sekarang Bulan sama Bintang keliatan jelas banget.” Ucapnya.
Rama berdiri di samping Fika, “Aku pernah baca entah dari mana lupa. Katanya setelah badai yang menyeraman akan selalu muncul pelangi yang indah. Berhubung tadi hujannya sore, jadi pelanginya berubah jadi hamparan Bintang yang terang bersama Bulan.”
FIka menatap heran, “Kamu sebenernya itu kuliah jurusan Kimia atau Sastra sih Ram? Kenapa kamu bisa kepikiran atau baca tulisan kayak gitu?”
“Emang aku ngga boleh baca buku kayak gitu?...”
Rama menghembuskan asap rokok dari mulutnya.
“...aku juga manusia Fik, bisa bosen sama apa yang aku suka. Jadi aku juga baca buku-buku lain dan tiba-tiba inget kata-kata itu.” Jelas Rama.
Fika tersenyum mendengarkan penjelasan Rama, kemudian mereka sama-sama menatap ke arah langit yang cerah setelah hujan deras.
“Kamu juga harus bisa kayak langit malam ini Fik...”
Fika pun mengalihkan padangannya ke arah Rama.
“...setelah kamu bersedih karena kehilangan, kamu harus bisa bangkit dan bersinar seperti dulu lagi. Bukan maksud aku buat menggurui kamu sih, cuma memang kenyataannya harus seperti itu...”
Fika mendekat ke arah Rama setelah ia mematikan rokoknya.
“...butuh waktu itu pasti, kamu juga tau aku pun dulu begitu. Kamu harus kuatin diri kamu untuk menghadapi esok hari yang entah akan muncul apa.” Jelas Rama.
Fika kembali menyandarkan kepalanya di bahu Rama, ke dua tangannya memeluk lengan kiri Rama yang selalu menjadi sasaran pukulan pelannya.
“Makasih ya Ram udah mau ngingetin, emang bener sih aku harus bisa bangkit lagi. Papa pasti juga ngga mau kalau aku harus sedih terus, dia mau aku tetep bahagia sekalipun tanpa dia, bener ngga?” Ucap Fika.
“Bener...”
Mereka terdiam memandangi langit pada malam ini.
“...kamu ngga mau sekalian minta maaf?” Ucap Rama.
“Maaf? Minta maaf ke siapa?” Tanya Fika bingung.
“Sama lengan yang lagi kamu peluk, dia udah jadi sasaran pukulan kamu dari SD. Sekarang kamu malah meluk-meluk dia.” Jawab Rama.
Fika pun tertawa lepas, “Maafin aku ya lengan kiri Rama udah jadi sasaran pukulan aku dari dulu, aku yakin kamu pasti lengan yang pemaaf.”
Mereka pun tertawa bersama-sama. Hidup harus terus berlanjut sekalipun kesedihan terus menyelimuti. Memang butuh waktu, entah berapa lama. Secara perlahan namun pasti, kembali seperti dulu kala.
“Fik, kamu udah berapa lama ngga keramas?”
Plak!
*
Rama melihat sebuah buku yang ada di atas meja, secara perlahan ia mengambil buku tersebut tanpa membangunkan Fika yang sudah terlelap di bahunya. Buku pun berhasil ia ambil, secara acak ia membuka halaman dari buku tersebut.
“Setelah badai yang menyeramkan, akan selalu muncul pelangi yang indah. Bukan warna-warni melengkung, pelangimu akan jauh lebih indah dari yang selama ini kamu bayangkan.”
ippeh22 dan nuryadiari memberi reputasi
2
Kutip
Balas
Tutup