- Beranda
- Stories from the Heart
Parang Maya : Perang Santet Di Tanah Dayak
...
TS
benbela
Parang Maya : Perang Santet Di Tanah Dayak

Assalammualaikum wrwb.
Setelah cukup lama vakum, saya akhirnya balik lagi dengan cerita baru. Tentu saja, saya kembali dengan cerita horor / mistis dengan latar Kalimantan.
Pada cerita kali ini, saya akan berbagi cerita tentang pengalaman seorang transmigran asal Jawa Tengah yang mengalami berbagai peristiwa mistis di tanah Kalimantan. Tidak tanggung-tanggung, transmigran tersebut menceritakan tentang pengalamannya menghadapi santet orang Dayak yang mematikan.
Semoga para reader bisa cukup sabar mengikuti thread ini, karena ceritanya akan saya jabarkan dari awal mula kejadian hingga bagian akhir yang cukup tragis.
Selamat membaca.
Quote:
Update teratur tiap malam Senen dan malam Jumat pukul 19.00. wib
Quote:
Dilarang keras untuk memproduksi ulang cerita ini baik dalam bentuk tulisan, audio, visual, atau gabungan salah satu atau semua di antaranya tanpa perjanjian tertulis. Terima kasih
Quote:
Bab 1 : Belom Bahadat
"Belom Bahadat", dua kata yang merupakan ungkapan orang Dayak untuk selalu menjaga sikap dan perilaku di tanah Kalimantan. Tanah keramat yang kental akan adat istiadat, hutan belantara, sungai besar, binatang buas, serta hal-hal mistis di luar nalar.
Ungkapan itu pula yang membuat orang tuaku berhasil bertahan sejak memutuskan meninggalkan tanah kelahiran di pulau Jawa, untuk memperbaiki nasib dengan menjadi transmigran di Kalimantan pada awal 80an.
"Prapto, ne wis ra betah, mulih wae. Dadio buruh atawa tukang becak yo ora opo-opo. Mangan ra mangan sing penting kumpul," ucap pakde pada bapak, sewaktu kami pulang kampung setelah lima tahun tidak ada kabar.
Namun, bapak hanya tersenyum. Kata bapak, selama di perantauan kehidupan kami baik-baik saja. Tidak ada hal-hal buruk seperti yang dikhawatirkan orang-orang di kampung halaman.
"Sing penting belom bahadat, mas. Jaga sikap dan perilaku, Insha Allah kita akan baik-baik saja dimanapun berada," kata bapak.
Apa yang disampaikan bapak tidak sepenuhnya salah. Memang, sejak SD di Kalampangan hingga menamatkan pendidikan keguruan di Palangkaraya, tidak ada permasalahan berarti yang kami hadapi.
Hingga kemudian aku menjadi guru sebuah SD di pedalaman, tepatnya di hulu sungai Barito. Di sinilah pertama kali aku bersentuhan dengan betapa mistisnya tanah Kalimantan, sebuah peristiwa mengerikan yang berhubungan dengan dunia arwah. Tidak hanya menyaksikan, tapi kualami sendiri hingga membuatku dihantui ketakutan dan trauma sampai detik ini.
Tragedi ini kualami pada awal tahun 2000an, tepat dua tahun lebih sedikit ketika aku menjadi pengajar muda di desa Petak Gantung. Sebuah desa yang berada di daerah perbukitan dan dikelilingi hutan rimba.
Semua bermula pada suatu sore, saat
aku sedang bermain volly dengan para pemuda desa. Seorang bocah kecil berumur sekitar 10 tahun, terlihat berlari di atas rerumputan halaman sekolah lalu menerobos kerumunan penonton yang riuh.
Dengan menenteng es teh dalam wadah plastik gula dan nafas terengah, bocah itu segera berteriak dari pinggir lapangan.
"Pak...! Pak Kasno...!"
Berulang-ulang bocah itu berteriak tapi suaranya kalah dengan keributan penonton yang tegang. Setelah beberapa saat, baru kudari kalau ia memanggil namaku.
"Ada apa, Gau?" tanyaku sambil menyeka keringat.
Bocah ini adalah Agau, muridku yang duduk di bangku kelas 4 SD.
"Dipanggil ayah, disuruh ke rumah. Sekarang!"
"Ayahmu? Tumben."
Yang dimaksud adalah pak Salundik, ayahnya si Agau sekaligus kepala sekolah tempatku mengajar. Setahun terakhir hubunganku dengan pak Salundik merenggang.
Semua berawal dari datangnya seorang guru muda perempuan bernama Sarunai. Gadis muda berambut lurus itu, kemudian menjadi dekat denganku. Namun, pak Salundik sepertinya tidak suka aku dekat dengan anaknya.
"Baik, Gau. Aku ke rumah setelah ganti pakaian."
Agau kemudian berlalu, biasanya sore seperti ini pergi ke sungai bersama teman-temannya. Aku lantas ke rumah dinas di belakang sekolah, mengganti pakaian olah raga dengan baju biasa.
*****
Kupacu sepeda motor melewati jalan desa yang masih berupa tanah merah. Motor beberapa kali terhentak karena jalan yang tidak rata. Di depan rumah-rumah penduduk, berdiri patung berbentuk manusia terbuat dari kayu ulin yang disebut Sapundu, serta rumah kecil yang dinamakan Sandung.
Sapundu, merupakan bentuk penghormatan pada leluhur atau anggota keluarga yang telah meninggal. Konon, pada jaman dahulu patung Sapundu digunakan untuk mengikat kurban manusia, sebagai persembahan pada orang yang meninggal. Kurban manusia itu merupakan tawanan dari hasil berperang dengan suku atau kampung lainnya.
Sedangkan Sandung, digunakan sebagai tempat menyimpan kerangka tulang belulang orang yang telah meninggal. Di dalam Sandung, diletakkan berbagai sajen berupa kayu gaharu bakar, kopi, rokok, daging babi dan ayam, tuak baram, aneka kue dan hidangan lain. Pagi hari dipersembahkan, malam hari sudah menghilang. Entah siapa yang mengambil, aku tidak mau cari perkara.
Memang, desa ini masih kental akan adat istiadat warisan leluhur. Selain itu, sebagian besar penduduk menganut kepercayaan lama yang disebut Kaharingan. Sebuah kepercayaan yang telah ada jauh sebelum agama-agama besar masuk ke negeri ini.
Setelah beberapa menit, motorku akhirnya tiba di pekarangan rumah pak Salundik. Rumahnya berbentuk panggung, dengan halaman yang cukup luas dan ditanami tebu hitam berbaris rapi di balik pagar. Sebuah Sapundu berwujud wanita berdiri tegak, mendiang istrinya pak Salundik.
Di teras, terlihat tiga orang lelaki tengah bercengkrama. Dua orang sudah separuh baya, dan seorang lagi masih muda. Pria dengan perawakan berisi sudah sangat kukenal, pak Salundik. Pria yang duduk di hadapannya, wajahnya tak pernah kulihat di desa ini. Sedangkan yang muda, bisa jadi anaknya bapak itu.
Mendadak perasaanku menjadi tidak nyaman. Sepertinya pak Salundik hendak mengenalkanku pada calon besan dan menantunya.
Cilaka, batinku. Dalam beberapa minggu kedepan aku akan terpuruk dalam sakitnya penderitaan asmara.
Tapi aku tak gentar, apapun akan kuhadapi agar Sarunai menjadi jodohku.
Begitu melihatku datang, tiga pria tadi bergegas menuruni tangga dengan wajah lega. Segera kuparkir motor dibawah pohon jambu dan bergegas menghampiri mereka yang sepertinya tidak sabar menunggu.
"Kasno, antar saya ke seberang, ya!?" seloroh pak Salundik tanpa basa basi.
"I-inggih pak," jawabku terbata.
"Motorku sedang rusak, jadi aku minta tolong antarkan ke desa seberang, desa Sei Bahandang."
"Inggih pak, tidak masalah."
Rupanya bapak-bapak tadi adalah tamunya pak Salundik. Yang tua namanya pak Gerson, mantan pambakal(kepala desa) yang gagal kembali menjabat pada pilkades lalu. Sedangkan si pria muda adalah tukang ojek yang mengantarnya dari ibukota kecamatan.
"Bang Kasno !"
Aku tersentak saat suara merdu nan manja memanggil dari teras. Berpegangan pada pagar, gadis itu tersenyum malu-malu polos.
Sarunai!
Rambutnya yang hitam lurus tergerai, bergoyang pelan tertiup angin. Kurasakan tubuhku panas dingin, saat matanya yang tajam menatap ke arahku.
"Bang Kasno, jangan melamun!"
"Eh, iya dek... Ada apa?"
"Nanti pulang dari kecamatan, bawain martabak ya."
"Iya dek, tenang aja. Kubawakan yang paling besar buat dek Sarunai," balasku seraya menebar senyum.
"Ehm..."
Pak Salundik berdehem cukup keras. Sepertinya gusar melihat kemesraanku dan anaknya.
"Sarunai, ambilkan tas rotanku. Masukkan senter, sepertinya kami pulang malam," perintah pak Salundik pada Sarunai.
*****
Dua buah sepeda motor pergi meninggalkan desa, menuju ibukota kecamatan melewati jalan yang membelah belantara. Sepanjang jalan, pohon-pohon besar berdiri tegak, tinggi menjulang di kiri dan kanan.
Sesekali terdengar bunyi klakson yang sangat nyaring dari depan, menandakan truck kayu logging akan lewat.
Duduk di boncengan, kata Pak Salundik, ia dimintai tolong untuk mengobati anaknya pak Gerson yang sakit sejak enam bulan terakhir. Gara-gara anaknya sakit, pak Gerson sampai memutuskan mundur dari pemilihan pambakal dan fokus demi kesembuhan sang anak.
Pak Gerson bahkan pernah membawa putrinya berobat sampai ke rumah sakit di Banjarmasin, tapi tidak ada hasil. Dan pak Salundik adalah orang pintar ketiga yang diminta untuk menyembuhkan anaknya. Memang, pak Salundik dikenal sebagai orang yang mengerti perihal gaib, kendati menolak disebut dukun.
"Tadi kata pak Gerson, anak perempuannya sakit aneh. Suka mengamuk dan berteriak-teriak setelah matahari terbenam. Ia juga suka melempar barang-barang di rumah. Yang paling aneh, anaknya hanya mau makan ayam mentah yang masih berdarah."
Aku yang awalnya tidak tertarik, menjadi penasaran ketika mendengar ada orang makan ayam hidup-hidup.
"Ayam mentah masih berdarah? Ayam hidup, pak?"
"Iya...Sungguh aneh. Gadis kecil usia 10 tahun, selama enam bulan ini menolak makan nasi layaknya manusia normal. Ia hanya mau makan ayam mentah yang masih berdarah. Sungguh gadis yang malang," keluh pak Salundik.
Sulit kubayangkan ada gadis kecil berperilaku liar bagai hewan buas. Firasatku mengatakan, anaknya pak Gerson kena gangguan mahluk halus.
"Terus pak, apa kata pak Gerson lagi?"
Pak Salundik diam, membenarkan duduknya karena motor kembali terhentak-hentak. Jalanan tanah liat membuatku harus ekstra hati-hati agar tidak tergelincir. Apalagi di sisi kiri berupa jurang yang sangat dalam.
"Kata pak Gerson, anaknya kemungkinan kena parang maya. Sebenarnya aku malas bila harus berurusan dengan parang maya, terlalu beresiko."
"Pa-parang maya? Maksudnya, santet?"
"Iya, bisa dibilang semacam santet. Salah penanganan, bisa-bisa malah menyasar yang menyembuhkan. Karena itulah, sudah lebih dari 20 tahun ini aku tidak mau berurusan dengan parang maya. Hanya saja, bila benar terkena parang maya, sepertinya ada yang janggal."
"Janggal, maksudnya janggal bagaimana, pak," tanyaku penasaran.
"Parang maya berbeda dengan karuhei atau pun pulih. Karuhei akan membuat orang jadi linglung, sedangkan pulih membuat tubuh membusuk dan penuh belatung.
Jika benar terkena parang maya, harusnya anaknya sudah meninggal di hari ke 40. Sangat aneh anak itu bisa bertahan selama 6 bulan. Oleh karena itu aku penasaran, seperti ada sesuatu yang mendorongku untuk ke sana. Mungkin saja...."
Kalimat pak Salundik tertahan, seperti ada yang disembunyikan.
Kupacu motor lebih cepat, agar tidak terlalu jauh dengan ojeknya pak Gerson di depan. Setelah melewati mess perusahaan kayu yang terbengkalai, kami melewati telaga jimat. Sebuah telaga angker yang memiliki air jernih dan tenang, serta dikelilingi pohon pisang bangkaran.
Di depan telaga, di bawah pohon besar, berdiri sebuah sandung yang ditutupi kain kuning. Penanda bahwa daerah tersebut kawasan keramat dan ada penunggunya.
Entah kenapa seketika aku merasa tengkuk terasa hangat, seperti ada yang meniup.
"Mungkin saja, ini adalah cara agar kau tak lagi mendekati putriku," tutur pak Salundik seraya menepuk pundakku tiga kali.
...bersambung...
Quote:
Jangan lupa saya di karyakarsa.com
Chapter 2 udah bisa dibaca di sana yak 😁
https://karyakarsa.com/benbela/p-147629
Diubah oleh benbela 22-05-2022 19:17
bauplunk dan 107 lainnya memberi reputasi
106
46.5K
Kutip
433
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Tampilkan semua post
TS
benbela
#47
Quote:
Bab 2 : Pak Salundik
Entah apa maksud pak Salundik berucap seperti itu, aku tidak ambil pusing. Tiba di pertigaan, kuarahkan sepeda motor belok kiri, melalui bukit belah yang dibuat pada jaman Belanda.
Setelah itu, kubawa motor berhati-hati menuruni jalur bukit ular yang curam. Dikatakan bukit ular, karena jalan yang melintasi bukit ini berkelok-kelok seperti ular. Lengah sedikit, pengendara akan terjatuh ke dalam jurang yang sangat dalam.
Sesudah melewati beberapa dusun dan kebun karet warga, akhirnya kami tiba di ibukota kecamatan. Tempat ini didiami oleh sebagian besar penduduk Dayak pesisir yang menganut agama muslim. Selain itu juga ada pendatang dari Banjar, Jawa, bahkan Sumatera.
Setelah mendapatkan tempat parkir, aku, pak Salundik dan pak Gerson langsung meniti tangga kayu menuju dermaga. Sedangkan si tukang ojek, kembali ke tempat mangkal untuk mencari penumpang.
Begitu menjejakkan kaki di dermaga, seorang juru mudi perahu motor atau kelotok langsung menghampiri.
"Mau kemana, mang?" tanyanya dengan logat Dayak pesisir yang kental.
"Sei Bahandang," jawab pak Gerson.
Tawar menawar harga selesai, kami bertiga lalu mengikuti si juru mudi menuju kelotok yang bertambat.
Pak Gerson orang pertama yang masuk ke dalam kelotok, kemudian disusul pak Salundik. Ketika aku menjejakkan kaki di dalam kelotok, tiba-tiba kepalaku terasa sangat pusing. Dunia terlihat berputar-putar dan pandanganku menjadi gelap.
Bruuk...!
Tubuhku ambruk seketika dan kepalaku membentur sisi kelotok yang keras. Asam lambung terasa naik dan perutku mendadak perih bagai ditusuk jarum.
"Hoeekk...!"
Tak sanggup lagi ditahan, kumuntahkan isi perut. Berpegangan pada sisi kelotok, aku muntah berkali-kali di sungai Barito.
"Kasno, kamu kenapa?" tanya pak Salundik panik.
Tidak ada kata-kata yang keluar, lagi-lagi isi perutku berhamburan di sungai, jadi makanan ikan-ikan. Mataku sampai berair dan tubuhku benar-benar kehilangan tenaga.
"Kenapa dia?" tanya pak Gerson bingung.
"Entahlah, mungkin masuk angin. Bisa juga takut sungai, dia tidak bisa berenang," jawab pak Salundik sembari memijat-mijat pundakku.
Kembali tengkukku terasa hangat, sepertinya sengaja ditiup pak Salundik.
"Bagaimana, mang, jadi berangkat?" seru juru mudi sambil memegang haluan kelotok.
Pak Gerson menatap pak Salundik dan dibalas anggukan.
"Berangkat bang!" sahut pak Gerson.
Pak Salundik dan pak Gerson lalu memapah tubuhku, membiarkanku berbaring di dalam kelotok. Deru mesin kelotok langsung meraung-raung, membawa kami mengarungi Barito ke arah hilir.
*****
"Naik kelotok kok mabuk, mang? Kayak orang susah aja, he...he...he..." ledek juru mudi di balik kemudi.
Tidak kugubris celetukannya, otakku dilanda kebingungan. Jika mabuk karena naik kapal laut atau mobil, aku masih maklum. Tapi naik kelotok? Sungguh diluar nalar.
"Minum dulu."
Pak Salundik menyerahkan sebotol air mineral dari tasnya, tapi aku menolak.
"Gak usah, pak. Terima kasih," balasku.
"Minum saja, agar cepat baikan," paksa pak Gerson.
Mereka berdua terus bersikukuh sehingga aku benar-benar terpojok.
Setelah mengucap basmallah, dengan terpaksa kuminum air pemberian pak Salundik. Instingku mengatakan bahwa air ini tidak beres. Aku curiga, pak Salundik punya maksud tersembunyi.
Meski tidak bisa berenang, sudah berkali-kali aku naik kelotok tapi tak pernah mabuk. Jika dirunut, semua seakan menjadi jelas.
Pertama, di perjalanan tadi ia meniup tengkuk lalu memukul pundakku tiga kali. Kedua, ia memaksaku meminum air pemberiannya. Dan yang paling jelas, apa maksudnya dengan berkata ini adalah cara agar aku tidak lagi dekat dengan Sarunai.
Kurasa kecurigaanku tidak berlebihan. Semua orang di desa tahu tentang kemampuannya. Selain sebagai kepala sekolah, pak Salundik memang dikenal sebagai "panatamba". Yaitu orang yang kerap diminta bantuan bila ada orang sakit atau kena gangguan mahluk halus.
Biasanya pak Salundik membacakan doa-doa pada air mineral botolan yang dibawa sendiri oleh warga. Bila agak berat, pak Salundik minta disiapkan ayam putih dan merah, lalu mendatangi rumah warga itu untuk melakukan ritual tertentu.
Memang, masyarakat di sini lebih percaya pada mistis daripada hal medis. Apalagi, puskesmas sering kosong karena tidak ada petugas yang berjaga.
Aku tidak menampik, pak Salundik tidak pernah meminta bayaran. Karena itu ia menolak disebut dukun, apalagi ia tidak membuka praktek. Meski begitu, selalu saja ada warga yang memberikan sayur hasil kebun atau padi hasil panen sebagai ucapan terima kasih.
Pak Salundik juga pernah diminta pambakal( kepala desa ) untuk menjadi mantir, yaitu tetua adat di kampung. Namun beliau menolak dengan alasan belum layak.
Meski begitu, beliau kerap memimpin upacara ritual manugal, yaitu ritual untuk memulai musim tanam.
Pada saat musim panen, maka beliau juga diminta memimpin ritual mangetem.
Awalnya, aku menganggap apa yang dilakukan pak Salundik tidak lebih karena ia dituakan. Hanya Sebagai penghormatan warga desa pada orang yang lebih mengerti perihal adat istiadat.
Akan tetapi, semua pandanganku tentangnya berubah pada tahun lalu. Waktu itu, ibukota kecamatan gempar karena murid-murid SMA di sana mengalami kesurupan massal selama berhari-hari.
Ustadz, pendeta maupun basir angkat tangan. Petugas polsek dan koramil juga tidak tahu harus berbuat apa. Hingga pada hari kelima, pak Camat meminta pak Salundik untuk melakukan ritual pembersihan. Aku ingat sekali peristiwa hari itu, karena aku dan beberapa orang guru juga menemani pak Salundik ke SMA di kecamatan.
Waktu itu, pak Salundik hanya membacakan doa-doa pada segelas air, lalu memercikannya pada sudut-sudut sekolah menggunakan daun kelapa yang dianyam.
Aktivitas pak Salundik terhenti pada sebuah pohon besar yang baru ditebang di belakang kelas 1. Ia kemudian berbicara dalam bahasa Dayak, lalu menuangkan seluruh air pada batang pohon itu.
Sungguh ajaib, seluruh siswa perempuan yang berteriak-teriak di seluruh penjuru sekolah mendadak berhenti.
"Lain kali, jangan sembarangan menebang pohon. Bisa-bisa ada penghuninya. Tidak salahnya memberi sedikit sesaji sebagai bentuk penghormatan atau permisi pada penghuni alam bawah. Adat diisi, lembaga dituang. Ingatlah untuk selalu belom bahadat," ucap pak Salundik seraya menyeka peluh di dahi.
"E-eh, iya pahari. Kami khilaf. Rencananya kami akan mengadakan penambahan gedung sekolah. Tapi tak disangka, sekolah ini ada penunggunya," terang kepala SMA.
Sejak hari itu, SMA di ibukota kecamatan aman tenteram hingga sekarang. Tidak ada lagi kesurupan massal atau hal mistis lainnya. Mungkin karena kemampuannya berhubungan dengan dunia arwah, tidak ada pemuda yang berani mendekati anaknya pak Salundik.
*****
Matahari semakin tergelincir ke barat. Di langit, senja kuning kemerahan sebentar lagi akan tampak. Sekitar pukul setengah lima sore, kami menginjakkan kaki di dermaga desa Sei Bahandang.
Setelah membayar jasa kelotok, kami bertiga meniti tangga menuju jalan desa. Beberapa kali aku limbung karena pusing belum hilang, untung saja pak Salundik dan pak Gerson sigap meraih tubuhku.
Setelah tertatih bagai orang tua, akhirnya aku berhasil mencapai jalan utama. Segera kuikuti langkah mereka menuju arah hulu desa.
Tatapan sinis dan bisik-bisik para ibu yang duduk-duduk di depan rumah membuatku keheranan. Mereka menatap kami penuh curiga, seolah bermusuhan pada orang asing. Memang, pada sore hari biasanya warga berkumpul di depan rumah setelah seharian beraktivitas di ladang.
Kami terus melangkah di atas jalan tanah liat yang penuh debu dan kerikil. Di depan, terdapat beberapa orang warga yang sepertinya kerja bakti memperbaiki parit dan jalan desa.
Ketika berpapasan, kuucapkan permisi sebagai tanda kesopanan. Namun, mereka sepertinya tidak menggubris. Mereka hanya sibuk dengan parang dan cangkul masing-masing.
Seorang bapak-bapak yang mengenakan singlet, sedari tadi terus memperhatikan kami. Tatto motif kembang terong menghiasi pundaknya bagian depan.
Sorot matanya tajam, mengawasi gerak-gerik kami bagai hewan buas mengincar mangsa. Pada satu titik, lelaki itu beradu mata dengan pak Salundik.
Gawat!gumamku dalam hati, mereka berdua saling menantang!
Benar saja, begitu jarak kami sudah dekat, lelaki bertatto itu mendadak berdiri. Aku bergidik ngeri saat kulihat tangannya menggengam erat sebilah mandau yang tajam.
Aku semakin panik, ketika para lelaki lainnya juga tiba-tiba berdiri. Mereka melingkari kami bertiga dengan parang dan cangkul di tangan masing-masing.
Kulirik, Pak Gerson terlihat cemas. Tubuhnya gemetar dan nafasnya memburu.
Bukannya takut, pak Salundik malah semakin mendekat dengan lelaki bertatto tadi. Ia sorongkan wajah, hingga adu tatap dengan laki-laki itu hanya dalam jarak sejengkal. Jelas sekali mereka saling menakar kekuatan.
Sakit kepalaku mendadak hilang demi melihat keadaan itu. Jantungku berdegup kencang dan darahku berdesir cepat. Aku mulai membaca surat alfatihah dalam hati, berharap bisa selamat.
Bapak-bapak yang tadi melingkari kami, saling lirik dan saling angguk, seakan kode untuk kejadian terburuk.
Pria di hadapan pak Salundik mundur selangkah, mengatur jarak untuk menebas leher.
Kuedarkan pandang, mencari celah untuk melarikan diri. Sepertinya sebentar lagi akan ada perkelahian tidak seimbang. Darah merah akan mengucur dan membasahi jalan yang berdebu dan penuh kerikil.
Karena desa ini, sesuai namanya Sei Bahandang, artinya desa Sungai Darah.
...bersambung...
Sampai jumpa malam Jumat yak

Yang ingin baca duluan part 3&4 atau sekedar mendukung, silahkan mampir ke lapak ane di karyakarsa 😁
https://karyakarsa.com/benbela/peran...h-dayak-bab-34
bauplunk dan 64 lainnya memberi reputasi
65
Kutip
Balas
Tutup