- Beranda
- Stories from the Heart
Mencintai Duda Kampungan (18+)
...
TS
adnanami
Mencintai Duda Kampungan (18+)
Mencintai Duda Kampungan
Dulu aku selalu berpikir bahwa pria berstatus duda bukanlah seseorang yang pantas untuk dijadikan pendamping. Namun sayang, kenyataan hidup membawaku pada kisah yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya.
Tuhan mempertemukan aku dengan Reza Yoga, teman lamaku yang sudah empat tahun terakhir menghilang entah kemana. Kita bertemu di kereta tujuan Bandung - Jakarta di gerbong nomor 4.
Pagi itu, aku duduk di bangku 4 A dengan memakai setelan jas warna abu - abu aku duduk seorang diri. Di stasiun selanjutnya, kereta ini berhenti. Naiklah seorang pria muda bermasker dan duduk tepat di depan seatyang kutempati.
Pria ini memakai sepatu panthofel hitam, senada dengan celananya dan juga jas outer warna cokelat muda. Kutatap wajahnya yang hanya terlihat area mata yang ditutupi kacamata bening. Aku seperti tidak asing dengan bentuk matanya yang sipit itu.
Aku mengabaikannya, "sepertinya hanya mirip, " pikirku.
Tak disangka telepon genggam pria itu berdering. Dia mengangkatnya dan berbicara dengan seseorang yang sepertinya adalah bosnya. Kudengar suara itu. Sepertinya aku mengenalinya.
Aku menampik batinku yang seolah - olah mengenal pria di depanku. Tiba - tiba perutku berbunyi.
Kruuuuk....
Ah, aku lapar. Memang, tadi belum sempat sarapan karena harus mengejar jadwal keberangkatan kereta ini pada pukul 6 pagi. Untungnya aku membawa roti di dalam tas jinjingku yang berwarna cokelat ini.
Kukeluarkan roti demi mengganjal perutku yang sudah keroncongan. Kusobek bungkusnya dan kubuka maskerku. Belum sempat aku melahapnya, pria di depanku sudah memanggil namaku dengan benar.
"Nindy?" tanya pria bermasker itu.
Aku ternganga, tak jadi menggigit roti itu. Melihat ke arah pria di depanku dan bertanya, "Siapa ya?".
Pria ini membuka maskernya. Di balik masker itu tersungging senyum lebar yang tulus. "Aku Reza, masih ingat kan?" tanyanya padaku.
Aku tak percaya, ternyata dia teman lamaku semasa sekolah. Wajahnya kini telah berubah banyak. Pipinya yang dulu mulus kini telah ditumbuhi jambang, kumis dan brewok yang cukup tebal.
"Hai? Ya ampun, aku nggak tau lho kalau ini tadi kamu. Aku masih inget lah! Dulu kan kita pernah duduk satu bangku," ucapku sambil kemudian menggigit roti yang sudah dari tadi aku ingin lahap.
Reza banyak bercerita dan bernostalgia soal masa lalu kita saat masih duduk sebangku. Lalu tibalah pada satu percakapan mengenai statusku.
"Kamu sudah nikah?" tanya dia penasaran.
"Belum, kamu?" kataku balik bertanya.
"Aku baru saja menikah bulan Maret tahun lalu... tapi sekarang sudah duda," kata Reza.
"Whattt duda?" kataku dalam hati.
Obrolan kita lalu terhenti ketika Reza akan turun di stasiun selanjutnya, kita sudah saling bertukar nomor Whatsapp. Sejak hari itu, kita kian dekat dan aku tak bisa mengontrol hatiku.
Hati yang konon kata pria yang telah mendekatiku sangat kolot dan susah untuk dimasuki... Hati yang sudah diukir oleh luka karena ulah para lelaki. Tapi kini, aku tak kuasa mengendalikan jalannya hati ini.
Mulanya biasa saja tapi intensitas komunikasi yang sering diiringi dengan lelucon recehnya yang sangat menghibur, membuatku tak berhenti memikirkan dia, Reza Yoga.
Bersambung...
Bab 2: Permintaan Random pada Tuhan
Bab 3: Bahas Nikah dengan Duda
Bab 4: Flash Back
Bab 5: Istikharah Cinta
Bab 6: Kepastian yang Ditunggu
Bab 7: Ajakan Tidur Sekamar
Bab 8: Rayuan Maut Buaya Darat
Bab 9: Test Drive
Bab 10: Pendapat Ibu
Bab 11: Alergi Masuk Mall
Bab 12: Backstreet
Bab 13: Mencari Alamat dan Kebenaran
Bab 14: Balas Budi Orang yang Didoakan
Bab 15: Tes Kejujuran
Bab 16: Restu Ibu
Bab 17: Antara Aku, Adit dan Reza
Bab 18: Teman Adit yang Kepo
Bab 19: Pacar Adit
Bab 20: Double Date
Bab 21: Klarifikasi Nindy
Bab 22: Rahasia Sovia Terbongkar
Bab 23: Perasaan Adit
Bab 24: Kisah Nindy dan Reza yang Ingin Diketahui Bobby
Bab 25: Video Bobby Viral di Mess TNI
Bab 26: Ucapan Selamat dari Adit
Bab 27: Kemesraan di kolam renang
Bab 28: Titip Rindu buat Ayah
Bab 29: Ciuman Perpisahan
Bab 30: Siapa Temennya Adit?
Bab 31: Bahas Mantan dengan Gebetan, Ketahuan Pacar
Bab 32: Pacar Ngambek... Eh Malah Ketemu Mantan
Bab 33: Sisa Rasa untuk Mantan
Bab 34: Ketika Mantan, Kekasih dan Gebetan Tinggal di Satu Atap yang Sama
Bab 35: Kencan dengan Bobby Naik Motor Mantan Pacar
Bab 36: Cinta Segitiga di Bandara
Bab 37: Ketahuan Pelukan
Bab 38: Meluluhkan Hati Mama Demi Restu
Bab 39: Tawaran Perjodohan
Bab 40: Kecelakaan Tak Terduga
Bab 41: Malaikat Penolong
Bab 42: Kedok Sang Mantan
Bab 43: Kebohongan Reza yang Tercium Oleh Budenya
Bab 44: Peringatan Calon Mertua
Bab 45: Nama Gadis yang Sama di Dalam Hati Dua Pria
Bab 46: Ditolak Calon Mertua, Diterima Ortu Gebetan
Bab 47: Mempertaruhkan Nasib di Bandung
Bab 48: Patah Hati Terhebat
Bab 49: Pulang dengan Air Mata
Bab 50: Hubungan Kandas
Bab 51: Pria Berseragam TNI di Depan Rumahku
Bab 52: Pak Darmo Pengen Punya Menantu
Bab 53: Reza Disidang Bapaknya
Bab 54: Respon Adit
Bab 55: Pak Darmo Cari Istri Apa Calon Mantu?
Bab 56 : Rahasia Duda Kampungan
Bab 57 : Jodoh untuk Adit
Bab 58 : Yang Lama Terpendam Akhirnya Diungkapkan
Bab 59: Gara - Gara Bubur Ketan Hitam
Bab 60 : SIKAT!!!
Bab 61: Sandiwara Adit
Bab 62 : Peningset Nindy
Bab 63 : Malam Mingguan dengan Duda Kampungan
Bab 64 : Godaan Menjelang Pertunangan
Bab 65: Diculik Duda Kampungan
Bab 66: Nindy Dibawa Kemana?
Bab 67 : Diajak Sewa Kamar Lagi
Bab 68 : Adit dan Firasat Cintanya
Bab 69 : Musuh dalam Selimut
Bab 70 : Tukar Jodoh si Adik Kakak
Bab 71 : Teka - Teki Dekorasi Lamaran
Bab 72 : Obrolan Renatta dan Anang
Bab 73 : Pacar Baru Duda Kampungan
Bab 74 : Jodoh untuk Masing - Masing Kita
Bab 75 : Who is Mr.S?
Bab 76 : Menyusul Calon Suami dan Diawasi Seseorang
Bab 77 : Mencuri Start Sebelum Malam Pertama?
Bab 78 : Ada Hati yang Teriris di Balik Wajah Kawan yang Meringis
Bab 79 : Teka - Teki Cinta
Bab 80 : Keraguan yang Datang tanpa Permisi
Bab 81 : Kehidupan Pria yang Mengintai Nindy
Bab 82 : Antara Sop Buah, Jodoh Seiman dan Adik Tirinya
Bab 83: Alhamdulillah SAH
Bab 84 : Teriakan di Malam Pertama
Bab 85 : Nikmatnya Malam Kedua
Bab 86 : Nasib 2 Wanita yang Menjalani Hubungan dengan Duda Kampungan
Bab 87 : Pamit ke Mantan dan Kenangannya
Bab 88 : Sisa Rasa di dalam Hati Mantan Pacar
Bab 89 : Terpikat Tutur Si Duda Kampungan
Bab 90 : Tidak Ada Fuckboy yang Bisa Dipercaya
Bab 91 : Kehamilan Halal dan Haram
Bab 92: April Ketahuan Hamil, Adrian Tak Tinggal Diam
Bab 93: Gara - Gara Tespack Garis Dua
Bab 94: Karma untuk Duda Kampungan
Bab 95 : Pembalasan Dendam April
Bab 96 : Tangisan Hati sang Duda Kampungan
Bab 97 : Neraka untuk Reza
Bab 98 : Vonis Hakim yang Dinantikan April
Bab 99: Sang Duda Insecure
Bab terakhir : Sang Dewa (TAMAT)
Follow instagram TS @_adnanami untuk mendapatkan update terbaru thread SFTH ini
Diubah oleh adnanami 13-09-2022 10:42
pintokowindardi dan 70 lainnya memberi reputasi
67
78.8K
1.7K
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52.1KAnggota
Tampilkan semua post
TS
adnanami
#139
Sisa Rasa untuk Mantan
Tak kusangka, Reza Yoga dan temannya berjalan ke arah ruangan tempat kami berdua duduk menunggu. Aku benar - benar kaget saat sorot mata Reza Yoga melihat ke arahku. Ekspresinya terkejut, begitupun denganku.
Dia kemudian menyapaku: “Nindy?”.
Aku hanya tersenyum sambil membalas sapaannya, “Halo”.
Dia duduk di depan kursi dimana aku dan Renatta duduk. Temannya juga ikut duduk di sebelahnya. Renatta membuka obrolan, “Mas, Bu Erwina sudah datang atau belum ya? Kita mau wawancara beliau, Mas!”.
“Bu Erwina datangnya siang, jam 9 biasanya. Kepagian kalian ke sini jam 7,” jawab Reza Yoga.
“Mas kenal sama temen saya?” tanya Renatta.
Aku diam saja, malas ngobrol dengan Reza. Hanya Renatta yang dari tadi aktif berbincang membahas soal orang kantor dan kegiatan yang dilaksanakan di tempat Reza Yoga bekerja. Aku seperti biasa... sibuk memainkan HP saat malas berkomunikasi dengan orang di sekitarku.
Aku whatsapp pacarku yang sedang ngambek. Aku ingin hubunganku dengan Bobby membaik seperti semula. Rasanya sudah cukup bagiku memberikan waktu padanya untuk menenangkan diri.
“Sayang... kamu masih marah? Sampe kapan?,” ketikku di chat whatsapp.
Pesanku langsung dibaca, checklist abu – abu itu langsung berubah jadi biru. Kutunggu Bobby mengetikkan sesuatu, tapi nyatanya dia tidak berniat membalas pesanku.
Aku berinisiatif menelponnya pagi ini. Barangkali dia kerja masuk siang, jadi pagi ini bisa kupakai untuk mendengarkan suaranya.
Aku pergi dari ruangan ini untuk sejenak demi menelpon Bobby dan membujuknya agar tidak lagi salah paham kepadaku dan Adit.
“Permisi, bentar,” kataku sambil melewati kaki Renatta yang menghalangi langkahku.
Aku mencari sudut sepi di kantor ini, dimana tak ada orang yang bisa menguping pembicaraanku. Kutelepon Bobby.
Berdering, dia menerima panggilanku.
“Halo,” kata Bobby.
“Halo, sayang... kamu masih ngambek?,” tanyaku.
Dia diam, hanya sebatas mendengarkan aku.
“Ok,aku minta maaf kalau bikin kamu marah. Tapi sebenernya aku sama Adit Cuma bahas titipan yang dia titipin ke aku dan aku cerita habis ketemu kakaknya secara nggak sengaja, itu aja. Kamu percaya dong sama aku!,” kataku memohon.
“Iya,” kata Bobby singkat.
“Iya gimana? Aku dimaafin kan?” tanyaku.
“Iya, dimaafin. Satu hal yang harus kamu ubah setelah ini, jangan sering – sering menghubungi Adit, baik itu telepon atau sekedar chat!,” pinta Bobby.
“Ok, deal!” kataku menyetujui permintaan Bobby.
Akhirnya hubunganku dengan kekasihku kembali seperti semula. Aku sengaja berlama – lama menelpon Bobby untuk menunggu jam 9 dan menghindar dari pertemuan dengan Reza Yoga di ruangan itu.
Dari kejauhan, kulihat Reza dan temannya sudah keluar dari ruangan yang tadi kusinggahi. Aku segera menyusul Renatta ke ruangan itu sesaat setelah panggilan teleponku dengan Bobby berakhir.
“Dari mana aja lo? Lama banget! Pake ninggalin gue sendirian pula di sini,” ungkap Renatta kesal.
“Sorry, habisnya males sih... ketemu mantan, pake ngobrol segala,” kataku.
“Mantan? Maksud lo Reza Yoga yang duda itu? Jadi yang ngobrol sama gue barusan itu orangnya? Hahahaha,” tanya Renatta heran.
“Iya, itu orang kemarin habis bikin lengan gue kesakitan tau nggak? Lo belum gue ceritain sih kejadian kemarin,” ceritaku ke Renatta.
“Kok bisa? Gue lihat dia orangnya sopan,” kata Renatta.
“Halah, baru juga ketemu sekali doang udah bisa nilai orang lo! Dia nggak seperti kelihatannya by the way,” kataku menyangkal ucapan Renatta.
Kuceritakan kronologi saat aku pergi ke rumah Adit untuk menyampaikan titipannya. Tak ketinggalan pula aku membeberkan kejadian saat Reza meremas lenganku dengan sangat kasar serta pertemuanku dengannya di pujasera.
“Ya ampuuun... nggak nyangka!” kata Renatta.
Jarum jam menunjukkan pukul 08.45 WIB. Itu artinya Bu Erwina akan segera datang sebentar lagi. Aku dan Renatta siap – siap menunggu beliau di pintu masuk kantor.
Lima belas menit kemudian, beliau datang dengan dandanan stylish-nya. Kita berdua menghampiri beliau. Dengan ramah dia tersenyum dan mempersilahkan kita berdua menuju ruangannya.
Kita wawancara beliau selama 1 jam, beliau mengajak kami ke lapangan untuk menyaksikan perlombaan Permainan Tradisional di area dinas pariwisata Semarang yang diikuti oleh anak – anak.
Bu Erwina bilang, “Untuk teknisnya, Anda bisa tanyakan ke petugas bidang lapangan, ada Mas Reza Yoga sama Mas Hendra”.
Anjir... kenapa harus dia? Bu Erwina mengajak kami untuk bertemu Reza dan Hendra yang dia sebutkan tadi.
“Ini yang namanya mas Reza dan mas Hendra, silahkan dikulik informasinya sedetail mungkin dari mereka ya! Saya ada urusan, saya permisi dulu ke ruangan saya,” ucap Bu Erwina pamitan di depanku, Renatta, Hendra dan Reza.
Bu Erwina pergi meninggalkan kami berempat di lapangan. Terpaksa aku harus ngobrol dengan Reza. Kulihat gayanya sok banget! Sok dibutuhin! Sok cool!
Karena super duper bad mood melihat tingkahnya yang sengak itu, aku bertanya pada Hendra satu pertanyaan saja. Kucatat baik – baik dan kemudian aku pamit dari hadapannya. Aku hanya menyalami Hendra, sedangkan Reza tidak.
Renatta tak bisa menahan tawanya saat melihat tingkahku dan wajah masamku.
“Hahaha Ndy... lo jutek banget hari ini sumpah! Cantik – cantik jutek,” ledek Renatta.
“Kenapa ya bisa kayak gini? Malah disuruh wawancara mantan, anjir! Gimana sih tuh Bu Erwina!,” ucapku sebal.
“Lo juga aneh, mana Bu Erwina tau kalo Reza Yoga itu mantan lo hahaha,” kata Renatta.
“Iya juga sih,” kataku menjawab dengan polos.
Renatta kemudian izin balik duluan karena harus mengantarkan Mamanya ke rumah sakit. Dia buru – buru pergi. Aku masih mau membeli sesuatu di supermarket dekat kantor Reza.
Setelah selesai belanja, aku kembali ke parkiran kantor DinPar pukul setengah 12 siang. Dan betapa apesnya aku hari itu, ban motorku tiba – tiba kempes di bagian belakang.
Aku bingung, sepertinya di sekitar sini tidak ada bengkel. Terpaksa aku mendorong motorku dari parkiran.
Saat aku menuju gerbang arah keluar, ada seseorang yang bertanya dari arah belakangku.
“Kenapa motornya?,” tanya suara pria yang sudah sangat familiar di telingaku.
Kulihat ke arahnya, ternyata Reza Yoga. Moodku yang sudah hancur semakin rusak oleh kehadirannya. Dia sedang istirahat kantor sampai jam 1.
“Nggak liat ini, ban bocor! Bengkel terdekat dimana?” tanyaku sambil menjawab dengan nada jutek.
“Ditanyain, galak amat! Lo jalan aja ke perempatan lampu merah, trus nengok ke kiri, di sana ada tambal ban,” jawab Reza memberi petunjuk.
“Sini gue bantuin! Lo yakin mau nuntun motor lo sejauh itu?” Reza Yoga menawarkan bantuan.
Dia merebut setir motorku dan mulai menuntunnya ke bengkel, aku mengikutinya jalan di belakangnya. Perasaanku campur aduk, sekarang. Ternyata dia masih peduli padaku. Hatiku mulai goyah.
Melihat aksi pertolongan Reza di waktu yang tepat seperti ini, membuatku semakin sulit untuk menghilangkan sisa rasa di dalam dadaku yang seharusnya sudah benar – benar hilang.
Kusadarkan diriku selama berjalan bersamanya, bahwa sebenarnya rasa ini tidak boleh lagi bertengger di dalam hatiku. Dia masih suami orang, dia jahat... tapi hari ini baik. Mungkin hanya hari ini...
Kita sampai di bengkel, dia menemaniku menunggu ban motorku selesai ditambal. Selama menunggu, dia banyak bertanya hal - hal yang tidak ingin kujawab.
Reza bertanya...
Bersambung ke Bab 34
Dia kemudian menyapaku: “Nindy?”.
Aku hanya tersenyum sambil membalas sapaannya, “Halo”.
Dia duduk di depan kursi dimana aku dan Renatta duduk. Temannya juga ikut duduk di sebelahnya. Renatta membuka obrolan, “Mas, Bu Erwina sudah datang atau belum ya? Kita mau wawancara beliau, Mas!”.
“Bu Erwina datangnya siang, jam 9 biasanya. Kepagian kalian ke sini jam 7,” jawab Reza Yoga.
“Mas kenal sama temen saya?” tanya Renatta.
Aku diam saja, malas ngobrol dengan Reza. Hanya Renatta yang dari tadi aktif berbincang membahas soal orang kantor dan kegiatan yang dilaksanakan di tempat Reza Yoga bekerja. Aku seperti biasa... sibuk memainkan HP saat malas berkomunikasi dengan orang di sekitarku.
Aku whatsapp pacarku yang sedang ngambek. Aku ingin hubunganku dengan Bobby membaik seperti semula. Rasanya sudah cukup bagiku memberikan waktu padanya untuk menenangkan diri.
“Sayang... kamu masih marah? Sampe kapan?,” ketikku di chat whatsapp.
Pesanku langsung dibaca, checklist abu – abu itu langsung berubah jadi biru. Kutunggu Bobby mengetikkan sesuatu, tapi nyatanya dia tidak berniat membalas pesanku.
Aku berinisiatif menelponnya pagi ini. Barangkali dia kerja masuk siang, jadi pagi ini bisa kupakai untuk mendengarkan suaranya.
Aku pergi dari ruangan ini untuk sejenak demi menelpon Bobby dan membujuknya agar tidak lagi salah paham kepadaku dan Adit.
“Permisi, bentar,” kataku sambil melewati kaki Renatta yang menghalangi langkahku.
Aku mencari sudut sepi di kantor ini, dimana tak ada orang yang bisa menguping pembicaraanku. Kutelepon Bobby.
Berdering, dia menerima panggilanku.
“Halo,” kata Bobby.
“Halo, sayang... kamu masih ngambek?,” tanyaku.
Dia diam, hanya sebatas mendengarkan aku.
“Ok,aku minta maaf kalau bikin kamu marah. Tapi sebenernya aku sama Adit Cuma bahas titipan yang dia titipin ke aku dan aku cerita habis ketemu kakaknya secara nggak sengaja, itu aja. Kamu percaya dong sama aku!,” kataku memohon.
“Iya,” kata Bobby singkat.
“Iya gimana? Aku dimaafin kan?” tanyaku.
“Iya, dimaafin. Satu hal yang harus kamu ubah setelah ini, jangan sering – sering menghubungi Adit, baik itu telepon atau sekedar chat!,” pinta Bobby.
“Ok, deal!” kataku menyetujui permintaan Bobby.
Akhirnya hubunganku dengan kekasihku kembali seperti semula. Aku sengaja berlama – lama menelpon Bobby untuk menunggu jam 9 dan menghindar dari pertemuan dengan Reza Yoga di ruangan itu.
Dari kejauhan, kulihat Reza dan temannya sudah keluar dari ruangan yang tadi kusinggahi. Aku segera menyusul Renatta ke ruangan itu sesaat setelah panggilan teleponku dengan Bobby berakhir.
“Dari mana aja lo? Lama banget! Pake ninggalin gue sendirian pula di sini,” ungkap Renatta kesal.
“Sorry, habisnya males sih... ketemu mantan, pake ngobrol segala,” kataku.
“Mantan? Maksud lo Reza Yoga yang duda itu? Jadi yang ngobrol sama gue barusan itu orangnya? Hahahaha,” tanya Renatta heran.
“Iya, itu orang kemarin habis bikin lengan gue kesakitan tau nggak? Lo belum gue ceritain sih kejadian kemarin,” ceritaku ke Renatta.
“Kok bisa? Gue lihat dia orangnya sopan,” kata Renatta.
“Halah, baru juga ketemu sekali doang udah bisa nilai orang lo! Dia nggak seperti kelihatannya by the way,” kataku menyangkal ucapan Renatta.
Kuceritakan kronologi saat aku pergi ke rumah Adit untuk menyampaikan titipannya. Tak ketinggalan pula aku membeberkan kejadian saat Reza meremas lenganku dengan sangat kasar serta pertemuanku dengannya di pujasera.
“Ya ampuuun... nggak nyangka!” kata Renatta.
Jarum jam menunjukkan pukul 08.45 WIB. Itu artinya Bu Erwina akan segera datang sebentar lagi. Aku dan Renatta siap – siap menunggu beliau di pintu masuk kantor.
Lima belas menit kemudian, beliau datang dengan dandanan stylish-nya. Kita berdua menghampiri beliau. Dengan ramah dia tersenyum dan mempersilahkan kita berdua menuju ruangannya.
Kita wawancara beliau selama 1 jam, beliau mengajak kami ke lapangan untuk menyaksikan perlombaan Permainan Tradisional di area dinas pariwisata Semarang yang diikuti oleh anak – anak.
Bu Erwina bilang, “Untuk teknisnya, Anda bisa tanyakan ke petugas bidang lapangan, ada Mas Reza Yoga sama Mas Hendra”.
Anjir... kenapa harus dia? Bu Erwina mengajak kami untuk bertemu Reza dan Hendra yang dia sebutkan tadi.
“Ini yang namanya mas Reza dan mas Hendra, silahkan dikulik informasinya sedetail mungkin dari mereka ya! Saya ada urusan, saya permisi dulu ke ruangan saya,” ucap Bu Erwina pamitan di depanku, Renatta, Hendra dan Reza.
Bu Erwina pergi meninggalkan kami berempat di lapangan. Terpaksa aku harus ngobrol dengan Reza. Kulihat gayanya sok banget! Sok dibutuhin! Sok cool!
Karena super duper bad mood melihat tingkahnya yang sengak itu, aku bertanya pada Hendra satu pertanyaan saja. Kucatat baik – baik dan kemudian aku pamit dari hadapannya. Aku hanya menyalami Hendra, sedangkan Reza tidak.
Renatta tak bisa menahan tawanya saat melihat tingkahku dan wajah masamku.
“Hahaha Ndy... lo jutek banget hari ini sumpah! Cantik – cantik jutek,” ledek Renatta.
“Kenapa ya bisa kayak gini? Malah disuruh wawancara mantan, anjir! Gimana sih tuh Bu Erwina!,” ucapku sebal.
“Lo juga aneh, mana Bu Erwina tau kalo Reza Yoga itu mantan lo hahaha,” kata Renatta.
“Iya juga sih,” kataku menjawab dengan polos.
Renatta kemudian izin balik duluan karena harus mengantarkan Mamanya ke rumah sakit. Dia buru – buru pergi. Aku masih mau membeli sesuatu di supermarket dekat kantor Reza.
Setelah selesai belanja, aku kembali ke parkiran kantor DinPar pukul setengah 12 siang. Dan betapa apesnya aku hari itu, ban motorku tiba – tiba kempes di bagian belakang.
Aku bingung, sepertinya di sekitar sini tidak ada bengkel. Terpaksa aku mendorong motorku dari parkiran.
Saat aku menuju gerbang arah keluar, ada seseorang yang bertanya dari arah belakangku.
“Kenapa motornya?,” tanya suara pria yang sudah sangat familiar di telingaku.
Kulihat ke arahnya, ternyata Reza Yoga. Moodku yang sudah hancur semakin rusak oleh kehadirannya. Dia sedang istirahat kantor sampai jam 1.
“Nggak liat ini, ban bocor! Bengkel terdekat dimana?” tanyaku sambil menjawab dengan nada jutek.
“Ditanyain, galak amat! Lo jalan aja ke perempatan lampu merah, trus nengok ke kiri, di sana ada tambal ban,” jawab Reza memberi petunjuk.
“Sini gue bantuin! Lo yakin mau nuntun motor lo sejauh itu?” Reza Yoga menawarkan bantuan.
Dia merebut setir motorku dan mulai menuntunnya ke bengkel, aku mengikutinya jalan di belakangnya. Perasaanku campur aduk, sekarang. Ternyata dia masih peduli padaku. Hatiku mulai goyah.
Melihat aksi pertolongan Reza di waktu yang tepat seperti ini, membuatku semakin sulit untuk menghilangkan sisa rasa di dalam dadaku yang seharusnya sudah benar – benar hilang.
Kusadarkan diriku selama berjalan bersamanya, bahwa sebenarnya rasa ini tidak boleh lagi bertengger di dalam hatiku. Dia masih suami orang, dia jahat... tapi hari ini baik. Mungkin hanya hari ini...
Kita sampai di bengkel, dia menemaniku menunggu ban motorku selesai ditambal. Selama menunggu, dia banyak bertanya hal - hal yang tidak ingin kujawab.
Reza bertanya...
Bersambung ke Bab 34
Diubah oleh adnanami 08-05-2022 14:47
omen34 dan 18 lainnya memberi reputasi
19
Tutup
