Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

priagodlikeAvatar border
TS
priagodlike
Kuliah & Hal-hal yang Belum Selesai
Saya adalah orang yang suka mengobrol. Lebih tepatnya, suka bicara, dan orang lain mendengarkan. Jaman kuliah, ada satu momentum ketika kawan-kawan saya begitu hobi main ke kosan untuk sekedar mendengarkan ocehan saya hingga berjam-jam, rokok berbatang-batang, dan kopi bergelas-gelas. Bukan apa-apa, bagi saya, bicara depan orang itu ibarat memuntahkan lahar dari gunung api pikiran saya. 

Apalagi kalau baru baca ngelarin bacaan satu topik. Makin menjadi-jadi saya ingin menumpahkan hasil olah bacaan saya. Buku yang saya tuntaskan dalam waktu seminggu, misalkan, bisa saya ektraksi ke dalam sebuah obrolan menjadi cuma dua sampai tiga jam. Manakala saya masuk pada sebuah obrolan, gatal rasanya kalau tidak me-mention buku yang pernah saya baca.

Namun yang aneh, semasa kuliah, meski saya suka baca buku, tapi yang saya baca bukan buku yang berkaitan dengan materi perkuliahan. Ibaratnya, materi kuliah itu ke arah timur, materi di luar kuliah ke arah barat. Saya bukan ke arah barat lagi, tapi sudah tinggal di barat. Akibatnya bisa ditebak, saya ketinggalan materi kuliah, nilai turun.

Lebih aneh lagi, selama materi itu di luar kuliah, saya suka semuanya. Kala itu jurusan yang saya ambil adalah farmasi. Maka semua materi di luar farmasi, baik itu agama, politik, filsafat, arsitektur, fengshui, pseudo-science dll, selama materi itu di luar farmasi, malah semakin saya gandrungi.

Tetapi kebiasaan itu akhirnya saya hilangkan selepas lulus kuliah. Saya lulus farmasi, konyol rasanya kalau ditanya urusan farmasi saya mematung malu karena tidak tahu. Tapi urusan di luar farmasi saya lebih banyak tahu. Padahal aspek legal saya menyatakan bahwa saya seharusnya jago dalam urusan farmasi, mengingat ijazah di rumah menyatakan bahwa saya layak menyandang gelar sarjana farmasi.

Pelan-pelan saya mengatur prioritas. Ilmu kefarmasian kembali saya tingkatkan, sementara ilmu di luar farmasi saya membatasi diri hanya cukup tahu saja. Tidak sampai ahli juga tidak apa-apa. Masalahnya adalah, orang lain sudah kadung mengenal saya sebagai orang farmasi. Sudah pasti akan menjadi rujukan orang lain, di luar farmasi, bertanya kepada saya soal farmasi. Saya harus bisa berpuasa, untuk tidak terlalu penasaran lagi terhadap sesuatu yang bukan bidang saya. Biar orang dengan bidang bersangkutan yang mendalaminya.

Agaknya "penyakit" ini tidak hanya menjangkiti saya. Di luar sana, masih ada orang yang belum memahami dia fokusnya apa, dan segmennya siapa. Orang masih tidak tahan untuk masuk ke halaman rumah orang lain, namun lupa untuk menghias rumahnya sendiri. Maksudnya, sering kita melihat orang dengan latar belakang tertentu, tapi mengomentari atau menggeluti sesuatu yang bukan ranahnya.

Hanya saja hidup ini memang acak. Raditya Dika yang jebolan ilmu politik, malah sukses jadi penulis dan stand up comedy. Pak Volodymyr Zelensky yang seorang komedian malah sukses karirnya di politik dengan menjadi presiden Ukraina. 

Jadi apa kesimpulannya?

Kalau kamu latar belakang pendidikannya X, jadilah profesi dan kegiatanmu ke kedepannya tidak jauh dari X. Jangan Y, jangan Z, dan jangan A. Dengan kamu fokus terus akan X, itu yang akan membuatmu menjadi seorang expert. Pakar. Ahli. Tapi soal kenyamanan, siapa yang tahu, meski kamu latar belakangnya seorang X, tapi kamu nyamannya menjadi Y, ya lanjutkan saja. Selama kamu nyaman dan aspek kebermanfaatannya lebih luas.

Saya pribadi, meski awalnya tak terlalu nyaman dengan dunia farmasi, dan lebih senang dengan topik agama, rasanya harus mulai mengalah pada ego. Masalahnya kalau saya giat dengan topik agama, hanya dengan modal baca buku, tidak akan mengantarkan saya menjadi ulama besar yang seperti jebolan Timur Tengah dan sekitarnya. Tentu harus ada jenjang yang harus ditempuh lagi. Sementara keilmuan farmasi, paling tidak saya sudah ada di tengah-tengah piramid, tinggal setengah jalan lagi untuk mencapai puncak.

Kalau ada bagian yang kamu belum paham dari beberapa paragraf di atas, tanya di komentar saja ya Pak!
Diubah oleh priagodlike 01-05-2022 08:56
Gludin
bayuarifs
Zero
Zero dan 14 lainnya memberi reputasi
13
3.7K
53
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Education
EducationKASKUS Official
22.5KThread13.6KAnggota
Tampilkan semua post
GludinAvatar border
Gludin
#21
Sebetulnya nggak ada semacam kewajiban seseorang bekerja di suatu industri yang ada hubungannya dengan jurusan kuliah. Bisa juga karena nasib yang membuatnya begitu. Di lingkungan teman-teman ane lumayan banyak yang kayak begini. Misal, dulu kuliah jurusan kelautan, sekarang jadi kacab di suatu bank. Ada juga kuliah jurusan admin publik, jadi orang personalia di suatu kementerian. Lulusan psikologi ngurusin UX, dst. Tetapi memang ada yang linier meski nggak banyak. Misal, lulusan psikologi menjadi psikolog, dst. Fenomena semacam ini sebetulnya sama dengan anak SMA jurusan IPA/IPS (sekarang masih ada/nggak, pembagian jurusan?) mesti kuliah yang linier dengan jurusan SMA. Anak IPA mesti kuliah jurusan ilmu alam, pun demikian dengan siswa IPS; harus kuliah jurusan ilmu sosial. Kan nggak juga harus begitu.

Kemudian yang kedua (ini yang ane agak tertarik dengan isi thread ts), ternyata banyak hal yang lebih menarik untuk diketahui lebih lanjut di luar kelas. Seperti yang ts sebutkan sendiri: selama kuliah, justru menggandrungi hal-hal di luar jurusan, seperti: agama, politik, filsafat, dst. Ane nggak tau penyebabnya secara pasti, tapi kalau melihat pengalaman dulu ane kuliah, kejadian macam ini cukup sering terjadi. Setidaknya di lingkungan pertemanan dan ane sendiri. Ini subjektif, sih, karena berdasarkan asumsi ane melihat fenomena macem ini, pengalaman sendiri, dan melihat latar belakang pendidikan.

Latar belakang pendidikan ane psikologi. Tau sendiri psikologi kayak apa. Abstrak, terlalu kreatif, intinya nggak terlalu jelas implementasinya kayak gimana. Di kelas pun cukup sering dosen malah ngasih tugas presentasi kepada mahasiswa, terlebih matakuliah penting; seperti Psi. Kepribadian, Psi. Abnormal, Psi. Klinis, dan berbagai matkul peminatan yang ane ambil (ane ngambil peminatan klinis), seperti; psikiatri, patologi anak dan remaja, dst.
Lah, mahasiswa nggak terlalu paham kok disuruh presentasi? emoticon-Nohope
Belum lagi kadang-kadang dosen nggak ada usaha dalam menyamakan pendapat saat sesi presentasi berakhir. Dalam kasus ane, ada juga matakuliah yang sebenarnya berbeda tapi materinya sama. Misal; Psikologi Umum dengan Psikologi Kepribadian.

Akhirnya apa? Ane dan temen-temen jadi bosen saat dikelas. Perkara nggak terlalu paham dengan materi kuliah juga menjadi beban tambahan juga. Selanjutnya, sama seperti yang gan ts bilang, lebih tertarik dengan hal-hal di luar kelas. Kegiatan belajar pun, lebih asyik di luar kelas daripada di dalam kelas: bikin kelompok diskusi, yang berjalan setiap akhir pekan, dari sore bahkan bisa aja berlanjut sampe jam satu malem. Justru dari kegiatan ini, ane dan temen-temen lebih banyak belajar daripada di kelas.

Misalnya, tentang Psikoanalisa punya Sigmund Freud. “Ini manusia apa-apaan, sih, kok masalah seksualitas tiba-tiba menjadi gangguan kejiwaan?” justru ane mendapatkan sedikit pemahaman saat berdiskusi dengan temen-temen ane. Salah satunya, pada era Freud, ngomongin seksualitas (nggak mesti soal berhubungan badan, misalkan kayak kita punya perasaan dengan seseorang, atau jalan dengan sosok yang kita suka) dianggap tabu. Orang-orang masa itu banyak nggak ngerti bagaimana cara mengatasinya, atau bisa juga terlalu kaget saat mengalaminya.

Ternyata masalah seksualitas di masa itu berafiliasi dengan agresivitas. Makanya nggak heran, di masa tsb, orang-orang yang mengalami dementia praecox (nenek moyang dari gangguan jiwa skizofrenia), penderitanya bermula dari permasalahan ini dan menjadi korban agresi dari tindakan seksual. Toh pun masalah agresivitas sebetulnya berasal dari keinginan untuk menunjukkan kejantanan/manhood. Dari skala kecil hingga besar seperti perang. Dalam aspek yang lebih luas, bukan perkara seksualitas saja tetapi masalah menyeimbangkan sifat feminim dan maskulin dalam diri seseorang. Kurang lebih kayak gitu-gitu lah. Kalo Freud hidup di masa sekarang, kemungkinan yang ia fokuskan bukan hal ini. Bisa jadi soal kecemasan menghadapi pandemi Covid-19 emoticon-Ngakak (S)

Kemudian juga soal implementasi dari materi yang kita dapatkan selama kuliah dengan kondisi yang sebenarnya terjadi di lapangan; realita. Sederhananya, ada gap di antara dua hal itu. Sependek ingetan ane selama kuliah, hal-hal kayak gini nggak diberitahu oleh dosen. Dalam kasus ane, ya, ane kaget banget. Karena selama ngampus, kasus yang diberikan saat dikelas, nggak sesuai dengan kondisi yang terjadi di indo, dan implementasinya beda banget. Wah, ane pernah kelabakan parah.

Selama kuliah, mulut sampe berbusa, tangan sampe pegel, otak sampe penuh buat ngapalin dan memahami cara diagnosis dan diagnosis banding DSM IV-TR (dulu belum ada DSM-5). Eh, saat magang di rsj ternyata pakek PPDGJ-III. Wah, mumet.

Ane pikir seharusnya, universitas masa kini, juga mulai menggalakkan dosen tamu yang berasal dari praktisi. Sehingga, permasalahan yang pernah ane dapetin di masa itu bisa diminimalkan. Sehingga, mahasiswa tau bagaimana implementasi materi yang didapatkan selama kuliah dan ada persiapan tambahan sebelum masuk ke dunia kerja.

Tapi juga balik lagi sih, instansi pendidikan (apa pun jenjangnya), hanya menerima peserta didik yang heterogen, bukan homogen. Maksudnya, kalau mau ahli dibidang tertentu, peserta didik harus mencarinya sendiri. Instansi pendidikan hanya memberikan blue print; cetak biru, yang dijadikan semacam peta kalau ingin ahli di suatu bidang, bentuknya berupa matakuliah, silabus, dst. Dihubungkan dalam konteks peminatan dalam kasus ane, misalkan, kan nggak semuanya mahasiswa peminatan psi. klinis mau nyebur ke instansi kejiwaan, anggaplah rsj. Kalau mau, ya, cari tau sendiri apa-apa saja persiapannya, misalkan. Agak egois memang, tapi balik lagi. Peserta didik pastilah heterogen dan instansi pendidikan fokus terhadap hal itu.

Kalau dihubungkan lagi dengan output-nya, saat mahasiswa akhirnya cabut dari kampus, keinginan mereka pasti heterogen, toh? Misal setelah keluar dari kampus, ingin kerja di mana, di bidang apa, dst, yang bisa aja nggak sesuai dengan latar belakang pendidikan. Terlepas mereka nyaman menjalankannya atau terpaksa. Kalopun terpaksa dan bikin nggak nyaman dalam menjalankannya, mereka pasti mencari cara untuk mengatasinya. Misalkan, tetap bekerja meski nggak sesuai keinginan, tapi disaat bersamaan melakukan kegiatan yang membuat mereka nyaman. Atau yaaa… keluar sepenuhnya dari ketidaknyamanan. Selama itu baik menurut mereka, monggo… ini soal pilihan.

Sepakat dengan paragraf terakhir yang ts sampaikan, untuk menjadi ahli di suatu bidang, nggak cukup hanya dengan membaca. Bahkan, sampai tahap menerapkannya pun, kadang-kadang belumlah cukup. Perkara bisa ahli sih, memang depend on seseorang dalam mengusahakannya.
priagodlike
priagodlike memberi reputasi
1
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.