- Beranda
- Stories from the Heart
KIDUNG DI ATAS TANAH JAWI
...
TS
breaking182
KIDUNG DI ATAS TANAH JAWI
Quote:
Menuliskan cerita yang berbau sejarah tidak gampang. Tulisan ini berdasarkan riset kecil dengan metode wawancara dengan orang yang lebih mengerti dan sumber terpercaya sebatas pengetahuan narasumber. Di samping itu kecintaan saya akan film -film kolosal, sandiwara radio era tahun 90-an tentang kerajaan - kerajaan di tanah Jawa mendorong saya untuk menulis. Tentu saja dengan keterbatasan ilmu pengetahuan yang saya miliki. Kidung Di Atas Tanah Jawi bercerita tentang perjalanan seorang pemuda bernama Arya Gading. Berlatar belakang kerajaan Pajang di bawah pemerintahan Sultan Hadiwijoyo. Cerita ini fiktif belaka. Baca dan nikmati. Salam Olahraga.........
Quote:

Quote:
Konten Sensitif
Quote:
EPISODE 1
GEGER DI PUCANG KEMBAR
gatra 1
gatra 2
gatra 3
gatra 4
gatra 5
gatra 6
gatra 7
gatra 8
gatra 9
gatra 10
gatra 11
gatra 12
gatra 13
gatra 14
gatra 15
gatra 16
gatra 17
gatra 18
gatra 19
gatra 20
gatra 21
gatra 22
gatra 23
gatra 24
gatra 25
gatra 26
gatra 27
gatra 28
gatra 29
gatra 30
gatra 31
gatra 32
gatra 33
gatra 34
gatra 35
gatra 36
gatra 37
gatra 38
gatra 39
gatra 40
gatra 41
gatra 42
gatra 43
gatra 44
gatra 45
gatra 46
gatra 47
gatra 48
gatra 49
Quote:
EPISODE 2
BARA API DI KAKI MERAPI
gatra 1
gatra 2
gatra 3
gatra 4
gatra 5
gatra 6
gatra 7
gatra 8
gatra 9
gatra 10
gatra 11
gatra 12
gatra 13
gatra 14
gatra 15
gatra 16
gatra 17
gatra 18
gatra 19
gatra 20
gatra 21
gatra 22
gatra 23
gatra 24
gatra 25
gatra 26
gatra 27
gatra 28
gatra 29
gatra 30
gatra 31
gatra 32
gatra 33
gatra 34
gatra 35
gatra 36
gatra 37
gatra 38
gatra 39
gatra 40
gatra 41
gatra 42
gatra 43
gatra 44
gatra 45
gatra 46
gatra 47
gatra 48
gatra 49
gatra 50
gatra 51
Quote:
Diubah oleh breaking182 30-12-2022 23:12
jundi666 dan 70 lainnya memberi reputasi
71
81.7K
Kutip
622
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
breaking182
#220
gatra 12
Quote:
SAMPAI MENJELANG tengah malam pesta pernikahan puteri Demang Dadap Ayam di desa Watu Wungkur dengan putera Demang Jambar Paksi masih kelihatan meriah. Tamu-tamu duduk di kursi masing-masing sambil menikmati hidangan dan minuman yang diantar para pelayan serta sambil menikmati gamelan dan suara pesinden Nini Warda yang lembut mengalun membawakan tembang Jawa Dhandanggula.
Udara terasa sejuk segar dan di langit bulan purnama lima belas hari tampak indah menghias langit yang ditaburi bintang gemintang. Namun sedikit lewat tengah malam, di kejauhan terdengar suara burung kedasih yang ngelangut. Orang-orang yang masih sibuk dengan tayub, tidak segera mendengar suara burung kedasih itu. Suara gamelan dengan gending-gending yang panas memaksa mereka untuk berjoged dengan ledek telah menggelitik dan menyumbat telinga mereka.
Tetapi mereka yang kelelahan, yang duduk-duduk di tepi halaman sambil menghirup wedang jahe yang hangat untuk mengatasi dinginnya malam, mendengar suara burung kedasih yang bersahut-sahutan di kejauhan.
“Suara burung itu” desis seorang anak muda yang datang dari padukuhan sebelah sambil mengunyah serabi.
“Kau mulai ketakutan?” bertanya kawannya.
Tetapi anak muda itu tertawa. Katanya, “Aku hanya mengatakan tentang suara burung itu. Apakah begini banyak kawan kita dapat menjadi ketakutan?”
Kawannya juga tertawa. Namun suara burung kedasih itu tidak segera berhenti. Masih saja terdengar berkepanjangan. Jika terdengar angin gemerisik menggoyang daun pohon turi yang tumbuh dipematang, maka suara itu bagaikan hanyut terbang mengambang diudara. Anak muda yang duduk di tepi halaman itu mulai tergelitik oleh suara itu. Mereka yang mentertawakannya, mulai menjadi gelisah pula.
Tetapi seorang anak muda yang bertubuh agak gemuk justru bangkit berdiri sambil tertawa, “Siapa mulai menjadi ketakutan?”
Tidak seorang pun yang menjawab. Namun anak muda yang agak gemuk itu berkata, “Aku akan menari lagi. Yang terdengar tentu hanya suara gamelan. Suara burung malam itu tidak akan terdengar lagi.”
Tetapi sebelum anak muda itu beranjak dari tempatnya, anak ini terhenti. Yang terdengar bukan saja suara burung kedasih. Tetapi di kejauhan juga terdengar suara burung bence. Namun dalam pada itu, orang-orang yang duduk agak jauh dari tratag itu semakin gelisah. Suara burung kedasih yang ngelangut itu masih terdengar berbaur dengan suara burung bence yang terdengar dari arah yang berpindah-pindah. Tiba-tiba saja bulu-bulu tengkuk mereka meremang ketika terdengar angin yang tertiup lebih kencang dari arah Selatan. Arah bukit yang bernama Karang Mayit.
Malam terasa menjadi semakin dingin. Titik-titik embun terasa membasahi tubuh. Ketika seekor kelelawar yang besar memburu mangsanya yang terbang merendah, seorang anak muda yang hampir saja tersambar, meloncat berdiri.
Beberapa orang kawannya terkejut. Seorang di antara mereka bertanya, “Ada apa?”
“Kelelawar itu besar sekali. Apakah itu kelelawar sesungguhnya atau danyang tempat ini? ”
“Ah, kau mulai mengigau. Lihat di wajah langit. Ada beberapa ratus kelelawar yang berterbangan. Nanti, jika fajar mulai menyingsing, kelelawar itu akan kembali ke sarangnya"
Anak muda yang berdiri itu memandang ke langit. Dilihatnya kelelawar berterbangan. Angin basah yang bertiup membuat seluruh wajah kulitnya meremang. Namun tiba-tiba saja anak muda itu melihat sesuatu. Tidak begitu jelas. Di kejauhan ia melihat sesuatu yang bergerak. Tiba-tiba saja wajahnya menjadi pucat. Tubuhnya gemetar. Dengan gagap ia mencoba untuk menjelaskan sesuatu kepada kawan-kawannya. Tetapi ternyata apa yang meloncat dari mulutnya tidak begitu jelas terdengar.
“Apa? Ada apa?” kawannya bertanya.
Mata anak muda itu bagaikan akan meloncat dari pelupuknya. Namun akhirnya ia dapat menunjuk sambil berkata tanpa arti, “Uh…itu…uh….uh.”
Beberapa orang kawannya serentak berpaling. Darah mereka tersirap sampai ke kepala. Mereka pun melihat sesuatu yang bergerak. Putih. Anak-anak muda itu menjadi pucat. Mereka benar-benar telah melihat keranda yang seperti terbang di kejauhan. Tidak begitu cepat. Sebenarnyalah, dalam kegelapan, nampak keranda yang terbang melintas. Tidak mengarah ke tempat keramaian. Namun ketakutan tiba-tiba telah mencekam mereka yang berada di sekitar tempat keramaian itu.
Keadaan pun menjadi sulit dikendalikan. Orang-orang mulai berlari-lari menuju ke rumahnya masing -masing. Bahkan para penari dan para penabuh gamelan pun berlari-larian pula meskipun mereka belum melihat keranda yang berjalan sendiri itu, karena cahaya lampu yang terang benderang di sekitar tratag itu membuat mata mereka menjadi silau Ki Bekel sudah menduga, bahwa hal seperti itu akan terjadi. Tetapi Ki Bekel memang sudah bersiap.
Karena itu, demikian tempat itu ditinggalkan oleh orang-orang yang sedang merayakan keramaian itu, maka beberapa orang anak muda yang memang sudah dipersiapan segera bersiap mengamankan segala macam barang yang tertinggal di tempat itu. Gamelan dan juga sisa dagangan dari orang-orang yang berjualan di sekitar tempat keramaian itu.
Ki Bekel yang ada di antara mereka memperhatikan keranda yang berjalan itu dari kegelapan. Sebagaimana beberapa orang anak muda, maka Ki Bekel pun telah memakai pakaian serba hitam sehingga tidak mudah terlihat dari tempat yang agak jauh.
Tetapi keranda itu berjalan terus menuju ke kuburan. Dalam pada itu, Kebo Peteng bersama dua orang pengikutnya, menyaksikan pertunjukan itu dari kejauhan. Mereka melihat bagaimana orang-orang padukuhan itu berlari-larian sebagaimana mereka duga sebelumnya. Bagi Kebo Peteng tontonan itu memang merupakan tontonan yang lucu. Sekian banyak orang di sekitar tratag itu menjadi ketakutan melihat keranda yang mereka percaya dapat terbang sendiri.
“Pengecut” desis Kebo Peteng.
Demikianlah, maka dua orang anak buah itu telah membawa Kebo Peteng ke kuburan. Mereka melintasi pematang yang tidak terlalu dekat dengan tempat keramaian yang masih nampak terang benderang. Tetapi sudah tidak ada seorang pun yang nampak dibawah cahaya lampu dan oncor. Ketika Kebo Peteng bersama dua orang pengikutnya pergi ke kuburan, maka keranda itu sudah berada di kuburan. Tetapi saat itu keranda itu memang kosong, karena para pengikut Kebo Peteng tidak sedang memindahkan barang-barang simpanan mereka ke kuburan itu.
Udara terasa sejuk segar dan di langit bulan purnama lima belas hari tampak indah menghias langit yang ditaburi bintang gemintang. Namun sedikit lewat tengah malam, di kejauhan terdengar suara burung kedasih yang ngelangut. Orang-orang yang masih sibuk dengan tayub, tidak segera mendengar suara burung kedasih itu. Suara gamelan dengan gending-gending yang panas memaksa mereka untuk berjoged dengan ledek telah menggelitik dan menyumbat telinga mereka.
Tetapi mereka yang kelelahan, yang duduk-duduk di tepi halaman sambil menghirup wedang jahe yang hangat untuk mengatasi dinginnya malam, mendengar suara burung kedasih yang bersahut-sahutan di kejauhan.
“Suara burung itu” desis seorang anak muda yang datang dari padukuhan sebelah sambil mengunyah serabi.
“Kau mulai ketakutan?” bertanya kawannya.
Tetapi anak muda itu tertawa. Katanya, “Aku hanya mengatakan tentang suara burung itu. Apakah begini banyak kawan kita dapat menjadi ketakutan?”
Kawannya juga tertawa. Namun suara burung kedasih itu tidak segera berhenti. Masih saja terdengar berkepanjangan. Jika terdengar angin gemerisik menggoyang daun pohon turi yang tumbuh dipematang, maka suara itu bagaikan hanyut terbang mengambang diudara. Anak muda yang duduk di tepi halaman itu mulai tergelitik oleh suara itu. Mereka yang mentertawakannya, mulai menjadi gelisah pula.
Tetapi seorang anak muda yang bertubuh agak gemuk justru bangkit berdiri sambil tertawa, “Siapa mulai menjadi ketakutan?”
Tidak seorang pun yang menjawab. Namun anak muda yang agak gemuk itu berkata, “Aku akan menari lagi. Yang terdengar tentu hanya suara gamelan. Suara burung malam itu tidak akan terdengar lagi.”
Tetapi sebelum anak muda itu beranjak dari tempatnya, anak ini terhenti. Yang terdengar bukan saja suara burung kedasih. Tetapi di kejauhan juga terdengar suara burung bence. Namun dalam pada itu, orang-orang yang duduk agak jauh dari tratag itu semakin gelisah. Suara burung kedasih yang ngelangut itu masih terdengar berbaur dengan suara burung bence yang terdengar dari arah yang berpindah-pindah. Tiba-tiba saja bulu-bulu tengkuk mereka meremang ketika terdengar angin yang tertiup lebih kencang dari arah Selatan. Arah bukit yang bernama Karang Mayit.
Malam terasa menjadi semakin dingin. Titik-titik embun terasa membasahi tubuh. Ketika seekor kelelawar yang besar memburu mangsanya yang terbang merendah, seorang anak muda yang hampir saja tersambar, meloncat berdiri.
Beberapa orang kawannya terkejut. Seorang di antara mereka bertanya, “Ada apa?”
“Kelelawar itu besar sekali. Apakah itu kelelawar sesungguhnya atau danyang tempat ini? ”
“Ah, kau mulai mengigau. Lihat di wajah langit. Ada beberapa ratus kelelawar yang berterbangan. Nanti, jika fajar mulai menyingsing, kelelawar itu akan kembali ke sarangnya"
Anak muda yang berdiri itu memandang ke langit. Dilihatnya kelelawar berterbangan. Angin basah yang bertiup membuat seluruh wajah kulitnya meremang. Namun tiba-tiba saja anak muda itu melihat sesuatu. Tidak begitu jelas. Di kejauhan ia melihat sesuatu yang bergerak. Tiba-tiba saja wajahnya menjadi pucat. Tubuhnya gemetar. Dengan gagap ia mencoba untuk menjelaskan sesuatu kepada kawan-kawannya. Tetapi ternyata apa yang meloncat dari mulutnya tidak begitu jelas terdengar.
“Apa? Ada apa?” kawannya bertanya.
Mata anak muda itu bagaikan akan meloncat dari pelupuknya. Namun akhirnya ia dapat menunjuk sambil berkata tanpa arti, “Uh…itu…uh….uh.”
Beberapa orang kawannya serentak berpaling. Darah mereka tersirap sampai ke kepala. Mereka pun melihat sesuatu yang bergerak. Putih. Anak-anak muda itu menjadi pucat. Mereka benar-benar telah melihat keranda yang seperti terbang di kejauhan. Tidak begitu cepat. Sebenarnyalah, dalam kegelapan, nampak keranda yang terbang melintas. Tidak mengarah ke tempat keramaian. Namun ketakutan tiba-tiba telah mencekam mereka yang berada di sekitar tempat keramaian itu.
Keadaan pun menjadi sulit dikendalikan. Orang-orang mulai berlari-lari menuju ke rumahnya masing -masing. Bahkan para penari dan para penabuh gamelan pun berlari-larian pula meskipun mereka belum melihat keranda yang berjalan sendiri itu, karena cahaya lampu yang terang benderang di sekitar tratag itu membuat mata mereka menjadi silau Ki Bekel sudah menduga, bahwa hal seperti itu akan terjadi. Tetapi Ki Bekel memang sudah bersiap.
Karena itu, demikian tempat itu ditinggalkan oleh orang-orang yang sedang merayakan keramaian itu, maka beberapa orang anak muda yang memang sudah dipersiapan segera bersiap mengamankan segala macam barang yang tertinggal di tempat itu. Gamelan dan juga sisa dagangan dari orang-orang yang berjualan di sekitar tempat keramaian itu.
Ki Bekel yang ada di antara mereka memperhatikan keranda yang berjalan itu dari kegelapan. Sebagaimana beberapa orang anak muda, maka Ki Bekel pun telah memakai pakaian serba hitam sehingga tidak mudah terlihat dari tempat yang agak jauh.
Tetapi keranda itu berjalan terus menuju ke kuburan. Dalam pada itu, Kebo Peteng bersama dua orang pengikutnya, menyaksikan pertunjukan itu dari kejauhan. Mereka melihat bagaimana orang-orang padukuhan itu berlari-larian sebagaimana mereka duga sebelumnya. Bagi Kebo Peteng tontonan itu memang merupakan tontonan yang lucu. Sekian banyak orang di sekitar tratag itu menjadi ketakutan melihat keranda yang mereka percaya dapat terbang sendiri.
“Pengecut” desis Kebo Peteng.
Demikianlah, maka dua orang anak buah itu telah membawa Kebo Peteng ke kuburan. Mereka melintasi pematang yang tidak terlalu dekat dengan tempat keramaian yang masih nampak terang benderang. Tetapi sudah tidak ada seorang pun yang nampak dibawah cahaya lampu dan oncor. Ketika Kebo Peteng bersama dua orang pengikutnya pergi ke kuburan, maka keranda itu sudah berada di kuburan. Tetapi saat itu keranda itu memang kosong, karena para pengikut Kebo Peteng tidak sedang memindahkan barang-barang simpanan mereka ke kuburan itu.
Quote:
DALAM PADA itu, beberapa orang yang sejak malam turun telah ditugaskan di kuburan untuk menggali beberapa lubang tempat menyimpan barang-barang yang berhasil mereka kumpulkan itu telah selesai. Di dalam lubang itu terdapat beberapa peti barang-barang yang berharga, yang telah mereka rampok dari orang-orang kaya yang tinggal di beberapa Kademangan, justru bukan Kademangan mereka sendiri.
Ketika Kebo Peteng sampai ke tempat itu, maka orang orang yang mengerumuni lubang tempat barang-barang itu disimpan telah menyibak. Malam di kuburan itu rasa-rasanya menjadi terlalu gelap. Tetapi ketajaman mata Kebo Peteng dapat melihat, apa yang terdapat didalam peti-peti di lubang-lubang penyimpanan itu. Apalagi ketika kemudian ia meloncat turun dan meraba barang-barang itu.
Maka sambil mengangguk-angguk Kebo Peteng itu berkata, “Kalian memang pantas mendapat pujian.”
“Terima kasih, kakang. Kami sudah menyisihkan sesuatu yang terbaik buat kakang.”
“Yang mana?” bertanya Kebo Peteng.
“Di peti yang kecil itu” jawab salah seorang anak buahnya.
Kebo Peteng sudah membuka dan melihat isi peti itu. Kebo Peteng mengangguk-angguk ketika ia melihat sebilah keris dengan pendok emas serta tretes berlian. Demikian pula pada ukiran keris itu, Meskipun malam gelap, tetapi malu Kebo Peteng melihat kilauan cahaya permata yang melekat pada keris itu. Kebo Peteng pun kemudian telah menarik keris itu dari warangkanya. Dalam kegelapan keris itu seakan-akan memancarkan cahaya kemerah-merahan.
Kebo Peteng tidak melihat dengan jelas pamor keris yang dipegangnya. Namun secara samar ia menduga bahwa keris itu memiliki pamor yang banyak dicari orang. Namun tiba-tiba saja, Kebo Peteng itu menjadi tegang.
Diangkatnya wajahnya sambil berdesis perlahan, “Ada sesuatu yang tidak wajar disini.”
“ Maksud kakang?”
“ Ada orang lain”, jawab Kebo Peteng.
“ Siapkan orang-orangmu. Timbun kembali barang-barang ini,” perintah Kebo Peteng sambil menyelipkan keris yang diperuntukkan baginya itu dipinggangnya.
Beberapa anak buahnya masih belum tanggap akan keadaan. Tetapi ia memang sudah memerintahkan kepada orang-orang yang bertugas menggalinya.
“Timbun kembali barang-barang itu.”
Orang-orang itu pun dengan cepat menimbun kembali lubang-lubang yang telah digalinya setelah Kebo Peteng meloncat naik.
Demikian ia berdiri, maka ia pun berkata “Beberapa orang ada di sekitar kita. Nah, ini juga akan menjadi tontonan yang menarik.”
“Aku tidak mengerti.”
“Aku sudah terlanjur memuji kalian. Tetapi keramaian itu tentu hanya sebuah jebakan. Bukan kita yang menjebak mereka, tetapi kitalah yang terjebak.”
“Maksud kakang?”
“Kau memang dungu. Kuburan ini sudah dikepung. Permainan kalian dengan keranda terbang yang kalian kira ditakuti orang itu ternyata telah ditertawakan banyak orang.”
“Tetapi kakang melihat sendiri, bagaimana orang-orang itu berlari-larian, bahkan saling bertubrukan. Anak-anak menangis ketakutan dan bahkan dagangan yang masih belum terjual telah ditinggalkan.”
“Tontonan yang telah dipersiapkan dengan baik oleh orang-orang padukuhan itu. Dan sekarang orang-orang padukuhan itu telah mempersiapkan tontonan yang lain di kuburan ini.”
Anak buah Kebo Peteng termangu-mangu sejenak. Namun beberapa orang pun kemudian telah memusatkan perhatiannya pada keadaan disekelilingnya. Meskipun para anak buah Kebo Peteng tidak memiliki panggraita setajam Kebo Peteng, namun anak buah Kebo Peteng pun akhirnya mengetahui juga, bahwa kuburan itu memang sudah dikepung.
Beberapa orang mampu mendekat tanpa menimbulkan bunyi gemerisik. Tetapi anak-anak muda padukuhan yang tidak memiliki landasan ilmu yang cukup itu tidak dapat meredam sentuhan kakinya dengan dedaunan kering yang bertebaran di sekitar kuburan. Daun pohon kamboja dan daun sebatang pohon preh yang besar yang tumbuh di pinggir kuburan itu.
“Setan orang-orang padukuhan” geram salah satu anak buah Kebo Peteng, “mereka datang untuk menyerahkan nyawa mereka.”
“Apa pun yang akan terjadi, tetapi ternyata bahwa mereka sudah mengetahui permainanmu. Mereka tahu bahwa kerandamu tidak menakutkan mereka, bahkan justru telah menjadi olok-olok yang memalukan.”
Kebo Peteng pun menggeram. Sementara itu, orang-orang yang menimbun barang-barang hasil kejahatan yang disembunyikan itu sudah hampir selesai.
Namun dalam pada itu, orang-orang padukuhan memang telah mengepung kuburan itu. Ki Bekel yang semula berada di tempat keramaian bersama beberapa orang anak muda yang berpakaian serba hitam, telah berada di tempat itu pula.
Ketika Kebo Peteng sampai ke tempat itu, maka orang orang yang mengerumuni lubang tempat barang-barang itu disimpan telah menyibak. Malam di kuburan itu rasa-rasanya menjadi terlalu gelap. Tetapi ketajaman mata Kebo Peteng dapat melihat, apa yang terdapat didalam peti-peti di lubang-lubang penyimpanan itu. Apalagi ketika kemudian ia meloncat turun dan meraba barang-barang itu.
Maka sambil mengangguk-angguk Kebo Peteng itu berkata, “Kalian memang pantas mendapat pujian.”
“Terima kasih, kakang. Kami sudah menyisihkan sesuatu yang terbaik buat kakang.”
“Yang mana?” bertanya Kebo Peteng.
“Di peti yang kecil itu” jawab salah seorang anak buahnya.
Kebo Peteng sudah membuka dan melihat isi peti itu. Kebo Peteng mengangguk-angguk ketika ia melihat sebilah keris dengan pendok emas serta tretes berlian. Demikian pula pada ukiran keris itu, Meskipun malam gelap, tetapi malu Kebo Peteng melihat kilauan cahaya permata yang melekat pada keris itu. Kebo Peteng pun kemudian telah menarik keris itu dari warangkanya. Dalam kegelapan keris itu seakan-akan memancarkan cahaya kemerah-merahan.
Kebo Peteng tidak melihat dengan jelas pamor keris yang dipegangnya. Namun secara samar ia menduga bahwa keris itu memiliki pamor yang banyak dicari orang. Namun tiba-tiba saja, Kebo Peteng itu menjadi tegang.
Diangkatnya wajahnya sambil berdesis perlahan, “Ada sesuatu yang tidak wajar disini.”
“ Maksud kakang?”
“ Ada orang lain”, jawab Kebo Peteng.
“ Siapkan orang-orangmu. Timbun kembali barang-barang ini,” perintah Kebo Peteng sambil menyelipkan keris yang diperuntukkan baginya itu dipinggangnya.
Beberapa anak buahnya masih belum tanggap akan keadaan. Tetapi ia memang sudah memerintahkan kepada orang-orang yang bertugas menggalinya.
“Timbun kembali barang-barang itu.”
Orang-orang itu pun dengan cepat menimbun kembali lubang-lubang yang telah digalinya setelah Kebo Peteng meloncat naik.
Demikian ia berdiri, maka ia pun berkata “Beberapa orang ada di sekitar kita. Nah, ini juga akan menjadi tontonan yang menarik.”
“Aku tidak mengerti.”
“Aku sudah terlanjur memuji kalian. Tetapi keramaian itu tentu hanya sebuah jebakan. Bukan kita yang menjebak mereka, tetapi kitalah yang terjebak.”
“Maksud kakang?”
“Kau memang dungu. Kuburan ini sudah dikepung. Permainan kalian dengan keranda terbang yang kalian kira ditakuti orang itu ternyata telah ditertawakan banyak orang.”
“Tetapi kakang melihat sendiri, bagaimana orang-orang itu berlari-larian, bahkan saling bertubrukan. Anak-anak menangis ketakutan dan bahkan dagangan yang masih belum terjual telah ditinggalkan.”
“Tontonan yang telah dipersiapkan dengan baik oleh orang-orang padukuhan itu. Dan sekarang orang-orang padukuhan itu telah mempersiapkan tontonan yang lain di kuburan ini.”
Anak buah Kebo Peteng termangu-mangu sejenak. Namun beberapa orang pun kemudian telah memusatkan perhatiannya pada keadaan disekelilingnya. Meskipun para anak buah Kebo Peteng tidak memiliki panggraita setajam Kebo Peteng, namun anak buah Kebo Peteng pun akhirnya mengetahui juga, bahwa kuburan itu memang sudah dikepung.
Beberapa orang mampu mendekat tanpa menimbulkan bunyi gemerisik. Tetapi anak-anak muda padukuhan yang tidak memiliki landasan ilmu yang cukup itu tidak dapat meredam sentuhan kakinya dengan dedaunan kering yang bertebaran di sekitar kuburan. Daun pohon kamboja dan daun sebatang pohon preh yang besar yang tumbuh di pinggir kuburan itu.
“Setan orang-orang padukuhan” geram salah satu anak buah Kebo Peteng, “mereka datang untuk menyerahkan nyawa mereka.”
“Apa pun yang akan terjadi, tetapi ternyata bahwa mereka sudah mengetahui permainanmu. Mereka tahu bahwa kerandamu tidak menakutkan mereka, bahkan justru telah menjadi olok-olok yang memalukan.”
Kebo Peteng pun menggeram. Sementara itu, orang-orang yang menimbun barang-barang hasil kejahatan yang disembunyikan itu sudah hampir selesai.
Namun dalam pada itu, orang-orang padukuhan memang telah mengepung kuburan itu. Ki Bekel yang semula berada di tempat keramaian bersama beberapa orang anak muda yang berpakaian serba hitam, telah berada di tempat itu pula.
Quote:
DALAM KETEGANGAN yang mencengkam, terdengar suara tertawa terbahak –bahak seorang pemuda. Suara itu seperti mengolok –olok Kebo Peteng dan para anak buahnya, “Kebo Peteng. Ternyata meski kau telah berusia lanjut namun selera guyonan mu sangat buruk. Apakah masa kecilmu kurang bermain dengan kawab –kawan mu? Sehingga saat sudah tua seperti ini kau masih juga bermain keranda –kerandaan ditengah malam. Kau sekarang tidak mempunyai kesempatan lagi. Menyerahlah. Kau dan orang-orangmu sudah dikepung.”
“Siapa yang telah mencoba untuk membunuh diri disini?” geram Kebo Peteng.
“ Tenyata kau sudah pikun. Baru kemarin kita bersenang –senang di kedai padukuhan ujung sana. Aku datang bersama banyak orang. Jauh lebih banyak dari orang-orangmu. Jadi kau jangan cemas kalau aku lari lagi”
Kebo Peteng terdiam. Sejurus kemudian, “ Ternyata kau dua bocah ingusan yang kemarin lari itu? Sudah bagus kemarin kau bisa meloloskan diri. Sekarang jika kau ingin membunuh diri, jangan kau bawa orang-orang yang tidak bersalah. Biarlah mereka pergi sebelum kau terbujur mati di kuburan ini.”
“Kami datang untuk menangkapmu. Menghentikan petualanganmu. Namamu yang menakutkan itu harus berakhir disini.”
“Keluar sekarang dari tempat persembunyian mu. Biarlah aku akan mencincang tubuh mu!” teriak Kebo Peteng.
Suaranya menggeletar mengguncang dedaunan. Gemanya terdengar susul-menyusul bersahut-sahutan.
Jantung orang-orang padukuhan yang mengepung kuburan itu telah tergetar pula. Teriakan Kebo Peteng itu terdengar seperti panggilan maut dari lubang-lubang kubur yang bertebaran di kuburan itu.
Tetapi terdengar suara tertawa pendek. Katanya, “Kebo Peteng, kau ingin menakut-nakuti kami?”
“Ini aku Senopati Doran Pati Geni. Senopati dari Pajang salah satu kepercayaan Sultan Hadiwijoyo”
Mendengar bualan itu. Arya Gading yang berada di sebelah Doran mati –matian menahan tawanya yang serasa akan meledak.
“Kau memang berani. Tapi jangan kau membual sampai sundul langit. Senopati macam apa yang tinggal gelanggang colong playu “
Kebo Peteng menggeram. Sementara Doran berkata selanjutnya, “Kebo Peteng kenapa kau tidak mempertimbangkan kemungkinan yang lebih baik? Menyerah, misalnya.”
“Anak iblis kau” salah satu anak buah Kebo Peteng yang berteriak, “kau harus mati. Tetapi kau akan menjadi orang terakhir yang kami bantai malam ini agar kau sempat melihat bagaimana orang –orang pedukuhan mati sia sia di kuburun Ini.”
“Bersiaplah. Kami akan mulai membantai orang-orang dungu itu.”
“Siapa yang telah mencoba untuk membunuh diri disini?” geram Kebo Peteng.
“ Tenyata kau sudah pikun. Baru kemarin kita bersenang –senang di kedai padukuhan ujung sana. Aku datang bersama banyak orang. Jauh lebih banyak dari orang-orangmu. Jadi kau jangan cemas kalau aku lari lagi”
Kebo Peteng terdiam. Sejurus kemudian, “ Ternyata kau dua bocah ingusan yang kemarin lari itu? Sudah bagus kemarin kau bisa meloloskan diri. Sekarang jika kau ingin membunuh diri, jangan kau bawa orang-orang yang tidak bersalah. Biarlah mereka pergi sebelum kau terbujur mati di kuburan ini.”
“Kami datang untuk menangkapmu. Menghentikan petualanganmu. Namamu yang menakutkan itu harus berakhir disini.”
“Keluar sekarang dari tempat persembunyian mu. Biarlah aku akan mencincang tubuh mu!” teriak Kebo Peteng.
Suaranya menggeletar mengguncang dedaunan. Gemanya terdengar susul-menyusul bersahut-sahutan.
Jantung orang-orang padukuhan yang mengepung kuburan itu telah tergetar pula. Teriakan Kebo Peteng itu terdengar seperti panggilan maut dari lubang-lubang kubur yang bertebaran di kuburan itu.
Tetapi terdengar suara tertawa pendek. Katanya, “Kebo Peteng, kau ingin menakut-nakuti kami?”
“Ini aku Senopati Doran Pati Geni. Senopati dari Pajang salah satu kepercayaan Sultan Hadiwijoyo”
Mendengar bualan itu. Arya Gading yang berada di sebelah Doran mati –matian menahan tawanya yang serasa akan meledak.
“Kau memang berani. Tapi jangan kau membual sampai sundul langit. Senopati macam apa yang tinggal gelanggang colong playu “
Kebo Peteng menggeram. Sementara Doran berkata selanjutnya, “Kebo Peteng kenapa kau tidak mempertimbangkan kemungkinan yang lebih baik? Menyerah, misalnya.”
“Anak iblis kau” salah satu anak buah Kebo Peteng yang berteriak, “kau harus mati. Tetapi kau akan menjadi orang terakhir yang kami bantai malam ini agar kau sempat melihat bagaimana orang –orang pedukuhan mati sia sia di kuburun Ini.”
“Bersiaplah. Kami akan mulai membantai orang-orang dungu itu.”
Diubah oleh breaking182 26-04-2022 16:11
MFriza85 dan 16 lainnya memberi reputasi
17
Kutip
Balas