Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

dragonroarAvatar border
TS
dragonroar
Jokowi Rajin Bangun Jalan Tol, Tapi Ujung-Ujungnya Dijual?
Jokowi Rajin Bangun Jalan Tol, Tapi Ujung-Ujungnya Dijual?

15 April 2022 17:30


Foto: Jokowi di Peresmian Ruas Tol Balikpapan-Samarinda Seksi Balikpapan-Samboja, Balikpapan, 24 Agustus 2021. (Tangkapan Layar Youtube/Sekretariat Presiden RI)

Jakarta, CNBC Indonesia - Meskipun memakan biaya tinggi dan pengembalian modal yang panjang, pembangunan infrastruktur menjadi ambisi besar presiden ketujuh Indonesia, Joko Widodo.

Infrastruktur terutama jalan menjadi tulang punggung bagi pembangunan ekonomi Indonesia. Keberadaan jalan tidak hanya menghubungkan antar wilayah tapi juga menjadi memangkas biaya logistik yang pada akhirnya menjadi stimulus bagi pertumbuhan ekonomi sekaligus mengurangi kesenjangan.

Sejatinya secara panjang jalan keseluruhan - termasuk jalan negara, provinsi dan kabupaten/kota - penambahan terbesar terjadi di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang mana selama 10 tahun kepemimpinannya jaringan jalan bertambah 144.825 km atau bertambah lebih dari sepertiga.


Akan tetapi pembangunan jalan tol yang mampu mempercepat logistik malah kurang menjadi prioritas di era Presiden SBY meskipun kala itu Indonesia mampu mencapai stabilitas politik serta perekonomian turut dibantu oleh booming komoditas seperti batu bara dan sawit.

Selama kepemimpinannya SBY mampu membangun 212 km jalan tol. Ketika ia melepas jabatannya, angka ini hanya kalah dari Soeharto yang membangun 490 km jalan tol selama 32 tahun kepemimpinan.

Akan tetapi angka-angka tersebut mendadak menjadi kerdil setelah Jokowi menjadi presiden dan memutuskan untuk fokus berinvestasi pada pembangunan infrastruktur, khususnya jalan tol.

Hingga saat ini, Jokowi telah membangun 3.000 km jalan tol, empat kali lipat lebih banyak dari total pembangunan jalan tol yang dilakukan oleh enam Presiden RI sebelumnya.

Karena ambisi besar ini, anggaran infrastruktur juga dialokasikan secara massif dari sekitar Rp 56 triliun di era SBY kini menjadi lebih dari Rp 300 triliun.

Pemerintahan Jokowi juga merumuskan proyek strategis nasional atau PSN sebagai dokumen penting untuk memandu pembangunan proyek infrastruktur penting dan strategis mulai dari Trans Papua hingga jalan tol di luar Jawa.

Jokowi juga giat membangun jalan tol di luar Jawa, termasuk Tol Balikpapan-Samarinda (Balsam) yang menjadi jalan tol pertama di Kalimantan.

Waskita Semakin Besar

Perusahaan milik negara yang bergerak di bidang jasa konstruksi, industri dan real estat menjadi salah satu yang sangat diuntungkan oleh kebijakan pembangunan infrastruktur tersebut. Salah satunya adalah BUMN karya yang merupakan emiten publik, Waskita Karya (WSKT).

Dalam lima tahun periode pertama Jokowi memimpin RI, pendapatan Waskita bertambah secara signifikan. Sepanjang 2014-2018 pendapatan Waskita melonjak 374% dari Rp 10,28 triliun pada 2014 menjadi Rp 48,79 triliun di akhir 2018, CAGR mencapai 37%.

Pada periode yang sama laba perusahaan ikut meningkat 690% dari Rp 501 miliar di 2014 menjadi Rp 3,96 triliun tahun 2018 dengan CAGR mencapai 51%.

Tidak hanya itu Waskita juga mampu meningkatkan net profit margin (NPM) perusahaan dari kurang dari 5% pada 2014 menjadi lebih dari 8% pada akhir 2018.

Akan tetapi memasuki periode kedua pendapatan perusahaan malah turun, bahkan terjadi sebelum pandemi Covid-19 melanda di awal tahun 2020. Tahun 2019, pendapatan Waskita turun dengan laba bersih tertekan parah turun 76% dari tahun sebelumnya.

Meski demikian dalam periode yang sama Waskita mengakumulasi banyak utang dan pinjaman demi membiayai proyek-proyek besar yang harus diselesaikan.

Rasio utang yang semula mampu dijaga di kisaran 75% dari total aset, akhirnya membengkak ke angka 85% dari total aset karena usaha perusahaan terganggu oleh pandemi.

Selain Waskita, tiga emiten BUMN karya utama lain juga mengalami masalah serupa terkait likuiditas.

PT PP Tbk (PTPP) dan PT Adhi Karya Tbk (ADHI), PT Waskita Karya Tbk (WSKT) dan PT Wijaya Karya Tbk (WIKA) secara keseluruhan hingga akhir kuartal ketiga tahun lalu memiliki utang mencapai Rp 218,61 triliun dengan Rp 144,99 triliun merupakan utang jangka pendek.

Total aset yang dimiliki sedikit lebih baik atau sebesar Rp 272,14 triliun, dengan total kas atau setara kas gabungan tercatat hanya sebesar Rp 15,04 triliun. Aset lancar gabungan keempat perusahaan adalah sejumlah Rp 139,35 atau lebih kecil dari gabungan kewajiban jangka pendek.


Total utang gabungan BUMN karya mencapai 4,03 kali jumlah liabilitas yang dimiliki, dengan kas atau setara kas hanya mampu menutup 12,41% dari total kewajiban perusahaan.

Angka tersebut sangat buruk yang mana jika aturan keras Xi Jinping terhadap perusahaan pengembang perumahan di China diterapkan di Indonesia, keempat emiten karya ini akan memperoleh rapor merah dengan konsekuensi tidak dapat menambah utang, karena likuiditas yang buruk.

Aturan yang dikeluarkan Beijing untuk mengekang perusahaan paling berutang di dunia, Evergrande, diberi nama 'three red lines' (tiga garis merah). Yang mana secara singkat, aturan tersebut merupakan pedoman bagi perusahaan properti untuk menentukan batas maksimal pertumbuhan utang tahunan yang bisa diperoleh.

Aturan ini terdiri dari tiga prasyarat yang mana jika perusahaan melewati satu batas yang ditentukan maka pertumbuhan utang tahunan dipotong 5%. Perusahaan yang memenuhi semua aturan utangnya diperbolehkan tumbuh maksimal 15%, sementara yang tidak memenuhi satu pun pertumbuhan utangnya dikekang total.

Three red lines atau tiga kriteria kondisi finansial yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut: 

1. Rasio utang terhadap aset (tidak termasuk penerimaan uang muka) kurang dari 70%

2. Net gearing ratio kurang dari 100% (membandingkan rasio utang terhadap likuiditas perusahaan)

3. Rasio kas terhadap utang jangka pendek harus lebih dari 100%

China memberlakukan pedoman tersebut setelah pertemuan Agustus 2020 di Beijing yang dilatarbelakangi oleh tingkat utang pengembang yang meningkat, kenaikan harga tanah, dan penjualan rumah yang tidak terkontrol.

Berdasarkan kalkulasi dari Tim Riset CNBC Indonesia, tidak ada satu pun dari empat emiten karya yang mampu memenuhi kriteria yang diterapkan pemerintah Xi Jinping di China.

Rasio utang terhadap likuiditas (Debt to Equity Rasio/DER) terbesar BUMN karya dicatatkan ADHI yang nilai utang usaha mencapai 6,28x ekuitas perusahaan.

Adapun nilai DER terkecil emiten karya dicatatkan oleh WIKA (2,73x) dan diikuti oleh PTPP (2,92x). Waskita sendiri memiliki DER 5,71x dengan jumlah utang terbesar dari semuanya atau mencapai Rp 89,93 triliun.

Tingginya nilai DER ini dapat diartikan bahwa pertumbuhan perusahaan sebagian besar disokong oleh utang usaha. Semakin tinggi nilainya semakin besar perusahaan mendanai proyek dan bisnis yang dimiliki dari pinjaman atau utang.

Jumlah utang jumbo tersebut tentu akan membuat pusing manajemen, apalagi mengingat sebagian besarnya adalah utang jangka pendek yang merupakan bagian paling krusial karena jika tidak diselesaikan dapat mengganggu kegiatan operasi.

Tingkat likuiditas juga dapat diukur dari kemampuan perusahaan membayar utang jangka pendek menggunakan aset lancar yang dimiliki. Dari keempat emiten tersebut hanya Waskita yang current rasio nya tidak mencapai 100%, artinya utang jangka pendek yang dimiliki perusahaan tersebut lebih kecil dari aset lancar atau dengan kata lain modal kerja perusahaan tercatat negatif.

Sementara itu jika harus melunasi utang jangka pendek hanya dari kas perusahaan emiten karya akan mengalami kesulitan, paling parah dialami Waskita dan ADHI yang kas masing-masing perusahaan hanya mampu membayar 4,44% dan 5,04% utang jangka pendek, disusul oleh PP dan Wika memiliki kondisi sedikit lebih baik yang nilainya secara berurutan sebesar 17,99% dan 22,82%.

Saat ini memang terdapat banyak faktor eksternal seperti kondisi ekonomi dan pandemi yang membuat perusahaan kesusahan dalam mengelola utang dan menjaga likuiditas.

Akan tetapi ke depannya perusahaan tentu perlu berusaha lebih keras lagi mencari jalan keluar demi mengelola perusahaan yang dapat memuaskan kreditor dan pemegang saham khususnya serta pemangku kepentingan lain secara umum.

Belum lama ini salah satu emiten konstruksi, PT Waskita Karya Tbk (WSKT) telah merampungkan restrukturisasi utang perusahaan. Pada akhir September tahun lalu, sebanyak 21 bank telah sepakat untuk merestrukturisasi utang WSKT, di mana bank-bank tersebut memberikan keringanan berupa perpanjangan tenor hingga lima tahun ke depan dengan tingkat bunga yang kompetitif.

Selain itu upaya penyehatan likuiditas perusahaan juga dilakukan dengan menjual aset perusahaan berupa kepemilikannya di jalan tol Cibitung senilai Rp 2,44 triliun. Lebih dari itu, Waskita menegaskan akan mendivestasikan seluruh aset jalan tolnya hingga 2025 mendatang.

Rencana divestasi ini karena pembangunan jalan tol menimbulkan beban utang yang besar bagi perusahaan. Utang yang ditimbulkan oleh investasi jalan tol ini setidaknya mencapai Rp 53 triliun hingga Rp 54 triliun.


Selain itu dalam upaya perbaikan likuiditas Waskita baru-baru ini juga telah melakukan penambahan modal dengan memberikan hak memesan efek terlebih dahulu atau rights issue.

Akan tetapi perusahaan tercatat hanya mampu menyerap Rp 9,44 triliun, dari target senilai Rp 11,93 triliun. Partisipasi publik tercatat hanya 62%, dengan pemerintah mengambil seluruh haknya.

Selain Waskita, lima Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Sektor Konstruksi lain juga berencana untuk melakukan monetisasi atas persediaan properti yang dimilikinya. Langkah ini dilakukan dengan menggandeng PT Danareksa (Persero) sebagai konsultan utama dalam program penjualan tersebut.

Langkah ini dilakukan untuk mempercepat peningkatan kinerja BUMN di sektor ini pasca pandemi dan dalam rangka transformasi perusahaan selama dua tahun ke depan sejalan dengan arahan Menteri BUMN.

PT Wijaya Karya Tbk (WIKA) dan anak usahanya menawarkan para investor untuk berinvestasi pada 17 properti yang tersebar di kota-kota besar di Indonesia yang terdiri dari lahan, unit apartemen, dan rumah tapak.

Sedangkan PT PP Tbk (PTPP) akan melepas 19 aset propertinya yang merupakan milik anak usahanya PT PP Properti Tbk (PPRO) dan PT PP Urban.

Terdapat 19 aset properti yang terdiri dari high rise building (student apartment, premium apartment hingga low-medium apartment) dan lahan kosong (landed) dengan total luasan area sebesar 46,1 hektar.

PT Hutama Karya (Persero) juga terlibat dalam proses tersebut, rencananya sebanyak tujuh aset persediaan di beberapa lokasi akan dilepas.

Aset tersebut dalam bentuk lahan siap bangun hingga bangunan vertikal, di mana salah satu di antaranya merupakan hunian mixed-used yang terintegrasi dengan transportasi publik dan jalan tol.

https://www.cnbcindonesia.com/market...ngnya-dijual/3
MasterSims
Chrisyngwie
viniest
viniest dan 7 lainnya memberi reputasi
8
3K
110
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
671.2KThread41KAnggota
Tampilkan semua post
kbeniadipAvatar border
kbeniadip
#9
Jalan tol untuk siapa?
Untuk investor donk yang jelas.

Dosa mukidi, tergadailah aset-aset bangsa ini. Pengen bepergian jauh dikit aja musti bayar.

emoticon-Wakaka
foreveryoung90
ekaputra19
faded.007.69
faded.007.69 dan 9 lainnya memberi reputasi
-6
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.