- Beranda
- Stories from the Heart
Suka Duka Pemancing [kumpulan cerpen kisah para pemancing]
...
TS
Mbahjoyo911
Suka Duka Pemancing [kumpulan cerpen kisah para pemancing]
Siapa yang tak kenal memancing? Tentu semua orang sudah familiar dengan hobi yang satu ini. Sensasi perlawanan ikan yang berusaha melepaskan diri dari kail, sangat ditunggu oleh para pemancing. Bahkan banyak yang tak segan mengeluarkan dana yang besar hanya untuk merasakan sensasi tarikan ikan.
Sebagian besar orang menganggapnya sebagai hobinya orang malas, tapi sebagian lagi menganggap mancing itu bisa melatih kesabaran. Tapi kenyataannya malah bertolak belakang, hanya orang sabar saja yang betah memancing berjam-jam.
Tapi ternyata hobi memancing juga tak luput dari kejadian konyol, lucu, misterius, horor dan bahkan tragis. Dan disini TS mencoba merangkumnya dalam suatu kumpulan cerpen kisah para pemancing dan semua kejadian yang dialami pemancing saat berusaha menangkap ikan, baik cuma untuk sekedar hobi, maupun untuk lauk buat makan malam.
Kisah ini diambil dari cerita-cerita para pemancing, ditambah dengan banyak bumbu-bumbu fiksi. Semua nama tokoh dan nama tempat telah disamarkan. Jadi sekiranya ada kesamaan nama dan tempat, maka itu adalah suatu kebetulan saja.
Selamat membaca..
Sebagian besar orang menganggapnya sebagai hobinya orang malas, tapi sebagian lagi menganggap mancing itu bisa melatih kesabaran. Tapi kenyataannya malah bertolak belakang, hanya orang sabar saja yang betah memancing berjam-jam.
Tapi ternyata hobi memancing juga tak luput dari kejadian konyol, lucu, misterius, horor dan bahkan tragis. Dan disini TS mencoba merangkumnya dalam suatu kumpulan cerpen kisah para pemancing dan semua kejadian yang dialami pemancing saat berusaha menangkap ikan, baik cuma untuk sekedar hobi, maupun untuk lauk buat makan malam.
Kisah ini diambil dari cerita-cerita para pemancing, ditambah dengan banyak bumbu-bumbu fiksi. Semua nama tokoh dan nama tempat telah disamarkan. Jadi sekiranya ada kesamaan nama dan tempat, maka itu adalah suatu kebetulan saja.
Selamat membaca..
-----------------------------------
Terima Kasih
Terima Kasih
Kriing..! Kriiingg..! Kriing…!
Edi terbangun oleh bunyi jam weker di meja dekat tempat tidur. Memang Edi adalah orang yang nyentrik, dia lebih memilih jam weker yang ada gambar ayam mengangguk-ngangguk, daripada memakai alarm di smartphone nya. Untuk beberapa saat Edi tertegun heran.
Bukan karena bunyi jam weker yang bikin Edi heran, karena bunyi jam weker dari dulu juga gitu-gitu aja. Edi heran karena saat itu masih jam tiga pagi! Jadi buat apa dia memasang alarm di pagi buta gini?! Lalu dia ingat kalo hari ini adalah hari minggu, dan dia sudah janjian mau memancing bersama pak Bejo di waduk utara.
Edi mengendap-endap keluar kamar dengan perlahan agar tidak membangunkan istrinya. Karena kalau istrinya sampai ikut kebangun, maka rencana memancing hari itu akan gagal total, tentu saja istrinya tidak akan mengizinkannya untuk berangkat memancing.
Setelah menyiapkan semua peralatan tempurnya untuk menangkap ikan, Edi gas motor hond* bututnya menuju ke rumah pak bejo. Hawa sangat dingin menerpa, hingga dia harus pelan-pelan menjalankan motornya. Sepuluh menit perjalanan, sampailah di rumah pak Bejo, ternyata dia sudah menunggu di depan rumahnya.
Dengan berboncengan, mereka berangkat menuju ke waduk, membelah jalanan yang masih sangat sepi dan sedikit berkabut. Kali ini tehnik memancing yang mereka gunakan adalah tehnik yang sering disebut sebagai 'nyobok',dengan tangkai pancing yang sangat panjang yang sering disebut 'tegek', umpan yang dipakai adalah lumut, dan pemancing harus nyemplung ke air sampai sedalam dada. Ikan yang ditarget adalah ikan nila.
Singkat cerita, mereka sampai di pasar kerbau. Meskipun baru jam 5 pagi dan matahari belum terbit, tapi pasar itu sudah sangat ramai, banyak juga para pemancing yang membeli peralatan disitu, hingga Edi dan pak Bejo harus ikut berdesakan untuk membeli lumut.
Setelah mendapat lumut, mereka mampir di salah satu warung untuk sarapan, juga membeli nasi bungkus dan lauk untuk makan siang nanti. Beres semua urusan di pasar itu, mereka lanjut lagi perjalanan menuju ke lokasi pemancingan.
Matahari sudah tampak di ufuk timur saat mereka tiba di pinggiran waduk. Tanpa buang waktu mereka pun mulai menyiapkan semua peralatan pancing tehnik 'nyobok'. Setelah meninggalkan tasnya di pinggir waduk, Edi langsung nyemplung ke air untuk mulai mancing, sedangkan pak Bejo masih duduk santai sambil merokok. Mendadak Edi terpekik saat kakinya menyentuh air waduk.
Kepalang tanggung, celananya Edi sudah basah, jadi dia nekat terusin berjalan dengan memijak di dasar air. Setelah air sudah sedalam dada, Edi mulai menebar lumut alias 'ngebom', hal ini bertujuan untuk memancing ikan nila agar mendekat ke situ. Lalu Edi memasang umpan di mata kailnya berupa lumut atau hydrilla yang panjang-panjang seperti rambut. Barulah setelah itu dia cemplungkan kailnya dengan memakai joran sepanjang 5,5 meter.
Setengah jam, tapi belum juga ada ikan yang nyangkut. Sementara matahari makin terasa panas. Pak Bejo terlihat sudah mulai memancing juga, berjarak sekitar 20 meter di sebelah kirinya Edi. Sedangkan 15 meter di sebelah kanan Edi ada seorang pemancing lain juga. Dia adalah seorang pemuda berusia 25 tahunan, sepantaran dengan Edi. Orang itu memakai kaos panjang berpenutup kepala alias hoodie berwarna biru. Panjang joran pancingnya sekitar 6 meteran, Cuma tiga orang itu saja yang yang memancing di spot itu.
Tapi harapan tinggal harapan, sampai menjelang tengah hari, Edi tidak mendapat ikan lagi, cuma satu saja yang dia dapat sejauh ini. Maka dia memutuskan untuk keluar dari air, beristirahat sambil makan siang. Edi duduk di tanah kering di pinggiran waduk dan mulai menikmati nasi bungkusnya. Tak lama kemudian, pak Bejo terlihat datang menghampiri, dia membawa tiga ekor ikan sebesar empat jari.
Mereka ngobrol sambil menghabiskan makan siangnya. Setelah itu merekapun kembali teruskan memancing. Edi berpindah spot menjadi lebih dekat ke pak Bejo, jarak mereka kini sekitar 10 meter. Dan orang yang memancing di sebelah kanan Edi tadi ikut berpindah di dekat Edi. Jarak mereka sama, yaitu 10 meter.
Tiga jam berlalu, Edi sudah mengangkat dua ikan nila lagi sebesar telapak tangan, jadi jumlah perolehannya tiga ekor. Sedangkan pak Bejo dapat lima ekor, dan orang berhoodie di dekat Edi tadi cuma dapet satu ekor. Mereka mulai tampak putus asa. Dan langitpun sudah mulai mendung tebal. Maka Edi memutuskan untuk menyudahi mancing hari itu.
Mendung menggelap dengan cepat, gelegar petir dan tiupan angin semakin kencang. Edi duduk di tanah kering di pinggir waduk, tepat dibelakang orang berhoodie tadi. Edi mempercepat kegiatannya mengepak semua peralatan pancingnya. Dan pak Bejo pun menyusulnya.
Belum selesai mereka packing, tau-tau hujan turun seperti dicurahkan dari langit, sangat deras disertai angin kencang dan gelegar petir tak berkesudahan. Edi dan pak Bejo segera memakai jas hujannya dan hendak beranjak meninggalkan waduk. Saat itulah mata Edi tertumbuk pada orang berhoodie yang masih aja nyemplung di air sambil asik mancing. Dengan keheranan, Edi mulai perhatikan orang itu. Dan saat orang itu mengangkat jorannya tinggi-tinggi ke udara..
Glaaarrrr….!
Satu kilatan petir sangat besar menyambar tepat di joran pancing orang itu. Edi dan pak Bejo berteriak keras bersamaan. Joran itu hancur berkeping-keping, sedangkan tubuh orang itu mengeluarkan asap. Perlahan tubuh itu mulai tenggelam ke dalam air sedalam dada.
Untuk beberapa detik Edi dan pak Bejo terdiam mematung. Apa yang terjadi di depan mata mereka menimbulkan keterkejutan teramat sangat. Bandan Edi terlihat gemetaran, seumur hidup belum pernah dia melihat kejadian tragis semacam ini.
Pak Bejo lebih dulu sadar, dia langsung berlari dan menceburkan diri ke air waduk, berenang ke arah tenggelamnya orang tadi. Lalu Edi pun menyusul. Mereka berdua menyelam sampai ke dasar, hingga akhirnya mereka menemukan tubuh orang berhoodie tadi.
Sambil berenang, Edi dan pak Bejo menyeret tubuh orang berhoodie itu ke pinggiran waduk. Dan saat tubuh orang itu sudah diangkat ke darat, Edi dan pak Bejo baru menyadari kalau orang berhoodie tadi sudah meninggal dengan tubuh yang mengerikan.
Wajah orang itu hitam gosong, kulitnya mengelupas-ngelupas, pecah-pecah dan mengeluarkan darah, sebagian rambutnya habis seperti terbakar. Tangan kanan yang memegang joran tadi hancur sebatas pergelangan tangan, jari-jari dan telapak tangan itu seperti habis dimasukkan ke dalam mesin penggiling daging.
Tanpa sadar Edi mundur, apa yang dilihatnya itu terlalu mengerikan. Mereka berdiri mematung di tengah curahan hujan lebat dan angin kencang, mereka terlalu shock sampai nggak tau harus berbuat apa lagi. Lima menit berlalu, dan pak Bejo segera sadar.
Pak Bejo membuka tasnya dan mengubek-ubek isinya, lalu dia mengeluarkan satu bungkusan plastik bening berisi hp nya. Setelah itu sia tampak bicara lewat telepon dengan berteriak, karena hujan yang sedemikan lebat membuatnya tidak bisa didengar.
Setelah menelepon, pak Bejo mengajak Edi untuk pindah tempat, kini mereka berlindung di bawah sebuah pohon, karena sampai saat itu petir masih saja bersahut-sahutan, ditingkahi hujan lebat dan angin badai. Pak Bejo tampak mengutak-atik hpnya. Pikiran mereka nggak karuan, baru kali ini Edi melihat orang tersambar petir tepat di depan matanya, sedangkan pak Bejo baru kali ini melihat korban sambaran petir yang sedemikian parahnya.
Mereka lalu sama-sama terdiam, menunggu di bawah pohon itu. Sementara jasad orang berhoodie tadi masih ditinggal di tepian waduk, dibawah curahan hujan lebat. Satu jam berlalu, saat itulah sekilas mereka melihat kilatan lampu biru dan merah, lampu mobil polisi.
Bergegas mereka naik menuju ke jalan aspal. Disana sudah ada sebuah mobil dan dua orang polisi bersama dua orang warga sekitar. Pak Bejo menceritakan secara singkat apa yang telah terjadi, lalu mereka berenam pun kembali turun menuju waduk, menghampiri jasad orang berhoodie tadi.
Salah satu polisi segera melakukan beberapa panggilan lewat radio, dan polisi satunya mulai menyisir daerah sekitar situ. Edi dan pak Bejo cuma duduk di tanah, tak jauh dari jasad yang tergeletak itu. Sesekali mereka menjawab pertanyaan dua polisi dan dua warga itu.
Setengah jam berlalu, terdengarlah raungan sirene mobil ambulans. Salah satu polisi segera naik kembali ke jalan aspal. Tak lama kemudian dia balik lagi bersama dua petugas medis membawa tandu pengangkut. Bersama-sama mereka memasukkan jasad orang berhoodie ke dalam kantung mayat dan menaikkannya ke atas. Lalu dengan menggotong tandu mereka mulai beranjak naik.
Jalan itu sangat terjal, apalagi hari lagi hujan, membuat jalan makin licin dan evakuasi itu semakin sulit saja. Edi dan pak Bejo ikut membantu mengusung tandu itu. Saat dalam perjalanan, tampak seorang warga lagi ikut bergabung, dia ikut mengangkat tandu, tepat di depan Edi.
Langit sudah benar-benar menggelap saat mereka sampai di atas. Makin banyak mobil polisi, ambulan dan juga warga sekitar. Beberapa petugas medis kembali datang untuk ikut mengusung tandu. Maka Edi dan pak Bejo melepas tandu itu. Mereka berdua berdiri di pinggir jalan aspal.
Ada satu warga yang berdiri di sebelah Edi, dia adalah orang yang tadi ikut membantu mengangkat tandu, tepat di depan Edi. Tanpa sadar Edi memperhatikan orang itu, wajahnya tertutupi hoodie dari kaos yang dipakainya. Entah kenapa perasaan nggak enak mulai merayapi hati Edi.
Orang itu menoleh ke arah Edi, tampa menjawab, perlahan dia membuka hoodie alias penutup kepalanya, dan dibawah penerangan lampu ambulan, terlihat jelas bagaimana wajah orang itu.
Wajah itu hitam gosong, kulitnya mengelupas dan pecah-pecah mengeluarkan darah. Dia mengangkat tangan kanannya. Dan tangan itu hancur sampai pergelangan. Orang itu adalah korban dari sambaran petir tadi! Dan sebelum pandangan Edi menggelap karena kehilangan kesadaran, masih sempat terdengar suara mengiang di telinganya.
Edi terbangun oleh bunyi jam weker di meja dekat tempat tidur. Memang Edi adalah orang yang nyentrik, dia lebih memilih jam weker yang ada gambar ayam mengangguk-ngangguk, daripada memakai alarm di smartphone nya. Untuk beberapa saat Edi tertegun heran.
Bukan karena bunyi jam weker yang bikin Edi heran, karena bunyi jam weker dari dulu juga gitu-gitu aja. Edi heran karena saat itu masih jam tiga pagi! Jadi buat apa dia memasang alarm di pagi buta gini?! Lalu dia ingat kalo hari ini adalah hari minggu, dan dia sudah janjian mau memancing bersama pak Bejo di waduk utara.
Edi mengendap-endap keluar kamar dengan perlahan agar tidak membangunkan istrinya. Karena kalau istrinya sampai ikut kebangun, maka rencana memancing hari itu akan gagal total, tentu saja istrinya tidak akan mengizinkannya untuk berangkat memancing.
Setelah menyiapkan semua peralatan tempurnya untuk menangkap ikan, Edi gas motor hond* bututnya menuju ke rumah pak bejo. Hawa sangat dingin menerpa, hingga dia harus pelan-pelan menjalankan motornya. Sepuluh menit perjalanan, sampailah di rumah pak Bejo, ternyata dia sudah menunggu di depan rumahnya.
Quote:
Dengan berboncengan, mereka berangkat menuju ke waduk, membelah jalanan yang masih sangat sepi dan sedikit berkabut. Kali ini tehnik memancing yang mereka gunakan adalah tehnik yang sering disebut sebagai 'nyobok',dengan tangkai pancing yang sangat panjang yang sering disebut 'tegek', umpan yang dipakai adalah lumut, dan pemancing harus nyemplung ke air sampai sedalam dada. Ikan yang ditarget adalah ikan nila.
Singkat cerita, mereka sampai di pasar kerbau. Meskipun baru jam 5 pagi dan matahari belum terbit, tapi pasar itu sudah sangat ramai, banyak juga para pemancing yang membeli peralatan disitu, hingga Edi dan pak Bejo harus ikut berdesakan untuk membeli lumut.
Setelah mendapat lumut, mereka mampir di salah satu warung untuk sarapan, juga membeli nasi bungkus dan lauk untuk makan siang nanti. Beres semua urusan di pasar itu, mereka lanjut lagi perjalanan menuju ke lokasi pemancingan.
Matahari sudah tampak di ufuk timur saat mereka tiba di pinggiran waduk. Tanpa buang waktu mereka pun mulai menyiapkan semua peralatan pancing tehnik 'nyobok'. Setelah meninggalkan tasnya di pinggir waduk, Edi langsung nyemplung ke air untuk mulai mancing, sedangkan pak Bejo masih duduk santai sambil merokok. Mendadak Edi terpekik saat kakinya menyentuh air waduk.
Quote:
Kepalang tanggung, celananya Edi sudah basah, jadi dia nekat terusin berjalan dengan memijak di dasar air. Setelah air sudah sedalam dada, Edi mulai menebar lumut alias 'ngebom', hal ini bertujuan untuk memancing ikan nila agar mendekat ke situ. Lalu Edi memasang umpan di mata kailnya berupa lumut atau hydrilla yang panjang-panjang seperti rambut. Barulah setelah itu dia cemplungkan kailnya dengan memakai joran sepanjang 5,5 meter.
Setengah jam, tapi belum juga ada ikan yang nyangkut. Sementara matahari makin terasa panas. Pak Bejo terlihat sudah mulai memancing juga, berjarak sekitar 20 meter di sebelah kirinya Edi. Sedangkan 15 meter di sebelah kanan Edi ada seorang pemancing lain juga. Dia adalah seorang pemuda berusia 25 tahunan, sepantaran dengan Edi. Orang itu memakai kaos panjang berpenutup kepala alias hoodie berwarna biru. Panjang joran pancingnya sekitar 6 meteran, Cuma tiga orang itu saja yang yang memancing di spot itu.
Quote:
Tapi harapan tinggal harapan, sampai menjelang tengah hari, Edi tidak mendapat ikan lagi, cuma satu saja yang dia dapat sejauh ini. Maka dia memutuskan untuk keluar dari air, beristirahat sambil makan siang. Edi duduk di tanah kering di pinggiran waduk dan mulai menikmati nasi bungkusnya. Tak lama kemudian, pak Bejo terlihat datang menghampiri, dia membawa tiga ekor ikan sebesar empat jari.
Quote:
Mereka ngobrol sambil menghabiskan makan siangnya. Setelah itu merekapun kembali teruskan memancing. Edi berpindah spot menjadi lebih dekat ke pak Bejo, jarak mereka kini sekitar 10 meter. Dan orang yang memancing di sebelah kanan Edi tadi ikut berpindah di dekat Edi. Jarak mereka sama, yaitu 10 meter.
Tiga jam berlalu, Edi sudah mengangkat dua ikan nila lagi sebesar telapak tangan, jadi jumlah perolehannya tiga ekor. Sedangkan pak Bejo dapat lima ekor, dan orang berhoodie di dekat Edi tadi cuma dapet satu ekor. Mereka mulai tampak putus asa. Dan langitpun sudah mulai mendung tebal. Maka Edi memutuskan untuk menyudahi mancing hari itu.
Mendung menggelap dengan cepat, gelegar petir dan tiupan angin semakin kencang. Edi duduk di tanah kering di pinggir waduk, tepat dibelakang orang berhoodie tadi. Edi mempercepat kegiatannya mengepak semua peralatan pancingnya. Dan pak Bejo pun menyusulnya.
Quote:
Belum selesai mereka packing, tau-tau hujan turun seperti dicurahkan dari langit, sangat deras disertai angin kencang dan gelegar petir tak berkesudahan. Edi dan pak Bejo segera memakai jas hujannya dan hendak beranjak meninggalkan waduk. Saat itulah mata Edi tertumbuk pada orang berhoodie yang masih aja nyemplung di air sambil asik mancing. Dengan keheranan, Edi mulai perhatikan orang itu. Dan saat orang itu mengangkat jorannya tinggi-tinggi ke udara..
Glaaarrrr….!
Satu kilatan petir sangat besar menyambar tepat di joran pancing orang itu. Edi dan pak Bejo berteriak keras bersamaan. Joran itu hancur berkeping-keping, sedangkan tubuh orang itu mengeluarkan asap. Perlahan tubuh itu mulai tenggelam ke dalam air sedalam dada.
Untuk beberapa detik Edi dan pak Bejo terdiam mematung. Apa yang terjadi di depan mata mereka menimbulkan keterkejutan teramat sangat. Bandan Edi terlihat gemetaran, seumur hidup belum pernah dia melihat kejadian tragis semacam ini.
Pak Bejo lebih dulu sadar, dia langsung berlari dan menceburkan diri ke air waduk, berenang ke arah tenggelamnya orang tadi. Lalu Edi pun menyusul. Mereka berdua menyelam sampai ke dasar, hingga akhirnya mereka menemukan tubuh orang berhoodie tadi.
Sambil berenang, Edi dan pak Bejo menyeret tubuh orang berhoodie itu ke pinggiran waduk. Dan saat tubuh orang itu sudah diangkat ke darat, Edi dan pak Bejo baru menyadari kalau orang berhoodie tadi sudah meninggal dengan tubuh yang mengerikan.
Wajah orang itu hitam gosong, kulitnya mengelupas-ngelupas, pecah-pecah dan mengeluarkan darah, sebagian rambutnya habis seperti terbakar. Tangan kanan yang memegang joran tadi hancur sebatas pergelangan tangan, jari-jari dan telapak tangan itu seperti habis dimasukkan ke dalam mesin penggiling daging.
Tanpa sadar Edi mundur, apa yang dilihatnya itu terlalu mengerikan. Mereka berdiri mematung di tengah curahan hujan lebat dan angin kencang, mereka terlalu shock sampai nggak tau harus berbuat apa lagi. Lima menit berlalu, dan pak Bejo segera sadar.
Quote:
Pak Bejo membuka tasnya dan mengubek-ubek isinya, lalu dia mengeluarkan satu bungkusan plastik bening berisi hp nya. Setelah itu sia tampak bicara lewat telepon dengan berteriak, karena hujan yang sedemikan lebat membuatnya tidak bisa didengar.
Setelah menelepon, pak Bejo mengajak Edi untuk pindah tempat, kini mereka berlindung di bawah sebuah pohon, karena sampai saat itu petir masih saja bersahut-sahutan, ditingkahi hujan lebat dan angin badai. Pak Bejo tampak mengutak-atik hpnya. Pikiran mereka nggak karuan, baru kali ini Edi melihat orang tersambar petir tepat di depan matanya, sedangkan pak Bejo baru kali ini melihat korban sambaran petir yang sedemikian parahnya.
Quote:
Mereka lalu sama-sama terdiam, menunggu di bawah pohon itu. Sementara jasad orang berhoodie tadi masih ditinggal di tepian waduk, dibawah curahan hujan lebat. Satu jam berlalu, saat itulah sekilas mereka melihat kilatan lampu biru dan merah, lampu mobil polisi.
Bergegas mereka naik menuju ke jalan aspal. Disana sudah ada sebuah mobil dan dua orang polisi bersama dua orang warga sekitar. Pak Bejo menceritakan secara singkat apa yang telah terjadi, lalu mereka berenam pun kembali turun menuju waduk, menghampiri jasad orang berhoodie tadi.
Salah satu polisi segera melakukan beberapa panggilan lewat radio, dan polisi satunya mulai menyisir daerah sekitar situ. Edi dan pak Bejo cuma duduk di tanah, tak jauh dari jasad yang tergeletak itu. Sesekali mereka menjawab pertanyaan dua polisi dan dua warga itu.
Setengah jam berlalu, terdengarlah raungan sirene mobil ambulans. Salah satu polisi segera naik kembali ke jalan aspal. Tak lama kemudian dia balik lagi bersama dua petugas medis membawa tandu pengangkut. Bersama-sama mereka memasukkan jasad orang berhoodie ke dalam kantung mayat dan menaikkannya ke atas. Lalu dengan menggotong tandu mereka mulai beranjak naik.
Jalan itu sangat terjal, apalagi hari lagi hujan, membuat jalan makin licin dan evakuasi itu semakin sulit saja. Edi dan pak Bejo ikut membantu mengusung tandu itu. Saat dalam perjalanan, tampak seorang warga lagi ikut bergabung, dia ikut mengangkat tandu, tepat di depan Edi.
Langit sudah benar-benar menggelap saat mereka sampai di atas. Makin banyak mobil polisi, ambulan dan juga warga sekitar. Beberapa petugas medis kembali datang untuk ikut mengusung tandu. Maka Edi dan pak Bejo melepas tandu itu. Mereka berdua berdiri di pinggir jalan aspal.
Ada satu warga yang berdiri di sebelah Edi, dia adalah orang yang tadi ikut membantu mengangkat tandu, tepat di depan Edi. Tanpa sadar Edi memperhatikan orang itu, wajahnya tertutupi hoodie dari kaos yang dipakainya. Entah kenapa perasaan nggak enak mulai merayapi hati Edi.
Quote:
Orang itu menoleh ke arah Edi, tampa menjawab, perlahan dia membuka hoodie alias penutup kepalanya, dan dibawah penerangan lampu ambulan, terlihat jelas bagaimana wajah orang itu.
Wajah itu hitam gosong, kulitnya mengelupas dan pecah-pecah mengeluarkan darah. Dia mengangkat tangan kanannya. Dan tangan itu hancur sampai pergelangan. Orang itu adalah korban dari sambaran petir tadi! Dan sebelum pandangan Edi menggelap karena kehilangan kesadaran, masih sempat terdengar suara mengiang di telinganya.
Quote:
Diubah oleh Mbahjoyo911 15-02-2022 18:58
c4kr4d3w4 dan 93 lainnya memberi reputasi
92
35.6K
1.5K
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
Mbahjoyo911
#169
10. Insiden
Musim penghujan tahun ini tidak tetap, kadang seharian hujan, lalu dilanjut dengan 3 hari tidak turun hujan sama sekali. Hal ini membuat tinggi permukaan sungai selalu berubah-ubah tiap harinya. Para pemancing menjadi bingung, karena tidak ada satupun teknik memancing yang bisa digunakan dalam keadaan air sungai yang terus berubah itu. Memang teknik mancing yang digunakan harus mengikuti besarnya air sungai, juga kejernihan dari airnya, agar bisa mendapat ikan.
Hal ini juga dialami oleh Juned dan teman-teman mancingnya, sudah hampir sebulan mereka tidak memancing, sampai membuat mereka jadi galau tingkat akut. Hingga di suatu hari, Juned memutuskan untuk nekat memancing, entah bagaimanapun keadaan air sungai waktu itu. Sejak sore dia telah mempersiapkan umpan dan semua peralatan pancingnya. Juned berencana untuk memancing malam hari dengan teknik dasaran, ikan targetnya adalah jambal alias patin.
Tapi dasarnya nasib lagi apes, waktu menjelang petang, hujan turun dengan sangat lebat. Masih penuh harap Juned menunggu hujan mereka, tapi ternyata hujan tidak berhenti sampai tengah malam. Hal ini tentu membuat permukaan air sungai jadi meluap, dan tentunya teknik mancing dasaran tidak bisa diterapkan. Tapi Juned tidak pedulikan itu, yang dia inginkan hanyalah memancing.
Hari berikutnya, siang itu Junef menyempatkan diri datang ke sungai yang membelah kotanya, dia mau melihat keadaan airnya. Dan ternyata air sungai sudah surut sangat banyak hingga tinggal setengah saja. Justru keadaan air seperti inilah yang sangat cocok untuk teknik dasaran. Juned makin bersemangat, malam nanti dia akan tetap memancing.
Pada saat musim hujan, sungai itu memang banyak sekali ikannya, terutama ikan nila, tawes, juga lele dan jambal. Bisa dikatakan musim hujan adalah saat pesta bagi para pemancing. Tak jarang pemancing mendapat ikan jambal sebesar sadel jok motor dengan berat belasan kilogram di sungai itu. Dan ikan besar inilah yang ditargetkan oleh Juned.
Sehabis maghrib, Juned membawa peralatan pancingnya berupa tiga buah joran besar dan solid, dengan reel dan senar yang besar. Dia masih membawa serep segulung senar sebesar senar raket tenis. Umpan yang dipakai bermacam-macam, mulai dari cacing, udang, bakwan, tahu janggelut cakwe, bahkan sosis instan pun dibawa juga. Tidak lupa membawa senter juga, Juned pun menuju ke rumah Supri untuk mengajaknya berangkat mancing. Dan ternyata Iwan juga sedang berada di sana.
Dengan mengendarai motor, mereka pun berangkat, Supri berboncengan dengan Juned, dan Iwan naik motor sendiri. Mereka menuju ke hulu sungai yang membelah kota itu, di sebuah spot yang sering disebut kedung atas. Cuma Juned yang tau lokasi ini, jadi mereka berdua cuma ngikut aja.
Cuma setengah jam perjalanan sampailah mereka di lokasi yang di maksud, setelah menaiki tanggul sungai dan tegalan, mereka sampai pada rumah satu-satunya di bantaran sungai itu. Memang rumah ini sering jadi tempat penitipan motor buat para pemancing. Tampak bapak pemilik rumah sedang bersantai di teras. Juned pun langsung menemuinya.
Dengan penerangan dua buah senter dan lampu blitz dari hpnya Supri, mereka jalan menyusuri tegalan menuju pinggiran sungai. Lokasi ini merupakan tikungan sungai yang tajam, dengan arus air yang berputar membalik, tambah lagi disini airnya sangat dalam, tentunya banyak ikan besar disini.
Mereka duduk tepat di atas tebing sungai, di antara semak belukar setinggi pinggang. Lalu merekapun mempersiapkan semua. Juned menggunakan rangkaian empat mata pancing berderet dengan timah pemberat berada paling ujung senar. Empat mata kail itu dia beri umpan cacing besar, bakwan, cakwe dan sosis.
Kini giliran Iwan yang tertawa melihat kesialan temannya. Supri dengan sigap membuka aplikasi senternya lagi. Tapi tanpa sadar dia malah masuk mode kamera dan mulai merekam video dengan blitz menyala. Sementara Juned mulai mengurai senarnya yang nyangkut di semak belukar itu.
Setelah selesai, Juned kembali melemparkan kailnya jauh ke tengah sungai, dan Supri pun mematikan lampu blitznya. Tiga joran sudah terpasang dan diletakkan di pinggir tebing, tak lupa dipasang kerincingan di ujung joran sebagai alarm, kalau ada ikan yang menyambar umpan, maka kerincingan itu akan berbunyi. Dan kini saatnya permainan menunggu. Butuh kesabaran ekstra saat menunggu umpan disambar ikan, karena ikan besar memang sangat jarang makan.
Satu jam menunggu..
Mereka sudah tampak bosan, kecuali Juned yang memang sudah niat. Sambil berbincang, Supri membuka hpnya kembali, dan dia.baru sadar kalau aplikasi yang dia gunakan tadi bukanlah aplikasi senter, tapi masuk ke mode record video. Iseng-iseng Supri coba memutar kembali hasil rekaman video itu, dan apa yang dilihatnya membuatnya ketakutan.
Tampak dalam rekaman video itu Juned sedang mengurai senar pancing yang terlilit pada semak belukar, tapi tepat di depannya, tampak suatu bayangan putih yang melayang pelan ke arah kanan, tepat di permukaan air sungai. Bayangan putih itu berbentuk guling besar yang melayang tegak dengan jambul di bagian atasnya dan ikatan di bawahnya. Dengan tergagap Supri menunjukkan video itu pada Juned dan Iwan. Merekapun sama-sama terkejut.
Ternyata Juned masih setia membawa golok andalannya itu. Supri cuma bisa pasrah saja, dia bisa pulang pake motornya Iwan, tapi dia takut pulang sendirian. Tambah lagi nggak ada yang mau nganterin, membuatnya cuma bisa duduk terpekur, dia sudah sangat trauma dengan hantu pocong. Sementara Iwan dan Juned malah terus aja membuat bahan bercandaan penampakan pocong tadi.
Setengah jam kembali terlewati, malam semakin larut, suara-suara kendaaraan dari kejauhan sudah tidak terdengar lagi, suasana terasa sunyi mencekam. Kemudian muncullah kabut di atas permukaan sungai yang makin lama makin menebal. Anehnya, kabut itu cuma berada di atas seluruh permukaaan air sungai dengan tinggi sekitar tiga meter. Juned arahkan senternya ke tengah sungai, dan mereka bertiga saling berpandangan dengan keheranan.
Lalu terdengarlah suara kecipak air…
Suaranya mirip sekali dengan suara dayung yang dicelupkan ke air, seperti ada orang yang sedang mendayung perahu. Dan tiba-tiba saja kabut didepan mereka menyingkir, hingga terciptalah semacam terowongan kabut di atas sungai. Dan tepat di tengah sungai itu, entah datang dari mana, sudah ada sebuah perahu lesung yang mengambang diam di permukaan air!
Di atas perahu itu tampak seseorang sedang berdiri sambil membawa sebuah jala tebar alias jala lempar, dilihat dari posisinya, dia tampak sudah bersiap melempar jala itu ke air. Tiga pemuda itu cuma melihatnya saja tanpa berani ngomong apa-apa, rasa merinding mulai merayapi mereka.
Byuurrr…!
Orang diatas perahu itu melempar jalanya ke air, tiga pemuda itu tersentak kaget, padahal dari tadi mereka terus mengawasi si penjala ikan itu, tapi ternyata mereka masih kaget juga. Mereka semakin merasa heran saja.. bagaimana mungkin ada orang menjala ikan disungai dengan memakai perahu di malam buta begini? Dia bahkan tidak memakai lampu penerangan sama sekali!
Hal ini juga dialami oleh Juned dan teman-teman mancingnya, sudah hampir sebulan mereka tidak memancing, sampai membuat mereka jadi galau tingkat akut. Hingga di suatu hari, Juned memutuskan untuk nekat memancing, entah bagaimanapun keadaan air sungai waktu itu. Sejak sore dia telah mempersiapkan umpan dan semua peralatan pancingnya. Juned berencana untuk memancing malam hari dengan teknik dasaran, ikan targetnya adalah jambal alias patin.
Tapi dasarnya nasib lagi apes, waktu menjelang petang, hujan turun dengan sangat lebat. Masih penuh harap Juned menunggu hujan mereka, tapi ternyata hujan tidak berhenti sampai tengah malam. Hal ini tentu membuat permukaan air sungai jadi meluap, dan tentunya teknik mancing dasaran tidak bisa diterapkan. Tapi Juned tidak pedulikan itu, yang dia inginkan hanyalah memancing.
Hari berikutnya, siang itu Junef menyempatkan diri datang ke sungai yang membelah kotanya, dia mau melihat keadaan airnya. Dan ternyata air sungai sudah surut sangat banyak hingga tinggal setengah saja. Justru keadaan air seperti inilah yang sangat cocok untuk teknik dasaran. Juned makin bersemangat, malam nanti dia akan tetap memancing.
Pada saat musim hujan, sungai itu memang banyak sekali ikannya, terutama ikan nila, tawes, juga lele dan jambal. Bisa dikatakan musim hujan adalah saat pesta bagi para pemancing. Tak jarang pemancing mendapat ikan jambal sebesar sadel jok motor dengan berat belasan kilogram di sungai itu. Dan ikan besar inilah yang ditargetkan oleh Juned.
Sehabis maghrib, Juned membawa peralatan pancingnya berupa tiga buah joran besar dan solid, dengan reel dan senar yang besar. Dia masih membawa serep segulung senar sebesar senar raket tenis. Umpan yang dipakai bermacam-macam, mulai dari cacing, udang, bakwan, tahu janggelut cakwe, bahkan sosis instan pun dibawa juga. Tidak lupa membawa senter juga, Juned pun menuju ke rumah Supri untuk mengajaknya berangkat mancing. Dan ternyata Iwan juga sedang berada di sana.
Quote:
Dengan mengendarai motor, mereka pun berangkat, Supri berboncengan dengan Juned, dan Iwan naik motor sendiri. Mereka menuju ke hulu sungai yang membelah kota itu, di sebuah spot yang sering disebut kedung atas. Cuma Juned yang tau lokasi ini, jadi mereka berdua cuma ngikut aja.
Cuma setengah jam perjalanan sampailah mereka di lokasi yang di maksud, setelah menaiki tanggul sungai dan tegalan, mereka sampai pada rumah satu-satunya di bantaran sungai itu. Memang rumah ini sering jadi tempat penitipan motor buat para pemancing. Tampak bapak pemilik rumah sedang bersantai di teras. Juned pun langsung menemuinya.
Quote:
Dengan penerangan dua buah senter dan lampu blitz dari hpnya Supri, mereka jalan menyusuri tegalan menuju pinggiran sungai. Lokasi ini merupakan tikungan sungai yang tajam, dengan arus air yang berputar membalik, tambah lagi disini airnya sangat dalam, tentunya banyak ikan besar disini.
Mereka duduk tepat di atas tebing sungai, di antara semak belukar setinggi pinggang. Lalu merekapun mempersiapkan semua. Juned menggunakan rangkaian empat mata pancing berderet dengan timah pemberat berada paling ujung senar. Empat mata kail itu dia beri umpan cacing besar, bakwan, cakwe dan sosis.
Quote:
Kini giliran Iwan yang tertawa melihat kesialan temannya. Supri dengan sigap membuka aplikasi senternya lagi. Tapi tanpa sadar dia malah masuk mode kamera dan mulai merekam video dengan blitz menyala. Sementara Juned mulai mengurai senarnya yang nyangkut di semak belukar itu.
Setelah selesai, Juned kembali melemparkan kailnya jauh ke tengah sungai, dan Supri pun mematikan lampu blitznya. Tiga joran sudah terpasang dan diletakkan di pinggir tebing, tak lupa dipasang kerincingan di ujung joran sebagai alarm, kalau ada ikan yang menyambar umpan, maka kerincingan itu akan berbunyi. Dan kini saatnya permainan menunggu. Butuh kesabaran ekstra saat menunggu umpan disambar ikan, karena ikan besar memang sangat jarang makan.
Satu jam menunggu..
Mereka sudah tampak bosan, kecuali Juned yang memang sudah niat. Sambil berbincang, Supri membuka hpnya kembali, dan dia.baru sadar kalau aplikasi yang dia gunakan tadi bukanlah aplikasi senter, tapi masuk ke mode record video. Iseng-iseng Supri coba memutar kembali hasil rekaman video itu, dan apa yang dilihatnya membuatnya ketakutan.
Tampak dalam rekaman video itu Juned sedang mengurai senar pancing yang terlilit pada semak belukar, tapi tepat di depannya, tampak suatu bayangan putih yang melayang pelan ke arah kanan, tepat di permukaan air sungai. Bayangan putih itu berbentuk guling besar yang melayang tegak dengan jambul di bagian atasnya dan ikatan di bawahnya. Dengan tergagap Supri menunjukkan video itu pada Juned dan Iwan. Merekapun sama-sama terkejut.
Quote:
Ternyata Juned masih setia membawa golok andalannya itu. Supri cuma bisa pasrah saja, dia bisa pulang pake motornya Iwan, tapi dia takut pulang sendirian. Tambah lagi nggak ada yang mau nganterin, membuatnya cuma bisa duduk terpekur, dia sudah sangat trauma dengan hantu pocong. Sementara Iwan dan Juned malah terus aja membuat bahan bercandaan penampakan pocong tadi.
Setengah jam kembali terlewati, malam semakin larut, suara-suara kendaaraan dari kejauhan sudah tidak terdengar lagi, suasana terasa sunyi mencekam. Kemudian muncullah kabut di atas permukaan sungai yang makin lama makin menebal. Anehnya, kabut itu cuma berada di atas seluruh permukaaan air sungai dengan tinggi sekitar tiga meter. Juned arahkan senternya ke tengah sungai, dan mereka bertiga saling berpandangan dengan keheranan.
Lalu terdengarlah suara kecipak air…
Suaranya mirip sekali dengan suara dayung yang dicelupkan ke air, seperti ada orang yang sedang mendayung perahu. Dan tiba-tiba saja kabut didepan mereka menyingkir, hingga terciptalah semacam terowongan kabut di atas sungai. Dan tepat di tengah sungai itu, entah datang dari mana, sudah ada sebuah perahu lesung yang mengambang diam di permukaan air!
Di atas perahu itu tampak seseorang sedang berdiri sambil membawa sebuah jala tebar alias jala lempar, dilihat dari posisinya, dia tampak sudah bersiap melempar jala itu ke air. Tiga pemuda itu cuma melihatnya saja tanpa berani ngomong apa-apa, rasa merinding mulai merayapi mereka.
Byuurrr…!
Orang diatas perahu itu melempar jalanya ke air, tiga pemuda itu tersentak kaget, padahal dari tadi mereka terus mengawasi si penjala ikan itu, tapi ternyata mereka masih kaget juga. Mereka semakin merasa heran saja.. bagaimana mungkin ada orang menjala ikan disungai dengan memakai perahu di malam buta begini? Dia bahkan tidak memakai lampu penerangan sama sekali!
Lanjut bawah gan sist..
Diubah oleh Mbahjoyo911 14-04-2022 17:29
andir004 dan 21 lainnya memberi reputasi
22
Tutup
![Suka Duka Pemancing
[kumpulan cerpen kisah para pemancing]](https://s.kaskus.id/images/2022/02/13/10843635_202202130625270412.jpg)
![Suka Duka Pemancing
[kumpulan cerpen kisah para pemancing]](https://s.kaskus.id/images/2022/02/13/10843635_202202130625540306.jpg)