- Beranda
- Stories from the Heart
Asu Ajag Pegunungan Tepus : Revenge
...
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
breaking182
#42
BAGIAN SEBELAS
MELALUI RADIOmobil Suradi mendapat laporan dari komandan unit Siaga di kantornya, bahwa ada peristiwa perampokan dan pembunuhan di kawasan Kotagede. Tak sampai dua menit berikutnya, Suradi menyadari bahwa ia telah kecolongan! Pintu depan rumah Bayu terpentang lebar. Hanya dengan sekilas pandang, Suradi sudah dapat mengetahui bahwa pintu itu telah didobrak secara paksa. Tetapi didobrak dari sebelah mana? Dari luar, atau dari dalam? Pertanyaan itu terjawab sewaktu Suradi yang menyerbu masuk ke dalam rumah, melihat beberapa warga kampung, muncul dari sebelah dalam pintu kamar tidur sembari membimbing Bayu yang tampak tidak sadar dengan keadaan sekelilingnya.
Wajah –wajah kaku dan beku yang pucat pasi dilanda teror yang tidak dapat diungkapkan dengan kalimat apapun juga. Suradi merangsek masuk di temani dua orang petugas berbaju preman. Tubuhnya tertahan di ambang pintu. Suradi harus mengakui bahwa setiap lembar bulu apa pun di tubuhnya pada merinding ketika menyaksikan pemandangan mengerikan di kamar tidur. Darah membanjir, dan seseorang dengan bekas luka di pelipis tampak tengah sekarat dengan luka - luka mengerikan. Tetapi apa yang membuat Suradi sesaat ternganga dengan sekujur tubuh terasa kaku dan dingin, adalah sosok tubuh lainnya dengan luka tembakan yang menghancurkan sebagian sisi kepalanya.
Sosok tubuh semacam itu hanya akan muncul dalam gambaran mimpi buruk seorang penakut. Sebelumnya Suradi telah memperoleh gambaran yang sama, tetapi lewat mulut orang lain .Itu akan jauh berbeda bila kita tidak saja hanya mendengar, tetapi justru menyaksikannya dengan mata kepala sendiri. Untunglah berkat pengalamannya Suradi lekas menguasai diri. Ia menyambar tubuh Bayu yang syukur tidak cidera apa - apa. Lelaki yang tampak shock hebat itu ia seret keluar. DI serahkan pada anak buahnya yang rupanya juga telah lebih baik keadaannya dan tampak sedang sibuk membebaskan Ijah dari kursi tempatnya terikat.
"Amankan mereka berdua!" kata Suradi sambil berlari menuju mobilnya di luar rumah.
Ketika berlari itu ia sempat melihat sosok tubuh lainnya terkapar di lantai menuju pintu tembus ke garasi. Ia menghentikan larinya. Memeriksa sosok tubuh yang keadaannya hampir membuat Suradi mau muntah itu, dan kemudian mengetahui bahwa orang itu sudah mati. Sersan Eko yang memahami apa yang sebaiknya dilakukan, tidak ikut masuk ke dalam rumah. Ia berjaga jaga di luar dan dengan senjata di tangan ia mengusir orang orang yang berhamburan ingin memaksa masuk ke rumah Bayu. Sersan itu sempat heran setelah dengar ekor matanya ia saksikan wajah komandannya yang pucat tak dialiri darah.
Tangan komandannya tampak gemetar ketika menjangkau mic radio mobil untuk mengeluarkan beberapa perintah dengan suara gugup. Suradi kemudian berlari-larian lagi masuk ke dalam rumah. ia memeriksa setiap sudut untuk meyakinkan tidak ada sesuatu di rumah itu yang dapat mendatangkan kesulitan baru. Tak sampai sepuluh menit berikutnya suasana di dalam maupun di luar rumah Bayu tak ubahnya suasana di sebuah pertandingan sepakbola. Sangat kacau dan hiruk pikuk.
Wajah –wajah kaku dan beku yang pucat pasi dilanda teror yang tidak dapat diungkapkan dengan kalimat apapun juga. Suradi merangsek masuk di temani dua orang petugas berbaju preman. Tubuhnya tertahan di ambang pintu. Suradi harus mengakui bahwa setiap lembar bulu apa pun di tubuhnya pada merinding ketika menyaksikan pemandangan mengerikan di kamar tidur. Darah membanjir, dan seseorang dengan bekas luka di pelipis tampak tengah sekarat dengan luka - luka mengerikan. Tetapi apa yang membuat Suradi sesaat ternganga dengan sekujur tubuh terasa kaku dan dingin, adalah sosok tubuh lainnya dengan luka tembakan yang menghancurkan sebagian sisi kepalanya.
Sosok tubuh semacam itu hanya akan muncul dalam gambaran mimpi buruk seorang penakut. Sebelumnya Suradi telah memperoleh gambaran yang sama, tetapi lewat mulut orang lain .Itu akan jauh berbeda bila kita tidak saja hanya mendengar, tetapi justru menyaksikannya dengan mata kepala sendiri. Untunglah berkat pengalamannya Suradi lekas menguasai diri. Ia menyambar tubuh Bayu yang syukur tidak cidera apa - apa. Lelaki yang tampak shock hebat itu ia seret keluar. DI serahkan pada anak buahnya yang rupanya juga telah lebih baik keadaannya dan tampak sedang sibuk membebaskan Ijah dari kursi tempatnya terikat.
"Amankan mereka berdua!" kata Suradi sambil berlari menuju mobilnya di luar rumah.
Ketika berlari itu ia sempat melihat sosok tubuh lainnya terkapar di lantai menuju pintu tembus ke garasi. Ia menghentikan larinya. Memeriksa sosok tubuh yang keadaannya hampir membuat Suradi mau muntah itu, dan kemudian mengetahui bahwa orang itu sudah mati. Sersan Eko yang memahami apa yang sebaiknya dilakukan, tidak ikut masuk ke dalam rumah. Ia berjaga jaga di luar dan dengan senjata di tangan ia mengusir orang orang yang berhamburan ingin memaksa masuk ke rumah Bayu. Sersan itu sempat heran setelah dengar ekor matanya ia saksikan wajah komandannya yang pucat tak dialiri darah.
Tangan komandannya tampak gemetar ketika menjangkau mic radio mobil untuk mengeluarkan beberapa perintah dengan suara gugup. Suradi kemudian berlari-larian lagi masuk ke dalam rumah. ia memeriksa setiap sudut untuk meyakinkan tidak ada sesuatu di rumah itu yang dapat mendatangkan kesulitan baru. Tak sampai sepuluh menit berikutnya suasana di dalam maupun di luar rumah Bayu tak ubahnya suasana di sebuah pertandingan sepakbola. Sangat kacau dan hiruk pikuk.
KEADAAN ITUsudah disadari sebelumnya oleh Suradi. Maka pada waktu dan situasi yang tepat, ia telah menyingkirkan Bayu dan pembantunya dari rumah itu ke rumah terdekat dan di bawah penjagaan ketat. Beberapa orang polisi yang ia minta datang telah dan diperintahkan agar mencegah siapa pun yang tidak berkepentingan, tidak diperkenankan mendekati rumah Bayu selama Suradi dan anak buahnya sibuk menjalankan tugas, kerjasama dengan dokter Singgih. Seorang ahli forensik beserta para pembantunya.
"Jangankan orang. Angin pun tak boleh lewat!" Suradi memperingatkan.
Tetapi wartawan bukanlah angin, dan tidak mau dianggap angin. Mereka berhasil juga menerobos lantas ikut sibuk, bahkan lebih sibuk dari polisi sendiri! Suradi Hadinata berusaha sedapat mungkin menghindari mereka. Dan ia menjawab setiap pertanyaan dengan tanpa kompromi.
"Nanti saja di kantor!"
Suradi masuk ke kamar tidur Bayu yang kemudian ditutup dan dijaga dari sebelah luar oleh dua anggota pasukan bersenjata. Ia sempat melihat Letnan Handoko menjemput sepucuk pistol Colt kaliber 32 dengan mempergunakan sehelai sapu tangan. Oleh si letnan senjata itu dimasukan ke sebuah kantong plastik besar yang di dalamnya juga tampak sebuah topi kupluk hitam.
Bayu hampir terbunuh. Itu saja sudah membuat darah di sekujur tubuh kapten polisi itu menggelegak menahan marah. Ia lebih marah lagi setelah teringat kembali bahwa ia telah kecolongan. Dan akibatnya, begitu fatal. Sejak semula Suradi tidak pernah menduga dan sama sekali tidak punya firasat apa –apa kalau kejadian ini akan terjadi. Entah alasan darimana ada orang yang hendak membunuh Bayu.
Dari seorang saksi mata mengatakan bahwa, satu sosok tubuh yang mungkin berkeliaran di sekitar rumah Bayu lalu masuk ke dalam. Satu, bukan dua sosok tubuh. Diembel embeli ciri tambahan: "Orang itu tampaknya memakai mantel bulu dan topeng mirip anjing."
Maka saksi mata itu tidak curiga apa - apa ketika ada sosok tubuh lewat di dekat tempatnya duduk ngobrol perlahan namun sambil tertawa-tawa. Setelah kedua orang itu menyelinap ke gang di samping rumah yang terjadinya kejadian perkara, Solihin nama saksi mata itu berpikir tentulah mereka orang sekitar perumahan atau peronda malam. Waktu itu mereka tidak pula mengenakan topi kupluk. Namun di bawah sinar rembulan, Solihin sempat menangkap bayangan bekas luka di pelipis salah seorang yang kemudian ia ketahui terbaring sekarat di tempat tidur Bayu.
"Kapten?" dokter Singgih mengejutkan Suradi dari lamunannya.
"Kami sudah siap mengangkut kedua jenazah ke rumah sakit...."
"Bagaimana dengan korban yang masih hidup, Dokter?" tanya Suradi, sekedar bertanya. Tanpa minat.
"Kukira saat ini ia sudah ada di meja bedah. Tetapi aku meragukan, apakah ia tetap tinggal hidup sebelum tiba di meja bedah...."
"Hem," Suradi bergumam sambil menyulut sebatang rokok.
"Mau?" ia sodorkan sebatang untuk dokter Singgih yang menolak dengan gelengan kepala.
Katanya, "Isterimu bilang, kalau kau tidur bunyi nafasmu agak lain terdengarnya Kapten. Jadi hati-hatilah dengan nikotin itu..."
Dokter itu mengusap keringat yang menjilati kepala botaknya, lantas bergumam lirih: "Maukah kau mendengar pengakuanku, kawan?"
"Apa itu, Dokter?"
"Bukan main, itulah yang timbul dalam pikiranku. Barang yang diinginkan sudah tergenggam di tangan. Tetapi aku malah bingung sendiri!"
"Pengakuan yang jujur, Dokter. Apa yang membuatmu begitu gundah?"
"Barangnya, Kapten. Aku belum dapat memastikan apakah dia itu manusia atau binatang!"
"Anggap saja kedua duanya!" komentar Suradi seraya menggamit lengan dokter Singgih keluar meninggalkan kamar yang banjir darah dan otak itu.
“ Kau akan menyetujui pendapatku, kalau kau ikut aku pergi menanyai seseorang!"
Lalu mereka berdua pergi beranjak ke rumah sebelah.
"Jangankan orang. Angin pun tak boleh lewat!" Suradi memperingatkan.
Tetapi wartawan bukanlah angin, dan tidak mau dianggap angin. Mereka berhasil juga menerobos lantas ikut sibuk, bahkan lebih sibuk dari polisi sendiri! Suradi Hadinata berusaha sedapat mungkin menghindari mereka. Dan ia menjawab setiap pertanyaan dengan tanpa kompromi.
"Nanti saja di kantor!"
Suradi masuk ke kamar tidur Bayu yang kemudian ditutup dan dijaga dari sebelah luar oleh dua anggota pasukan bersenjata. Ia sempat melihat Letnan Handoko menjemput sepucuk pistol Colt kaliber 32 dengan mempergunakan sehelai sapu tangan. Oleh si letnan senjata itu dimasukan ke sebuah kantong plastik besar yang di dalamnya juga tampak sebuah topi kupluk hitam.
Bayu hampir terbunuh. Itu saja sudah membuat darah di sekujur tubuh kapten polisi itu menggelegak menahan marah. Ia lebih marah lagi setelah teringat kembali bahwa ia telah kecolongan. Dan akibatnya, begitu fatal. Sejak semula Suradi tidak pernah menduga dan sama sekali tidak punya firasat apa –apa kalau kejadian ini akan terjadi. Entah alasan darimana ada orang yang hendak membunuh Bayu.
Dari seorang saksi mata mengatakan bahwa, satu sosok tubuh yang mungkin berkeliaran di sekitar rumah Bayu lalu masuk ke dalam. Satu, bukan dua sosok tubuh. Diembel embeli ciri tambahan: "Orang itu tampaknya memakai mantel bulu dan topeng mirip anjing."
Maka saksi mata itu tidak curiga apa - apa ketika ada sosok tubuh lewat di dekat tempatnya duduk ngobrol perlahan namun sambil tertawa-tawa. Setelah kedua orang itu menyelinap ke gang di samping rumah yang terjadinya kejadian perkara, Solihin nama saksi mata itu berpikir tentulah mereka orang sekitar perumahan atau peronda malam. Waktu itu mereka tidak pula mengenakan topi kupluk. Namun di bawah sinar rembulan, Solihin sempat menangkap bayangan bekas luka di pelipis salah seorang yang kemudian ia ketahui terbaring sekarat di tempat tidur Bayu.
"Kapten?" dokter Singgih mengejutkan Suradi dari lamunannya.
"Kami sudah siap mengangkut kedua jenazah ke rumah sakit...."
"Bagaimana dengan korban yang masih hidup, Dokter?" tanya Suradi, sekedar bertanya. Tanpa minat.
"Kukira saat ini ia sudah ada di meja bedah. Tetapi aku meragukan, apakah ia tetap tinggal hidup sebelum tiba di meja bedah...."
"Hem," Suradi bergumam sambil menyulut sebatang rokok.
"Mau?" ia sodorkan sebatang untuk dokter Singgih yang menolak dengan gelengan kepala.
Katanya, "Isterimu bilang, kalau kau tidur bunyi nafasmu agak lain terdengarnya Kapten. Jadi hati-hatilah dengan nikotin itu..."
Dokter itu mengusap keringat yang menjilati kepala botaknya, lantas bergumam lirih: "Maukah kau mendengar pengakuanku, kawan?"
"Apa itu, Dokter?"
"Bukan main, itulah yang timbul dalam pikiranku. Barang yang diinginkan sudah tergenggam di tangan. Tetapi aku malah bingung sendiri!"
"Pengakuan yang jujur, Dokter. Apa yang membuatmu begitu gundah?"
"Barangnya, Kapten. Aku belum dapat memastikan apakah dia itu manusia atau binatang!"
"Anggap saja kedua duanya!" komentar Suradi seraya menggamit lengan dokter Singgih keluar meninggalkan kamar yang banjir darah dan otak itu.
“ Kau akan menyetujui pendapatku, kalau kau ikut aku pergi menanyai seseorang!"
Lalu mereka berdua pergi beranjak ke rumah sebelah.
Diubah oleh breaking182 15-04-2022 22:33
viensi dan 8 lainnya memberi reputasi
9
Tutup
