- Beranda
- Stories from the Heart
JANJI? (MINI SERIES)
...
![beavermoon](https://s.kaskus.id/user/avatar/2015/10/10/avatar8270809_8.gif)
![Avatar border](https://s.kaskus.id/images/avatarborder/1.gif)
TS
beavermoon
JANJI? (MINI SERIES)
![JANJI? (MINI SERIES)](https://s.kaskus.id/images/2021/11/29/8270809_202111290417520151.png)
Pernahkah kalian jatuh cinta? Pernahkah kalian menyembunyikan perasaan kepada orang yang kalian suka? Kenapa kalian menyembunyikan hal itu? Bukankah lebih baik untuk mengutarakannya?
Fika dan Rama akan menemani perjalanan kalian dalam mencari tahu jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas. Bersyukurlah jika kalian dapat menemukan jawabannya, namun jika tidak?
Spoiler for Episode:
Diubah oleh beavermoon 16-06-2022 12:03
![ippeh22](https://s.kaskus.id/user/avatar/2017/02/06/avatar9575917_1.gif)
![kuda.unta](https://s.kaskus.id/user/avatar/2015/03/09/avatar7742361_18.gif)
![ndoro_mant0](https://s.kaskus.id/user/avatar/2008/02/20/avatar404250_9.gif)
ndoro_mant0 dan 7 lainnya memberi reputasi
4
3.1K
Kutip
40
Balasan
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
![Stories from the Heart](https://s.kaskus.id/r200x200/ficon/image-51.png)
Stories from the Heart![KASKUS Official KASKUS Official](https://s.kaskus.id/kaskus-next/next-assets/images/icon-official-badge.svg)
31.6KThread•43KAnggota
Tampilkan semua post
![beavermoon](https://s.kaskus.id/user/avatar/2015/10/10/avatar8270809_8.gif)
![Avatar border](https://s.kaskus.id/images/avatarborder/1.gif)
TS
beavermoon
#13
Episode 11
Spoiler for Episode 11:
“Aku ngga setuju kalau kamu pacaran sama dia.”
Fika mengedipkan matanya beberapa kali, ia pun menoleh ke arah samping di mana Tian berada. Beberapa saat dalam diam, hingga akhirnya memberikan minuman kepada Fika.
“Kamu kenapa? Dari tadi pas kita berangkat sampai sekarang istirahat, sering banget ngelamun. Kamu lagi ada masalah? Kalau ada masalah, ceritain aja.” Ucap Tian.
Fika menghela nafasnya, “Aku sendiri juga ngga tau, kayaknya emang hari ini mau ngelamun aja.”
“Kedengerannya ngga masuk akal sih kalau hari ini kamu mau ngelamun, cuma ya nggapapa. Kalau ada apa-apa cerita aja, siapa tau aku bisa bantuin kamu.” Jelas Tian.
Fika mengangguk pelan, kemudian mereka kembali menatap ke arah Lapangan di mana sebuah pertandingan sudah dimulai. Dalam benaknya, Fika masih memikirkan tentang apa yang diucapkan oleh Rama. Sebuah pertengkaran batin bagi Fika, ketika orang yang sudah lama mengenalnya memberikan saran untuk menyudahi hubungannya dengan kekasihnya saat ini. Fika kembali menatap ke arah Tian, ia pun ragu dengan apa yang diucapkan Rama.
Hari terus berlanjut hingga jam pelajaran usai, Fika sedang merapihkan barang bawaannya. Ia bangun dari duduknya lalu berjalan ke depan Kelas untuk menunggu Tian turun dari lantai dua. Tak lama, Tian pun datang ke arahnya.
“Fik, kayaknya hari ini aku ngga bisa anterin kamu pulang deh. Aku ada acara mendadak sama anak-anak buat tanding, aku takut kamu bosen nunggunya, nggapapa kan?” Ucap Tian.
Fika hanya mengangguk menanggapinya, Tian pun berlalu bersama teman-temannya yang sudah menunggu di Lapangan. Mereka pun pergi bersamaan meninggalkan Sekolah. Fika berjalan pelan melewati koridor pada sore hari ini, hingga ia tiba di pintu gerbang Sekolah.
TIN!Fika menatap ke arah belakang, Rama sudah berada di atas motornya sambil memegang helm yang biasa Fika kenakan. Ia pun mengulurkan tangannya untuk memberikan helm tersebut kepada Fika.
“Buruan, aku udah laper nih mau makan.” Ucap Rama.
Fika masih terdiam memegang helm yang baru saja diberikan Rama. Ia kembali menatap ke arah Rama, kemudian ia naik ke bangku belakang sambil mengenakan helm tersebut. Tak lama, mereka berdua meninggalkan Sekolah bersama beberapa kendaraan lain.
Sepanjang perjalanan, belum ada sebuah percakapan yang terjadi. Melewati beberapa persimpangan jalan, menembus sedikit kemacetan, hingga motor berhenti di lampu merah. Fika dapat melihat Rama dari kaca spion motor, ia nampak biasa saja. Tidak ada sedikitpun pembahasan tentang apa yang semalam dibicarakan. Mereka terus melanjutkan perjalanan, sampai akhirnya Rama menghentikan motornya di samping sebuah gerobak. Fika turun terlebih dahulu, kemudian Rama juga ikut turun dari motornya.
“Bang Oye, biasa ya dua porsi.” Ucap Rama.
Rama dan Fika pun duduk di bangku panjang yang menghadap ke arah jalan. Tak butuh waktu lama untuk menyajikan dua mangkuk Bakso di hadapan mereka. Rama mulai menuangkan cuka, kecap manis, dan sambal ke dalam mangkuk, kemudian ia memberikan mangkuk tersebut kepada Fika.
“Gimana persiapan kamu buat ujian?” Tanya Rama.
Fika mengaduk kuah Bakso di mangkuknya, “Sejauh ini aku masih usaha buat ngerti pelajaran Matematika sama Kimia. Ujung-ujungnya sih aku bakalan minta bantuan kamu buat ngajarin itu semua. Kamu sendiri gimana sama pelajaran Bahasa?”
“Aku pasrah aja Fik...” Rama mencoba kuah Baksonya, “aduh panas. Maksudnya bukan pasrah banget juga sih, mulai ada sedikit-sedikit yang masuk ke kepala.”
“Aku ajarin deh Bahasa, tapi kamu juga harus ajarin aku.” Tawar Fika.
Rama mengangguk pelan menanggapinya. Mereka melanjutkan makan, hingga beberapa saat berlalu sudah tak ada lagi sisa di dalam mangkuk mereka. Fika menyeka keringatnya dengan tisu, sementara Rama kembali duduk setelah membayar.
“Ayo Fik.” Ucap Rama.
Fika pun bangun dari duduknya, mereka kembali naik ke atas motor lalu melanjutkan perjalanan pulang. Jarak yang sudah tak terlalu jauh membuat mereka cepat tiba di Rumah Fika.
“Loh, Papa udah pulang Fik?” Tanya Rama.
Ada sebuah mobil yang terparkir di luar, Rama dan Fika pun turun dari motor. Belum sempat mereka masuk ke dalam Rumah, seorang lelaki ke luar dari dalam Rumah. Dengan cepat Fika menghampiri lelaki tersebut lalu memeluknya.
“Papa kok ngga ngabarin?” Tanya Fika.
“Papa kan ngga tau kamu sibuk apa ngga.” Jawabnya.
Fika melepas pelukannya, Rama berjalan mendekat ke arahnya kemudian memeluknya juga.
“Apa kabar kamu Ram? Sehat-sehat aja kan?” Tanya Papa.
“Sehat Pa, Papa sendiri gimana? Udah lama banget ngga ketemu.” Jawab Rama.
Papa melepas pelukannya, “Sehat dong, kamu ngga liat nih fisik Papa makin bugar? Apa karena udah lama ngga liat jadi ngga sadar ya.”
Rama dan Fika tertawa mendengar ucapan Papa, kemudian mereka duduk di bangku teras sementara Fika masuk ke dalam untuk membuatkan minum.
“Ram, Fika gimana di Sekolah?” Tanya Papa.
“Masih sama kok, masih ngga suka sama Matematika, masih ngga ngerti sama Kimia, dan masih suka banget sama Bahasa. Ngga berubah sama sekali dari dulu.” Jelas Rama.
Papa mengangguk pelan, “Bener sih ngga berubah sama sekali, persis kayak mendiang Ibunya. Terus kamu sendiri gimana Ram? Bentar lagi udah mau ujian kan?”
Rama bergantian mengangguk, “Persiapan sih udah dimulai, aku bakalan bantuin Fika buat pelajaran Kimia, dia juga mau bantuin aku buat Bahasa. Mungkin Fika akan lebih serius, soalnya udah ada yang bikin dia semangat buat dateng ke Sekolah.”
“Semangat? Fika udah punya pacar?” Tanya Papa.
Rama mengangguk dengan pasti, sementara Papa membuka mulutnya lebar seperti tidak percaya. Tak lama berselang Fika datang membawakan dua cangkir teh panas untuk mereka.
“Aku ganti baju dulu deh, gerah soalnya.” Ucap Fika.
Fika kembali masuk ke dalam untuk mengganti pakaiannya. Papa memastikan bahwa Fika sudah benar-benar masuk ke dalam, kemudian ia duduk mendekat ke arah Rama.
“Gimana pacarnya Fika Ram?” Tanya Papa.
“Kalau maksud pertanyaannya tentang penampilan, mungkin aku bisa jawab termasuk anak yang keren lah, beda ngga kayak aku gini, orangnya pun terkenal di Sekolah.” Jelas Rama.
“Tapi Papa minta kamu tetep jagain dia ya. Bukan maksud Papa gimana, cuma susah untuk percaya sama orang yang belum pernah Papa liat, tiba-tiba udah jadi pacarnya Fika aja...”
Rama mengangguk setuju.
“...terus kamu sendiri gimana? Belum mau pacaran?” Ucap Papa.
Rama tersenyum, “Ya begitu deh Pa, belum kepikiran aja buat pacaran. Mungkin nanti kalau waktunya udah pas, baru deh aku mau.”
Papa mengeluarkan bungkus rokok dari dalam saku celana panjangnya, ia mengambil satu batang lalu menyalakan rokok tersebut. Papa memberikan isyarat kepada Rama, Rama pun mengangguk lalu ikut menyalakan sebatang rokok.
“Kamu tau kan Fika itu anak satu-satunya Papa sama mendiang Mama?...”
Rama mengangguk pelan.
“...coba kamu bayangin deh semisal kamu punya anak semata wayang kayak Fika, kamu pasti akan bener-bener ngelindungin dia dengan cara apapun. Papa ngerasa gagal buat ngelindungin dia setelah Mama meninggal...”
Rama memandang dalam diam.
“...Papa ngga bisa ninggalin kerjaan, sementara Fika di sini sendirian. Kadang Papa suka ngerasa gagal aja buat ngejagain dia. Harusnya Papa bisa buat nemenin dia setiap hari, nyatanya ngga bisa.” Jelas Papa.
Hembusan asap rokok melambung tinggi ke atas, kemudian menghilang begitu saja setelah tersapu oleh angin yang datang entah dari mana.
“Hayo, kalian abis ngomongin aku ya pasti?” Ucap Fika.
Rama dan Ayah hanya bisa menggeleng ke arah Fika, ia pun duduk di samping Rama.
“Awas ya kamu kalau ngerokok selain sama Papa.” Ucap Fika lagi.
“Galak Ram, persis Mama.” Ucap Papa.
Papa dan Rama pun tertawa sementara Fika memukul lengan Rama beberapa kali dengan pelan. Waktu terus berlanjut dan tak terasa malam sudah datang. Fika sedang berada di meja makan bersama dengan Papa.
“Gimana Sekolah Fik?” Tanya Papa.
Fika mengunyah pelan, “Kimia sama Matematika emang akan jadi musuh abadi Pa, sisanya bisa dikompromi lah. Untung aja Rama pinter, kalau ngga aku udah ikut les kayaknya.”
“Ada yang mau kamu ceritain ngga sama Papa?” Tanya Papa.
“Cerita? Cerita apa Pa?” Tanya Fika balik.
Papa minum dengan pelan, “Ya mungkin ada yang belum sempet kamu ceritain ke Papa selama beberapa bulan terakhir ini, soal Sekolah mungkin, atau soal temen-temen.”
“Ada sih Pa, emang Rama belum cerita ke Papa?” Tanya Fika.
“Dari tadi kita sama sekali ngga ngomongin kamu Fik.” Ucap Ayah berbohong.
“Rama belum cerita ternyata...” Fika menghela nafasnya, “aku udah punya pacar lagi Pa. Namanya Tian, dia anak IPS. Waktu itu dia nyamperin aku pas lagi duduk di bangku Taman.”
“Terus akhirnya dia minta kenalan sama kamu?” Tanya Papa.
Fika mengangguk, “Beberapa hari setelah kenalan, akhirnya kita jadian. Dia nyatain perasaannya di Taman sama temen-temennya juga.
“Serius? Wah, berani banget dia.” Ucap Papa.
Fika kembali mengangguk, “Aku juga ngga nyangka kalau dia bakalan ngelakuin itu di depan banyak orang. Jujur aja aku bilang ke Rama kalau aku malu, cuma kata Rama ya harus siap.”
“Ngomong-ngomong, gimana pendapat Rama? Bukannya kamu bakalan nanya ke dia dulu?” Tanya Papa.
“Rama setuju aja Pa, mungkin emang kita juga baru kenal sama Tian jadi ngga bisa langsung nilai dia kayak gimana orangnya.” Jawab Fika.
“Papa cuma pesen aja sama kamu, jaga diri baik-baik. Jangan sampai kamu lengah dan akhirnya bikin semua orang kecewa Fik. Papa juga ngga bisa selalu ada buat kamu, Papa cuma bisa minta tolong sama Rama buat jagain kamu.” Jelas Papa.
Fika mengangguk beberapa kali. Makan malam pun selesai, Fika sudah naik ke lantai atas menuju kamarnya setelah membereskan meja makan bersama Papa. Ia pun duduk di bangku sambil membuka buku soal yang akan ia kerjakan. Drrt! Drrt! Fika tak menyadari ada sebuah panggilan yang masuk, ia masih fokus untuk mengerjakan beberapa soal.
*
“Papa berangkat ya Fik.” Ucap Papa.
“Hati-hati ya Pa.”
Fika memeluk Papa, kemudian Papa masuk ke dalam mobil. Tak berselang lama, mobil pun melaju menuju Bandara pada pagi hari ini. Fika kembali masuk ke dalam, ia sedang bersiap-siap untuk berangkat ke Sekolah. Ia pun duduk di bangku teras sambil menunggu kedatangan Tian, ia kembali memeriksa handphone dan masih belum ada balasan dari Tian.
“Ke mana ya Tian, tumben lama banget.” Ucap Fika seorang diri.
Fika mencoba untuk menghubungi Tian, namun tidak ada jawaban darinya. Beberapa kali Fika mencoba, hasilnya masih sama. Ia pun mencoba menghubungi Rama, beberapa saat ia menunggu namun Rama juga tak menjawab panggilannya.
Fika memutuskan untuk bangun dari duduknya, ia berjalan kaki menuju depan perumahan. Setibanya di depan perumahan, ia melihat sebuah angkutan umum yang mengarah ke Sekolahnya. Fika berjalan mendekat ke arah angkutan umum tersebut.
“Fik...”
Belum sempat Fika masuk, ia menoleh ke arah sumber suara, Rama mendekat ke arahnya.
“...Ayo buruan, udah telat nih.” Ucap Rama.
Fika pun naik ke belakang sambil mengenakan helm yang diberikan, Rama memacu motornya sedikit lebih cepat dari biasanya. Kemacetan sudah tidak dapat dihindari lagi karena makin banyak orang-orang yang ke luar di jam yang sama.
“Kamu telat bangun Ram?” Tanya Fika.
“Kamu sendiri kenapa jalan kaki sampai depan perumahan?” Tanya Rama.
Fika tidak menjawab pertanyaan itu. Beberapa saat berlalu akhirnya mereka tiba di Sekolah, beruntungnya motor yang dikendarai Rama masuk bersamaan dengan ditutupnya pintu gerbang. Rama pun memarkirkan motornya di antara motor-motor lain.
“Aku kira bakalan telat.” Ucap Rama.
“Kayaknya keberuntungan berada di pihak kita Ram, aku juga udah pasrah kalau emang kita telat lagi setelah sekian lama.” Ucap Fika.
Mereka pun tertawa.
“Defika, Diorama...” Seorang Guru mendekat ke arah mereka, “ngapain kalian ketawa di parkiran? Bukannya masuk ke kelas.”
“Kita lagi ngetawain diri kita sendiri Pak, bisa barengan gitu motor saya masuk pas gerbang ditutup.” Jelas Rama.
“Dewi Fortuna kayaknya berpihak sama kalian, yaudah kalian masuk ke kelas.” Ucap Guru.
Fika dan Rama mencium tangan Guru itu sebelum mereka masuk ke dalam Sekolah. Mereka masih memperbincangkan keberuntungan mereka sepanjang perjalanan menuju Kelas, bahkan hingga mereka duduk di bangku pun mereka masih membahas tentang keberuntungan itu.
Waktu kembali berjalan sesuai dengan porosnya, hingga waktu istirahat pun tiba. Fika mengeluarkan tempat makan dari dalam tasnya, ia membuka tempat makan tersebut di depan Rama.
“Wah, udah lama aku ngga makan ginian.” Ucap Rama.
Rama pun mengambil satu Roti Lapis, mereka mulai memakan secara bersama-sama. Setelah habis, Rama pun menatap heran ke arah Fika.
“Ngomong-ngomong, kok kamu sendirian?” Tanya Rama.
“Aku juga ngga tau dia di mana Ram. Semalem aku lagi ngerjain soal, aku ngga tau kalau Tian hubungin aku. Akhirnya tadi pagi aku kirim pesan ke dia, eh sampai sekarang ngga ada balesan juga.” Jelasnya.
“Pantesan kamu mau naik angkutan umum tadi.” Ucap Rama.
“Untung aja kamu...”
“Fika...”
Fika dan Rama menatap ke arah Tian yang sudah berdiri di depan pintu Kelas, ia pun meminta Fika dengan isyarat tangan untuk ikut dengannya. Fika bangun dari duduknya, ia berjalan pelan mendekat ke arah Tian.
“...Ikut aku sebentar.” Ucapnya.
Fika sempat menatap ke arah Rama, ia hanya mengangguk pelan kepadanya. Fika pun berjalan mengikuti Tian dari belakang, bukan menuju bangku taman, bukan menuju Kantin, melainkan mereka berjalan menuju halaman kecil yang ada di belakang Sekolah. Tian pun membalikkan badannya menghadap ke arah Fika.
“Tian, kamu...”
Plak! Tanpa diduga, Tian menampar pipi Fika hingga ia memejamkan matanya. Secara perlahan Fika kembali menatap ke arah Tian, namun ia membisu. Fika dapat melihat dengan jelas perubahan ekspresi di wajah Tian.
“Kamu tuh ke mana sih? Semalem aku lagi butuh kamu, tapi kamu malah ngga ada.” Ucap Tian.
Fika hanya diam sambil menghela nafasnya, Tian nampak makin kesal karena tidak puas dengan jawaban Fika. Ia kembali mengarahkan telapak tangannya ke arah pipi Fika, sebuah tamparan kembali tak terelakkan.
Fika kembali memejamkan matanya, nampak warna merah membekas di pipinya. Tanpa sepatah kata, Tian meninggalkan Fika di halaman belakang Sekolah. Air mata sudah mengalir di pipinya, melewati warna merah akibat apa yang dilakukan oleh Tian. Fika mencoba untuk mengusap air matanya, kemudian ia membalikkan badannya. Ia kembali terdiam mematung setelah melihat Rama ada di hadapannya.
Rama berjalan mendekat ke arahnya, Fika pun menundukkan pandangannya agar dapat menutupi wajahnya. Rama sudah berada tepat di depannya, tangannya mencoba untuk mengangkat wajah Fika. Tanpa kuasa, Fika pun terpaksa mengangkat wajahnya. Air mata kembali berlinang di pipinya, tak tertahankan begitu saja.
“Ada urusan yang harus aku beresin.” Ucap Rama.
Rama membalikkan badannya, namun dengan cepat ia kembali menghadap ke arah Fika. Bukan tanpa alasan, Fika berhasil menarik tangannya hingga ia harus menatap ke arahnya lagi. Rama terdiam, membiarkan Fika memeluknya dengan sepuasnya. Angin berhembus begitu saja, menyapu kebisuan di antara mereka berdua, yang berubah menjadi isak tangis mendalam yang tak dapat tertahankan.
Fika mengedipkan matanya beberapa kali, ia pun menoleh ke arah samping di mana Tian berada. Beberapa saat dalam diam, hingga akhirnya memberikan minuman kepada Fika.
“Kamu kenapa? Dari tadi pas kita berangkat sampai sekarang istirahat, sering banget ngelamun. Kamu lagi ada masalah? Kalau ada masalah, ceritain aja.” Ucap Tian.
Fika menghela nafasnya, “Aku sendiri juga ngga tau, kayaknya emang hari ini mau ngelamun aja.”
“Kedengerannya ngga masuk akal sih kalau hari ini kamu mau ngelamun, cuma ya nggapapa. Kalau ada apa-apa cerita aja, siapa tau aku bisa bantuin kamu.” Jelas Tian.
Fika mengangguk pelan, kemudian mereka kembali menatap ke arah Lapangan di mana sebuah pertandingan sudah dimulai. Dalam benaknya, Fika masih memikirkan tentang apa yang diucapkan oleh Rama. Sebuah pertengkaran batin bagi Fika, ketika orang yang sudah lama mengenalnya memberikan saran untuk menyudahi hubungannya dengan kekasihnya saat ini. Fika kembali menatap ke arah Tian, ia pun ragu dengan apa yang diucapkan Rama.
Hari terus berlanjut hingga jam pelajaran usai, Fika sedang merapihkan barang bawaannya. Ia bangun dari duduknya lalu berjalan ke depan Kelas untuk menunggu Tian turun dari lantai dua. Tak lama, Tian pun datang ke arahnya.
“Fik, kayaknya hari ini aku ngga bisa anterin kamu pulang deh. Aku ada acara mendadak sama anak-anak buat tanding, aku takut kamu bosen nunggunya, nggapapa kan?” Ucap Tian.
Fika hanya mengangguk menanggapinya, Tian pun berlalu bersama teman-temannya yang sudah menunggu di Lapangan. Mereka pun pergi bersamaan meninggalkan Sekolah. Fika berjalan pelan melewati koridor pada sore hari ini, hingga ia tiba di pintu gerbang Sekolah.
TIN!Fika menatap ke arah belakang, Rama sudah berada di atas motornya sambil memegang helm yang biasa Fika kenakan. Ia pun mengulurkan tangannya untuk memberikan helm tersebut kepada Fika.
“Buruan, aku udah laper nih mau makan.” Ucap Rama.
Fika masih terdiam memegang helm yang baru saja diberikan Rama. Ia kembali menatap ke arah Rama, kemudian ia naik ke bangku belakang sambil mengenakan helm tersebut. Tak lama, mereka berdua meninggalkan Sekolah bersama beberapa kendaraan lain.
Sepanjang perjalanan, belum ada sebuah percakapan yang terjadi. Melewati beberapa persimpangan jalan, menembus sedikit kemacetan, hingga motor berhenti di lampu merah. Fika dapat melihat Rama dari kaca spion motor, ia nampak biasa saja. Tidak ada sedikitpun pembahasan tentang apa yang semalam dibicarakan. Mereka terus melanjutkan perjalanan, sampai akhirnya Rama menghentikan motornya di samping sebuah gerobak. Fika turun terlebih dahulu, kemudian Rama juga ikut turun dari motornya.
“Bang Oye, biasa ya dua porsi.” Ucap Rama.
Rama dan Fika pun duduk di bangku panjang yang menghadap ke arah jalan. Tak butuh waktu lama untuk menyajikan dua mangkuk Bakso di hadapan mereka. Rama mulai menuangkan cuka, kecap manis, dan sambal ke dalam mangkuk, kemudian ia memberikan mangkuk tersebut kepada Fika.
“Gimana persiapan kamu buat ujian?” Tanya Rama.
Fika mengaduk kuah Bakso di mangkuknya, “Sejauh ini aku masih usaha buat ngerti pelajaran Matematika sama Kimia. Ujung-ujungnya sih aku bakalan minta bantuan kamu buat ngajarin itu semua. Kamu sendiri gimana sama pelajaran Bahasa?”
“Aku pasrah aja Fik...” Rama mencoba kuah Baksonya, “aduh panas. Maksudnya bukan pasrah banget juga sih, mulai ada sedikit-sedikit yang masuk ke kepala.”
“Aku ajarin deh Bahasa, tapi kamu juga harus ajarin aku.” Tawar Fika.
Rama mengangguk pelan menanggapinya. Mereka melanjutkan makan, hingga beberapa saat berlalu sudah tak ada lagi sisa di dalam mangkuk mereka. Fika menyeka keringatnya dengan tisu, sementara Rama kembali duduk setelah membayar.
“Ayo Fik.” Ucap Rama.
Fika pun bangun dari duduknya, mereka kembali naik ke atas motor lalu melanjutkan perjalanan pulang. Jarak yang sudah tak terlalu jauh membuat mereka cepat tiba di Rumah Fika.
“Loh, Papa udah pulang Fik?” Tanya Rama.
Ada sebuah mobil yang terparkir di luar, Rama dan Fika pun turun dari motor. Belum sempat mereka masuk ke dalam Rumah, seorang lelaki ke luar dari dalam Rumah. Dengan cepat Fika menghampiri lelaki tersebut lalu memeluknya.
“Papa kok ngga ngabarin?” Tanya Fika.
“Papa kan ngga tau kamu sibuk apa ngga.” Jawabnya.
Fika melepas pelukannya, Rama berjalan mendekat ke arahnya kemudian memeluknya juga.
“Apa kabar kamu Ram? Sehat-sehat aja kan?” Tanya Papa.
“Sehat Pa, Papa sendiri gimana? Udah lama banget ngga ketemu.” Jawab Rama.
Papa melepas pelukannya, “Sehat dong, kamu ngga liat nih fisik Papa makin bugar? Apa karena udah lama ngga liat jadi ngga sadar ya.”
Rama dan Fika tertawa mendengar ucapan Papa, kemudian mereka duduk di bangku teras sementara Fika masuk ke dalam untuk membuatkan minum.
“Ram, Fika gimana di Sekolah?” Tanya Papa.
“Masih sama kok, masih ngga suka sama Matematika, masih ngga ngerti sama Kimia, dan masih suka banget sama Bahasa. Ngga berubah sama sekali dari dulu.” Jelas Rama.
Papa mengangguk pelan, “Bener sih ngga berubah sama sekali, persis kayak mendiang Ibunya. Terus kamu sendiri gimana Ram? Bentar lagi udah mau ujian kan?”
Rama bergantian mengangguk, “Persiapan sih udah dimulai, aku bakalan bantuin Fika buat pelajaran Kimia, dia juga mau bantuin aku buat Bahasa. Mungkin Fika akan lebih serius, soalnya udah ada yang bikin dia semangat buat dateng ke Sekolah.”
“Semangat? Fika udah punya pacar?” Tanya Papa.
Rama mengangguk dengan pasti, sementara Papa membuka mulutnya lebar seperti tidak percaya. Tak lama berselang Fika datang membawakan dua cangkir teh panas untuk mereka.
“Aku ganti baju dulu deh, gerah soalnya.” Ucap Fika.
Fika kembali masuk ke dalam untuk mengganti pakaiannya. Papa memastikan bahwa Fika sudah benar-benar masuk ke dalam, kemudian ia duduk mendekat ke arah Rama.
“Gimana pacarnya Fika Ram?” Tanya Papa.
“Kalau maksud pertanyaannya tentang penampilan, mungkin aku bisa jawab termasuk anak yang keren lah, beda ngga kayak aku gini, orangnya pun terkenal di Sekolah.” Jelas Rama.
“Tapi Papa minta kamu tetep jagain dia ya. Bukan maksud Papa gimana, cuma susah untuk percaya sama orang yang belum pernah Papa liat, tiba-tiba udah jadi pacarnya Fika aja...”
Rama mengangguk setuju.
“...terus kamu sendiri gimana? Belum mau pacaran?” Ucap Papa.
Rama tersenyum, “Ya begitu deh Pa, belum kepikiran aja buat pacaran. Mungkin nanti kalau waktunya udah pas, baru deh aku mau.”
Papa mengeluarkan bungkus rokok dari dalam saku celana panjangnya, ia mengambil satu batang lalu menyalakan rokok tersebut. Papa memberikan isyarat kepada Rama, Rama pun mengangguk lalu ikut menyalakan sebatang rokok.
“Kamu tau kan Fika itu anak satu-satunya Papa sama mendiang Mama?...”
Rama mengangguk pelan.
“...coba kamu bayangin deh semisal kamu punya anak semata wayang kayak Fika, kamu pasti akan bener-bener ngelindungin dia dengan cara apapun. Papa ngerasa gagal buat ngelindungin dia setelah Mama meninggal...”
Rama memandang dalam diam.
“...Papa ngga bisa ninggalin kerjaan, sementara Fika di sini sendirian. Kadang Papa suka ngerasa gagal aja buat ngejagain dia. Harusnya Papa bisa buat nemenin dia setiap hari, nyatanya ngga bisa.” Jelas Papa.
Hembusan asap rokok melambung tinggi ke atas, kemudian menghilang begitu saja setelah tersapu oleh angin yang datang entah dari mana.
“Hayo, kalian abis ngomongin aku ya pasti?” Ucap Fika.
Rama dan Ayah hanya bisa menggeleng ke arah Fika, ia pun duduk di samping Rama.
“Awas ya kamu kalau ngerokok selain sama Papa.” Ucap Fika lagi.
“Galak Ram, persis Mama.” Ucap Papa.
Papa dan Rama pun tertawa sementara Fika memukul lengan Rama beberapa kali dengan pelan. Waktu terus berlanjut dan tak terasa malam sudah datang. Fika sedang berada di meja makan bersama dengan Papa.
“Gimana Sekolah Fik?” Tanya Papa.
Fika mengunyah pelan, “Kimia sama Matematika emang akan jadi musuh abadi Pa, sisanya bisa dikompromi lah. Untung aja Rama pinter, kalau ngga aku udah ikut les kayaknya.”
“Ada yang mau kamu ceritain ngga sama Papa?” Tanya Papa.
“Cerita? Cerita apa Pa?” Tanya Fika balik.
Papa minum dengan pelan, “Ya mungkin ada yang belum sempet kamu ceritain ke Papa selama beberapa bulan terakhir ini, soal Sekolah mungkin, atau soal temen-temen.”
“Ada sih Pa, emang Rama belum cerita ke Papa?” Tanya Fika.
“Dari tadi kita sama sekali ngga ngomongin kamu Fik.” Ucap Ayah berbohong.
“Rama belum cerita ternyata...” Fika menghela nafasnya, “aku udah punya pacar lagi Pa. Namanya Tian, dia anak IPS. Waktu itu dia nyamperin aku pas lagi duduk di bangku Taman.”
“Terus akhirnya dia minta kenalan sama kamu?” Tanya Papa.
Fika mengangguk, “Beberapa hari setelah kenalan, akhirnya kita jadian. Dia nyatain perasaannya di Taman sama temen-temennya juga.
“Serius? Wah, berani banget dia.” Ucap Papa.
Fika kembali mengangguk, “Aku juga ngga nyangka kalau dia bakalan ngelakuin itu di depan banyak orang. Jujur aja aku bilang ke Rama kalau aku malu, cuma kata Rama ya harus siap.”
“Ngomong-ngomong, gimana pendapat Rama? Bukannya kamu bakalan nanya ke dia dulu?” Tanya Papa.
“Rama setuju aja Pa, mungkin emang kita juga baru kenal sama Tian jadi ngga bisa langsung nilai dia kayak gimana orangnya.” Jawab Fika.
“Papa cuma pesen aja sama kamu, jaga diri baik-baik. Jangan sampai kamu lengah dan akhirnya bikin semua orang kecewa Fik. Papa juga ngga bisa selalu ada buat kamu, Papa cuma bisa minta tolong sama Rama buat jagain kamu.” Jelas Papa.
Fika mengangguk beberapa kali. Makan malam pun selesai, Fika sudah naik ke lantai atas menuju kamarnya setelah membereskan meja makan bersama Papa. Ia pun duduk di bangku sambil membuka buku soal yang akan ia kerjakan. Drrt! Drrt! Fika tak menyadari ada sebuah panggilan yang masuk, ia masih fokus untuk mengerjakan beberapa soal.
*
“Papa berangkat ya Fik.” Ucap Papa.
“Hati-hati ya Pa.”
Fika memeluk Papa, kemudian Papa masuk ke dalam mobil. Tak berselang lama, mobil pun melaju menuju Bandara pada pagi hari ini. Fika kembali masuk ke dalam, ia sedang bersiap-siap untuk berangkat ke Sekolah. Ia pun duduk di bangku teras sambil menunggu kedatangan Tian, ia kembali memeriksa handphone dan masih belum ada balasan dari Tian.
“Ke mana ya Tian, tumben lama banget.” Ucap Fika seorang diri.
Fika mencoba untuk menghubungi Tian, namun tidak ada jawaban darinya. Beberapa kali Fika mencoba, hasilnya masih sama. Ia pun mencoba menghubungi Rama, beberapa saat ia menunggu namun Rama juga tak menjawab panggilannya.
Fika memutuskan untuk bangun dari duduknya, ia berjalan kaki menuju depan perumahan. Setibanya di depan perumahan, ia melihat sebuah angkutan umum yang mengarah ke Sekolahnya. Fika berjalan mendekat ke arah angkutan umum tersebut.
“Fik...”
Belum sempat Fika masuk, ia menoleh ke arah sumber suara, Rama mendekat ke arahnya.
“...Ayo buruan, udah telat nih.” Ucap Rama.
Fika pun naik ke belakang sambil mengenakan helm yang diberikan, Rama memacu motornya sedikit lebih cepat dari biasanya. Kemacetan sudah tidak dapat dihindari lagi karena makin banyak orang-orang yang ke luar di jam yang sama.
“Kamu telat bangun Ram?” Tanya Fika.
“Kamu sendiri kenapa jalan kaki sampai depan perumahan?” Tanya Rama.
Fika tidak menjawab pertanyaan itu. Beberapa saat berlalu akhirnya mereka tiba di Sekolah, beruntungnya motor yang dikendarai Rama masuk bersamaan dengan ditutupnya pintu gerbang. Rama pun memarkirkan motornya di antara motor-motor lain.
“Aku kira bakalan telat.” Ucap Rama.
“Kayaknya keberuntungan berada di pihak kita Ram, aku juga udah pasrah kalau emang kita telat lagi setelah sekian lama.” Ucap Fika.
Mereka pun tertawa.
“Defika, Diorama...” Seorang Guru mendekat ke arah mereka, “ngapain kalian ketawa di parkiran? Bukannya masuk ke kelas.”
“Kita lagi ngetawain diri kita sendiri Pak, bisa barengan gitu motor saya masuk pas gerbang ditutup.” Jelas Rama.
“Dewi Fortuna kayaknya berpihak sama kalian, yaudah kalian masuk ke kelas.” Ucap Guru.
Fika dan Rama mencium tangan Guru itu sebelum mereka masuk ke dalam Sekolah. Mereka masih memperbincangkan keberuntungan mereka sepanjang perjalanan menuju Kelas, bahkan hingga mereka duduk di bangku pun mereka masih membahas tentang keberuntungan itu.
Waktu kembali berjalan sesuai dengan porosnya, hingga waktu istirahat pun tiba. Fika mengeluarkan tempat makan dari dalam tasnya, ia membuka tempat makan tersebut di depan Rama.
“Wah, udah lama aku ngga makan ginian.” Ucap Rama.
Rama pun mengambil satu Roti Lapis, mereka mulai memakan secara bersama-sama. Setelah habis, Rama pun menatap heran ke arah Fika.
“Ngomong-ngomong, kok kamu sendirian?” Tanya Rama.
“Aku juga ngga tau dia di mana Ram. Semalem aku lagi ngerjain soal, aku ngga tau kalau Tian hubungin aku. Akhirnya tadi pagi aku kirim pesan ke dia, eh sampai sekarang ngga ada balesan juga.” Jelasnya.
“Pantesan kamu mau naik angkutan umum tadi.” Ucap Rama.
“Untung aja kamu...”
“Fika...”
Fika dan Rama menatap ke arah Tian yang sudah berdiri di depan pintu Kelas, ia pun meminta Fika dengan isyarat tangan untuk ikut dengannya. Fika bangun dari duduknya, ia berjalan pelan mendekat ke arah Tian.
“...Ikut aku sebentar.” Ucapnya.
Fika sempat menatap ke arah Rama, ia hanya mengangguk pelan kepadanya. Fika pun berjalan mengikuti Tian dari belakang, bukan menuju bangku taman, bukan menuju Kantin, melainkan mereka berjalan menuju halaman kecil yang ada di belakang Sekolah. Tian pun membalikkan badannya menghadap ke arah Fika.
“Tian, kamu...”
Plak! Tanpa diduga, Tian menampar pipi Fika hingga ia memejamkan matanya. Secara perlahan Fika kembali menatap ke arah Tian, namun ia membisu. Fika dapat melihat dengan jelas perubahan ekspresi di wajah Tian.
“Kamu tuh ke mana sih? Semalem aku lagi butuh kamu, tapi kamu malah ngga ada.” Ucap Tian.
Fika hanya diam sambil menghela nafasnya, Tian nampak makin kesal karena tidak puas dengan jawaban Fika. Ia kembali mengarahkan telapak tangannya ke arah pipi Fika, sebuah tamparan kembali tak terelakkan.
Fika kembali memejamkan matanya, nampak warna merah membekas di pipinya. Tanpa sepatah kata, Tian meninggalkan Fika di halaman belakang Sekolah. Air mata sudah mengalir di pipinya, melewati warna merah akibat apa yang dilakukan oleh Tian. Fika mencoba untuk mengusap air matanya, kemudian ia membalikkan badannya. Ia kembali terdiam mematung setelah melihat Rama ada di hadapannya.
Rama berjalan mendekat ke arahnya, Fika pun menundukkan pandangannya agar dapat menutupi wajahnya. Rama sudah berada tepat di depannya, tangannya mencoba untuk mengangkat wajah Fika. Tanpa kuasa, Fika pun terpaksa mengangkat wajahnya. Air mata kembali berlinang di pipinya, tak tertahankan begitu saja.
“Ada urusan yang harus aku beresin.” Ucap Rama.
Rama membalikkan badannya, namun dengan cepat ia kembali menghadap ke arah Fika. Bukan tanpa alasan, Fika berhasil menarik tangannya hingga ia harus menatap ke arahnya lagi. Rama terdiam, membiarkan Fika memeluknya dengan sepuasnya. Angin berhembus begitu saja, menyapu kebisuan di antara mereka berdua, yang berubah menjadi isak tangis mendalam yang tak dapat tertahankan.
![nuryadiari](https://s.kaskus.id/user/avatar/2019/07/08/default.png)
nuryadiari memberi reputasi
1
Kutip
Balas